anandaleaa

Sisa hari itu Doyoung habiskan di apartemen Jeffrey. Sembari menunggu teman-temannya kembali, ia memilih memandangi gelapnya langit malam hari dari balkon.

Kedua tangannya terjuntai di pagar pembatas, semilir angin yang menerbangkan helaian rambutnya serta-merta membuat pikirannya berlari ke suatu masa; rooftop gedung teknik, senja, dan Sagita.

Sagita.

Doyoung merindukan perempuan itu, tapi ia tahu, merindukan saja tidak cukup untuk membawanya kembali.

Melihat ketakutan di mata teman-temannya saja sudah berat, Doyoung tidak ingin menghadapi itu lagi. Terlebih, dunia Agit sudah berantakan, tidak mungkin baginya untuk menambah kekacauan di sana.

Saat ini, Doyoung merasa seperti berdiri di atas danau yang permukaannya membeku—yang sewaktu-waktu bisa saja retak lalu pecah, menelannya dan meninggalkan lubang menganga bagi orang lain. Ketika menatap Bunda, menatap keluarganya, dan menatap teman-temannya, Doyoung merasa seakan semua orang sedang bersiap dengan kemungkinan terburuk. Padahal, kalaupun ia harus mati, ia tidak ingin kematiannya dianggap skenario yang buruk. Ia sudah pernah hidup, ia sudah menjalani kehidupannya dengan baik dan itu cukup.

Doyoung ingin merasa cukup, sebab ia tidak ingin meninggalkan bumi membawa sesal yang belum selesai.

Segala pikiran yang berkecamuk di kepalanya itu perlahan menimbulkan dengungan di telinga, membuatnya segera mengeratkan pegangan di pagar pembatas agar tak limbung. Akhir-akhir ini, frekuensi sakit di kepalanya naik dua kali lipat lebih sering.

Ia masih berusaha mencari gravitasi bumi ketika samar-samar, dentingan bel memasuki pendengarannya. Sembari mendecak, ia meninggalkan balkon, tertatih untuk membuka pintu.

Pintu terbuka perlahan....

Dan perempuan itu berdiri di sana, dalam jarak satu meter di hadapannya, tersenyum dengan binar mata yang masih sama seperti yang pertama kali Doyoung lihat.

Detik itu, ia harus mati-matian menahan diri untuk tidak menarik Agit ke dalam dekapannya.

“Hai.” Agit menyapa, hangat.

Agit memang selalu memiliki kehangatan ini.

“Hai,” balasnya singkat. Melihat garis senyum dan kedua mata yang serupa bulan sabit itu, hanya membuatnya kembali menyadari betapa ia merindukan perempuan ini. “Mau ketemu Jeff? Dia lagi keluar.”

“Gue mau ketemu lo.”

“Ada apa?”

“Ada rindu.”

Agit tersenyum lagi, membuat Doyoung lantas menghela napas panjang. Untuk sejenak, Doyoung tidak memahami bagaimana mekanisme pertahanan diri perempuan di hadapannya ini. Bagaimana bisa Agit bersikap seakan tidak terjadi apa-apa di antara mereka? Lalu Doyoung ingat, ah… Agit sedang berpura-pura.

“Gue gak ditawarin masuk?”

“Gak boleh.”

“Ini kan bukan apart lo!” Agit mendengus. “Pelit banget. Gak jelas banget. Dikit-dikit marah, dikit-dikit ngilang, ntar baik lagi, ngasih harapan lagi, pergi lagi—”

“Git,”

“Yang jelas-jelas ajalah, Kak. Jangan suka bikin bingung. Jangan suka ambil keputusan sendiri.” Doyoung berusaha menyela, namun mendapati Agit kini tak lagi tersenyum justru membuat lidahnya kelu. “Gue udah bilang gue sayang sama lo. Gue terlanjur menjatuhkan hati gue buat lo, Kak. Dan itu, gak pernah gue sesali sampai detik ini.” Agit terengah begitu menyelesaikan kalimatnya, sorot matanya penuh luka saat memandang Doyoung yang masih bergeming.

Waktu berlalu, keduanya tetap mematung di ambang pintu. Agit bahkan tak peduli jika suaranya menggema di lorong koridor yang sepi.

“Sekarang gue harus gimana, Kak?” Doyoung menatap gadis itu lurus-lurus, menyaksikan bagaimana perlahan-lahan Agit meluruhkan topengnya. “Sekarang gue harus gimana? Gue masih mau mencintai lo, gue udah melakukannya bertahun-tahun dan gue rasa… gue masih bisa mencintai lo, untuk waktu yang sangat—sangat lama.”

Doyoung bungkam, namun hatinya berteriak, Jangan jatuh cinta sama gue, gak ada yang bisa gue kasih selain luka nantinya.

“Meski lo akan terus menganggap gue gak ada, meski lo bakal terus menghilang… gak apa-apa. Mencintai lo gak pernah jadi pekerjaan yang melelahkan,” Agit melanjutkan dengan getir, dengan genangan air yang berkumpul di pelupuk matanya.

Meski gue bilang gue bakal berusaha jadi alasan lo bahagia, meski gue bilang gue bakal ikut lo melawan semesta, gimana kalau gue gagal dan lo semakin terluka? Doyoung kembali menimpali dalam hati.

“Tolong, jangan menjauh lagi dari gue. Untuk alasan apapun itu, jangan lari dari gue.”

Keduanya bertatapan, lama, seolah larut dalam pikiran masing-masing.

Gue sengaja ngambil langkah mundur, dan gue paksa lo berbalik pergi. Tapi kenapa lo terus kembali lagi? Jangan datang ke gue, karena gue yang bakal ninggalin lo nantinya.

Setetes air mata jatuh di pipinya, Agit menangis tanpa suara.

Sementara itu, Doyoung memaki dirinya sendiri. Pada ketidakmampuannya membuat Agit bahagia, pada ketidakmampuannya bertahan di sisi gadis itu, dan pada keadaan yang memaksanya menyerah; sakit. Kepalanya seperti dipukuli dari dalam. Dadanya seolah dipenuhi bebatuan. Sakit, sesak, dan segala emosi bergumul jadi satu.

“Gue bingung.”

Gue tahu.

“Gue kangen lo.”

Gue juga.

“Gue kacau tanpa lo.”

Gue jauh lebih tersesat.

Doyoung memejamkan matanya sesaat, mengambil dan menghembuskan napas agar sesak di dadanya hilang.

“Perihal perasaan gue, biarkan aja mati perlahan.” Agit memandang Doyoung, air matanya semakin berjatuhan tatkala menyadari betapa sendu lelaki itu menatapnya. “Tapi bukan sekarang, pun bukan karena perpisahan.”

Mendengar itu, Doyoung memijat pangkal hidungnya, berusaha meredam rasa nyeri di dalam sana. Kemudian pada Agit, ia berbisik, “Kita berdua, gak akan kuat melawan semesta, Git,” katanya, serak dan parau.

Agit mengangguk, menjatuhkan beberapa tetes airmata lagi. Tapi kali ini, ia mengulas senyum.

“Gue bukan mau melawan kehendak semesta, Kak. Gue cuma mau mencintai lo sampai selesai meski gue tau mencintai muaranya gak selalu memiliki.”

Ada keteguhan dan secercah keberanian dalam kalimat itu, yang membuat Doyoung segera merapatkan jarak di antara mereka tanpa banyak berkata-kata. Ia mendekap Agit erat-erat, seakan jika ia melepaskan pelukan itu, Agit-nya akan hilang. Wajahnya terbenam di puncak kepala Agit, setetes air matanya jatuh di sudut mata, tapi tak apa—Doyoung tak peduli.

Di sisi lain, Agit menangis hebat dalam pelukan itu. Tanpa pretensi, tanpa pertahanan. Semuanya luluh lantak. Kedua tangannya mengerat di pinggang Doyoung, merasakan bagaimana tubuh besar itu menutupi pandangannya, seakan tengah menjaganya dari dunia.

Agit tidak tahu bagaimana semesta akan bekerja, atau bagaimana kisah ini akan berakhir. Namun apapun itu, Agit ingin percaya bahwa ada bahagia untuk mereka.

Dan untuk itu, ia tak perlu restu siapa-siapa.

Bahkan jika pada akhirnya masa yang memisahkan, tak apa, karena Agit tahu; mencintai… muaranya tak selalu memiliki.


Di ujung lorong koridor, tidak ada yang tahu bahwa detik itu Jeffrey hadir di sana.

Ia mendengarkan semuanya, dari awal hingga akhir, dan tetap di sana meski sadar hatinya tak baik-baik saja.

Brainstem Glioma.

Tiga orang yang duduk di sofa mencelus serentak mendengar pengakuan Doyoung—sementara ia sendiri justru sibuk memainkan remot televisi di genggamannya.

“Pertama didiagnosis, sel kankernya ditemuin di batang otak, tepatnya di daerah pons. You know, pons ukurannya cuma 2,5 cm. Tapi dia tumbuh di sana, bercokol di kepala gue.” Doyoung terkekeh sembari menunjuk kepalanya sendiri—getir. “Karena posisinya di batang otak, itu gak bisa dibiopsi.”

Lagi, Doyoung memainkan remot dengan tangannya, seolah sedang melatih otot-ototnya yang kaku.

Kini, tiga orang yang lain terdiam; termasuk Jeffrey, yang memilih memalingkan pandangannya ke mana pun, asal tidak bertatapan dengan temannya itu.

“Gue udah ngalamin tanda-tandanya dari SMA, suatu hari gue lagi ngerjain latihan soal olimpiade, gue lihat soal-soalnya jadi ganda. Orangtua gue panik karena gue harus berangkat olimpiade beberapa Minggu ke depan, dan dokter langsung ngasih gue obat. Belum tentu kanker, katanya waktu itu. Dan penglihatan gue normal lagi. Tahun berikutnya, baru ke diagnosis kanker.”

Kamar apartemen itu tak seberapa luas, tapi ketika remot di tangan Doyoung terjatuh ke lantai, bunyinya berdebam membuat Jeffrey, Yuta, dan Taeyong terkesiap.

Doyoung mengerutkan hidungnya, meringis. “Sori sori, tangan gue mulai kebas lagi,” katanya santai, tak sadar bahwa ketiga temannya duduk dengan hati gelisah. “Yah, Jeff... remot lo retak, nih.”

Demi Tuhan, entah kenapa mendengar kalimat itu, Jeffrey merasa ingin menangis.

“Gak apa-apa, sumpah. Mau TV nya yang lo ancurin juga gak apa-apa, Doy.”

Padahal, yang sebenarnya ingin Jeffrey katakan adalah, 'Gimana bisa lo cengengesan begitu anjing?! Gimana bisa lo khawatir sama remot di saat gue khawatir sama lo?'

Namun pada Doyoung, ia hanya tersenyum.

“Gue baru-baru ini mau pengobatan lagi, karena walaupun ini susah buat disembuhin, harusnya gue masih punya kesempatan, kan?” tanya Doyoung, ketiga temannya mengangguk tanpa suara. “Tapi kayaknya dunia emang bercanda sama gue. Nyatanya, dari hasil CT scan dan PET scan, mereka nemuin titik-titik gumpalan hitam di area tulang. Dokter bilang, kanker udah menyebar ke beberapa bagian yang sebelumnya belum kena, salah satunya sumsum tulang belakang. Itu juga berarti, kanker stadium tiga udah berkembang jadi kanker stadium akhir.”

Keheningan di kamar apartemen itu terasa semakin mencekam. Hening yang menusuk, sunyi yang menakutkan. Taeyong mengusap wajahnya gusar, Yuta mengawang-ngawang seolah pikirannya berlarian entah ke mana, dan Jeffrey... lelaki itu menunduk, menggigiti jari-jemarinya sendiri.

“Bukan prognosis yang bagus, ya?” tanya Doyoung lagi, menghela napas sembari mengulas senyum sedih. “Gue udah ceritain semuanya. Benar-benar semuanya. Jadi, ada pertanyaan?”

Tapi, tak ada yang berani bersuara, sebab jika mereka memaksakan untuk bertanya, mungkin tangislah yang akan jadi jawabannya.

“Tadinya gue gak mau cerita sama kalian. Gue pikir, mati ya mati aja. We all gonna die someday, anytime, with and without reason, right? Tapi Jeff terlanjur tau, jadi yaudah.”

Terdengar helaan napas panjang, Taeyong mendadak menegakkan tubuhnya, memandang Doyoung tajam.

“Jadi... berapa lama?” Pertanyaan itu bernada sendu, Jeffrey dan Yuta sontak melotot pada Taeyong. Tapi yang ditanya—Doyoung—justru tersenyum sumringah.

“Oh iya gue lupa ngasih tau yang itu. Dokter bilang, uhm... dua sampai tiga?”

“Tahun?” Jeffrey menebak.

“... Bulan,” Doyoung melanjutkan, matanya kini berkaca-kaca. “Ahhh, jadi siapa yang bawa amer? Gue pengen nyoba yang haram-haram sebelum mati,” katanya, terbahak sendiri.

Doyoung bangkit, beranjak ke arah dapur karena tahu Jeffrey selalu menimbun minuman keras di apartemennya.

Ia tidak tahu bahwa, sepeninggalannya ke dapur, tiga orang di ruang televisi menangis dengan caranya masing-masing.


footnote:

Computerized tomography scan (CT scan) adalah prosedur pemeriksaan medis dengan menggunakan kombinasi teknologi Rontgen atau sinar-X dan sistem komputer khusus untuk melihat kondisi dalam tubuh dari berbagai sudut dan potongan.

Positron emission tomography scan (PET scan) adalah prosedur diagnostik berbasis pencitraan yang digunakan untuk mendeteksi adanya kelainan atau penyakit di dalam tubuh dengan menggunakan radiasi untuk menunjukkan aktivitas di dalam tubuh pada tingkat sel.

Pencitraan pada PET scan dilakukan dengan menggunakan zat kontras atau zat warna khusus yang dapat dilacak keberadaannya di dalam tubuh (tracers) dan diserap oleh beberapa jaringan atau organ.

[Agit]

Dua minggu berlalu tanpa kejadian berarti. Dan selama dua minggu itu pula, Kak Doyoung menghilang. Aku tak dapat menemukannya di kelas, di kantin, di kafe, di tempat-tempat yang biasanya kami kunjungi; ia tetap tidak ada.

Entah bagaimana, aku pun mulai memaklumi kebiasaannya yang seperti ini.

Jika mengingat ke belakang, Kak Doyoung memang selalu meninggalkanku dan menghilang dengan tanda tanya. Kemudian kembali tanpa penjelasan apa-apa.

Kukira, hari ini, ia akan melakukannya lagi padaku. Tak perlu penjelasan, tak perlu kalimat penenang—karena sebenarnya tidak penting.

Ia kembali. Itu yang penting.

Maka ketika pesannya datang, aku buru-buru berlari, meniti satu persatu anak tangga gedung Teknik, dan tersenyum lega saat melihat sosoknya berdiri di tengah-tengah rooftop—membelakangiku.

Aku masih terengah ketika ia menoleh, menyadari kehadiranku. “Hey...” sapanya.

Aku pun mendekat, kebingungan dengan keadaan canggung ini. Tadinya, aku mengharapkan sebuah pelukan, atau apapun yang lebih dari sekadar sapaan bernada lesu itu. Maksudku, ia mencium keningku beberapa waktu lalu, bukankah wajar aku mengharapkan sesuatu yang lebih hangat dari ini? Terlebih, ini interaksi pertama kami selama berminggu-minggu.

Sudahlah.

“Udah lama ya kita gak ketemu?” tanyaku, berusaha tersenyum. Namun kecanggungan itu masih saja belum mencair. “Apa kabar, Kak?”

Aku ingin bertanya lebih banyak; tentang ke mana saja ia selama ini, tentang siapa perempuan yang berfoto bersamanya, tentang apapun... tapi segala tanya seolah lenyap di ujung lidahku ketika ia mengeluarkan sebuah rokok dan pemantik api dari saku celananya.

Di kejauhan sana, matahari mulai kembali ke peraduan. Semburat oranye mewarnai langit. Angin berhembus, hangat. Namun kutemukan diriku justru menggigil.

“Gue gak tau lo ngerokok?”

Ia tak menjawab, dengan acuh menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya. Kemudian ia menyalakan pemantik, melindungi api kecilnya dari hembusan angin dengan tangan.

Rambut hitamnya jatuh di sekitar dahi sampai menutupi mata ketika ia menunduk untuk menghisap gulungan tembakau itu. Asapnya berhembus, terbawa angin, membuatku reflek mengambil langkah mundur.

Saat akhirnya ia mengangkat pandangan, baru kusadari wajah itu sepucat kertas. Matanya sayu seperti tidak tidur berhari-hari, bibirnya kering, dan segalanya semakin terasa salah.

“Git, kita jangan sering-sering ketemu lagi, ya?”

Aku tahu ada penjelasan untuk itu, maka aku pun segara bertanya, “Kenapa?”

Lagi, ia menghembuskan asap rokoknya. “Jangan aja. Gue gak bisa nemuin lo.”

Kutatap ia dengan nanar, dan tidak mendapat balasan untuk itu. Ia menghisap lagi batang rokoknya, asap keluar dari celah bibirnya.

Kemudian, ia melanjutkan. Katanya, “Ada hati yang harus gue jaga,”

Detik itu, rasanya seperti dunia berjalan dalam tempo lambat. Aku memperhatikannya lekat-lekat, merasakan setiap asap tembakau yang dihembuskannya.

Tenggorokanku tercekat, sakit.

You got someone else?

“Semacam itu.”

Who is she?” Kurasakan sebuah emosi memuncak, membuatku sesak bukan main. “Siapa? Siapa yang mau ngerebut lo dari gue, siapa?”

Kalimatku menguap bersama angin. Kak Doyoung lagi-lagi terdiam, seakan menikmati kesunyian ini.

Are you trying to be funny or something? Am I a joke to you?” tanyaku lagi, berharap ia akan menjelaskan sesuatu. Tapi sampai menit berganti, ia tak kunjung bersuara.

Kulihat matanya, lama, dan melakukan itu justru hanya membangkitkan rasa sayangku padanya. Sayang yang kini membuatku muak. Sayang yang ingin sekali kubuang jauh-jauh.

Menyadari bahwa setelah semua yang kami lewati, ternyata aku masih menyayanginya seorang diri membuatku ingin menangis.

Aku ingin menangis karena segalanya tidak kumengerti.

“Kenapa baru bilang sekarang? Kenapa harus bikin gue sempat percaya kalau perasaan gue terbalas dulu baru lo bilang lo punya orang lain?”

Ia tak menjawab, terus menghisap dan menghembuskan asap rokoknya. Mataku terasa perih.

I’m not mad if you didn’t love me, but I’m mad because you acted like you did, and then you left me like I meant nothing to you,” kataku, sarat akan emosi. “If you wanna leave then go, don't make a non sense reason.

Langit sudah sepenuhnya gelap ketika kurasakan air mata meleleh di pipi. Buru-buru kuhapus dengan punggung tangan sebab aku tak ingin menangis lagi di hadapannya.

Keep your smile on, ia pernah berkata seperti itu, you look preety with it.

Kenapa ia menyuruhku tersenyum? Kenapa aku harus tersenyum padanya ketika yang ia lakukan justru membuatku menangis?

Kak Doyoung bahkan tidak repot-repot membohongiku dengan alasan yang lebih baik. Ada hati yang harus gue jaga. Siapa? Siapa yang hatinya ia jaga sampai harus mematahkan hatiku dengan sengaja?

“Dunia terlalu bercanda sama kita berdua, Git,” jawabnya.

Di bawah kami, terlihat beberapa orang mahasiswa mengobrol membentuk kerumunan di sekitar area taman. Di sisi luar dari taman itu, lalu lintas nampak sesak. Halte ramai, bus berhenti, mobil mengklakson. Namun untuk beberapa saat, kalimatnya adalah satu-satunya yang mampu kudengar.

Aku tidak mengerti. Bagaimana caraku memberitahunya bahwa semua ini sulit kupahami?

“Brengsek!” Kudorong tubuhnya sampai ia mundur beberapa langkah. Batang rokoknya terjatuh karena sentakan itu, kemudian sebelum melangkah lebih jauh, kuinjak gulungan tembakau tersebut dalam-dalam; marah, sedih, kesal. Biar, hancurkan saja semuanya.

Aku berbalik. Untuk sejenak tertegun memperhatikan langit hitam yang kelam di atas sana. Tak ada bintang. Kak Doyoung masih berdiri di belakangku, entahlah apa yang bermain-main di kepalanya.

Ketika aku menoleh sekali lagi, kami berpandangan sebelum ia jadi orang pertama yang berpaling.

Aku langsung pergi setelah itu. Tapi dalam satu detik, atau mungkin kurang, kurasa aku masih melihat rindu di matanya.

Sepanjang perjalanan pulang, aku menangisi kisah ini.

[Agit]

Wajahku menabrak punggung seseorang ketika berhasil membuka pagar dan berlari keluar rumah dengan tergesa.

Aku mengenali jaket jeans yang dipakainya, mengenali aroma parfumnya, dan entah bagaimana... kurasa aku juga mengenali auranya yang menenangkan seperti ini.

Kak Doyoung.

Ia berbalik, membuatku buru-buru menunduk untuk menyembunyikan wajah. Aku tidak tahu, kenapa ia harus muncul sekarang. Kemudian teringat, Kak Doyoung memang selalu muncul di saat segalanya berantakan.

“Kak....” Aku masih menunduk, berbisik sembari menahan isak tangis. Kuulurkan tangan, menarik ujung lengan jaketnya. “Bawa gue pergi dari sini,” aku melanjutkan, parau.

Dari dalam rumah, seseorang memanggil namaku, menahanku agar tidak beranjak ke mana-mana. Mungkin karena itu, mungkin juga karena tubuhku yang bergetar dan terisak, Kak Doyoung kemudian menggenggam tanganku erat, menarikku pergi menjauh dari sana.


Taman komplek perumahanku sudah begitu sepi menjelang pukul sembilan malam. Aku bersandar di salah satu tiang permainan dengan satu kaki tertekuk, Kak Doyoung di sisiku melakukan hal yang serupa. Kami sama-sama terdiam lebih dari sepuluh menit. Sedikit banyak, kurasa Kak Doyoung sengaja membiarkanku menangis—sama seperti tempo hari.

Begitu tangisku mereda, aku memutuskan untuk bertanya.

“Kadang, gue suka penasaran dan mikir, seandainya gue terlahir di keluarga yang lain, apakah gue bakal bahagia? Apakah gue... bakal disayang?” Hening, lalu aku melanjutkan, “Tapi gue kadang mikir lagi, bukankah lebih mudah kalau gue gak pernah lahir sekalian? Iya, kan?”

Aku menoleh, mendapati lelaki di sampingku menghela napas berat.

“Jangan mikir gitu,” katanya. “Lo udah terlanjur lahir, jalanin aja.”

Jawabannya yang ketus itu mau tak mau membuatku sedikit tertawa. Pahit.

“Hidup bakal kerasa lebih berharga ketika lo sadar kalau hidup itu singkat.”

“Singkat... dan berat.” Aku mengangguk mengiyakan.

Kami kembali hening. Membiarkan suara serangga dan gemerisik dedaunan yang tertiup angin mengambil alih sementara.

“Tentang keluarga lo... emang apa yang mereka lakuin sampai lo nangis begini?”

Ditanya seperti itu, aku jadi ingin menangis lagi. “Gue gak tau apa yang salah, tapi gue ngerasa gak pernah cukup buat mereka. Gue gak mengerti maunya mereka apa, dan mereka gak paham maunya gue apa. Gue kayak... orang asing yang kebetulan berbagi rumah sama mereka.”

Aku memandang kedua ujung sepatuku yang memainkan dedaunan kering. Mengakui ketakutanku tentang orang-orang rumah pada Kak Doyoung menimbulkan sensasi aneh—aku tak pernah seterbuka ini pada siapapun.

“Lo tau gak, sih? Karena gue merasa gak pernah dianggap, gue jadi berusaha selalu memenangkan segala hal; karena dengan begitu, gue terlihat. Keluarga gue baru noleh ke gue kalau gue punya pencapaian. Dan ternyata, ketika gue mengenal dunia luar, kita ini emang hidup di mana ketika lo gak punya sesuatu yang ‘wow’ ya lo bukan siapa-siapa.”

Lewat ujung mata, aku tahu Kak Doyoung tengah menatapku dengan sepasang matanya yang tajam itu.

“Waktu Papa ngebanggain sepupu gue yang masuk PTN, gue rasanya benci diri gue sendiri karena ada yang lebih unggul dari gue. Waktu Mama selalu lebih merhatiin Haechan, gue benci diri gue sendiri karena gue gak tau gimana caranya jadi Haechan yang bisa bikin Mama ketawa sepanjang hari,” suaraku kembali bergetar, seperti ada tumpukan batu di tenggorokan. “Bahkan waktu Haechan selalu nempel sama Mbak karena dibeliin ini-itu, gue benci diri gue sendiri karena gue ngerasa gue bukan kakak yang baik. Gue berusaha... tapi hasilnya gak ada.”

Pandanganku memburam oleh airmata yang mendesak keluar, kugigit bibir sekuat-kuatnya; lelah terus menangis untuk hal-hal yang sama.

Lalu, entah sejak kapan tepatnya, Kak Doyoung berdiri menghadapku. Kedua tangannya yang dingin menangkup sisi-sisi wajahku, hela napasnya teratur, sorot matanya sendu; namun teguh.

Pelan, ia berlirih, “Lo, anak yang berharga. Lo... anak yang luar biasa.”

Aku tidak pernah mendengar seseorang mengatakan itu padaku. Sampai detik ini, Kak Doyoung melakukannya.

“Abaikan kata-kata orang yang bikin lo berpikir lo gak berguna, itu gak benar. Karena waktu lo lahir ke dunia, Tuhan udah menuliskan skenario hidup lo dengan indah, Git. Jangan terlalu keras sama diri sendiri, apalagi nyalahin diri lo ketika sesuatu berjalan di luar kendali.”

Seumur hidup, aku tak pernah mendengar hal itu. Tak ada yang pernah berkata bahwa apa yang telah kulakukan itu cukup. Bahwa apa yang kulakukan itu benar. Bahwa aku sudah memberikan yang terbaik. Sehingga aku terus berjalan, membabi buta, bingung sebenarnya apa yang kukejar karena tidak ada yang pernah memberitahuku untuk berhenti.

Kak Doyoung masih menatapku sendu, tangannya bergerak mengusap airmataku yang jatuh di pipi—namun yang lainnya justru terus berjatuhan. Aku terisak tanpa suara, hatiku hancur dan rasanya tak karuan.

Seumur hidup, ini adalah kali pertama aku merasa berharga.

“Makasih, Kak....”

“Hidup itu bukan kompetisi, Git. Lo gak harus menangin segala hal, atau ngalahin siapa-siapa,” ujarnya, pelan sekali. “Anggap aja kita ini lagi marathon, kecepatan setiap orang beda-beda, tapi garis finisnya kan sama aja.”

Lagi, aku dibungkam oleh kalimatnya yang baru pertama kali kudengar. Semakin kuperhatikan, semakin aku mengagumi bagaimana cara lelaki ini memandang dunia. Tatapannya yang luas, hatinya yang lapang, pemikirannya yang indah.

Kak Doyoung indah sebagaimana adanya.

Kemudian, kami berdua mematung di keheningan taman yang temaram itu, berpandangan untuk waktu yang lama, dan meskipun aku tak lagi terisak, detik itu aku merasa megap udara.

Sorot sendu di matanya masih ada, namun kini diiringi dengan seulas senyum lembut yang membuatku berdebar. Ia menebas jarak, tubuhnya begitu dekat sampai aku dapat merasakan hangat napasnya.

Keep your smile on, you look pretty with it.” Suaranya serak, terengah seolah merasakan berbagai emosi menyeruak.

Saat bibirnya menyentuh keningku, aku tercenung. He kissed me on my forehead.

Untuk sejenak, kurasa bulu kudukku meremang, akal sehat berhenti hanya karena ingin merasakan setiap detik berada begitu dekat dengannya.

Aku tidak tahu bagaimana raut wajahku begitu ia melangkah mundur, namun untuknya, saat itu, aku hanya ingin tersenyum—aku ingin ia tahu bahwa aku beruntung memilikinya di sisiku.

Sorry....

Alisku menukik. “Sorry for what?

“Yang tadi,” ia tergagap, menggaruk leher dengan kikuk. “... reflek,” lanjutnya.

Kak Doyoung salah tingkah. Dan menyadari itu, kurasakan pipiku perlahan-lahan memanas.

“Udah, ayo balik!”

“Ih, tungguin dong?”

“Jalannya cepetan, lelet!”

“Buru-buru banget kayak lagi ospek.” Aku mendengus, tapi tak ayal tersenyum juga. “Masa pacarnya ditinggal gini, sih, Kak?”

Kak Doyoung tiba-tiba berhenti melangkah, membuatku lagi-lagi menabrak punggungnya sampai terjungkal.

“Gue bukan pacar lo!”

“Terus lo nyium kening cewek yang bukan pacar lo, dong?”

Ia kembali menggaruk tengkuk, kehilangan kata-kata.

“Intinya kita gak pacaran!”

“Yaudah, ta'aruf!”

“Basing lo aja,” tukasnya, kemudian berjalan lebih dulu dengan langkah menyentak seperti ingin menunjukkan kekesalannya. Ya ampun, how cute.

Aku baru ingin berlari untuk mengejar langkahnya dan menghujaninya dengan berbagai godaan lagi ketika kulihat sebuah botol transparan berukuran kecil terjatuh di aspal.

Ada butir-butir tablet obat di dalamnya. Tanpa pikir panjang, kuraih botol itu, dan memasukkannya ke dalam saku.

“Kak... tungguin, ih!”

“Jalan lo lama kayak keong!”

Setelah berteriak seperti itu, Kak Doyoung menungguku di ujung jalan. Cih, dasar tsundere.

[Agit]

Tahukah kalian, bahwa hidup bisa berubah dalam hitungan detik?

Seperti bumi yang berbalik 180 derajat, berguncang, hancur, dan kau tidak dapat menemukan dirimu sendiri dalam kekacauannya—aku sedang. Aku sedang di sana dan tidak tahu harus melarikan diri ke mana.

Sudah beberapa hari berlalu sejak namaku ramai diperbincangkan di sosial media kampus. Dua menfess tentangku memang langsung dihapus begitu ramai, dan Karin memang mengakui perbuatannya, tapi hidupku berubah—semuanya tidak pernah sama lagi sejak hari itu.

Orang-orang masih sibuk bergunjing, ekor mata mereka mengikuti setiap pergerakanku, dan sesekali mereka menertawakanku untuk alasan yang aku sendiri tidak tahu.

Rasanya seperti deja vu. Persis seperti yang kualami di SMA—bedanya, yang kali ini tidak disertai dengan lemparan kertas bekas atau sandungan kaki yang sering membuatku terjatuh di kantin. Mereka cukup dewasa untuk tidak melakukan hal itu, namun aku sendiri merasa ini jauh lebih buruk.

Memikirkan Karin ada di balik semua kejadian ini membuatku ingin menangis.

Aku menghadiri kelas seperti biasa, sebisa mungkin duduk di paling depan agar aku tak melihat punggung-punggung yang tengah membicarakanku. Aku selalu pulang lebih dulu, menghindari interaksi dengan siapapun.

Secepat itu, kehidupanku berubah. Secepat itu, bahkan jauh lebih cepat dari membalikkan telapak tangan, satu kesalahanku merusak semua kebaikan yang pernah kulakukan.

Bagian terburuk dari ini adalah; kenyataan bahwa aku melewati segalanya sendirian.

Benar-benar seorang diri dan ketakutan setengah mati.

Sekali, Lucas pernah mencariku, susah payah menunggu kelasku bubar hanya untuk kulewati begitu saja.

Ia sempat bilang, “Gue minta maaf, Git.”

Tapi, dalam hati aku berbisik, maaf untuk apa?

Apakah ia menyadari kesalahannya? Apakah ia bahkan memaknai ucapannya? Dan yang terpenting... apakah aku harus percaya lagi padanya?

Aku tahu, mungkin Lucas tak seburuk Karin. Aku tahu suatu hari nanti aku akan memaafkannya, tapi tidak untuk saat ini.

Dan layaknya semua orang yang kukenal, Lucas berhenti menemuiku—mereka menghilang, atau sejak awal memang tidak pernah ada di sana.

Tidak dengan Jeffrey. Tidak dengan Kak Doyoung.

Mereka menghilang seolah aku adalah tokoh yang diciptakan di kisah yang berbeda.

Aku melewati chapter menyedihkan dalam hidupku ini sendirian lagi, seperti sudah seharusnya begitu—seperti di dunia ini, yang harus kesepian hanya aku.

But, you know what’s so ironic? The fact that I’m no longer surprised about this. I’m slowly getting used to being left alone.

It’s true what they saying. Time doesn’t heal anything, it just teaches you how to live with pain.

And now, loneliness became a part of me. But, God... it's actually really hard to go through alone.

Kemudian, lonceng kecil yang terpasang di atas pintu kafe berbunyi. Lelaki itu hadir di sana begitu aku menaikkan pandangan—tak tersenyum, tak berkata-kata, hanya sorot sendu yang mengiringi setiap langkahnya untuk menghampiriku.

Ia tetap tak bersuara, menggeser kursi dalam keheningan yang panjang, lalu terduduk di hadapanku dengan bias-bias cahaya matahari sore yang jatuh di wajahnya.

“Kak Doyoung?”

“Hm?”

Hanya itu, hanya gumaman kecil itu. Yang tak terasa bermakna, namun begitu berarti di saat-saat seperti ini.

Tak ada pelukan, tak ada kata-kata penenang, tak ada penjelasan apapun. Tanpa itu semua, tapi ia ada di sini.

He’s literally just sitting there and I found myself starting to tear up.

Awalnya, aku menangis tanpa suara. Kemudian tangis itu berubah menjadi isakan. Aku menangis untuk diriku sendiri; untuk malam-malam sepi yang kulewati demi nilai-nilai tinggi, untuk perjuangan yang tak pernah diapresiasi. Sosok yang dicemooh banyak orang, yang tak memiliki teman, yang melewati setiap fase dalam hidupnya sendirian.

Aku larut dalam kesedihanku, untuk pertama kalinya membiarkan tangisku pecah di tempat umum.

Kak Doyoung menemaniku di sana sampai langit berubah gelap, dan dengan caranya sendiri ia berhasil meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Mungkin tidak sekarang, tidak pula esok, tapi suatu hari nanti, semuanya akan baik-baik saja.

Itu adalah pertama kalinya Agit datang ke klub malam.

Jam yang melingkar di tangannya menunjuk pada angka sepuluh—jam yang bagus untuk belajar, dan ia justru terduduk di meja bar dengan Jeffrey yang cengengesan di sebelahnya.

Agit tahu berada di sini, mendengarkan musik jedag-jedug, menonton pertunjukan DJ, dan menyaksikan crowd yang semakin liar di dance floor sana adalah tindakan paling tidak bijak yang bisa ia lakukan—namun malam ini, biarlah itu terjadi. Agit lelah, ia ingin membebaskan pikirannya malam ini saja.

Toh, tak jauh dari tempatnya, Karin dan Lucas tetap mengawasi.

“Mau minum apa, Git?”

Agit memandangi deretan botol-botol minuman di hadapannya, lalu berkata, “Amer, sayang.”

Jeffrey terbahak kencang. “Lagu lo amer, udah pernah kobam belom?”

“Belom, ya ini gue mau nyoba!”

“Jangan, deh. Ntar gue yang berabe.” Jeffrey menyeringai jahil, kemudian berpaling pada seorang barista. “Lemon tea aja satu, gue yang biasa.”

Agit buru-buru memprotes. “Masa gue udah jauh-jauh ke sini minumnya lemon tea? Tau gitu ke warung aja gue beli teh jus lemon, anjir.”

“Anak kecil gak boleh mabu-mabu ucul!” Jeffrey tertawa lagi sembari mengacak rambut Agit. Untuk sesaat, Agit merasa perutnya geli. Mungkin karena di bawah remang lampu seperti ini, Jeffrey nampak sangat nakal—nakal dan sedikit, sedikiiiiit menggemaskan.

So... what did he say?” Jeff menopang dagu memandang Agit, segelas lemon tea dan satu sloki Smirnoff ada di antara keduanya. “Dia bilang lo bukan tipe dia?”

“Nggak.” Agit menghela napas. “Gue juga gak tau maksudnya gimana, but he said he is enough. He can’t be with me.

Jeffrey terkekeh rendah. Menertawakan Agit dan menertawakan dirinya sendiri.

“Tapi lo tau gak sih, Jeff? Kak Doyoung tuh gak jelas, dia selalu abu-abu. Dia gak pernah benar-benar nyuruh gue buat pergi, semakin dia nyuruh gue pergi gue malah ngerasa dia minta gue buat stay. Paham gak?”

“Perasaan lo doang itu mah!” Jeff menyentil pelan jidat Agit. “Itu mah maunya lo kali disuruh tinggal, padahal Doy emang nyuruh lo pergi dari awal,” ujarnya, membuat Agit cemberut. “Dari tiga tahun lalu, maksud gue.”

“Ah, ee onta lo!”

“Jadi lo mau nyerah atau bertahan?”

Agit menyeruput lemon tea-nya, hambar—sama seperti perasaannya saat ini. “Gue mau berjuang lagi,” jawabnya, Jeffrey mendecih.

Di titik ini, Jeffrey merasa bodoh setengah mati. Menemani perempuan yang dicintainya memperjuangkan laki-laki lain, what an idiot.

Tapi ia tidak bisa bohong, melihat Agit segalau ini, Jeffrey senang karena ia adalah orang pertama yang Agit cari.

“Gue rasa, lo sebegitu kerasnya merjuangin dia bukan karena lo cinta dia, tapi karena lo gak tau apa itu cinta dan semakin keras lo berusaha membuktikan kalau itu cinta; justru lo semakin jauh dari makna cinta itu sendiri.”

Kalimat Jeffrey membuat kerongkongan Agit terasa kering seketika. Ia mengaduk lemon tea-nya, tertawa seolah-olah ada yang lucu.

“Mungkin lo bener, lo bener tentang gue yang gak tau apa itu cinta, atau gue yang semakin jauh dari makna cinta,” balasnya, kemudian menaikkan pandangan, menatap Jeffrey tepat di manik mata. “Tapi gue mau, Jeff... gue mau percaya kalau cinta bener-bener ada di antara gue sama dia.”

Jeffrey membatu, larut dalam tatapan mata Agit detik itu. Ada sesuatu yang membayang di mata Agit, sesuatu seperti kesedihan yang telah lama sekali ia pendam. Lalu, tahu-tahu saja Agit meraih gelas sloki miliknya, menenggak habis minuman di sana.

“Eh, bego! Punya gue itu!”

“AISHHHH RASANYA KAYAK KENCING GOBLIN.” Agit meringis, menaruh kembali sloki ke atas meja. “Mas, satu lagi ya,” tambahnya pada si barista, sengaja mengabaikan pelototan Jeffrey.

“Git, kalo lo mabok gue gak tanggungjawab, ya.”

“Tenang, ada temen-temen gue di belakang.” Jeffrey menoleh, dan mendadak lega karena Agit benar.

No one taught me what love is, or how love actually works.” Agit kembali menceracau, pipinya mulai kemerahan. “No one has ever treated me special, or hold my hand with great affection, and sometimes give me appreciated along with a warm hug. Itu semua cuma mampu gue bayangin, tanpa pernah benar-benar kejadian. Hal yang gue dapat ketika gue suka sama seseorang, adalah kebalikan dari itu,” ia melanjutkan, getir sekali.

Jeffrey menopang dagu, menyimak. Jika seseorang melihat cara Jeffrey memandang Agit detik itu, orang tersebut pasti akan menyimpulkan betapa Jeff mengagumi perempuan di hadapannya.

It’s kinda sad but you know, I'm getting used to being treated that way,” bisiknya, menenggak lagi minuman dalam sloki. “Jadi ketika sekarang lo datang, offering so much affection, honestly, i’m a bit scared.”

Jeffrey tak mengintrupsi, sengaja membiarkan Agit mengeluarkan segala keluh-kesahnya.

“Lo itu asing buat gue, Jeff....” suaranya bergetar, terasa pilu. “Kasih sayang lo, perhatian lo... semuanya asing.”

Musik masih bergema dengan meriah, kerumunan pengunjung juga semakin heboh. Namun Jeffrey seolah tuli, justru bersama Agit di sini, mendengar gadis itu bercerita, ia merasa dunia telah meninggalkannya.

Agit kini sudah setengah sadar, perlahan-lahan matanya menutup. Dan sebelum benar-benar tertidur, ia melempar senyuman pada Jeffrey, kemudian bergumam, “We accept the love that we think we deserve, isn’t it? And i know i dont deserve you.”

Setelah itu semuanya hening. Jeffrey mengulurkan tangannya tepat sebelum kepala Agit membentur meja, lalu membiarkan gadis itu tertidur di atas tangannya.

“Gue juga bukan cowok baik, Git.” Jeffrey membisik lirih, merapikan helai-helai rambut Agit yang menutupi setengah wajahnya. “How can you think you don't deserve me?

[Doyoung]

Setelah memarkirkan mobil di garasi, Bunda membuka pintu dan segera menghampiri gue dengan raut khawatir bercampur lega. Gue tersenyum, menyalami Bunda dan mengecup puncak kepalanya sekilas.

“Bunda was-was kamu bawa mobil, tapi kalo gak dibolehin bawa mobil, malah naik metromini!” omelnya, mengusap bahu gue berulang kali. “Kenapa sih, Kak, gak mau diantar-jemput sama masmu aja?”

“Kakak udah gede, Bun. Masa diantar-jemput, ntar apa kata fans Kakak di kampus?”

“Kayak punya fans aja!” cibir Bunda sembari berlalu ke arah dapur. Mendengar kalimatnya itu, seketika gue ingin menceritakan tentang sosok Agit, tapi gue tahan karena belum waktunya.

“Kaki tanganmu gak pernah kebas lagi, Kak?”

Gue loncat-loncat di tengah rumah, sengaja menunjukkan pada Bunda bahwa gue baik-baik aja.

“Yaudah, cepat mandi terus makan.” Bunda mengangguk, sibuk menyusun lauk-pauk di atas meja.

“Siap, Ndoro!”

“Obat udah diminum?.”

Gue menggaruk tengkuk, bingung. “Kalau sakit baru diminum kan, Bun?”

“Ck, terus mau nunggu sakit dulu baru minum obat?”

“Tapi kan itu emang obat analgesik, gak baik diminum setiap saat. Kalau terlalu sering diminum bisa bahaya buat lambung juga, Bun.”

Kali ini, Bunda menaikkan wajahnya, menatap gue lurus-lurus. “Makanya mulai lagi pengobatan yang serius, bukannya minta obat penghilang rasa nyeri aja,” balasnya getir. “Mau ya, pengobatan lagi? Nurut sama Bunda ya, Kak?”

Gue mengusap wajah, menghampiri Bunda di sisi meja makan kemudian meraih tangannya. Gak seperti tangan gue yang dingin, kedua tangan Bunda hangat, bikin gue kepingin menggenggamnya semakin erat.

“Kita udah nyoba beberapa bulan lalu, hasilnya sama aja, kan? Gak ada perubahan yang berarti, kan?” tanya gue, mati-matian menahan nyeri di tenggorokan karena mata Bunda mulai berkaca-kaca. “Sakit, Bun. Kemoterapi sama radioterapi itu sakit.”

“Tapi kalau gak diobatin makin sakit kan...”

“Nggak, buktinya Kakak baik-baik aja sekarang.” Gue berusaha tersenyum. “Doyoung baik-baik aja, Bun. Doyoung bakal hidup selama yang Bunda mau, jadi jangan khawatir.”

Kemudian, sebuah rangkulan yang gak kalah hangatnya dari kedua tangan Bunda membawa gue ke dalam sebuah pelukan. Bunda menangis di balik punggung gue, tetes airmatanya membasahi baju gue, tapi gak ada hal lain yang bisa gue lakukan selain mengucapkan kebohongan-kebohongan tadi.

Bagaimana bisa gue mengakui bahwa setiap malam gue menggigil di balik selimut, merasakan pukulan-pukulan di sisi belakang kepala, terbangun dengan penglihatan yang berputar—dan terus terjaga sampai pagi karena setiap kali gue menutup mata, gue takut gue gak bisa terbangun lagi?

Bagaimana bisa gue ceritakan itu, bagaimana bisa gue melihat orang-orang di sekeliling gue bersiap merayakan kehilangan?

Ketimbang menyaksikan senyuman mereka perlahan-lahan memudar seperti kehidupan gue, bukankah lebih baik kalau sisa waktu ini gue habiskan dengan membahagiakan semua orang yang pantas gue bahagiakan?

Jadi, gue bisa pergi dengan tenang.

Jadi, ada ingatan baik tentang gue yang bisa mereka kenang.

“Doy ke atas dulu ya, Bun.” Gue membuang muka, menghindari tatapan Bunda.

“Kak?”

Tepat di atas anak tangga terakhir, gue berhenti melangkah karena panggilan Bunda. “Iya, Bun?” tanya gue tanpa berbalik.

Lama, Bunda sengaja menjeda kalimatnya.

“Maafin Bunda,” lirihnya, bergetar menahan tangis. “Lakuin aja apa yang Kakak mau, Bunda selalu dukung. Selagi masih ada waktunya, lakuin semua yang kamu mau, ya, Kak?”

Gue menengadah, memandangi langit-langit yang bias oleh cahaya lampu. Sebulir air mata jatuh dari sudut mata, buru-buru gue hapus sebelum yang lainnya ikut berjatuhan.

... lakuin semua yang kamu mau.

I will,” balas gue, tersenyum begitu menoleh pada Bunda. “I will...

Sebelum Bunda benar-benar menangis, gue segera beranjak ke kamar. Bayangan ketakutan itu tergambar jelas di wajah Bunda.

Ternyata mau sekeras apapun gue berusaha, pada akhirnya persiapan menyambut kehilangan itu tetap ada.

90’s Fest berjalan meriah. Acara itu juga dihadiri anak-anak dari kampus lain, yang membuat venue semakin ramai.

Sehabis curhat pada Karin dan diledek habis-habisan oleh Lucas, Agit kemudian meninggalkan kedua temannya untuk kembali pada Doyoung yang menunggu di venue belakang. Doyoung tidak terlalu suka menonton dari jarak dekat, selain terlalu berisik, keramaian juga sedikit membuatnya tidak nyaman.

“Sori ya lama, Lucas kalo ngegosip suka manjang.” Agit terkekeh pelan, memperhatikan Doyoung yang bersandar di pagar pembatas dengan satu kaki tertekuk.

Bahkan dalam gelapnya malam dan remang lampu panggung, lelaki ini nampak begitu menarik.

“Gosipin gue ya?” Doyoung tersenyum miring, sebelah alisnya terangkat.

“Hehe, tau aja.”

Melihat kejujuran Agit, mau tak mau Doyoung jadi tertawa sendiri.

Lalu secara dramatis, sorot lampu di panggung meredup. Riuh tepuk tangan membuat keduanya secara bersamaan menatap ke arah panggung, dan ketika petikan senar gitar terdengar, Doyoung menoleh pada Agit—mereka bertemu mata, mengunci pandangan dengan senyum yang sama-sama terulas.

🎵 Living with something that i couldn’t see And somehow fade eternally Have you came a long way to get to know me or maybe its just meant to be

Menatap dua mata sipit yang penuh binar itu, Agit merasa kewarasannya telah hilang. Dari jarak sedekat ini, ia bisa menghirup aroma kayu dan vanilla. Jika mengingat mundur ke belakang, Agit bahkan tidak akan mengira lelaki galak yang selalu menatapnya penuh kebencian ini akan beraroma manis seperti kue-kue kering.

Doyoung selalu mengejutkan.

🎵Come here i just found a new recipe The flower, the bricks, and the sea My intuition says you were like me and I don't know where should I be

Kalau ditanya, apa sih yang membuatnya begitu menyukai lelaki ini?

Agit tidak tahu. Ia tidak tahu apa atau dari mana perasaannya berasal. Namun detik ini, memandangi bagaimana binar mata dan lengkung senyum Doyoung bekerja, Agit sadar ia tak perlu tahu dari mana perasaannya bermula.

You don’t define love. You just... love.

🎵 And maybe you wanna be a star It may seem you wanna be in love I don't care you taking me apart But i just couldn't save you tonight

“Gue mimpi gak, sih?” Agit berbisik, lebih kepada dirinya sendiri. Doyoung masih memandang ke depan, sesekali kepalanya mengangguk mengikuti irama lagu ketika sebuah dorongan membuat Agit mengulurkan jari telunjuk untuk menusuk pelan pipi lelaki itu.

Doyoung mengernyit, melirik Agit lewat sudut mata. “Kenapa?” tanyanya, bingung karena pipinya mendadak disentuh.

“Wah, beneran ternyata bukan mimpi.”

Doyoung tertawa lagi, Agit ini benar-benar perempuan terkonyol yang pernah ada dalam hidupnya.

Sadar kalau tindakannya sedikit memalukan, Agit buru-buru menarik tangannya menjauh.

“Yang dicolok pipi dia, yang bolong pipi gue.”

Kaget, Agit lekas menoleh dan mendapati Jeffrey berdiri tepat di belakangnya. Dan jangan lupakan senyum jahilnya itu! Jeffrey sengaja menunjukkan lesung pipinya. Sialan.

“Lo? Ngapain di sini?”

Bukannya menjawab, Jeffrey justru menumpukkan kedua tangan dan kepalanya di pagar pembatas, lalu cemberut.

“Yang dikejar hati dia, yang meleleh hati gue.” Jeff kembali membeo.

“Lo kenapa, sih?” Agit panik, takut Doyoung menyadari kedatangan Jeffrey.

“Ini mulai gak waras, Git!”

“Iya! Lo yang gak waras, sekarang lo pergi sana!”

Jeffrey semakin cemberut. “Gue mau pulang sama Marissa.”

Siapa pula Marissa? Agit membatin.

“Terus?”

“Cemburuin aku, dong.”

“Idih ogah banget?”

“Yaudah, gue nonton bareng Clara.”

Clara siapa?

“Yaudah, sana. Have fun!

“Kok malah disuruh have fun?”

Demi Tuhan, Jeffrey yang flirty dan buaya ternyata jauh lebih mudah ditangani ketimbang Jeffrey yang mode ngambek seperti ini.

“Jeff, gue mohon maaf mohon ampun deh sama lo. Tapi bisa gak, bisa gak lo tinggalin gue? Gue lagi sama—“

“Sama siapa?”

“... Kak Doyoung?” tanya Agit, terkejut dan bingung sendiri karena ketika ia menoleh, Doyoung tidak ada di sisinya. Entah sejak kapan.

“Doyoung?”

“Tadi dia ada di sini, kok.”

Jeffrey mengangguk acuh. “Udah pergi pas gue dateng.”

Agit membulatkan matanya, melayangkan satu pukulan di bahu Jeffrey. “Ih, tuhkan gara-gara lo, sih!”

“Enak aja!” balasnya. “Mau ikut gue gak? Daripada nunggu Doyoung sendirian di sini?”

“Gak. Gue mau nunggu di sini aja.”

Jeffrey mendengus, kemudian sembari mengacak rambut Agit sekilas ia pun berlalu dari sana.

Mulanya, Agit mengira Doyoung pergi mencari kamar kecil, atau membeli beberapa camilan. Namun sampai lagu I Just Couldn’t Save You Tonight yang dibawakan oleh Ardhito Pramono di atas panggung sana berakhir, Doyoung belum juga kembali.

Satu lagu lagi dimainkan, lalu dua, lalu tiga, dan sampai penampilan yang terakhir... Doyoung tetap tidak kembali.

Dari atas panggung tempatnya berdiri, dua orang yang berteduh di salah satu stand makanan nampak tengah berbagi tawa.

Jeffrey mendecih. Doyoung benar-benar telah menerima bendera perang yang dikibarkan olehnya.

Aneh, biasanya persaingan seperti ini membuat adrenalin seorang Jeffrey semakin memburu. Tapi kali ini melihat bagaimana Agit menengadah dan tersenyum tiap kali Doyoung menunduk kepadanya, Jeffrey benar-benar kesal bukan main.

Jauh, jauh di dalam Jeffrey tahu, ia tidak ingin bersaing dengan temannya sendiri. Terlebih, temannya ini adalah Doyoung—yang selama eksistensinya di kampus belum pernah sekalipun terdengar kabar dekat dengan seorang perempuan. Sepintas, Jeff pernah berpikir Doyoung punya orintasi seksual menyimpang, dan jelas saja melihat Doyoung tersenyum seramah itu pada perempuan membuat Jeff bersyukur dugaannya salah.

Tapi kenapa harus Agit? Kenapa harus cewek konyol itu?

“Ck!” Jeffrey mendengus, mengenyahkan pikirannya barusan sembari melanjutkan menggulung kabel. “Yang tolol itu lu, Jeff. Udah tau Agit konyol, udah tau Agit naksirnya sama Doyoung, malah lu demenin. Emang tolol!” lanjutnya lagi, dongkol setengah mati.


Setengah jam berjalan tak tentu arah di bawah terik matahari jam 2 siang, ternyata tak cukup membuat Agit merasakan panas sedikitpun. Justru, bersama Doyoung di sisinya seperti ini, ia merasa seolah sedang berbaring di lantai masjid. Adem.

Blue Jeans dari Gangga diputar keras-keras dari speaker panggung di depan sana. Sebentar lagi, 90’s Fest akan dimulai—meski resminya para bintang tamu baru akan tampil nanti malam. Acara itu adalah acara musik tahunan anak-anak Teknik, Agit bahkan sempat melihat Jeffrey ikut menyiapkan berbagai hal di atas panggung.

Jeff sempat tersenyum sumringah saat mata mereka bertemu, namun senyum itu lekas surut begitu sadar siapa sosok yang tengah bersamanya.

Ada setitik rasa bersalah dalam hati Agit setelah memarahi Jeff di chat beberapa hari lalu. Menfess dan omongan orang-orang itu mungkin memang berkat Jeff, tapi tidak seharusnya ia semarah itu sebab rasa traumanya di SMA seharusnya bisa ia kendalikan sendiri. Jeffrey tidak bersalah untuk itu. Ah, Agit harus minta maaf kapan-kapan.

“Lagi mikirin apa?”

“Eh?”

“Panas gak?”

“Nggak, Jeff—“

Doyoung diam, Agit diam, keduanya berpandangan.

“Maksud gue, Kak—“

Doyoung mengangguk sekilas, mengabaikan Agit. “Lagi mikirin Jeffrey?”

“Ih, nggak? Gue gak mikirin apa-apa, hahahaha gue kan gak bisa mikir.” Lelucon yang payah, Agit ingin memukuli kepalanya sendiri pakai catokan rambut. Tahu Doyoung tidak mempercayai ucapannya, ia buru-buru melanjutkan, “Nggak, gue cuma kepikiran aja... gue banyak salah ke dia, kayaknya gue harus nemuin dia deh nanti.”

“Gih, sana,” ucap Doyoung, melipat tangan di depan dada.

“Ya nggak sekarang juga?”

“Tuh, Jeffrey udah turun dari panggung,” bibir Doyoung kali ini mengerucut. Gemas.

“Ngapain gue nyamperin Jeffrey yang turun dari panggung?” Agit mengulum senyum. “Kalau di samping gue ada bidadara yang baru aja turun dari surga?”

Harusnya Doyoung tidak tersenyum. Harusnya bibirnya tidak semudah itu tertarik membentuk seulas garis lengkung hanya karena bualan random khas Agit. Tapi hatinya berkhianat, ia tidak bisa menahan rasa geli itu.

Tidak ingin harga dirinya turun, Doyoung segera berbalik dan meninggalkan Agit.

“Loh? Mau ke mana?” tanya Agit sembari menyusul. “Lo gak boleh ke surga lagi, Kak!”

“Git!” seru Doyoung, berhenti melangkah. “Kita berdua sama-sama udah dewasa, jadi kalimat cheesy ala anak SMP begitu gak mempan lagi buat gue.”

“Masa sih, lo gak senyum sama sekali? Kayaknya tadi gue lihat lo senyum....”

“Nggak!”

Doyoung menukas tajam, mengalihkan pandangannya ke segala arah. Agit justru tersenyum miring, tahu bahwa Doyoung salah tingkah.

Really? Not even a tiny bit of smile?” Agit berjinjit, mencoba mencari segaris senyum yang mati-matian di tahan oleh Doyoung.

Gagal. Doyoung gagal total. Siapa juga yang tidak akan tersenyum jika mendapati mata berbentuk bulan sabit dengan tatapan penuh cinta seperti yang sedang Agit lakukan?

I know you’re smiling,” bisik Agit, tepat di telinga Doyoung.

Oh, shup up, Sagita!” Doyoung segera mundur beberapa langkah, melebarkan senyumnya yang sejak tadi tertahan.

Ha! Got you!” Agit terkekeh, ia baru saja akan mendekat lagi, namun tangan Doyoung lebih dulu menahan kepalanya. “Ih? Gue tadi hampir aja berhasil nyium pipi lo tau!”

“Tau, makanya gue mundur.” Kedua alisnya bertaut, merasa cringe.

“Lo tadi bilang kita berdua sama-sama udah dewasa!”

“Bukan berarti lo bisa nyium-nyium gue!”

Agit berusaha memberontak, ingin melepaskan diri dari pegangan Doyoung di kepalanya. “Ok, fine! Lepasin, dong.”

“Jangan cium gue. Janji gak?”

“Suudzon banget?”

Doyoung mengesah. “Kalau itu lo, emang lebih baik negatif thinking.”

“Iya, janji. Gak akan cium-cium, lo kira gue cewek apaan?”

“Cewek gila. Konyol. Penuh obsesi. Ambisius. Aneh. Mesum—“

Belum selesai Doyoung bicara, Agit buru-buru memotong. Katanya, “Satu lagi... cantik.”

“Basing lo aja.”

Lagi, Doyoung berbalik dan berjalan meninggalkan Agit di belakang. Tapi kali ini, ia mengerutkan hidungnya, menggigiti bibir demi menahan rasa gemas bertubi-tubi.

Doyoung realized today how much he truly likes his little one, Sagita. She was completely pure with a smile in her eyes. Utterly, madly, adorable.

He likes her, he just doesn’t know when it started.

Doyoung tidak menduga bahwa serangan itu akan datang detik ini.

Halte belakang kampus tempatnya berpijak kini terasa berputar-putar. Denyut di kepalanya perlahan berubah menjadi sejumlah hantaman dalam tempo cepat, mengambil alih keseimbangan tubuhnya, hingga ia memegangi kepalanya dan bertumpu pada kursi besi dalam halte.

Dia merasa sangat pusing, dan tidak ada siapa-siapa yang bisa membantunya di sana. Sinar matahari seakan lenyap—atau ia yang memejamkan mata—entah, Doyoung tak tahu pasti.

Ini bukan pertama kalinya terjadi, Doyoung tahu serangan ini tidak akan lama. Mungkin sekitar lima menit, namun selama lima menit itu ia tidak akan bisa merasakan gravitasi bumi, semuanya berputar dan berdenging, terus-menerus, sampai akhirnya ia akan mendapati dirinya berlutut di trotoar halte yang kotor itu.

Hantaman di kepalanya terus berlanjut, kali ini dalam tempo yang jauh lebih rapat dari sebelumnya. Telinganya masih berdenging, namun sekarang ada suara seorang perempuan yang seperti berbicara dalam air.

“Kak Doyoung?”

Doyoung berusaha mencari sumber suara itu, tapi dengungan di telinganya terasa lebih keras.

“Kak Doyoung!” Lagi. “Kak Doyoung!!!” Lagi.

Dalam hati, Doyoung meminta untuk terus dipanggil sebab ia tidak mau kehilangan kesadaran.

“KAK DOYOUNG! BANGUN!!!”

Dan seolah terbangun dari tidur panjang, Doyoung membuka matanya. Sinar matahari yang terik membuatnya mengernyit, wajah seseorang yang berlutut di depannya juga tak nampak jelas, tapi dengungan itu telah sirna. Begitupun dengan hantaman keras di kepalanya.

“KAK DOYOUNG! BANGUN ANJRIT ADA ORANG GILA ITUUUU!”

Sagita?

Harusnya Doyoung sudah bisa menduga. Siapa lagi perempuan bersuara cempreng yang selalu memanggilnya ‘Kak’ dengan nada sok imut?

“KAK DOYOUNG! DEMI CANGCUT RYAN GOSLING YA, KALO GUE GAK NAKSIR LO, LO UDAH GUE TINGGAL AAAA!” teriak Agit sembari menarik-narik lengan Doyoung, sementara Doyoung masih nyaman duduk di trotoar jalan, bersandar di kursi halte, dan sibuk mencerna apa yang tengah terjadi.

Merasa frustasi, Agit kembali berlutut, lalu memegangi kedua pipi Doyoung dengan panik. “Kak, lihat ke sana! Lo liat apa? Iya, gue di kejar orang gila! Bangun, lo mau dipeluk sama tuh orang gila? AYOOO BANGUN, DIA GAK PAKE BAJU AAAA!”

Setelah menoleh ke kiri, Doyoung mengerjap melihat seorang pria dewasa tanpa busana berlari-lari di tengah jalan. Tenggorokannya terasa kering seketika, kemudian buru-buru bangkit dan menarik serta tangan Agit agar ikut berlari dengannya.

“Oh jadi ini gini rasanya...” Agit berceloteh sendiri. “Simulasi ya, Kak?”

Doyoung menoleh, melirik Agit dan sadar ODGJ di belakang ternyata semakin dekat. “Hah?” tanyanya bingung.

“Iya, simulasi.” Tangan mereka masih bertaut, keduanya terus berlari sampai tersengal, lalu Agit melanjutkan, “simulasi kawin lari HAHAHAHA.”

Mendengar itu, Doyoung segera menghentikan langkahnya.

“Iya, tuh calon suami lo di belakang!” balasnya ketus. “Ini apaan lagi pegang-pegang?”

Doyoung menghempaskan genggamannya di tangan Agit, bikin Agit melotot seketika.

“Eh? Lo ya yang narik—“ Belum sempat Agit memprotes, Doyoung sudah berlari meninggalkannya lebih dulu.

“LARI! JANGAN LIAT KE BELAKANG!” teriak Doyoung. “SAMA JANGAN LUPA CALON SUAMI LO PAKEIN BAJU, TUH!”

Agit semakin melotot. “SINTING LO!” umpatnya, tapi tak ayal tertawa juga.