Percakapan Jam Sembilan

[Agit]

Wajahku menabrak punggung seseorang ketika berhasil membuka pagar dan berlari keluar rumah dengan tergesa.

Aku mengenali jaket jeans yang dipakainya, mengenali aroma parfumnya, dan entah bagaimana... kurasa aku juga mengenali auranya yang menenangkan seperti ini.

Kak Doyoung.

Ia berbalik, membuatku buru-buru menunduk untuk menyembunyikan wajah. Aku tidak tahu, kenapa ia harus muncul sekarang. Kemudian teringat, Kak Doyoung memang selalu muncul di saat segalanya berantakan.

“Kak....” Aku masih menunduk, berbisik sembari menahan isak tangis. Kuulurkan tangan, menarik ujung lengan jaketnya. “Bawa gue pergi dari sini,” aku melanjutkan, parau.

Dari dalam rumah, seseorang memanggil namaku, menahanku agar tidak beranjak ke mana-mana. Mungkin karena itu, mungkin juga karena tubuhku yang bergetar dan terisak, Kak Doyoung kemudian menggenggam tanganku erat, menarikku pergi menjauh dari sana.


Taman komplek perumahanku sudah begitu sepi menjelang pukul sembilan malam. Aku bersandar di salah satu tiang permainan dengan satu kaki tertekuk, Kak Doyoung di sisiku melakukan hal yang serupa. Kami sama-sama terdiam lebih dari sepuluh menit. Sedikit banyak, kurasa Kak Doyoung sengaja membiarkanku menangis—sama seperti tempo hari.

Begitu tangisku mereda, aku memutuskan untuk bertanya.

“Kadang, gue suka penasaran dan mikir, seandainya gue terlahir di keluarga yang lain, apakah gue bakal bahagia? Apakah gue... bakal disayang?” Hening, lalu aku melanjutkan, “Tapi gue kadang mikir lagi, bukankah lebih mudah kalau gue gak pernah lahir sekalian? Iya, kan?”

Aku menoleh, mendapati lelaki di sampingku menghela napas berat.

“Jangan mikir gitu,” katanya. “Lo udah terlanjur lahir, jalanin aja.”

Jawabannya yang ketus itu mau tak mau membuatku sedikit tertawa. Pahit.

“Hidup bakal kerasa lebih berharga ketika lo sadar kalau hidup itu singkat.”

“Singkat... dan berat.” Aku mengangguk mengiyakan.

Kami kembali hening. Membiarkan suara serangga dan gemerisik dedaunan yang tertiup angin mengambil alih sementara.

“Tentang keluarga lo... emang apa yang mereka lakuin sampai lo nangis begini?”

Ditanya seperti itu, aku jadi ingin menangis lagi. “Gue gak tau apa yang salah, tapi gue ngerasa gak pernah cukup buat mereka. Gue gak mengerti maunya mereka apa, dan mereka gak paham maunya gue apa. Gue kayak... orang asing yang kebetulan berbagi rumah sama mereka.”

Aku memandang kedua ujung sepatuku yang memainkan dedaunan kering. Mengakui ketakutanku tentang orang-orang rumah pada Kak Doyoung menimbulkan sensasi aneh—aku tak pernah seterbuka ini pada siapapun.

“Lo tau gak, sih? Karena gue merasa gak pernah dianggap, gue jadi berusaha selalu memenangkan segala hal; karena dengan begitu, gue terlihat. Keluarga gue baru noleh ke gue kalau gue punya pencapaian. Dan ternyata, ketika gue mengenal dunia luar, kita ini emang hidup di mana ketika lo gak punya sesuatu yang ‘wow’ ya lo bukan siapa-siapa.”

Lewat ujung mata, aku tahu Kak Doyoung tengah menatapku dengan sepasang matanya yang tajam itu.

“Waktu Papa ngebanggain sepupu gue yang masuk PTN, gue rasanya benci diri gue sendiri karena ada yang lebih unggul dari gue. Waktu Mama selalu lebih merhatiin Haechan, gue benci diri gue sendiri karena gue gak tau gimana caranya jadi Haechan yang bisa bikin Mama ketawa sepanjang hari,” suaraku kembali bergetar, seperti ada tumpukan batu di tenggorokan. “Bahkan waktu Haechan selalu nempel sama Mbak karena dibeliin ini-itu, gue benci diri gue sendiri karena gue ngerasa gue bukan kakak yang baik. Gue berusaha... tapi hasilnya gak ada.”

Pandanganku memburam oleh airmata yang mendesak keluar, kugigit bibir sekuat-kuatnya; lelah terus menangis untuk hal-hal yang sama.

Lalu, entah sejak kapan tepatnya, Kak Doyoung berdiri menghadapku. Kedua tangannya yang dingin menangkup sisi-sisi wajahku, hela napasnya teratur, sorot matanya sendu; namun teguh.

Pelan, ia berlirih, “Lo, anak yang berharga. Lo... anak yang luar biasa.”

Aku tidak pernah mendengar seseorang mengatakan itu padaku. Sampai detik ini, Kak Doyoung melakukannya.

“Abaikan kata-kata orang yang bikin lo berpikir lo gak berguna, itu gak benar. Karena waktu lo lahir ke dunia, Tuhan udah menuliskan skenario hidup lo dengan indah, Git. Jangan terlalu keras sama diri sendiri, apalagi nyalahin diri lo ketika sesuatu berjalan di luar kendali.”

Seumur hidup, aku tak pernah mendengar hal itu. Tak ada yang pernah berkata bahwa apa yang telah kulakukan itu cukup. Bahwa apa yang kulakukan itu benar. Bahwa aku sudah memberikan yang terbaik. Sehingga aku terus berjalan, membabi buta, bingung sebenarnya apa yang kukejar karena tidak ada yang pernah memberitahuku untuk berhenti.

Kak Doyoung masih menatapku sendu, tangannya bergerak mengusap airmataku yang jatuh di pipi—namun yang lainnya justru terus berjatuhan. Aku terisak tanpa suara, hatiku hancur dan rasanya tak karuan.

Seumur hidup, ini adalah kali pertama aku merasa berharga.

“Makasih, Kak....”

“Hidup itu bukan kompetisi, Git. Lo gak harus menangin segala hal, atau ngalahin siapa-siapa,” ujarnya, pelan sekali. “Anggap aja kita ini lagi marathon, kecepatan setiap orang beda-beda, tapi garis finisnya kan sama aja.”

Lagi, aku dibungkam oleh kalimatnya yang baru pertama kali kudengar. Semakin kuperhatikan, semakin aku mengagumi bagaimana cara lelaki ini memandang dunia. Tatapannya yang luas, hatinya yang lapang, pemikirannya yang indah.

Kak Doyoung indah sebagaimana adanya.

Kemudian, kami berdua mematung di keheningan taman yang temaram itu, berpandangan untuk waktu yang lama, dan meskipun aku tak lagi terisak, detik itu aku merasa megap udara.

Sorot sendu di matanya masih ada, namun kini diiringi dengan seulas senyum lembut yang membuatku berdebar. Ia menebas jarak, tubuhnya begitu dekat sampai aku dapat merasakan hangat napasnya.

Keep your smile on, you look pretty with it.” Suaranya serak, terengah seolah merasakan berbagai emosi menyeruak.

Saat bibirnya menyentuh keningku, aku tercenung. He kissed me on my forehead.

Untuk sejenak, kurasa bulu kudukku meremang, akal sehat berhenti hanya karena ingin merasakan setiap detik berada begitu dekat dengannya.

Aku tidak tahu bagaimana raut wajahku begitu ia melangkah mundur, namun untuknya, saat itu, aku hanya ingin tersenyum—aku ingin ia tahu bahwa aku beruntung memilikinya di sisiku.

Sorry....

Alisku menukik. “Sorry for what?

“Yang tadi,” ia tergagap, menggaruk leher dengan kikuk. “... reflek,” lanjutnya.

Kak Doyoung salah tingkah. Dan menyadari itu, kurasakan pipiku perlahan-lahan memanas.

“Udah, ayo balik!”

“Ih, tungguin dong?”

“Jalannya cepetan, lelet!”

“Buru-buru banget kayak lagi ospek.” Aku mendengus, tapi tak ayal tersenyum juga. “Masa pacarnya ditinggal gini, sih, Kak?”

Kak Doyoung tiba-tiba berhenti melangkah, membuatku lagi-lagi menabrak punggungnya sampai terjungkal.

“Gue bukan pacar lo!”

“Terus lo nyium kening cewek yang bukan pacar lo, dong?”

Ia kembali menggaruk tengkuk, kehilangan kata-kata.

“Intinya kita gak pacaran!”

“Yaudah, ta'aruf!”

“Basing lo aja,” tukasnya, kemudian berjalan lebih dulu dengan langkah menyentak seperti ingin menunjukkan kekesalannya. Ya ampun, how cute.

Aku baru ingin berlari untuk mengejar langkahnya dan menghujaninya dengan berbagai godaan lagi ketika kulihat sebuah botol transparan berukuran kecil terjatuh di aspal.

Ada butir-butir tablet obat di dalamnya. Tanpa pikir panjang, kuraih botol itu, dan memasukkannya ke dalam saku.

“Kak... tungguin, ih!”

“Jalan lo lama kayak keong!”

Setelah berteriak seperti itu, Kak Doyoung menungguku di ujung jalan. Cih, dasar tsundere.