We accept the love that we think we deserve, isn’t it?
Itu adalah pertama kalinya Agit datang ke klub malam.
Jam yang melingkar di tangannya menunjuk pada angka sepuluh—jam yang bagus untuk belajar, dan ia justru terduduk di meja bar dengan Jeffrey yang cengengesan di sebelahnya.
Agit tahu berada di sini, mendengarkan musik jedag-jedug, menonton pertunjukan DJ, dan menyaksikan crowd yang semakin liar di dance floor sana adalah tindakan paling tidak bijak yang bisa ia lakukan—namun malam ini, biarlah itu terjadi. Agit lelah, ia ingin membebaskan pikirannya malam ini saja.
Toh, tak jauh dari tempatnya, Karin dan Lucas tetap mengawasi.
“Mau minum apa, Git?”
Agit memandangi deretan botol-botol minuman di hadapannya, lalu berkata, “Amer, sayang.”
Jeffrey terbahak kencang. “Lagu lo amer, udah pernah kobam belom?”
“Belom, ya ini gue mau nyoba!”
“Jangan, deh. Ntar gue yang berabe.” Jeffrey menyeringai jahil, kemudian berpaling pada seorang barista. “Lemon tea aja satu, gue yang biasa.”
Agit buru-buru memprotes. “Masa gue udah jauh-jauh ke sini minumnya lemon tea? Tau gitu ke warung aja gue beli teh jus lemon, anjir.”
“Anak kecil gak boleh mabu-mabu ucul!” Jeffrey tertawa lagi sembari mengacak rambut Agit. Untuk sesaat, Agit merasa perutnya geli. Mungkin karena di bawah remang lampu seperti ini, Jeffrey nampak sangat nakal—nakal dan sedikit, sedikiiiiit menggemaskan.
“So... what did he say?” Jeff menopang dagu memandang Agit, segelas lemon tea dan satu sloki Smirnoff ada di antara keduanya. “Dia bilang lo bukan tipe dia?”
“Nggak.” Agit menghela napas. “Gue juga gak tau maksudnya gimana, but he said he is enough. He can’t be with me.”
Jeffrey terkekeh rendah. Menertawakan Agit dan menertawakan dirinya sendiri.
“Tapi lo tau gak sih, Jeff? Kak Doyoung tuh gak jelas, dia selalu abu-abu. Dia gak pernah benar-benar nyuruh gue buat pergi, semakin dia nyuruh gue pergi gue malah ngerasa dia minta gue buat stay. Paham gak?”
“Perasaan lo doang itu mah!” Jeff menyentil pelan jidat Agit. “Itu mah maunya lo kali disuruh tinggal, padahal Doy emang nyuruh lo pergi dari awal,” ujarnya, membuat Agit cemberut. “Dari tiga tahun lalu, maksud gue.”
“Ah, ee onta lo!”
“Jadi lo mau nyerah atau bertahan?”
Agit menyeruput lemon tea-nya, hambar—sama seperti perasaannya saat ini. “Gue mau berjuang lagi,” jawabnya, Jeffrey mendecih.
Di titik ini, Jeffrey merasa bodoh setengah mati. Menemani perempuan yang dicintainya memperjuangkan laki-laki lain, what an idiot.
Tapi ia tidak bisa bohong, melihat Agit segalau ini, Jeffrey senang karena ia adalah orang pertama yang Agit cari.
“Gue rasa, lo sebegitu kerasnya merjuangin dia bukan karena lo cinta dia, tapi karena lo gak tau apa itu cinta dan semakin keras lo berusaha membuktikan kalau itu cinta; justru lo semakin jauh dari makna cinta itu sendiri.”
Kalimat Jeffrey membuat kerongkongan Agit terasa kering seketika. Ia mengaduk lemon tea-nya, tertawa seolah-olah ada yang lucu.
“Mungkin lo bener, lo bener tentang gue yang gak tau apa itu cinta, atau gue yang semakin jauh dari makna cinta,” balasnya, kemudian menaikkan pandangan, menatap Jeffrey tepat di manik mata. “Tapi gue mau, Jeff... gue mau percaya kalau cinta bener-bener ada di antara gue sama dia.”
Jeffrey membatu, larut dalam tatapan mata Agit detik itu. Ada sesuatu yang membayang di mata Agit, sesuatu seperti kesedihan yang telah lama sekali ia pendam. Lalu, tahu-tahu saja Agit meraih gelas sloki miliknya, menenggak habis minuman di sana.
“Eh, bego! Punya gue itu!”
“AISHHHH RASANYA KAYAK KENCING GOBLIN.” Agit meringis, menaruh kembali sloki ke atas meja. “Mas, satu lagi ya,” tambahnya pada si barista, sengaja mengabaikan pelototan Jeffrey.
“Git, kalo lo mabok gue gak tanggungjawab, ya.”
“Tenang, ada temen-temen gue di belakang.” Jeffrey menoleh, dan mendadak lega karena Agit benar.
“No one taught me what love is, or how love actually works.” Agit kembali menceracau, pipinya mulai kemerahan. “No one has ever treated me special, or hold my hand with great affection, and sometimes give me appreciated along with a warm hug. Itu semua cuma mampu gue bayangin, tanpa pernah benar-benar kejadian. Hal yang gue dapat ketika gue suka sama seseorang, adalah kebalikan dari itu,” ia melanjutkan, getir sekali.
Jeffrey menopang dagu, menyimak. Jika seseorang melihat cara Jeffrey memandang Agit detik itu, orang tersebut pasti akan menyimpulkan betapa Jeff mengagumi perempuan di hadapannya.
“It’s kinda sad but you know, I'm getting used to being treated that way,” bisiknya, menenggak lagi minuman dalam sloki. “Jadi ketika sekarang lo datang, offering so much affection, honestly, i’m a bit scared.”
Jeffrey tak mengintrupsi, sengaja membiarkan Agit mengeluarkan segala keluh-kesahnya.
“Lo itu asing buat gue, Jeff....” suaranya bergetar, terasa pilu. “Kasih sayang lo, perhatian lo... semuanya asing.”
Musik masih bergema dengan meriah, kerumunan pengunjung juga semakin heboh. Namun Jeffrey seolah tuli, justru bersama Agit di sini, mendengar gadis itu bercerita, ia merasa dunia telah meninggalkannya.
Agit kini sudah setengah sadar, perlahan-lahan matanya menutup. Dan sebelum benar-benar tertidur, ia melempar senyuman pada Jeffrey, kemudian bergumam, “We accept the love that we think we deserve, isn’t it? And i know i dont deserve you.”
Setelah itu semuanya hening. Jeffrey mengulurkan tangannya tepat sebelum kepala Agit membentur meja, lalu membiarkan gadis itu tertidur di atas tangannya.
“Gue juga bukan cowok baik, Git.” Jeffrey membisik lirih, merapikan helai-helai rambut Agit yang menutupi setengah wajahnya. “How can you think you don't deserve me?”