90’s Fest
Dari atas panggung tempatnya berdiri, dua orang yang berteduh di salah satu stand makanan nampak tengah berbagi tawa.
Jeffrey mendecih. Doyoung benar-benar telah menerima bendera perang yang dikibarkan olehnya.
Aneh, biasanya persaingan seperti ini membuat adrenalin seorang Jeffrey semakin memburu. Tapi kali ini melihat bagaimana Agit menengadah dan tersenyum tiap kali Doyoung menunduk kepadanya, Jeffrey benar-benar kesal bukan main.
Jauh, jauh di dalam Jeffrey tahu, ia tidak ingin bersaing dengan temannya sendiri. Terlebih, temannya ini adalah Doyoung—yang selama eksistensinya di kampus belum pernah sekalipun terdengar kabar dekat dengan seorang perempuan. Sepintas, Jeff pernah berpikir Doyoung punya orintasi seksual menyimpang, dan jelas saja melihat Doyoung tersenyum seramah itu pada perempuan membuat Jeff bersyukur dugaannya salah.
Tapi kenapa harus Agit? Kenapa harus cewek konyol itu?
“Ck!” Jeffrey mendengus, mengenyahkan pikirannya barusan sembari melanjutkan menggulung kabel. “Yang tolol itu lu, Jeff. Udah tau Agit konyol, udah tau Agit naksirnya sama Doyoung, malah lu demenin. Emang tolol!” lanjutnya lagi, dongkol setengah mati.
Setengah jam berjalan tak tentu arah di bawah terik matahari jam 2 siang, ternyata tak cukup membuat Agit merasakan panas sedikitpun. Justru, bersama Doyoung di sisinya seperti ini, ia merasa seolah sedang berbaring di lantai masjid. Adem.
Blue Jeans dari Gangga diputar keras-keras dari speaker panggung di depan sana. Sebentar lagi, 90’s Fest akan dimulai—meski resminya para bintang tamu baru akan tampil nanti malam. Acara itu adalah acara musik tahunan anak-anak Teknik, Agit bahkan sempat melihat Jeffrey ikut menyiapkan berbagai hal di atas panggung.
Jeff sempat tersenyum sumringah saat mata mereka bertemu, namun senyum itu lekas surut begitu sadar siapa sosok yang tengah bersamanya.
Ada setitik rasa bersalah dalam hati Agit setelah memarahi Jeff di chat beberapa hari lalu. Menfess dan omongan orang-orang itu mungkin memang berkat Jeff, tapi tidak seharusnya ia semarah itu sebab rasa traumanya di SMA seharusnya bisa ia kendalikan sendiri. Jeffrey tidak bersalah untuk itu. Ah, Agit harus minta maaf kapan-kapan.
“Lagi mikirin apa?”
“Eh?”
“Panas gak?”
“Nggak, Jeff—“
Doyoung diam, Agit diam, keduanya berpandangan.
“Maksud gue, Kak—“
Doyoung mengangguk sekilas, mengabaikan Agit. “Lagi mikirin Jeffrey?”
“Ih, nggak? Gue gak mikirin apa-apa, hahahaha gue kan gak bisa mikir.” Lelucon yang payah, Agit ingin memukuli kepalanya sendiri pakai catokan rambut. Tahu Doyoung tidak mempercayai ucapannya, ia buru-buru melanjutkan, “Nggak, gue cuma kepikiran aja... gue banyak salah ke dia, kayaknya gue harus nemuin dia deh nanti.”
“Gih, sana,” ucap Doyoung, melipat tangan di depan dada.
“Ya nggak sekarang juga?”
“Tuh, Jeffrey udah turun dari panggung,” bibir Doyoung kali ini mengerucut. Gemas.
“Ngapain gue nyamperin Jeffrey yang turun dari panggung?” Agit mengulum senyum. “Kalau di samping gue ada bidadara yang baru aja turun dari surga?”
Harusnya Doyoung tidak tersenyum. Harusnya bibirnya tidak semudah itu tertarik membentuk seulas garis lengkung hanya karena bualan random khas Agit. Tapi hatinya berkhianat, ia tidak bisa menahan rasa geli itu.
Tidak ingin harga dirinya turun, Doyoung segera berbalik dan meninggalkan Agit.
“Loh? Mau ke mana?” tanya Agit sembari menyusul. “Lo gak boleh ke surga lagi, Kak!”
“Git!” seru Doyoung, berhenti melangkah. “Kita berdua sama-sama udah dewasa, jadi kalimat cheesy ala anak SMP begitu gak mempan lagi buat gue.”
“Masa sih, lo gak senyum sama sekali? Kayaknya tadi gue lihat lo senyum....”
“Nggak!”
Doyoung menukas tajam, mengalihkan pandangannya ke segala arah. Agit justru tersenyum miring, tahu bahwa Doyoung salah tingkah.
“Really? Not even a tiny bit of smile?” Agit berjinjit, mencoba mencari segaris senyum yang mati-matian di tahan oleh Doyoung.
Gagal. Doyoung gagal total. Siapa juga yang tidak akan tersenyum jika mendapati mata berbentuk bulan sabit dengan tatapan penuh cinta seperti yang sedang Agit lakukan?
“I know you’re smiling,” bisik Agit, tepat di telinga Doyoung.
“Oh, shup up, Sagita!” Doyoung segera mundur beberapa langkah, melebarkan senyumnya yang sejak tadi tertahan.
“Ha! Got you!” Agit terkekeh, ia baru saja akan mendekat lagi, namun tangan Doyoung lebih dulu menahan kepalanya. “Ih? Gue tadi hampir aja berhasil nyium pipi lo tau!”
“Tau, makanya gue mundur.” Kedua alisnya bertaut, merasa cringe.
“Lo tadi bilang kita berdua sama-sama udah dewasa!”
“Bukan berarti lo bisa nyium-nyium gue!”
Agit berusaha memberontak, ingin melepaskan diri dari pegangan Doyoung di kepalanya. “Ok, fine! Lepasin, dong.”
“Jangan cium gue. Janji gak?”
“Suudzon banget?”
Doyoung mengesah. “Kalau itu lo, emang lebih baik negatif thinking.”
“Iya, janji. Gak akan cium-cium, lo kira gue cewek apaan?”
“Cewek gila. Konyol. Penuh obsesi. Ambisius. Aneh. Mesum—“
Belum selesai Doyoung bicara, Agit buru-buru memotong. Katanya, “Satu lagi... cantik.”
“Basing lo aja.”
Lagi, Doyoung berbalik dan berjalan meninggalkan Agit di belakang. Tapi kali ini, ia mengerutkan hidungnya, menggigiti bibir demi menahan rasa gemas bertubi-tubi.
Doyoung realized today how much he truly likes his little one, Sagita. She was completely pure with a smile in her eyes. Utterly, madly, adorable.
He likes her, he just doesn’t know when it started.