lakuin semua yang kamu mau....

[Doyoung]

Setelah memarkirkan mobil di garasi, Bunda membuka pintu dan segera menghampiri gue dengan raut khawatir bercampur lega. Gue tersenyum, menyalami Bunda dan mengecup puncak kepalanya sekilas.

“Bunda was-was kamu bawa mobil, tapi kalo gak dibolehin bawa mobil, malah naik metromini!” omelnya, mengusap bahu gue berulang kali. “Kenapa sih, Kak, gak mau diantar-jemput sama masmu aja?”

“Kakak udah gede, Bun. Masa diantar-jemput, ntar apa kata fans Kakak di kampus?”

“Kayak punya fans aja!” cibir Bunda sembari berlalu ke arah dapur. Mendengar kalimatnya itu, seketika gue ingin menceritakan tentang sosok Agit, tapi gue tahan karena belum waktunya.

“Kaki tanganmu gak pernah kebas lagi, Kak?”

Gue loncat-loncat di tengah rumah, sengaja menunjukkan pada Bunda bahwa gue baik-baik aja.

“Yaudah, cepat mandi terus makan.” Bunda mengangguk, sibuk menyusun lauk-pauk di atas meja.

“Siap, Ndoro!”

“Obat udah diminum?.”

Gue menggaruk tengkuk, bingung. “Kalau sakit baru diminum kan, Bun?”

“Ck, terus mau nunggu sakit dulu baru minum obat?”

“Tapi kan itu emang obat analgesik, gak baik diminum setiap saat. Kalau terlalu sering diminum bisa bahaya buat lambung juga, Bun.”

Kali ini, Bunda menaikkan wajahnya, menatap gue lurus-lurus. “Makanya mulai lagi pengobatan yang serius, bukannya minta obat penghilang rasa nyeri aja,” balasnya getir. “Mau ya, pengobatan lagi? Nurut sama Bunda ya, Kak?”

Gue mengusap wajah, menghampiri Bunda di sisi meja makan kemudian meraih tangannya. Gak seperti tangan gue yang dingin, kedua tangan Bunda hangat, bikin gue kepingin menggenggamnya semakin erat.

“Kita udah nyoba beberapa bulan lalu, hasilnya sama aja, kan? Gak ada perubahan yang berarti, kan?” tanya gue, mati-matian menahan nyeri di tenggorokan karena mata Bunda mulai berkaca-kaca. “Sakit, Bun. Kemoterapi sama radioterapi itu sakit.”

“Tapi kalau gak diobatin makin sakit kan...”

“Nggak, buktinya Kakak baik-baik aja sekarang.” Gue berusaha tersenyum. “Doyoung baik-baik aja, Bun. Doyoung bakal hidup selama yang Bunda mau, jadi jangan khawatir.”

Kemudian, sebuah rangkulan yang gak kalah hangatnya dari kedua tangan Bunda membawa gue ke dalam sebuah pelukan. Bunda menangis di balik punggung gue, tetes airmatanya membasahi baju gue, tapi gak ada hal lain yang bisa gue lakukan selain mengucapkan kebohongan-kebohongan tadi.

Bagaimana bisa gue mengakui bahwa setiap malam gue menggigil di balik selimut, merasakan pukulan-pukulan di sisi belakang kepala, terbangun dengan penglihatan yang berputar—dan terus terjaga sampai pagi karena setiap kali gue menutup mata, gue takut gue gak bisa terbangun lagi?

Bagaimana bisa gue ceritakan itu, bagaimana bisa gue melihat orang-orang di sekeliling gue bersiap merayakan kehilangan?

Ketimbang menyaksikan senyuman mereka perlahan-lahan memudar seperti kehidupan gue, bukankah lebih baik kalau sisa waktu ini gue habiskan dengan membahagiakan semua orang yang pantas gue bahagiakan?

Jadi, gue bisa pergi dengan tenang.

Jadi, ada ingatan baik tentang gue yang bisa mereka kenang.

“Doy ke atas dulu ya, Bun.” Gue membuang muka, menghindari tatapan Bunda.

“Kak?”

Tepat di atas anak tangga terakhir, gue berhenti melangkah karena panggilan Bunda. “Iya, Bun?” tanya gue tanpa berbalik.

Lama, Bunda sengaja menjeda kalimatnya.

“Maafin Bunda,” lirihnya, bergetar menahan tangis. “Lakuin aja apa yang Kakak mau, Bunda selalu dukung. Selagi masih ada waktunya, lakuin semua yang kamu mau, ya, Kak?”

Gue menengadah, memandangi langit-langit yang bias oleh cahaya lampu. Sebulir air mata jatuh dari sudut mata, buru-buru gue hapus sebelum yang lainnya ikut berjatuhan.

... lakuin semua yang kamu mau.

I will,” balas gue, tersenyum begitu menoleh pada Bunda. “I will...

Sebelum Bunda benar-benar menangis, gue segera beranjak ke kamar. Bayangan ketakutan itu tergambar jelas di wajah Bunda.

Ternyata mau sekeras apapun gue berusaha, pada akhirnya persiapan menyambut kehilangan itu tetap ada.