Tempat Singgah
By Alea
_
Kata orang, jatuh cinta adalah tentang kepada siapa kita berani patah hati?
Salahku. Salahku yang mencintainya tanpa pertimbangan apakah aku siap terluka atau tidak nantinya. Karena di penghujung hari ini, ketika matahari menggantung dengan bias-bias oranye yang jatuh di antara kami berdua, aku kembali dipaksa menyadari bahwa perasaannya tidak pernah untukku.
Dan anehnya, meski aku tahu aku mencintainya seorang diri, aku tak menyesal. Hanya saja rasanya tetap sulit. Melihatnya bahagia dengan orang yang lebih dulu ada di hatinya ketimbang diriku, rasanya sulit.
Sejauh ini, Seungwoo benar-benar telah membuktikan kalau di dunia; merelakan adalah bagian tersulit dari jatuh cinta.
“Kamu baik-baik aja, Le?”
Aku menghela napas, lalu menaikkan wajah untuk menatapnya. “Setelah kamu pergi terus sekarang kembali lagi atau setelah aku tau kalau kamu kembali bukan buat aku?” Pertanyaanku membuatnya bungkam, ada sedih yang melintas di kedua mata sayunya. Tapi aku lelah pura-pura tegar, aku ingin berhenti menjadi teguh, aku ingin ia tahu bahwa aku tidak baik-baik saja seperti harapannya.
“Maaf….” bisiknya, pilu sekali.
“Gak ada patah hati yang baik-baik aja, Woo. Dan jangan minta maaf, kamu bikin aku kelihatan jahat.”
“Terus aku harus gimana?”
Matahari semakin turun, tapi kami seolah terjebak di pembicaraan tentang bertahan atau melepaskan. Padahal, kami sama-sama tahu kemana akhir dari pertemuan ini, tapi detik rasanya bergerak begitu lambat. Atau mungkin aku yang memang sengaja mengulur waktu, agar aku dapat menikmati saat-saat bersamanya seperti ini, yang tidak akan pernah kumiliki lagi di kemudian hari.
Seungwoo duduk di depanku dengan jarak satu meja, di hadapannya segelas americano tak lagi mengepulkan asap. Sejak mata kami bertemu dan memimik kesedihan yang sama, aku sadar bahkan segelas kopi hitam kesukaannya pun tak lagi dapat menenangkan.
Aku meremas-remas jari di atas meja, mendapati Seungwoo sekacau ini membuatku merasa buruk. Kehadiranku di sini membebaninya, aku memang tidak pernah cukup untuknya.
“Aku dengar kalian bakal menikah?” tanyaku, tertunduk melihat cincin yang pernah mengikat kami berdua, cincin yang kini hanya melingkar di jariku, tidak di jarinya. “Kamu itu plin-plan, ya, Woo?”
Seungwoo mengangkat pandangannya, kedua alisnya bertaut mendengar kalimatku.
“Maksud aku, kenapa kita harus jalan sejauh ini kalau akhirnya cuma aku yang terluka?”
“Le….”
“Kenapa cuma aku yang jatuh cinta? Kenapa cuma aku yang bertahan buat hubungan yang seharusnya kita perjuangin sama-sama?”
“Azalea, please.”
“Kenapa… kita pisahnya gak baik-baik aja, Woo?” Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku tidak ingin jadi selemah ini di hadapannya, aku tahu di balik ketegarannya ia pun menanggung luka yang mungkin sama beratnya denganku. Dan kalau aku menangis, Seungwoo akan kembali menyalahkan dirinya sendiri, pada ketidakmampuannya menjagaku dan menjaga perempuannya.
Tapi mengetahui bahwa saat ini aku telah kalah, aku tidak bisa menguasai perasaanku sendiri. Sakit.
Seungwoo menatapku lamat-lamat, seolah kalau ia memejamkan matanya, aku akan hilang. “Kalau aku bisa, Le, aku juga mau ngelakuin semuanya dengan cara yang berbeda.”
“Harusnya kamu gak perlu pura-pura bahagia sama aku.” Senyumku menyungging, kemudian perlahan kulepas cincin yang pernah dipasangkannya di jari manisku; hari itu aku sungguh berpikir Seungwoo sudah meletakkan hatinya padaku dan bersedia menjalani perjodohan ini dengan senang hati. Nyatanya aku salah, mau seindah apapun caraku mencintainya, di matanya aku tetap bukan yang pertama. “Harusnya aku juga tau, dari awal kamu gak bisa ngelupain dia, kan?”
“Nara butuh aku.”
“Aku juga butuh kamu tapi kamu gak peduli.”
“Aku peduli.” Seungwoo menekan suaranya lebih dalam, aku selalu suka ketenangan yang menjadi ciri khasnya itu. Tapi kini, di tempatku duduk, ketenangan Seungwoo membuatku takut. Aku takut kalau ini semua menyakitinya lebih buruk dari bayanganku. “Aku peduli sama kamu, Le. Makanya aku milih berhenti sekarang sebelum semuanya semakin berantakan. Aku gak mungkin terus menerus minta kamu nunggu, kamu juga berhak bahagia, dengan atau tanpa aku.”
Bullshit.
Mudah mungkin bagi Seungwoo memintaku bahagia meski tanpa dirinya, karena meski tanpaku ia bisa bahagia dengan rumah lamanya. Tapi aku? Aku yang menjadikannya rumah, alasan untuk kembali, tempat untuk beristirahat, aku harus bagaimana jika ia tidak ada?
Perjodohan kami pun bukan aku yang menginginkannya. Itu dia. Seungwoo yang dengan kesadaran penuh menyetujui keputusan orangtua kami. Aku tidak pernah memintanya datang ke kehidupanku, sebaliknya, ia sendiri yang memasuki orbitku. Dan aku menerimanya. Kupikir, dulu, baik untukku jika aku bisa mengobati luka hatinya dan menjadi bahagianya yang baru. Meski aku sadar betul, di titik-titik tertentu, aku tidak bisa menggantikan posisi perempuan yang lebih dulu ada di hatinya.
Tapi aku bahkan mau menerima resiko itu mentah-mentah. Meski hatinya tidak pernah untukku seutuhnya, meski aku bukan prioritas utamanya, mencintainya tetap jadi hal terbaik yang telah aku sanggupi.
“Kamu kuat. Kamu perempuan paling kuat yang pernah aku kenal.” Seungwoo mendorong gelas kopinya menjauh, kemudian kedua tangannya membungkus tanganku yang sudah sedingin es batu. “Makasih udah bertahan, udah berjuang. Tapi kamu tau, Le? Beberapa hal di dunia ini kadang cuma butuh dilepaskan ketimbang terus digenggam.”
Detik itu, air mataku jatuh. Sungguh, tidak ada yang lebih menyakitkanku selain melihat bahwa apa yang kuperjuangkan justru menolak diperjuangkan.
“Semua perjuangan kamu udah cukup. Aku tau sebesar apa kamu cinta aku, setulus apa kamu sayang aku. Aku beruntung bisa jadi orang yang kamu sayang, Lea.” Seungwoo menghela napas, menarik senyumnya selembut mungkin kemudian mengusap-usap punggung tanganku. “Dan itu cukup, lebih dari cukup malah. Sejujurnya, aku yang ngerasa gak pantas dapat cinta sebesar itu dari kamu. Bagaimana mungkin, kamu selalu ngasih yang terbaik buat aku sementara aku ngasih setengah hati aku buat kamu?”
Bibirku bergetar lagi. Beginilah Seungwoo yang kukenal, Seungwoo yang penuh ketakutan pada dunia, Seungwoo yang merasa dirinya tak sempurna, Seungwoo yang selalu menyalahkan dirinya sendiri. Aku ingin memeluknya, ingin memberitahunya bahwa ada yang bisa mencintainya dengan sederhana, bahwa ada dunia dimana ia bisa diterima dengan apa adanya. Dunia itu; aku.
Mataku melirik lagi pada jendela bening di sisi kafe, langit kini sudah sepenuhnya gelap, aku tak seharusnya menunda perpisahan ini lebih lama lagi.
“Kamu juga tau, Woo, kalau mungkin di luar sana gak ada yang bisa mencintai kamu sehebat aku?” tanyaku, dan Seungwoo mengangguk beberapa detik setelahnya.
“Biar itu jadi hukuman aku,” katanya sembari terkekeh, tapi tawanya terasa hambar.
Hening kembali mengukung, tangannya masih sibuk mengusap-usap tanganku. Anggaplah aku gila, tapi sedikit banyak kurasa pantulan kesedihan yang membayang di matanya bukan semata-mata cerminan kesedihanku saja. Jauh di dalam, mungkin, Seungwoo juga tidak ingin perpisahan ini terjadi. Biar bagaimana pun, senyaman apapun ia dengan perempuan pilihannya, kami juga pernah sama-sama bahagia.
“Seungwoo?”
“Hm?”
“Pergi aja, Woo. Kamu udah baik tanpa aku.”
Aku tak ingin egois. Aku tak ingin terus menempatkannya pada persimpangan jalan yang membuatnya kesulitan memilih. Lagipula, Seungwoo benar. Sudah cukup aku menjalin hubungan ini seorang diri, menunggunya kembali sampai aku lupa sebenarnya apa yang aku tunggu.
Dua bulan setelah perjodohan konyol ini berlangsung, Seungwoo meninggalkanku pergi ke luar negeri karena Nara─perempuan yang memenangkan hatinya sekaligus mematahkannya berulang kali, membuatnya tak berdaya hari itu. Seungwoo bersembunyi, memilih menenangkan diri tanpaku, dan layaknya orang bodoh aku memaklumi patah hatinya, berharap setelah ia berhasil bangkit, maka tinggal bahagia yang menunggu kami berdua.
Dan aku benar. Seungwoo kembali, tapi kembalinya justru bukan untukku.
Rasanya lebih seperti, baik aku dan Seungwoo, kami memilih sama-sama tersakiti ketika pada kenyataannya kami bisa sama-sama bahagia.
Aku berdeham, memecah keheningan yang mengukung kami tanpa jeda. “Aku pamit, ya. Terimakasih pernah singgah walaupun gak pernah sungguh.” Kutarik tanganku yang masih dalam genggamannya, kemudian mendorong kursi dan bangkit berdiri. “Bahagia terus, Woo. Karena aku gak akan ada di sana lagi buat ngusap air mata kamu.”
Ini, baru perpisahan yang adil.
Seungwoo mengangguk, senyumnya disertai mata yang berkaca-kaca. Tolong, jangan buat aku ingin tinggal ketika kamu sendiri yang maksa aku buat pergi. Tolong….
“Aku bahagia selama kamu bahagia, Le.”
“Aku juga,” balasku, tersenyum dan menatap matanya dalam sebelum benar-benar berlalu dari sana.
Yang Seungwoo tidak tahu adalah, aku akan tetap mencintainya seperti biasa, seperti yang sudah kulakukan selama ini. Aku mungkin tak akan pernah mencintai lelaki lain sebesar aku mencintainya, dan untuk itu aku tidak menyesal.
Selamanya, mencintai Han Seungwoo tetap jadi hal terbaik yang telah aku sanggupi.
Teruntuk: Han Seungwoo
Seungwoo, bahagialah selalu. Sebab bahagiamu akan terus ada di atas bahagiaku. Aku melepasmu bukan karena aku berhenti menyayangimu, aku melepasmu karena aku tahu kamu sudah kembali ke tempat yang seharusnya. Kuharap, dia tak lagi membuatmu berada dalam hari-hari sulit yang membuatmu membutuhkanku.
Dan perihal perasaan ini, biarkan saja mati perlahan. Aku masih ingin mencintaimu, aku masih ingin memastikan kamu baik-baik saja meski tanpa aku.
Setidaknya karenamu, aku jadi mengerti satu hal baru tentang semesta; bahwa cinta, tak harus berakhir sama-sama.
Dariku,
Tempat singgahmu.