anandaleaa

Cafe Student itu letaknya tak begitu jauh dari Neocampus—jadi wajar saja jika pengunjungnya adalah mahasiswa-mahasiswi sana. Tapi, hal wajar itu jadi sebuah keajaiban bagi Agit karena siapa sangka, buah kemiskinannya yang tidak sanggup ke Sushi Box, justru membuatnya bertemu Doyoung di kafe murahan ini.

Di mejanya, beberapa potong sushi dan side dish lain sudah lama tidak tersentuh, Lucas dan Karin juga nampak malas menghabiskan makanan di piring, namun Agit masih anteng menggigiti sumpit sembari curi-curi pandang ke meja di dekat panggung.

Ada live music di panggung kecil itu, beberapa senior dari kampusnya sedang menyumbangkan lagu—tapi seorang Kim Doyoung, ia tetap tenang di kursinya, sesekali menertawai entah apa, yang membuat lingkar senyumnya itu menyungging dengan sempurna.

“Kak Doyoung kalo ketawa lucu banget, pengen bawa pulang buat calon mantu Mama,” celetuk Agit.

“Mama lo mau punya mantu kayak banteng partai begitu?” tanya Lukas, sibuk membersihkan sisa rumput laut di giginya.

“Banteng partai?”

“Iya, banteng PDIP. Mirip tuh sama Kak Doyoung, galak!” katanya lagi. Karin tertawa.

“Sekata-kata lo ngomong, jangan sampe ini sumpit gue pake buat ngerajut mulut lo ya, Kas!” Agit menoyor belakang kepala Lukas, lalu kembali memandangi meja di seberang. “Yang jadi pertanyaan tuh, Kak Doyoung mau gak jadi calon mantu Mama gue?”

“Kalo itu seluruh alam semesta juga tau jawabannya, pasti nggak!” Karin mendecak. “Kak Doyoung itu udah geli bin ilfeel sama lo, mundur aja deh.”

“Geli sama ilfeel itu cocok kalo yang lo omongin Agit yang dulu,” Agit balas mendelik. “Tapi, lihat gue sekarang. Look how pretty I am?

“Mau lo jelek mau lo cantik, lo tetep Sagita Gauri yang pernah nembak Kak Doyoung dulu. Dan itu gak berubah diingatan dia, bebel!”

“Terus gue harus jedotin aja kepalanya biar dia lupa ingatan?”

Lukas terkekeh. “Sebelum lo jedotin palanya, lo duluan yang dia headshot! HAHAHAHA.” Perbincangan ini cuma membuat Agit merasa semakin terpojok, jadi lebih baik dia sudahi dan memilih menopang dagu sembari memperhatikan sang pujaan hati.

Agit tahu beberapa kali Doyoung sadar dipandangi, tapi bukannya membuang muka seperti yang biasanya orang lain lakukan jika kepergok, Agit justru mengedipkan matanya—dan jelas saja, bikin Doyoung kesal bukan main.

“Git, ambilin semangka dong gue mager.”

“Lumpuh kaki lo, hah?”

“Mager,” Karin mengulang.

“Buru, Git. Gue juga mau,” Lukas ikut menimpali, yang akhirnya bikin Agit bangkit juga meski diiringi sumpah serapah.

Cafe Student itu sebenarnya restoran berkedok kafe yang menyajikan berbagai menunya ala prasmanan dan bisa diambil sepuasnya dengan sistem bayar sekali di awal. Sewaktu pertama kali masuk kuliah dulu, Lukas yang membawanya ke sini—tapi Agit sendiri tidak terlalu suka berkunjung karena baginya nasi padang yang di makan di depan laptop jauh lebih mantap daripada resto manapun.

Namun itu tidak berlaku lagi mulai hari ini, karena sepertinya besok-besok Agit akan rutin makan di Cafe Student untuk melihat Kak Doyoung pujaan hati.

Setelah mencapit satu potong semangka di bibirnya, ia bawa lagi dua potong semangka di tangan, kemudian berjalan hati-hati kembali ke mejanya. Ia sudah hampir sampai, saat tahu-tahu saja, seseorang dengan kaus putih polos menghadang jalannya.

“Hai. Sagita, ya?”

Agit bingung harus menjawab bagaimana, mulutnya sedang disumpal semangka.

Melihat Agit yang panik karena tak bisa menjawab, lelaki berlesung pipi ini tersenyum kecil. Manis.

“Rakus juga ya lo,” ujarnya, mengambil semangka di bibir Agit. “Suka semangka?”

Agit kikuk sendiri. “Nggak, itu buat teman-teman gue.”

“Tapi... suka, kan?”

“Suka apa?”

“Ya suka semangka, masa suka gue?” Lelaki ini tersenyum lagi, kedua dekik di pipinya muncul kian dalam.

Brengsek, ganteng banget. Hati Agit carut-marut.

“Oh iya, by the way gue Jeffrey.”

Jeffrey... seperti nama lelaki buaya. Setidaknya begitu isi pikiran Agit. Tapi Agit tidak bisa bohong, Jeffrey punya senyum yang hangat.

Thanks ya semangkanya!”

Entahlah senyum itu mengandung pelet atau memang seorang Jeffrey terlahir dengan pelet bawaan, rasanya Agit bagai terhipnotis tiap kali lelaki itu menampilkan lesung pipinya.

Ketika ia tersadar di detik berikutnya, Jeffrey telah berlalu dengan membawa semangkanya yang baru ia gigit sekali.

“Ganteng doang... makan semangka punya orang.”

Agit melenguh, terpaksa menahan emosi karena sekembalinya ia untuk mengambil semangka lagi, semangka itu telah habis.

Hari itu berjalan seperti yang sudah bisa Agit bayangkan. Selembar piagam penghargaan bertuliskan “Mahasiswa Berprestasi” beserta seikat bunga imitasi di tangannya telah ia ubah menjadi sepotret foto—yang kemudian ia kirimkan pada sang ayah.

Hari itu, benar-benar berjalan seperti bayangannya. Menghadiri acara kampus di auditorium, mendengar namanya diumumkan sebagai mahasiswa berprestasi di jurusannya, mengabari keluarga dan dapat ucapan selamat seadanya.

Hebat! Itu baru anak Papa!

Nah gitu, dong... juara 1. Fotoin piagamnya yang bagus, mau Mama masukin status WA

Asik. Makan-makan dong?

Kira-kira begitu balasan orangtuanya, sementara yang terakhir itu pesan tak diundang dari adiknya yang paling menyebalkan.

Sebenarnya, Agit tidak mengharapkan apa-apa. Baik balasan Papa dan Mama, keduanya tetap membuat senyum Agit terulas. Hanya saja kalau Agit boleh jujur, semuanya terlalu biasa untuk sesuatu yang ia perjuangkan dengan luar biasa.

Tapi, toh ia sudah menduganya, jadi ia tidak perlu terlalu kecewa.

Hari itu, persis seperti yang sudah ia bayangkan—hingga di satu titik, langkah kakinya yang tidak bersemangat jadi benar-benar berhenti, terpaku menghadap sosok yang berdiri tepat di hadapannya—dan detik itu Agit sadar, tidak semuanya berjalan seperti yang ia bayangkan.

“Kak Doyoung?”

Agit mampu merasakan betapa bergetar suaranya saat menyerukan nama itu. Namun, lelaki jangkung di depannya ini tidak bereaksi sama sekali.

“Kak Doyoung, kan?”

Bingung, Agit memastikan lagi.

“Lo siapa?”

Jika ada hal-hal yang masih Agit ingat mengenai seorang Kim Doyoung, itu adalah cara bicaranya yang amat sangat tidak ramah, juga tatapan matanya yang tajam seolah semua orang di muka bumi ini adalah musuhnya.

Agit menghembuskan napas, lalu memasang senyum terbaiknya. “Gue Agit, ingat gak? Ah, atau Sagita yang pernah nembak lo di sekolah dulu. Ingat?” Dengan jumawa, Agit menyibakkan uraian rambut panjangnya ke belakang, seakan ingin menunjukkan betapa cantik dirinya kini.

Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Doyoung justru mengernyit, kedua alisnya menukik sebal.

“Perlu gue ingat emang?” ketusnya, bikin Agit yang masih sibuk memainkan rambutnya jadi garing sendiri. “Minggir, lo ngalangin jalan gue.”

“Dih?” Agit ingin menghujat, tapi terlanjur kehabisan kata-kata karena Doyoung masih sekasar dulu rupanya. “Lo serius gak ingat gue karena gue terlalu berubah ya?” tanya Agit, enggan menyingkir.

Doyoung menatapnya lagi, jauh lebih tajam. Ditatap begitu tanpa aba-aba, Agit jadi pusing setengah mati.

“Wajar lo gak ingat gue, ya malah bagus sih, lupain aja Agit yang dulu hahaha. Sekarang, lo cuma boleh ingat Agit yang ini.” Agit menunjuk wajahnya sendiri sedemikian rupa, dengan Doyoung yang masih memperhatikannya acuh gak acuh.

“Biasa aja dong lihatnya, gue jadi deg-degan!?” Sadar ditatap sedalam itu, Agit salah tingkah.

Doyoung masih juga gak bersuara, bikin Agit jadi berspekulasi seenaknya. “Kak, jangan bilang lo naksir gue yang sekarang? Cepet banget? Padahal belom gue dukunin?” Mau gak mau, Agit ketawa sama kata-katanya sendiri.

Lalu, seperti adegan picisan ala drama Korea yang terlalu sering ia tonton, tawanya lekas memudar seiring wajah Doyoung yang mendekati wajahnya secara tiba-tiba. Jarak mereka kurang dari sepuluh senti saat itu, dan Agit tahu ia akan ambruk sesaat lagi jika Doyoung tak segera menjauh.

Namun, yang berikutnya terjadi, membuat lidahnya kelu bukan main.

Bisikan lelaki itu seperti petir di siang bolong.

“Lo... masih sama kayak dulu, gak berubah sama sekali.” Doyoung mendesis, memandangi Agit dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Bertahun-tahun berlalu dan lo masih sama aja, konyol.”

... Konyol?

Doyoung bergerak mundur, kembali ke posisi awalnya. Kemudian sebelum beranjak pergi, ia bersuara kembali, “Seinget gue terakhir kali kita kontakan, lo bilang kalo kita ketemu lagi lo pasti udah gak suka gue?”

Agit lupa pernah bilang begitu, tapi sepertinya iya.

“Tepatin. Dan yang terpenting... jangan ganggu gue.”

Setelah itu, Doyoung berlalu, meninggalkan Agit yang masih tepekur di tempatnya berdiri.

Surat Kedua Belas By Alea

Mungkin kita akan bersama lagi.

Mungkin, di suatu hari yang entah kapan akan tiba, kita akan dipertemukan lagi. Mungkin kita akan saling mencintai lagi, sama-sama merajut perasaan dengan banyak cinta sebagaimana pasangan yang lain. Mungkin. Bahkan jika tidak di kehidupan yang sekarang, mungkin di kehidupan yang berikutnya.

Ada beribu kata mungkin yang mengiringi kisah kita, tapi kemungkinan yang paling nyata justru adalah sebuah perpisahan.

Seungyoun, tahu tidak, aku sendiri bingung mana yang lebih buruk. Berhenti atau meneruskan perjalanan ini yang kian lama kian terasa sepi. Cerita kita seperti kehilangan nyawa, mau diperjuangkan pun, tetap saja senyummu tak bisa kubawa pulang. Kesannya seperti aku yang tidak bisa mengikhlaskan kepergianmu padahal orang-orang bilang sejak awal kamu memang tak pernah kumiliki.

Egois, ya? Namun kalau itu tentangmu, aku ingin selalu egois.

Pada semesta, aku sering memohon untuk mengembalikan keutuhanmu. Karena permulaan kita terlalu singkat untuk diakhiri, sampai rasanya tak ada satu pun hal yang bisa kukenang, sampai rasanya aku menyesal setengah mati karena aku belum membuatmu bahagia. Penyesalan ini menghantuiku, mau melangkah pun sulit karena aku ditinggal pergi tanpa pamit.

Kamu ke mana? Kenapa pergimu seakan tak mengenal kata kembali?

Seungyoun, aku sudah membaca sebelas suratmu. Surat-surat yang kamu tulis dengan tulisan tangan, yang setiap hurufnya menyimpan luka itu, semuanya sudah kubaca. Tak satu surat pun yang berhasil kuselesaikan tanpa air mata, karena entah kenapa, aku yakin kamu juga menulisnya sembari menangis, kan? Tidak usah bohong, kita sama-sama tahu tak ada perpisahan yang baik-baik saja.

Ingat tidak, di suratmu yang ke empat, kamu bilang kamu menulis surat itu di jam tiga pagi. Entahlah apa yang membuatmu tetap terjaga malam itu, aku hanya menyesal karena aku tidak bisa memelukmu.

Youn, andai kamu tahu, bahkan sampai detik ini perpisahan kita terasa seperti mimpi. Seolah kapan saja aku akan terbangun dari tidur panjang, dan kamu tetap ada, tidak ke mana-mana, di sini; di sampingku. Tapi kadang-kadang, justru aku merasa bahwa kebersamaan kita yang sebatas mimpi.

Lucu ya, bagaimana dunia mempermainkan kita dengan sebegitu jahatnya?

Perpisahan kita, membuatku semakin takut pada hari esok, Youn. Kalau aku bilang padamu, kamu pasti akan memarahiku lagi, kan?

“Nggak apa-apa, jangan takut, kan ada gue,” katamu, di suatu malam ketika aku mengeluh tentang hidup. Lalu kamu melanjutkan sembari mengusap pelan puncak kepalaku, “Gue bakal selalu ada di sini, bahkan di titik-titik terendah dalam hidup lo. Jadi jangan takut, lo bisa bersandar ke gue.”

Seungyoun, tahu tidak, bahwa hari itu aku mempercayai kata-katamu seolah tidak akan ada akhir untuk kita. Tapi lihat, apanya yang baik-baik saja jika kamu sendiri hilang? Apanya yang baik-baik saja jika kamu pergi dan tidak kembali lagi?

“Selangkah, dua langkah… lo boleh istirahat sebentar, lo boleh jalan pelan-pelan, asal jangan berhenti.”

“Emang kenapa kalau gue milih buat berhenti?” tanyaku, kamu cemberut.

“Lo di masa depan, butuh lo yang sekarang.” Kamu memainkan rambutku lagi sembari tersenyum. “Kita di masa depan juga, butuh lo yang sekarang buat terus berjalan. Gue gak mau kalau ternyata di masa depan, lo gak ada buat gue.”

Bohong!

Nyatanya, kamu yang hilang di masa depan. Nyatanya, kamu yang gak ada buat aku di masa depan. Aku melangkah sendirian, memunguti kenangan-kenangan kita yang tak pernah bersahabat dengan masa. Aku melewati lembar demi lembar cerita ini tanpa kamu─si tokoh utama, dengan harapan chapter yang menyedihkan ini akan menemui akhir yang bahagia.

Tapi kamu tahu tidak? Orang-orang bilang, cerita kita sudah berakhir, Youn. Bahwa saat ini, aku sudah berada di penghujung halaman, dan tetap tidak ada kamu, dan tetap tidak ada akhir yang bahagia untuk kita.

Inikah akhirnya? Benarkah?

Kalau memang iya, aku nanti pasti jadi yang paling merindukan kisah kita, merindukan apa yang pernah kita punya.

Bagian terburuk dari ini semua adalah, perlahan-lahan aku kehilangan diriku sendiri. Sebagian diriku ingin pergi, sebagian yang lain ingin bertahan, dan sisanya berdebat kenapa aku harus menunggu sesuatu yang sudah jelas kepergiannya.

Aku kehilangan diriku sendiri dalam perjuangan ini, Youn. Aku seperti bumi yang kehilangan porosnya, sementara kamu ternyata mengorbit di planet lain yang tidak ada aku lagi di sana. Aku kehilangan rumahku, sementara kamu telah membangun fondasi untuk penghuni lain dan tetap tidak ada aku di sana.

Aku tertinggal, bersama kenangan dan bayang-bayang.

Jika nanti kita bertemu lagi…

Ceritakan padaku, ceritakan padaku bagaimana hari-harimu tanpaku. Ceritakan padaku, bagaimana cara mereka menyayangimu. Ceritakan padaku, bagaimana dunia membahagiakanmu.

Dan, jika nanti kita mencintai lagi…

Mari jangan saling membuat janji, mari jangan terlalu banyak berharap. Mari membuat kenangan-kenangan ringan yang dapat kita kenang dalam hati masing-masing, tanpa penyesalan, tanpa perpisahan yang tiba-tiba juga akhir yang menyedihkan.

Jadi seandainya kita harus mengucapkan selamat tinggal lagi, kita bisa sama-sama berpaling tanpa rasa sakit.

Kini, pergilah… pergi dan temui semesta lain yang bisa menjagamu untuk waktu yang lama, semesta yang tidak menolak kehadiranmu, semesta yang bisa menerima dan mencintaimu lebih baik dariku, semesta di mana… semuanya tidak berakhir seperti kita.

Terimakasih, telah hadir.

Terimakasih, telah menjadi tempat tinggal terindah yang pernah kumiliki.


Kita selesaikan saja cerita yang juga nggak pernah dimulai ini. Terimakasih sudah mengizinkanku memilikimu. Setidaknya dalam hati… Setidaknya dalam penantian panjang ini…. — Rintik Sedu

Tempat Singgah By Alea

_

Kata orang, jatuh cinta adalah tentang kepada siapa kita berani patah hati?

Salahku. Salahku yang mencintainya tanpa pertimbangan apakah aku siap terluka atau tidak nantinya. Karena di penghujung hari ini, ketika matahari menggantung dengan bias-bias oranye yang jatuh di antara kami berdua, aku kembali dipaksa menyadari bahwa perasaannya tidak pernah untukku.

Dan anehnya, meski aku tahu aku mencintainya seorang diri, aku tak menyesal. Hanya saja rasanya tetap sulit. Melihatnya bahagia dengan orang yang lebih dulu ada di hatinya ketimbang diriku, rasanya sulit.

Sejauh ini, Seungwoo benar-benar telah membuktikan kalau di dunia; merelakan adalah bagian tersulit dari jatuh cinta.

“Kamu baik-baik aja, Le?”

Aku menghela napas, lalu menaikkan wajah untuk menatapnya. “Setelah kamu pergi terus sekarang kembali lagi atau setelah aku tau kalau kamu kembali bukan buat aku?” Pertanyaanku membuatnya bungkam, ada sedih yang melintas di kedua mata sayunya. Tapi aku lelah pura-pura tegar, aku ingin berhenti menjadi teguh, aku ingin ia tahu bahwa aku tidak baik-baik saja seperti harapannya.

“Maaf….” bisiknya, pilu sekali.

“Gak ada patah hati yang baik-baik aja, Woo. Dan jangan minta maaf, kamu bikin aku kelihatan jahat.”

“Terus aku harus gimana?”

Matahari semakin turun, tapi kami seolah terjebak di pembicaraan tentang bertahan atau melepaskan. Padahal, kami sama-sama tahu kemana akhir dari pertemuan ini, tapi detik rasanya bergerak begitu lambat. Atau mungkin aku yang memang sengaja mengulur waktu, agar aku dapat menikmati saat-saat bersamanya seperti ini, yang tidak akan pernah kumiliki lagi di kemudian hari.

Seungwoo duduk di depanku dengan jarak satu meja, di hadapannya segelas americano tak lagi mengepulkan asap. Sejak mata kami bertemu dan memimik kesedihan yang sama, aku sadar bahkan segelas kopi hitam kesukaannya pun tak lagi dapat menenangkan.

Aku meremas-remas jari di atas meja, mendapati Seungwoo sekacau ini membuatku merasa buruk. Kehadiranku di sini membebaninya, aku memang tidak pernah cukup untuknya.

“Aku dengar kalian bakal menikah?” tanyaku, tertunduk melihat cincin yang pernah mengikat kami berdua, cincin yang kini hanya melingkar di jariku, tidak di jarinya. “Kamu itu plin-plan, ya, Woo?”

Seungwoo mengangkat pandangannya, kedua alisnya bertaut mendengar kalimatku.

“Maksud aku, kenapa kita harus jalan sejauh ini kalau akhirnya cuma aku yang terluka?”

“Le….”

“Kenapa cuma aku yang jatuh cinta? Kenapa cuma aku yang bertahan buat hubungan yang seharusnya kita perjuangin sama-sama?”

“Azalea, please.

“Kenapa… kita pisahnya gak baik-baik aja, Woo?” Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku tidak ingin jadi selemah ini di hadapannya, aku tahu di balik ketegarannya ia pun menanggung luka yang mungkin sama beratnya denganku. Dan kalau aku menangis, Seungwoo akan kembali menyalahkan dirinya sendiri, pada ketidakmampuannya menjagaku dan menjaga perempuannya.

Tapi mengetahui bahwa saat ini aku telah kalah, aku tidak bisa menguasai perasaanku sendiri. Sakit.

Seungwoo menatapku lamat-lamat, seolah kalau ia memejamkan matanya, aku akan hilang. “Kalau aku bisa, Le, aku juga mau ngelakuin semuanya dengan cara yang berbeda.”

“Harusnya kamu gak perlu pura-pura bahagia sama aku.” Senyumku menyungging, kemudian perlahan kulepas cincin yang pernah dipasangkannya di jari manisku; hari itu aku sungguh berpikir Seungwoo sudah meletakkan hatinya padaku dan bersedia menjalani perjodohan ini dengan senang hati. Nyatanya aku salah, mau seindah apapun caraku mencintainya, di matanya aku tetap bukan yang pertama. “Harusnya aku juga tau, dari awal kamu gak bisa ngelupain dia, kan?”

“Nara butuh aku.”

“Aku juga butuh kamu tapi kamu gak peduli.”

“Aku peduli.” Seungwoo menekan suaranya lebih dalam, aku selalu suka ketenangan yang menjadi ciri khasnya itu. Tapi kini, di tempatku duduk, ketenangan Seungwoo membuatku takut. Aku takut kalau ini semua menyakitinya lebih buruk dari bayanganku. “Aku peduli sama kamu, Le. Makanya aku milih berhenti sekarang sebelum semuanya semakin berantakan. Aku gak mungkin terus menerus minta kamu nunggu, kamu juga berhak bahagia, dengan atau tanpa aku.”

Bullshit.

Mudah mungkin bagi Seungwoo memintaku bahagia meski tanpa dirinya, karena meski tanpaku ia bisa bahagia dengan rumah lamanya. Tapi aku? Aku yang menjadikannya rumah, alasan untuk kembali, tempat untuk beristirahat, aku harus bagaimana jika ia tidak ada?

Perjodohan kami pun bukan aku yang menginginkannya. Itu dia. Seungwoo yang dengan kesadaran penuh menyetujui keputusan orangtua kami. Aku tidak pernah memintanya datang ke kehidupanku, sebaliknya, ia sendiri yang memasuki orbitku. Dan aku menerimanya. Kupikir, dulu, baik untukku jika aku bisa mengobati luka hatinya dan menjadi bahagianya yang baru. Meski aku sadar betul, di titik-titik tertentu, aku tidak bisa menggantikan posisi perempuan yang lebih dulu ada di hatinya.

Tapi aku bahkan mau menerima resiko itu mentah-mentah. Meski hatinya tidak pernah untukku seutuhnya, meski aku bukan prioritas utamanya, mencintainya tetap jadi hal terbaik yang telah aku sanggupi.

“Kamu kuat. Kamu perempuan paling kuat yang pernah aku kenal.” Seungwoo mendorong gelas kopinya menjauh, kemudian kedua tangannya membungkus tanganku yang sudah sedingin es batu. “Makasih udah bertahan, udah berjuang. Tapi kamu tau, Le? Beberapa hal di dunia ini kadang cuma butuh dilepaskan ketimbang terus digenggam.”

Detik itu, air mataku jatuh. Sungguh, tidak ada yang lebih menyakitkanku selain melihat bahwa apa yang kuperjuangkan justru menolak diperjuangkan.

“Semua perjuangan kamu udah cukup. Aku tau sebesar apa kamu cinta aku, setulus apa kamu sayang aku. Aku beruntung bisa jadi orang yang kamu sayang, Lea.” Seungwoo menghela napas, menarik senyumnya selembut mungkin kemudian mengusap-usap punggung tanganku. “Dan itu cukup, lebih dari cukup malah. Sejujurnya, aku yang ngerasa gak pantas dapat cinta sebesar itu dari kamu. Bagaimana mungkin, kamu selalu ngasih yang terbaik buat aku sementara aku ngasih setengah hati aku buat kamu?”

Bibirku bergetar lagi. Beginilah Seungwoo yang kukenal, Seungwoo yang penuh ketakutan pada dunia, Seungwoo yang merasa dirinya tak sempurna, Seungwoo yang selalu menyalahkan dirinya sendiri. Aku ingin memeluknya, ingin memberitahunya bahwa ada yang bisa mencintainya dengan sederhana, bahwa ada dunia dimana ia bisa diterima dengan apa adanya. Dunia itu; aku.

Mataku melirik lagi pada jendela bening di sisi kafe, langit kini sudah sepenuhnya gelap, aku tak seharusnya menunda perpisahan ini lebih lama lagi.

“Kamu juga tau, Woo, kalau mungkin di luar sana gak ada yang bisa mencintai kamu sehebat aku?” tanyaku, dan Seungwoo mengangguk beberapa detik setelahnya.

“Biar itu jadi hukuman aku,” katanya sembari terkekeh, tapi tawanya terasa hambar.

Hening kembali mengukung, tangannya masih sibuk mengusap-usap tanganku. Anggaplah aku gila, tapi sedikit banyak kurasa pantulan kesedihan yang membayang di matanya bukan semata-mata cerminan kesedihanku saja. Jauh di dalam, mungkin, Seungwoo juga tidak ingin perpisahan ini terjadi. Biar bagaimana pun, senyaman apapun ia dengan perempuan pilihannya, kami juga pernah sama-sama bahagia.

“Seungwoo?”

“Hm?”

“Pergi aja, Woo. Kamu udah baik tanpa aku.”

Aku tak ingin egois. Aku tak ingin terus menempatkannya pada persimpangan jalan yang membuatnya kesulitan memilih. Lagipula, Seungwoo benar. Sudah cukup aku menjalin hubungan ini seorang diri, menunggunya kembali sampai aku lupa sebenarnya apa yang aku tunggu.

Dua bulan setelah perjodohan konyol ini berlangsung, Seungwoo meninggalkanku pergi ke luar negeri karena Nara─perempuan yang memenangkan hatinya sekaligus mematahkannya berulang kali, membuatnya tak berdaya hari itu. Seungwoo bersembunyi, memilih menenangkan diri tanpaku, dan layaknya orang bodoh aku memaklumi patah hatinya, berharap setelah ia berhasil bangkit, maka tinggal bahagia yang menunggu kami berdua.

Dan aku benar. Seungwoo kembali, tapi kembalinya justru bukan untukku.

Rasanya lebih seperti, baik aku dan Seungwoo, kami memilih sama-sama tersakiti ketika pada kenyataannya kami bisa sama-sama bahagia.

Aku berdeham, memecah keheningan yang mengukung kami tanpa jeda. “Aku pamit, ya. Terimakasih pernah singgah walaupun gak pernah sungguh.” Kutarik tanganku yang masih dalam genggamannya, kemudian mendorong kursi dan bangkit berdiri. “Bahagia terus, Woo. Karena aku gak akan ada di sana lagi buat ngusap air mata kamu.”

Ini, baru perpisahan yang adil.

Seungwoo mengangguk, senyumnya disertai mata yang berkaca-kaca. Tolong, jangan buat aku ingin tinggal ketika kamu sendiri yang maksa aku buat pergi. Tolong….

“Aku bahagia selama kamu bahagia, Le.”

“Aku juga,” balasku, tersenyum dan menatap matanya dalam sebelum benar-benar berlalu dari sana.

Yang Seungwoo tidak tahu adalah, aku akan tetap mencintainya seperti biasa, seperti yang sudah kulakukan selama ini. Aku mungkin tak akan pernah mencintai lelaki lain sebesar aku mencintainya, dan untuk itu aku tidak menyesal.

Selamanya, mencintai Han Seungwoo tetap jadi hal terbaik yang telah aku sanggupi.


Teruntuk: Han Seungwoo

Seungwoo, bahagialah selalu. Sebab bahagiamu akan terus ada di atas bahagiaku. Aku melepasmu bukan karena aku berhenti menyayangimu, aku melepasmu karena aku tahu kamu sudah kembali ke tempat yang seharusnya. Kuharap, dia tak lagi membuatmu berada dalam hari-hari sulit yang membuatmu membutuhkanku.

Dan perihal perasaan ini, biarkan saja mati perlahan. Aku masih ingin mencintaimu, aku masih ingin memastikan kamu baik-baik saja meski tanpa aku.

Setidaknya karenamu, aku jadi mengerti satu hal baru tentang semesta; bahwa cinta, tak harus berakhir sama-sama.

Dariku, Tempat singgahmu.