meet you again
Hari itu berjalan seperti yang sudah bisa Agit bayangkan. Selembar piagam penghargaan bertuliskan “Mahasiswa Berprestasi” beserta seikat bunga imitasi di tangannya telah ia ubah menjadi sepotret foto—yang kemudian ia kirimkan pada sang ayah.
Hari itu, benar-benar berjalan seperti bayangannya. Menghadiri acara kampus di auditorium, mendengar namanya diumumkan sebagai mahasiswa berprestasi di jurusannya, mengabari keluarga dan dapat ucapan selamat seadanya.
Hebat! Itu baru anak Papa!
Nah gitu, dong... juara 1. Fotoin piagamnya yang bagus, mau Mama masukin status WA
Asik. Makan-makan dong?
Kira-kira begitu balasan orangtuanya, sementara yang terakhir itu pesan tak diundang dari adiknya yang paling menyebalkan.
Sebenarnya, Agit tidak mengharapkan apa-apa. Baik balasan Papa dan Mama, keduanya tetap membuat senyum Agit terulas. Hanya saja kalau Agit boleh jujur, semuanya terlalu biasa untuk sesuatu yang ia perjuangkan dengan luar biasa.
Tapi, toh ia sudah menduganya, jadi ia tidak perlu terlalu kecewa.
Hari itu, persis seperti yang sudah ia bayangkan—hingga di satu titik, langkah kakinya yang tidak bersemangat jadi benar-benar berhenti, terpaku menghadap sosok yang berdiri tepat di hadapannya—dan detik itu Agit sadar, tidak semuanya berjalan seperti yang ia bayangkan.
“Kak Doyoung?”
Agit mampu merasakan betapa bergetar suaranya saat menyerukan nama itu. Namun, lelaki jangkung di depannya ini tidak bereaksi sama sekali.
“Kak Doyoung, kan?”
Bingung, Agit memastikan lagi.
“Lo siapa?”
Jika ada hal-hal yang masih Agit ingat mengenai seorang Kim Doyoung, itu adalah cara bicaranya yang amat sangat tidak ramah, juga tatapan matanya yang tajam seolah semua orang di muka bumi ini adalah musuhnya.
Agit menghembuskan napas, lalu memasang senyum terbaiknya. “Gue Agit, ingat gak? Ah, atau Sagita yang pernah nembak lo di sekolah dulu. Ingat?” Dengan jumawa, Agit menyibakkan uraian rambut panjangnya ke belakang, seakan ingin menunjukkan betapa cantik dirinya kini.
Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Doyoung justru mengernyit, kedua alisnya menukik sebal.
“Perlu gue ingat emang?” ketusnya, bikin Agit yang masih sibuk memainkan rambutnya jadi garing sendiri. “Minggir, lo ngalangin jalan gue.”
“Dih?” Agit ingin menghujat, tapi terlanjur kehabisan kata-kata karena Doyoung masih sekasar dulu rupanya. “Lo serius gak ingat gue karena gue terlalu berubah ya?” tanya Agit, enggan menyingkir.
Doyoung menatapnya lagi, jauh lebih tajam. Ditatap begitu tanpa aba-aba, Agit jadi pusing setengah mati.
“Wajar lo gak ingat gue, ya malah bagus sih, lupain aja Agit yang dulu hahaha. Sekarang, lo cuma boleh ingat Agit yang ini.” Agit menunjuk wajahnya sendiri sedemikian rupa, dengan Doyoung yang masih memperhatikannya acuh gak acuh.
“Biasa aja dong lihatnya, gue jadi deg-degan!?” Sadar ditatap sedalam itu, Agit salah tingkah.
Doyoung masih juga gak bersuara, bikin Agit jadi berspekulasi seenaknya. “Kak, jangan bilang lo naksir gue yang sekarang? Cepet banget? Padahal belom gue dukunin?” Mau gak mau, Agit ketawa sama kata-katanya sendiri.
Lalu, seperti adegan picisan ala drama Korea yang terlalu sering ia tonton, tawanya lekas memudar seiring wajah Doyoung yang mendekati wajahnya secara tiba-tiba. Jarak mereka kurang dari sepuluh senti saat itu, dan Agit tahu ia akan ambruk sesaat lagi jika Doyoung tak segera menjauh.
Namun, yang berikutnya terjadi, membuat lidahnya kelu bukan main.
Bisikan lelaki itu seperti petir di siang bolong.
“Lo... masih sama kayak dulu, gak berubah sama sekali.” Doyoung mendesis, memandangi Agit dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Bertahun-tahun berlalu dan lo masih sama aja, konyol.”
... Konyol?
Doyoung bergerak mundur, kembali ke posisi awalnya. Kemudian sebelum beranjak pergi, ia bersuara kembali, “Seinget gue terakhir kali kita kontakan, lo bilang kalo kita ketemu lagi lo pasti udah gak suka gue?”
Agit lupa pernah bilang begitu, tapi sepertinya iya.
“Tepatin. Dan yang terpenting... jangan ganggu gue.”
Setelah itu, Doyoung berlalu, meninggalkan Agit yang masih tepekur di tempatnya berdiri.