Surat Kedua Belas By Alea

Mungkin kita akan bersama lagi.

Mungkin, di suatu hari yang entah kapan akan tiba, kita akan dipertemukan lagi. Mungkin kita akan saling mencintai lagi, sama-sama merajut perasaan dengan banyak cinta sebagaimana pasangan yang lain. Mungkin. Bahkan jika tidak di kehidupan yang sekarang, mungkin di kehidupan yang berikutnya.

Ada beribu kata mungkin yang mengiringi kisah kita, tapi kemungkinan yang paling nyata justru adalah sebuah perpisahan.

Seungyoun, tahu tidak, aku sendiri bingung mana yang lebih buruk. Berhenti atau meneruskan perjalanan ini yang kian lama kian terasa sepi. Cerita kita seperti kehilangan nyawa, mau diperjuangkan pun, tetap saja senyummu tak bisa kubawa pulang. Kesannya seperti aku yang tidak bisa mengikhlaskan kepergianmu padahal orang-orang bilang sejak awal kamu memang tak pernah kumiliki.

Egois, ya? Namun kalau itu tentangmu, aku ingin selalu egois.

Pada semesta, aku sering memohon untuk mengembalikan keutuhanmu. Karena permulaan kita terlalu singkat untuk diakhiri, sampai rasanya tak ada satu pun hal yang bisa kukenang, sampai rasanya aku menyesal setengah mati karena aku belum membuatmu bahagia. Penyesalan ini menghantuiku, mau melangkah pun sulit karena aku ditinggal pergi tanpa pamit.

Kamu ke mana? Kenapa pergimu seakan tak mengenal kata kembali?

Seungyoun, aku sudah membaca sebelas suratmu. Surat-surat yang kamu tulis dengan tulisan tangan, yang setiap hurufnya menyimpan luka itu, semuanya sudah kubaca. Tak satu surat pun yang berhasil kuselesaikan tanpa air mata, karena entah kenapa, aku yakin kamu juga menulisnya sembari menangis, kan? Tidak usah bohong, kita sama-sama tahu tak ada perpisahan yang baik-baik saja.

Ingat tidak, di suratmu yang ke empat, kamu bilang kamu menulis surat itu di jam tiga pagi. Entahlah apa yang membuatmu tetap terjaga malam itu, aku hanya menyesal karena aku tidak bisa memelukmu.

Youn, andai kamu tahu, bahkan sampai detik ini perpisahan kita terasa seperti mimpi. Seolah kapan saja aku akan terbangun dari tidur panjang, dan kamu tetap ada, tidak ke mana-mana, di sini; di sampingku. Tapi kadang-kadang, justru aku merasa bahwa kebersamaan kita yang sebatas mimpi.

Lucu ya, bagaimana dunia mempermainkan kita dengan sebegitu jahatnya?

Perpisahan kita, membuatku semakin takut pada hari esok, Youn. Kalau aku bilang padamu, kamu pasti akan memarahiku lagi, kan?

“Nggak apa-apa, jangan takut, kan ada gue,” katamu, di suatu malam ketika aku mengeluh tentang hidup. Lalu kamu melanjutkan sembari mengusap pelan puncak kepalaku, “Gue bakal selalu ada di sini, bahkan di titik-titik terendah dalam hidup lo. Jadi jangan takut, lo bisa bersandar ke gue.”

Seungyoun, tahu tidak, bahwa hari itu aku mempercayai kata-katamu seolah tidak akan ada akhir untuk kita. Tapi lihat, apanya yang baik-baik saja jika kamu sendiri hilang? Apanya yang baik-baik saja jika kamu pergi dan tidak kembali lagi?

“Selangkah, dua langkah… lo boleh istirahat sebentar, lo boleh jalan pelan-pelan, asal jangan berhenti.”

“Emang kenapa kalau gue milih buat berhenti?” tanyaku, kamu cemberut.

“Lo di masa depan, butuh lo yang sekarang.” Kamu memainkan rambutku lagi sembari tersenyum. “Kita di masa depan juga, butuh lo yang sekarang buat terus berjalan. Gue gak mau kalau ternyata di masa depan, lo gak ada buat gue.”

Bohong!

Nyatanya, kamu yang hilang di masa depan. Nyatanya, kamu yang gak ada buat aku di masa depan. Aku melangkah sendirian, memunguti kenangan-kenangan kita yang tak pernah bersahabat dengan masa. Aku melewati lembar demi lembar cerita ini tanpa kamu─si tokoh utama, dengan harapan chapter yang menyedihkan ini akan menemui akhir yang bahagia.

Tapi kamu tahu tidak? Orang-orang bilang, cerita kita sudah berakhir, Youn. Bahwa saat ini, aku sudah berada di penghujung halaman, dan tetap tidak ada kamu, dan tetap tidak ada akhir yang bahagia untuk kita.

Inikah akhirnya? Benarkah?

Kalau memang iya, aku nanti pasti jadi yang paling merindukan kisah kita, merindukan apa yang pernah kita punya.

Bagian terburuk dari ini semua adalah, perlahan-lahan aku kehilangan diriku sendiri. Sebagian diriku ingin pergi, sebagian yang lain ingin bertahan, dan sisanya berdebat kenapa aku harus menunggu sesuatu yang sudah jelas kepergiannya.

Aku kehilangan diriku sendiri dalam perjuangan ini, Youn. Aku seperti bumi yang kehilangan porosnya, sementara kamu ternyata mengorbit di planet lain yang tidak ada aku lagi di sana. Aku kehilangan rumahku, sementara kamu telah membangun fondasi untuk penghuni lain dan tetap tidak ada aku di sana.

Aku tertinggal, bersama kenangan dan bayang-bayang.

Jika nanti kita bertemu lagi…

Ceritakan padaku, ceritakan padaku bagaimana hari-harimu tanpaku. Ceritakan padaku, bagaimana cara mereka menyayangimu. Ceritakan padaku, bagaimana dunia membahagiakanmu.

Dan, jika nanti kita mencintai lagi…

Mari jangan saling membuat janji, mari jangan terlalu banyak berharap. Mari membuat kenangan-kenangan ringan yang dapat kita kenang dalam hati masing-masing, tanpa penyesalan, tanpa perpisahan yang tiba-tiba juga akhir yang menyedihkan.

Jadi seandainya kita harus mengucapkan selamat tinggal lagi, kita bisa sama-sama berpaling tanpa rasa sakit.

Kini, pergilah… pergi dan temui semesta lain yang bisa menjagamu untuk waktu yang lama, semesta yang tidak menolak kehadiranmu, semesta yang bisa menerima dan mencintaimu lebih baik dariku, semesta di mana… semuanya tidak berakhir seperti kita.

Terimakasih, telah hadir.

Terimakasih, telah menjadi tempat tinggal terindah yang pernah kumiliki.


Kita selesaikan saja cerita yang juga nggak pernah dimulai ini. Terimakasih sudah mengizinkanku memilikimu. Setidaknya dalam hati… Setidaknya dalam penantian panjang ini…. — Rintik Sedu