pencuri semangka

Cafe Student itu letaknya tak begitu jauh dari Neocampus—jadi wajar saja jika pengunjungnya adalah mahasiswa-mahasiswi sana. Tapi, hal wajar itu jadi sebuah keajaiban bagi Agit karena siapa sangka, buah kemiskinannya yang tidak sanggup ke Sushi Box, justru membuatnya bertemu Doyoung di kafe murahan ini.

Di mejanya, beberapa potong sushi dan side dish lain sudah lama tidak tersentuh, Lucas dan Karin juga nampak malas menghabiskan makanan di piring, namun Agit masih anteng menggigiti sumpit sembari curi-curi pandang ke meja di dekat panggung.

Ada live music di panggung kecil itu, beberapa senior dari kampusnya sedang menyumbangkan lagu—tapi seorang Kim Doyoung, ia tetap tenang di kursinya, sesekali menertawai entah apa, yang membuat lingkar senyumnya itu menyungging dengan sempurna.

“Kak Doyoung kalo ketawa lucu banget, pengen bawa pulang buat calon mantu Mama,” celetuk Agit.

“Mama lo mau punya mantu kayak banteng partai begitu?” tanya Lukas, sibuk membersihkan sisa rumput laut di giginya.

“Banteng partai?”

“Iya, banteng PDIP. Mirip tuh sama Kak Doyoung, galak!” katanya lagi. Karin tertawa.

“Sekata-kata lo ngomong, jangan sampe ini sumpit gue pake buat ngerajut mulut lo ya, Kas!” Agit menoyor belakang kepala Lukas, lalu kembali memandangi meja di seberang. “Yang jadi pertanyaan tuh, Kak Doyoung mau gak jadi calon mantu Mama gue?”

“Kalo itu seluruh alam semesta juga tau jawabannya, pasti nggak!” Karin mendecak. “Kak Doyoung itu udah geli bin ilfeel sama lo, mundur aja deh.”

“Geli sama ilfeel itu cocok kalo yang lo omongin Agit yang dulu,” Agit balas mendelik. “Tapi, lihat gue sekarang. Look how pretty I am?

“Mau lo jelek mau lo cantik, lo tetep Sagita Gauri yang pernah nembak Kak Doyoung dulu. Dan itu gak berubah diingatan dia, bebel!”

“Terus gue harus jedotin aja kepalanya biar dia lupa ingatan?”

Lukas terkekeh. “Sebelum lo jedotin palanya, lo duluan yang dia headshot! HAHAHAHA.” Perbincangan ini cuma membuat Agit merasa semakin terpojok, jadi lebih baik dia sudahi dan memilih menopang dagu sembari memperhatikan sang pujaan hati.

Agit tahu beberapa kali Doyoung sadar dipandangi, tapi bukannya membuang muka seperti yang biasanya orang lain lakukan jika kepergok, Agit justru mengedipkan matanya—dan jelas saja, bikin Doyoung kesal bukan main.

“Git, ambilin semangka dong gue mager.”

“Lumpuh kaki lo, hah?”

“Mager,” Karin mengulang.

“Buru, Git. Gue juga mau,” Lukas ikut menimpali, yang akhirnya bikin Agit bangkit juga meski diiringi sumpah serapah.

Cafe Student itu sebenarnya restoran berkedok kafe yang menyajikan berbagai menunya ala prasmanan dan bisa diambil sepuasnya dengan sistem bayar sekali di awal. Sewaktu pertama kali masuk kuliah dulu, Lukas yang membawanya ke sini—tapi Agit sendiri tidak terlalu suka berkunjung karena baginya nasi padang yang di makan di depan laptop jauh lebih mantap daripada resto manapun.

Namun itu tidak berlaku lagi mulai hari ini, karena sepertinya besok-besok Agit akan rutin makan di Cafe Student untuk melihat Kak Doyoung pujaan hati.

Setelah mencapit satu potong semangka di bibirnya, ia bawa lagi dua potong semangka di tangan, kemudian berjalan hati-hati kembali ke mejanya. Ia sudah hampir sampai, saat tahu-tahu saja, seseorang dengan kaus putih polos menghadang jalannya.

“Hai. Sagita, ya?”

Agit bingung harus menjawab bagaimana, mulutnya sedang disumpal semangka.

Melihat Agit yang panik karena tak bisa menjawab, lelaki berlesung pipi ini tersenyum kecil. Manis.

“Rakus juga ya lo,” ujarnya, mengambil semangka di bibir Agit. “Suka semangka?”

Agit kikuk sendiri. “Nggak, itu buat teman-teman gue.”

“Tapi... suka, kan?”

“Suka apa?”

“Ya suka semangka, masa suka gue?” Lelaki ini tersenyum lagi, kedua dekik di pipinya muncul kian dalam.

Brengsek, ganteng banget. Hati Agit carut-marut.

“Oh iya, by the way gue Jeffrey.”

Jeffrey... seperti nama lelaki buaya. Setidaknya begitu isi pikiran Agit. Tapi Agit tidak bisa bohong, Jeffrey punya senyum yang hangat.

Thanks ya semangkanya!”

Entahlah senyum itu mengandung pelet atau memang seorang Jeffrey terlahir dengan pelet bawaan, rasanya Agit bagai terhipnotis tiap kali lelaki itu menampilkan lesung pipinya.

Ketika ia tersadar di detik berikutnya, Jeffrey telah berlalu dengan membawa semangkanya yang baru ia gigit sekali.

“Ganteng doang... makan semangka punya orang.”

Agit melenguh, terpaksa menahan emosi karena sekembalinya ia untuk mengambil semangka lagi, semangka itu telah habis.