Pagi hari itu cerah, awan-awan putih berarak di langit biru muda, ketika Doyoung bertemu Agit untuk pertama kalinya.
Perempuan itu berdiri di tepi zebra cross, menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cemas namun tak kunjung memberanikan diri untuk melangkah.
Terlalu ramai... atau, tunggu abis mobil yang terakhir itu lewat, gumamnya.
Ketika mobil terakhir lewat, tiga motor di belakangnya justru menyusul, lalu mobil lagi, motor lagi, begitu seterusnya dan Agit tetap tak beranjak.
Menit berganti, gerbang sekolahnya hampir menutup dengan sempurna. Agit tak punya banyak waktu lagi, maka ia pun mengeratkan genggaman di tali tas ranselnya, dan bersiap menyebrang dengan gagah berani.
‘Brukkk!’
Entah apa yang Doyoung pikirkan hingga kakinya menabrak tong sampah, membuatnya berlutut di trotoar dengan setumpuk buku-buku yang kini tercecer bersama isi tasnya yang lain.
Tanpa pikir panjang, Agit segera menghampirinya. Membantunya memunguti buku dan pulpen, kemudian memasukkannya kembali ke dalam tas.
Namun, gerakan Agit lantas terhenti dan keningnya seketika mengerut bingung. Matanya semakin membulat kala melihat Doyoung tidak memungut—melainkan meraba benda-benda di sekitar mereka.
Sadar Agit memperhatikannya, Doyoung menaikkan wajah, hanya untuk mendapati paras gadis itu buram di pandangannya.
“Sori, jadi ngerepotin lo,” katanya singkat, kemudian buru-buru mengalihkan tatapan ke segala arah.
“Gak apa-apa,” Agit membalas sekenanya, masih terkejut menemukan dua sorot mata sekosong itu.
Setelah selesai, keduanya bersisian di pinggir zebra cross, sama-sama menunggu sampai jalanan sepi sementara dari dalam sekolah, lagu Indonesia Raya mulai terdengar.
Tadinya, Doyoung ingin mengandalkan gadis di sebelahnya untuk menuntunnya menyebrang jalan. Namun sampai bermenit-menit berganti, bahkan dalam pandangannya yang kabur, Doyoung tahu sedang tidak ada kendaraan melintas dalam jarak dekat, tetapi Agit tidak juga melangkah.
Lagu Indonesia Raya selesai dinyanyikan, berganti lagu mengheningkan cipta. Dan keduanya masih menetap di posisi yang sama.
Doyoung menghembuskan napas, sial, pikirnya. Seperti tidak cukup membuatnya buta pagi ini, semesta kini menjebaknya bersama gadis penakut di zebra cross—dan bersiap menerima hukuman sebab tak mengikuti upacara bendera.
Frustasi, Doyoung buru-buru melangkah, menarik serta tangan perempuan di sebelahnya, membawanya menyebrang jalan dengan langkah tergesa-gesa.
Doyoung tidak tahu, bahwa dari sana, dari keberanian kecilnya menggenggam tangan Sagita; takdir keduanya mulai bertaut.
Tangis, tawa, sedih, senang, kecewa... bersama segala emosi itu, semesta telah menggariskan takdirnya.
Takdir yang di kemudian hari entah harus mereka syukuri; atau justru disesali.
Dua bulan berlalu, dan segalanya tak sama lagi sejak hari itu.
Doyoung sedang menyelesaikan formula fisikanya di sudut terdalam perpustakaan ketika bisik-bisik dua orang perempuan mengganggu konsentrasinya.
Pada awalnya, Doyoung ingin segera mengintrupsi. Namun tak sampai hati saat samar-samar, ia kenali suara itu sebagai milik Agit—gadis yang sedang ia dekati.
“Ini serius chat lo sama Kak Doyoung?”
Mau tak mau, senyum Doyoung lantas terbit begitu mendengar namanya ada dalam percakapan dua insan itu.
“Yaiyalah, masa iya fake chat?”
“Ih, kok dia ramah banget chat sama lo, Git?”
Meski tak bisa melihat langsung, Doyoung tahu Agit sedang tersipu.
“Iya, kan? Makanya gue heran kenapa orang-orang bilang Kak Doyoung tuh titisan Abu Jahal?!”
Hampir saja Doyoung tersedak mendengar kalimat itu. Ia mendengus sebal, siapa juga yang mengatainya titisan Abu Jahal?!
“Padahal dia baik gitu ke gue. Selalu ngajak nyebrang bareng, terus akhir-akhir ini gue suka lihat dia makan bubur di tempat langgangan gue muehehe gemes!”
Doyoung kembali tersenyum, melupakan sejenak formula fisika di hadapannya.
“Fix sih... dia naksir gue ya, kan, Kar?”
Geer lo, balas Doyoung dalam hati. Tapi iya juga, kemudian ia melanjutkan lagi.
“Naksir lo? Hahaha, apa gak terlalu kepedean, Git?”
“Sedikit, sih.”
“Tapi kalau dilihat-lihat, emang Kak Doyoung kayaknya naro perhatian lebih ke lo gitu, deh.”
“Ya, kaaaan?! Gue pacarin aja apa?”
Doyoung menaikkan kedua alisnya terkejut, sementara di balik rak buku, Karin justru terkikik geli.
“Boleh, lumayan buat panjat sosial hahaha.” Ada nada meremehkan dalam kalimat tersebut, yang membuat Doyoung seketika kehilangan senyumnya. “Kak Doyoung kelihatannya agak nerd sih, tapi dia anak olim dan lagi ‘keren-kerennya’ karena baru balik dari Brussel. Kalau lo tiba-tiba jadi pacarnya, lo beruntung banget, Git!”
“Iya, hehehe. Keren banget pasti kalau gue bisa jadi pacar dia.”
Kali ini, entah kenapa, kalimat Agit tak lagi terasa menyenangkan.
“Lo bisa langsung terkenal, tuh! Beuhhh, jadi anak hits satu sekolah! Bayangin dong, Kak Doyoung yang kerjaannya semedi di perpustakaan mendadak punya pacar, lo bakal ngangetin anak-anak sekolah, Git!”
“Aaaaa! Mau! Mau pacaran sama Kak Doyoung!” Agit menjerit tertahan, terkikik-kikik bersama Karin.
Tanpa pernah tahu, percakapannya hari itu membuat Doyoung tak lagi memandangnya dengan cara yang sama.
Detik ini, berdiri di sini—di ujung lorong sekolah yang sepi, bersama Agit di hadapannya, Doyoung merasa deja vu; ia seperti tengah mengulang kembali masa lalu—atau ia yang pernah berjalan ke masa depan?—entahlah, Doyoung tidak tahu pasti.
Hanya saja, rasanya sama.
Ia ingat pernah memimpikan hari ini. Dalam mimpi itu, ia membuat perempuan di depannya ini menangis.
“Kak Doyoung... aku mau bilang sesuatu—“
“Bilang aja,” balasnya cepat, sengaja tak membiarkan Agit menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu.
Karena ia tahu.
Ia sudah tahu apa yang akan Agit katakan.
“Aku tau ini mungkin tiba-tiba, tapi... aku cuma mau Kakak tau soal perasaan aku. Aku suka Kakak!”
Persis. Kalimatnya sama persis seperti yang ia mimpikan.
Doyoung menatap Agit lurus-lurus. Ia ingat pernah melihat gadis ini di suatu masa, penampilannya nampak sedikit berbeda dengan penampilannya sekarang, tapi Doyoung tahu mereka orang yang sama.
Di masa yang entah kapan terjadinya itu, gadis ini menangis untuknya.
“Kak Doyoung mau gak jadi pacar aku?”
Pertanyaan itu bergema di koridor, menggantung lama dan tak kunjung terjawab sebab orang yang dituju justru mematung.
Doyoung tahu ia harus berkata apa.
Tapi jika ia mengatakan hal yang berbeda... apakah segalanya akan berubah?
Apakah masa depan... dapat diubah?
“Maaf....” Doyoung berbisik lirih. Ia mungkin akan menyesali keputusannya detik ini.
Mendengar itu, Agit segera menatapnya dengan kedua mata penuh kekecewaan, memerah dan siap menangis.
Doyoung kenal sorot itu, kesedihan itu, luka itu....
Lagi, hati kecilnya bertanya, ... bagaimana jika ia mengatakan hal yang berbeda?
Detik berlalu, menit berganti, keduanya terpaku dalam keheningan panjang.
Sampai di satu titik, Agit memilih berbalik, bersiap melangkah pergi dan membawa segala kecewa dalam hatinya.
Doyoung masih bergeming, memandangi punggung gadis itu sampai menghilang di tikungan lorong. Ia kembali berdebat, tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya ia katakan.
Tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya terjadi.
Tentang kekecewaan, kehilangan;
dan takdir.
Mungkin di masa depan.
Mungkin di masa yang lain....
Ya, mungkin.
Keduanya akan bersama, menjalin cinta, memandang dunia dengan cara yang berbeda, dan tentu saja... menjadi pemilik akhir yang bahagia.
Ya, mungkin.
Di masa yang lain, mungkin.[]
f i n ~