anandaleaa

Acara ulangtahun mertuanya itu digelar di ballroom sebuah hotel mewah. Dalam benaknya, Senja bertanya-tanya kenapa ulangtahun setua itu malah dirayakan besar-besaran—tapi tentu saja pertanyaan itu tak akan pernah ia utarakan, apalagi pada lelaki di sebelahnya ini.

Senja masih sibuk dengan sekelumit pikiran bodohnya itu tatkala ia merasakan telapak tangan yang hangat menggenggam miliknya. Ia menoleh, hanya untuk menemukan raut dingin khas Abbyan.

Tangannya hangat mukanya dingin, dispenser lo? Senja mencaci dalam hati.

“Ini kita harus pegangan tangan begini?”

“Kenapa? Baper?” Abbyan membisik, seraya menebar senyum pada tamu lain yang menyapa.

Senja mendelik sebal. “Kamu gak lebih waw daripada aktor-aktor papan atas yang pernah megang tangan aku ya, Mas.” Dijawab begitu, Abbyan sengaja meremas tangan Senja—membuat perempuan itu sontak melotot. “Jefri Nicol, Junior Roberts, Arbani Yasiz.... mereka aja tuh aku gak baper. Apalagi Abbyan Rafandra?”

“Bisa diem gak?”

“Mas kali tuh yang baper sama aku! Buktinya Mas duluan yang pegang-pegang.”

Abbyan hampir saja menepuk jidatnya sendiri, tak menyangka Senja ternyata sebawel ini.

“Ya, ya... anggap aja gue juga cuma megang tangan lo sebagai dokter dan pasien. Soalnya menurut gue lo sakit.” Kening Senja mengerut, dan Abbyan buru-buru melanjutkan. “Sakit... di sini,” katanya, sembari menunjuk kepala Senja.

Setelah berkata begitu, Abbyan menarik senyum—bahkan nyaris tertawa pongah jika saja ia tidak ingat ada begitu banyak mata yang memperhatikan mereka.

Senja ingin membalas, tapi tak sempat sebab Abbyan segera menarik tangannya menuju meja tempat keluarga besar mereka berada.

“Selamat ulangtahun ya, Pa.”

“Akhirnya datang juga anak Papa. Terimakasih, Abbyan.” Kedua anak ayah itu berpelukan sekilas, sebelum Danuarta kembali bersuara. “Istrimu mana?”

Dibalik tubuh Abbyan, Senja menarik napas dan menyiapkan senyum terbaiknya.

“Ada kok, Pa. Selamat ulangtahun, ya. Senja doakan Papa panjang umur, sehat selalu, dan semua yang Papa harapkan di tahun ini terwujud.”

Kalimat Senja yang seolah ia hapalkan dari skenario di kepalanya itu sontak diaminkan oleh para keluarga yang lain. Di seberang meja, Bunda dan Eyang tersenyum bangga padanya.

“Kalau gitu, harapan Papa yang satu ini tugas kalian yang mewujudkannya.”

Mendengar itu, kedua alis Senja bertaut, sementara Abbyan justru melingkarkan tangan di sekitar bahunya—membawanya dalam rangkulan yang mesra. Namun, seberapa mesra pun rangkulan itu, Senja bisa merasakan segalanya terasa canggung dan palsu.

“Papa mau apa emang?” tanya Abbyan akhirnya.

Danuarta melempar pandangan ambigu pada anaknya, kemudian terkekeh pelan.

“Papa mau cucu.”

Tiga kata.

Hanya tiga kata, tapi rasanya jantung Abbyan dan Senja telah menggelinding entah ke mana.


Semakin malam, pesta itu rupanya semakin meriah. Meski begitu, di keramaian ini Senja justru merasa kesepian. Bunda dan Eyang sudah pulang lebih dulu, sementara keluarga mertuanya itu juga menyusul pulang beberapa menit lalu.

Dari yang Senja dengar, pesta ini katanya sengaja dibuat selain untuk merayakan ulangtahun, juga sebagai hiburan untuk para tenaga kesehatan dan karyawan di rumah sakit mereka. Namun, setelah tak sengaja menguping pembicaraan sang eyang dengan ayah mertuanya, Senja merasa pesta ini lebih seperti merayakan keberhasilan bisnis Om Danu saja.

Lalu, seolah dunia ingin membuatnya lebih kecewa lagi, tak jauh dari tempatnya duduk detik ini, kedua matanya menemukan Abbyan di salah satu meja.

Ada seorang wanita bergaun sederhana yang juga duduk di sana.

Mendadak, Senja ingin tertawa. “Cucu?” tanyanya pada angin, kemudian tergelak sendiri.

“Cucu pantat gue!”

Menjelang malam, studio tempat pemotretan sudah mulai sepi. Meski begitu, Senja tak dapat menulikan telinganya dari bisikan orang-orang yang ditujukan untuknya—dan Genta, yang kini duduk di sebelahnya.

Senja memang tak pernah mempublikasikan hubungan mereka, namun tetap saja, title-nya sebagai perempuan bersuami mengundang gosip-gosip bertebaran dengan mudah hanya karena ia terlihat duduk bersama lelaki lain.

Melihat betapa tidak nyamannya Genta saat ini, membuat Senja merasa bersalah karena sudah meminta bertemu.

Babe—“

Genta menoleh dengan kedua mata membulat, raut panik bercampur geli bermain-main di wajahnya. Senja segera menutup mulutnya dengan tangan, hampir saja ia membuat situasi ini lebih buruk dari sebelumnya.

“Ta, sori ya... harusnya aku yang main ke rumah kamu bukannya minta kamu yang ke sini.”

It’s okay, yang penting aku bisa lihat kamu,” bisik Genta, sorot matanya melembut. “Harusnya aku yang minta maaf, aku gak bisa antar kamu pulang,” ia melanjutkan lirih, sembari memandang motornya di parkiran.

Senja mengikuti arah pandang Genta, dan seketika itu juga menyadari apa yang tengah lelaki itu pikirkan.

“Sebenarnya gak apa-apa tau antar aku pulang pake motor. Aku kan bisa pake helm sama masker, jadi gak ketauan, deh.”

Mendengar kalimatnya, Genta kembali menarik garis senyum yang sedikit dipaksakan. Ada sendu di sana, sesuatu yang kerap kali melintas di kedua mata lelaki itu ketika mereka bersama.

Senja bukannya tidak menyadari bahwa selama menjalin hubungan ini, Genta tidak percaya diri. Senja sadar itu, namun tak ada yang dapat ia lakukan agar segalanya membaik.

Dan detik ini, Senja melihat bahwa jarak mereka telah terbentang terlalu lebar.

Mereka seperti dua orang yang diciptakan untuk peran yang sama sekali berbeda, seperti si tokoh utama yang jatuh cinta pada si tokoh tak kasat mata; tak ada jalan ceritanya.

“Senja, kamu bahagia sama Abbyan?”

Ditanya begitu, Senja mencelus. Ia tak tahu harus menjawab apa.

“Aku rasa—“

Belum sempat Genta menyelesaikan kalimatnya, sebuah Maserati hitam melintas dengan kecepatan penuh memasuki area parkir, berputar kemudian berhenti tepat di hadapan Genta dan Senja yang terduduk di bangku sepanjang pinggir taman.

Tanpa membuka jendela, Senja tahu siapa pengemudinya.

“... Siapa?”

“Mas Abbyan,” balas Senja.

Genta mengangguk, lalu berdiri dan membantu Senja merapikan barang-barangnya. Sesekali, ia melirik mobil di depannya dengan ujung mata, separuh hatinya bertanya-tanya bagaimana rupa dan sifat lelaki yang berhasil memiliki wanita kesayangannya ini. Namun, bermenit-menit berlalu, lelaki yang ia ketahui bernama Abbyan itu tak kunjung keluar dari mobilnya, sama sekali tak ada niatan untuk membantu atau sekadar menyapa Senja yang seharian ini sudah lelah bekerja.

Genta mengernyit, mengetahui jawaban yang ia dapatkan nampaknya tak sejalan dengan yang ia harapkan.

“Ngapain lagi sih lama amat?” Jendela mobil bergerak turun, Genta menoleh hanya untuk menemukan lelaki dengan dua alis menukik tajam.

“Bentar, ini baju-baju aku nanti kusut—“

“Gak peduli. Cepet, gue pengen tidur.”

“Iya, Mas.”

“Kalau mau cepet makanya bantuin!” Genta tidak tahu apa yang menyulut amarahnya; mungkin rasa benci, mungkin juga marah karena Abbyan ternyata tak memperlakukan Senja sebagaimana ia memperlakukan wanita itu.

Namun, Abbyan justru mendecih. Katanya, “Sori, bukan asistennya.”

Rahang Genta mengeras seketika.

“Lo asistennya, kan? Tugas lo berarti, sana masukin barang-barangnya ke bagasi.”

“Kurang ajar—“

“Udah!” Dengan sigap, Senja segera menarik tangan Genta. “Udah, biarin aja emang kurang waras anaknya,” lanjutnya lagi, kali ini sambil berbisik.

Merasa tidak enak pada kru yang mulai memperhatikan pertikaian mereka, Genta buru-buru menguasai dirinya kembali, dengan tenang mengangkut barang-barang Senja dan memasukkannya ke bagasi.

“Aku pulang dulu, ya?”

Babe....

“Shhhtt! Genta!” Senja terkekeh, reflek memukul lengan pacarnya itu. Meski ikut tertawa, ada raut khawatir yang membayang di mata Genta dan Senja sadar itu. “Gak apa-apa, aku pulang, ya? Kamu hati-hati bawa motornya, jangan ngebut!”

Genta mengangguk, kehilangan kata-kata untuk diucapkan.

“Dadaaaah, Genta!”

Kini, Genta tidak tahu mana yang lebih buruk; menggenggam Senja meski sadar mereka tak bisa bersama, atau membiarkannya dengan lelaki lain walau Senja tak bahagia di sana.

Pagi hari itu cerah, awan-awan putih berarak di langit biru muda, ketika Doyoung bertemu Agit untuk pertama kalinya.

Perempuan itu berdiri di tepi zebra cross, menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cemas namun tak kunjung memberanikan diri untuk melangkah.

Terlalu ramai... atau, tunggu abis mobil yang terakhir itu lewat, gumamnya.

Ketika mobil terakhir lewat, tiga motor di belakangnya justru menyusul, lalu mobil lagi, motor lagi, begitu seterusnya dan Agit tetap tak beranjak.

Menit berganti, gerbang sekolahnya hampir menutup dengan sempurna. Agit tak punya banyak waktu lagi, maka ia pun mengeratkan genggaman di tali tas ranselnya, dan bersiap menyebrang dengan gagah berani.

‘Brukkk!’

Entah apa yang Doyoung pikirkan hingga kakinya menabrak tong sampah, membuatnya berlutut di trotoar dengan setumpuk buku-buku yang kini tercecer bersama isi tasnya yang lain.

Tanpa pikir panjang, Agit segera menghampirinya. Membantunya memunguti buku dan pulpen, kemudian memasukkannya kembali ke dalam tas.

Namun, gerakan Agit lantas terhenti dan keningnya seketika mengerut bingung. Matanya semakin membulat kala melihat Doyoung tidak memungut—melainkan meraba benda-benda di sekitar mereka.

Sadar Agit memperhatikannya, Doyoung menaikkan wajah, hanya untuk mendapati paras gadis itu buram di pandangannya.

“Sori, jadi ngerepotin lo,” katanya singkat, kemudian buru-buru mengalihkan tatapan ke segala arah.

“Gak apa-apa,” Agit membalas sekenanya, masih terkejut menemukan dua sorot mata sekosong itu.

Setelah selesai, keduanya bersisian di pinggir zebra cross, sama-sama menunggu sampai jalanan sepi sementara dari dalam sekolah, lagu Indonesia Raya mulai terdengar.

Tadinya, Doyoung ingin mengandalkan gadis di sebelahnya untuk menuntunnya menyebrang jalan. Namun sampai bermenit-menit berganti, bahkan dalam pandangannya yang kabur, Doyoung tahu sedang tidak ada kendaraan melintas dalam jarak dekat, tetapi Agit tidak juga melangkah.

Lagu Indonesia Raya selesai dinyanyikan, berganti lagu mengheningkan cipta. Dan keduanya masih menetap di posisi yang sama.

Doyoung menghembuskan napas, sial, pikirnya. Seperti tidak cukup membuatnya buta pagi ini, semesta kini menjebaknya bersama gadis penakut di zebra cross—dan bersiap menerima hukuman sebab tak mengikuti upacara bendera.

Frustasi, Doyoung buru-buru melangkah, menarik serta tangan perempuan di sebelahnya, membawanya menyebrang jalan dengan langkah tergesa-gesa.

Doyoung tidak tahu, bahwa dari sana, dari keberanian kecilnya menggenggam tangan Sagita; takdir keduanya mulai bertaut.

Tangis, tawa, sedih, senang, kecewa... bersama segala emosi itu, semesta telah menggariskan takdirnya.

Takdir yang di kemudian hari entah harus mereka syukuri; atau justru disesali.


Dua bulan berlalu, dan segalanya tak sama lagi sejak hari itu.

Doyoung sedang menyelesaikan formula fisikanya di sudut terdalam perpustakaan ketika bisik-bisik dua orang perempuan mengganggu konsentrasinya.

Pada awalnya, Doyoung ingin segera mengintrupsi. Namun tak sampai hati saat samar-samar, ia kenali suara itu sebagai milik Agit—gadis yang sedang ia dekati.

“Ini serius chat lo sama Kak Doyoung?”

Mau tak mau, senyum Doyoung lantas terbit begitu mendengar namanya ada dalam percakapan dua insan itu.

“Yaiyalah, masa iya fake chat?”

“Ih, kok dia ramah banget chat sama lo, Git?”

Meski tak bisa melihat langsung, Doyoung tahu Agit sedang tersipu.

“Iya, kan? Makanya gue heran kenapa orang-orang bilang Kak Doyoung tuh titisan Abu Jahal?!”

Hampir saja Doyoung tersedak mendengar kalimat itu. Ia mendengus sebal, siapa juga yang mengatainya titisan Abu Jahal?!

“Padahal dia baik gitu ke gue. Selalu ngajak nyebrang bareng, terus akhir-akhir ini gue suka lihat dia makan bubur di tempat langgangan gue muehehe gemes!”

Doyoung kembali tersenyum, melupakan sejenak formula fisika di hadapannya.

Fix sih... dia naksir gue ya, kan, Kar?”

Geer lo, balas Doyoung dalam hati. Tapi iya juga, kemudian ia melanjutkan lagi.

“Naksir lo? Hahaha, apa gak terlalu kepedean, Git?”

“Sedikit, sih.”

“Tapi kalau dilihat-lihat, emang Kak Doyoung kayaknya naro perhatian lebih ke lo gitu, deh.”

“Ya, kaaaan?! Gue pacarin aja apa?”

Doyoung menaikkan kedua alisnya terkejut, sementara di balik rak buku, Karin justru terkikik geli.

“Boleh, lumayan buat panjat sosial hahaha.” Ada nada meremehkan dalam kalimat tersebut, yang membuat Doyoung seketika kehilangan senyumnya. “Kak Doyoung kelihatannya agak nerd sih, tapi dia anak olim dan lagi ‘keren-kerennya’ karena baru balik dari Brussel. Kalau lo tiba-tiba jadi pacarnya, lo beruntung banget, Git!”

“Iya, hehehe. Keren banget pasti kalau gue bisa jadi pacar dia.”

Kali ini, entah kenapa, kalimat Agit tak lagi terasa menyenangkan.

“Lo bisa langsung terkenal, tuh! Beuhhh, jadi anak hits satu sekolah! Bayangin dong, Kak Doyoung yang kerjaannya semedi di perpustakaan mendadak punya pacar, lo bakal ngangetin anak-anak sekolah, Git!”

“Aaaaa! Mau! Mau pacaran sama Kak Doyoung!” Agit menjerit tertahan, terkikik-kikik bersama Karin.

Tanpa pernah tahu, percakapannya hari itu membuat Doyoung tak lagi memandangnya dengan cara yang sama.


Detik ini, berdiri di sini—di ujung lorong sekolah yang sepi, bersama Agit di hadapannya, Doyoung merasa deja vu; ia seperti tengah mengulang kembali masa lalu—atau ia yang pernah berjalan ke masa depan?—entahlah, Doyoung tidak tahu pasti.

Hanya saja, rasanya sama.

Ia ingat pernah memimpikan hari ini. Dalam mimpi itu, ia membuat perempuan di depannya ini menangis.

“Kak Doyoung... aku mau bilang sesuatu—“

“Bilang aja,” balasnya cepat, sengaja tak membiarkan Agit menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu.

Karena ia tahu.

Ia sudah tahu apa yang akan Agit katakan.

“Aku tau ini mungkin tiba-tiba, tapi... aku cuma mau Kakak tau soal perasaan aku. Aku suka Kakak!”

Persis. Kalimatnya sama persis seperti yang ia mimpikan.

Doyoung menatap Agit lurus-lurus. Ia ingat pernah melihat gadis ini di suatu masa, penampilannya nampak sedikit berbeda dengan penampilannya sekarang, tapi Doyoung tahu mereka orang yang sama.

Di masa yang entah kapan terjadinya itu, gadis ini menangis untuknya.

“Kak Doyoung mau gak jadi pacar aku?”

Pertanyaan itu bergema di koridor, menggantung lama dan tak kunjung terjawab sebab orang yang dituju justru mematung.

Doyoung tahu ia harus berkata apa.

Tapi jika ia mengatakan hal yang berbeda... apakah segalanya akan berubah?

Apakah masa depan... dapat diubah?

“Maaf....” Doyoung berbisik lirih. Ia mungkin akan menyesali keputusannya detik ini.

Mendengar itu, Agit segera menatapnya dengan kedua mata penuh kekecewaan, memerah dan siap menangis.

Doyoung kenal sorot itu, kesedihan itu, luka itu....

Lagi, hati kecilnya bertanya, ... bagaimana jika ia mengatakan hal yang berbeda?

Detik berlalu, menit berganti, keduanya terpaku dalam keheningan panjang.

Sampai di satu titik, Agit memilih berbalik, bersiap melangkah pergi dan membawa segala kecewa dalam hatinya.

Doyoung masih bergeming, memandangi punggung gadis itu sampai menghilang di tikungan lorong. Ia kembali berdebat, tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya ia katakan.

Tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya terjadi.

Tentang kekecewaan, kehilangan; dan takdir.

Mungkin di masa depan. Mungkin di masa yang lain....

Ya, mungkin.

Keduanya akan bersama, menjalin cinta, memandang dunia dengan cara yang berbeda, dan tentu saja... menjadi pemilik akhir yang bahagia.

Ya, mungkin. Di masa yang lain, mungkin.[]


f i n ~

[Agit]

Kak Doyoung pergi pada malam berikutnya, ketika langit sedang bersih tak berawan, seolah bintang-bintang turut menyambut kepulangannya pada Sang Pemilik Semesta.

Hati, ginjal, dan organ-organ tubuhnya yang lain tak lagi sanggup menopang aktivitas tubuhnya. Pada akhirnya, kanker itu menghentikan kerja jantungnya dan membuatnya menghembuskan napas terakhir.

Kak Doyoung tak lagi merasakan sakit, setidaknya aku bersyukur atas hal itu.

Sebelum Kak Doyoung meninggalkanku, aku selalu berada di sisinya. Menggenggam tangannya ketika ia demam tinggi, saat napasnya tak lagi teratur, hingga akhirnya mesin menyuarakan nada bipppp panjang yang stagnan, dan aku tetap di sana sewaktu Dokter mengumumkan waktu kematiannya.

Mungkin benar kata Jeffrey, bahwa jauh di dalam, kami tengah bersiap untuk saat ini. Sehingga aku pun selalu ingin berada di sisinya, seolah ingin menunjukkan padanya kalau aku tetap mencintainya sampai akhir.

Namun, mereka semua berbohong. Mereka semua membual tentang bersiap-siap menyambut kehilangan. Nyatanya, tidak akan pernah ada kata siap untuk sebuah perpisahan.

Kak Doyoung pergi.

Lelaki yang kucintai telah mati; meninggalkanku sendirian dalam kesepian yang abadi.

Setelah ini, aku benar-benar tak akan pernah melihat sosoknya. Ia tidak akan ada di sana untuk memelukku ketika aku takut pada dunia, ia tidak akan ada di sana untuk mendengarku bercerita, ia tidak akan ada di sana lagi....

Ketika melihatnya merintih menahan sakit, aku selalu berharap untuk mengakhiri ini semua dengan cepat. Aku ingin melihatnya segera melepas rasa sakit itu. Namun aku lupa, aku lupa menyiapkan bagaimana aku akan melalui hari-hariku tanpanya setelah ini. Membiasakan diri tanpa senyumannya, tanpa pelukannya; adalah hal yang tidak pernah kubayangkan.

Kini, dokter dan suster tengah melepas alat-alat yang terpasang di tubuhnya. Ayah, ibu, kakak, serta kerabat-kerabatnya yang lain berkumpul di sekitar ranjang—mengerumuninya dengan air mata yang berderai—membuatku terdorong ke tepi, terlalu terguncang untuk melakukan apa-apa.

Aku tak bisa menangis. Rasanya gamang, seolah aku hanya menyaksikan sebuah film sedih tanpa sadar aku sendirilah si tokoh yang sedang bersedih itu.

Setelahnya, aku memutuskan untuk berjalan di sekitar koridor. Tangis orang-orang di dalam ruangan itu menggema mengiringi setiap langkahku. Aku dapat merasakan sakitnya, aku dapat merasakan pilunya, sebab aku pun mengalami hal yang sama. Hanya saja, aku tak tahu bagaimana mengungkapkan segala sesak ini.

Aku mati rasa.

Di lorong panjang itu, aku terus berjalan dengan langkah mengambang. Sengaja mengabaikan tatapan orang-orang yang lewat, juga menghindari berpapasan dengan beberapa anak kampus yang kukenal sebagai teman-teman Kak Doyoung agar mereka tak perlu melihat keputusasaan di wajahku.

Aku hanya ingin sendirian, jauh dari keramaian.

Kemudian, Jeffrey jadi orang pertama yang menemukanku. Ia berdiri di ujung koridor, hanya beberapa langkah dariku. Kami bertatapan, sama-sama berhenti melangkah. Ada kesedihan yang tak terdefinisi di wajahnya, yang membuatku serta merta tahu aku pun memimik emosi yang serupa.

Kami sama-sama kehilangan orang yang kami sayang.

Tanpa kata-kata, ia mendekat untuk merangkulku. Mulanya, aku tak dapat merasakan apa-apa, hanya mematung dalam pelukannya.

“Kak Doyoung udah gak ada, Jeff.”

Namun, begitu mengucapkan lima kata itu, air mata perlahan meleleh di pipiku. Rasanya dengan mengakuinya pada Jeffrey, kepergian Kak Doyoung menjadi nyata. Seolah kejadian tadi hanya bagian dari mimpi burukku yang akan hilang begitu aku terbangun.

Jeffrey mengusap punggungku, dan aku memejamkan mata, membiarkan tangisku pecah, mengakui kekalahanku yang sesungguhnya pada dunia.

Aku telah kalah. Telak, tanpa ampun.

Sejak awal, di antara aku dan semesta, aku memang bukan pemenangnya.


Pemakanan Kak Doyoung dilaksanakan keesokan harinya—pada pagi hari yang teduh, berangin dengan awan-awan putih menggantung di langit.

Ketika aku tiba, orang-orang berpakaian hitam telah berkumpul di area pemakaman. Sebagian besar dari mereka adalah teman-teman kampus Kak Doyoung, yang hadir untuk mengantarkannya pada keabadian, juga menyampaikan turut berduka cita pada kami yang ditinggalkan.

Kedatangan mereka sedikit banyak membuatku menyadari betapa sosok Kak Doyoung amat dicintai.

Kak Doyoung mungkin tidak terlalu ramah pada orang baru, tapi ia selalu baik dengan caranya sendiri.

Dan dengan begitu, aku tahu, kami semua memiliki alasan untuk terus mengenangnya dalam hati kami.

Meski kini, jiwanya tak lagi ada di sini. Meski kini... raganya telah kembali pada bumi.

“Kak... bahagia terus, ya? Jangan bilang sama gue kalau lo masih sakit, nanti gue nangis.” Di atas pusara itu, kueratkan doa terbaik untuknya. Berharap semesta kini telah mendekap hangat jiwanya, meringankan setiap langkahnya.

Sembari mengusap papan kayu bertuliskan namanya itu, aku menggigit bibir demi menahan tetesan air mata. “Makasih udah bawa gue dalam perjalanan 50km/jam yang ternyata... jauh lebih singkat dari yang bisa gue bayangkan. Thank you for everything... i love you.

Selanjutnya, aku tak lagi dapat menahan tangis saat ingatanku justru memutar memori-memori kebersamaan kami seperti kaset rusak. Wajahnya, senyumnya, tatapan sinisnya, tatapan ramahnya, ketika ia menolakku, ketika ia menerimaku, gandengan pertama kami, ciuman pertama kami.... segalanya berputar di kepalaku, membuatku ingin menjerit sebab aku tak akan pernah bisa mengulangi hal itu lagi.

Yang kutahu berikutnya, Mama memelukku, membawaku menjauh dari gundukan tanah tempatnya terbaring.

Di bawah tenda hitam, aku duduk termangu. Menyaksikan lalu-lalang orang menabur bunga, menyiramkan air, dan menyampaikan kata-kata terakhirnya pada pusara itu.

Kemudian, perlahan kerumunan orang-orang berbaju hitam itu bubar, menyisakan keluarga besar Kak Doyoung, aku, dan Mama di sebelahku—yang tak henti-hentinya mengusap pundakku seakan tengah membagi kekuatan.

Setelah semuanya selesai, Bunda menghampiriku. Pelukannya hangat sama seperti milik putranya, dan aku kembali mendapati diriku menangis di sana.

“Agit, terimakasih ya... udah sayang sama anak Bunda, nemenin dia di hari-harinya yang terbatas, jadi sumber kebahagiaannya.” Suara Bunda tersekat oleh tangis, namun beliau kembali melanjutkan, “Terimakasih, Nak.”

Begitu pelukan itu terlepas, pandanganku memburam karena air mata yang mendesak keluar.

Samar, entah aku berhalusinasi atau memang ia hadir detik itu untuk mengucapkan selamat tinggal, tapi bayangnya benar-benar nampak nyata, tersenyum dengan kedua mata berkaca-kaca.

Kak Doyoung berdiri tepat di belakang ibunya.

Napasku tersengal, bayangan itu hilang sekejap kedipan mata, menyisakan rasa nyeri di dalam dada.

Pedih.

Kehilangan itu kini kembali menghujam jantungku, melumpuhkan seluruh sarafku.

Nyatanya, mau bagaimana pun aku menolak, sosok yang telah dipeluk bumi tak akan pernah kembali lagi.


Nanti, kalau gue gak ada di sini lagi, lo tatap bintang-bintang itu. Anggap aja lo lagi melihat ke masa lalu, ke masa-masa kita sekarang.

Ia pernah berkata begitu, suatu malam di langit Jakarta.

Kini, aku mengudara seorang diri. Menyaksikan citylight ibukota seorang diri. Memandangi bintang seorang diri.

Tapi aku tahu, ia tak pernah benar-benar meninggalkanku. Ia selalu hidup, setidaknya dalam hati, setidaknya dalam kisah yang tak berakhir bahagia ini.

“Kak, apa kabar lo di sana? Gue rindu....”

Kutatap lagi bintang-bintang di langit kelabu itu, sebelum membuka secarik amplop berwarna putih yang ditinggalkannya untukku.

Kertas itu beraroma dirinya, yang segera membuatku tersenyum sendu kala meniti tiap guratan aksara di sana.

Dalam surat itu, ia mengurai kembali masa lalu.

Menghilangkan segala sesal atas masa kini.

Dan karenanya, kini aku siap melangkah menuju masa depan.


“nggak semua yang dekat, harus erat nggak semua yang sama, harus sama-sama manusia cukup dengan menjadi cukup saya dan dia sudah cukup ada, tanpa perlu ada kata ‘kita’.”

— Rintik Sedu

[Agit]

Hari demi hari, kondisi Kak Doyoung kian memburuk.

Kini, ia tak lagi bisa banyak beraktivitas, mengobrol pun jadi pekerjaan yang menguras banyak tenaganya. Bahkan di setiap kunjunganku, hanya aku yang berbicara dan ia mendengarkan dengan setengah sadar karena di bawah pengaruh obat anti nyeri.

Selebihnya, Kak Doyoung lebih sering tak sadarkan diri; tidur dan kesadaran melintas bergantian.

Lama kelamaan, aku mulai terbiasa dengan suara elektrokardiograf yang menjaga kondisi vitalnya tetap stabil, juga terlonjak panik saat mendengar suara lenguhannya karena sakit atau bermimpi buruk.

Berada dalam posisi ini membuatku tersadar; menyakitkan sekali melihat orang yang kusayang menderita.

Rasanya seperti duniaku berhenti di satu titik, bersiap runtuh dan berantakan. Namun tiap kali keluar dari rumah sakit, memandangi langit, memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar serta merta aku tahu... aku tahu yang dunianya berhenti hanya aku.

Sementara dunia yang lain terus berjalan, hidup terus berlanjut dan itu rasanya tidak adil.

Tidak adil karena waktu akan terus berganti sementara sosok yang kuinginkan menetap justru tengah bersiap pergi.

Tapi, Kak Doyoung tetaplah Kak Doyoung yang kukenal... yang tawanya sehangat mentari, yang binar matanya selalu menatapku seolah aku adalah orang paling berharga di muka bumi.

Ada kalanya ketika ia sepenuhnya terjaga, ia akan melontarkan kata-kata pedas agar menyulut pertengkaran denganku—atau dengan teman-temannya, yang membuat semua orang di ruangan tertawa; termasuk kedua orangtua juga kakak lelakinya.

Suatu hari, Haechan pernah ikut denganku untuk menjenguk. Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi di antara keduanya, tapi mereka sama-sama melayangkan tatapan sinis ketika bertemu—meski pada akhirnya mengobrol dan bergurau juga.

Kak Doyoung tetap Kak Doyoung yang kukenal... tak peduli walau sakit dan melelahkan, ia masih berusaha mencairkan suasana semampunya.

Saat ini, aku tengah terduduk di sisinya sejak satu jam yang lalu. Ayah dan kakaknya harus kembali kerja, sementara ibunya sedang pulang untuk berganti pakaian dan istirahat barang sejenak.

Hari ini menandakan hari kelima semenjak terakhir kali aku dapat melihat binar matanya yang menenangkan itu.

Aku rindu....

Dengan sendu, kugenggam tangannya, merasakan dingin yang menjalar di sana. Dadanya bergerak naik dan turun, seiring suara bip bip bip dari elektrokardiograf yang terus berbunyi.

Kak Doyoung terlihat seperti porselen, pucat dan rapuh.

Lalu, seakan merasakan kerinduanku, kelopak matanya perlahan membuka, membuatku segara bangkit untuk memastikannya benar-benar tersadar.

“Git....”

Dari balik masker oksigen, suaranya terdengar seperti rintihan.

“Kenapa, Kak? Ada yang sakit?” tanyaku seraya mengusap-usap puncak kepalanya—seperti yang selalu dilakukannya padaku. “Gue panggilin dokter, ya?”

Namun, Kak Doyoung menggeleng dan tersenyum. Ada sorot geli dalam tatapannya, melintas sepersekian detik yang mungkin jika diterjemahkan akan berbunyi seperti ‘biasa aja kali, panik amat’.

Itu adalah senyum pertamanya setelah lima hari tertidur tanpa jeda. Dan mendapatinya detik ini, ketika hanya ada aku seorang diri, entah bagaimana kurasa senyum itu memang ditujukannya untukku.

“Yaudah, kalau gitu, biar gue temenin lo, ya?”

Kak Doyoung kembali tersenyum kecil, jari-jarinya mengerat menggenggam balik tanganku.

Aku tak berkata-kata setelahnya, sebab semua yang ingin kukatakan rasanya tak akan sanggup kuutarakan sampai kapanpun. Aku hanya ingin ia baik-baik saja... hanya itu.

Beberapa kali, napasnya terasa memberat, pandangannya tak fokus—mengambang entah ke mana. Kuusap kembali rambutnya, dengan tetes demi tetes air mata yang berjatuhan.

Aku tidak ingin melihatnya kesakitan seperti ini... aku hanya ingin ia baik-baik saja, demi Tuhan, hanya itu.

“Kak....” lirihku, meski aku tidak tahu pasti apakah ia mendengarnya, aku tetap berbisik. “Kak, gue gak tau bagaimana ini dimainkan, tapi gue izin menyerah, ya? Pertandingan ini, gue rasa semesta lebih sayang sama lo....”

“Kalau Sagita—“ ia berusaha membalas ucapanku dengan sekuat tenaga, “... sayang gue juga gak?”

Aku mengangguk, terisak sembari menggenggam tangannya erat-erat.

“Gue sayang lo. Sagita sayang lo, Kak.”

Yang sebenarnya ingin kusampaikan padanya adalah, bahwa aku dan yang lain akan baik-baik saja. Bahwa ia tidak punya tanggungjawab untuk membahagiakanku sampai akhir, dan itu tidak apa-apa. Bahwa aku akan selalu menyayanginya, mengingatnya, juga menyimpan semua kebersamaan kami dalam satu memori yang paling berharga.

Detik itu, ada seulas senyum samar yang menghiasi wajahnya. Saat itulah aku tahu, Kak Doyoung mengerti.

Setelahnya, untuk kali pertama, Kak Doyoung terlihat damai; tenang, tanpa rasa sakit, seakan tengah bermimpi indah dalam tidur panjangnya.

Doyoung menaruh ponselnya di atas meja nakas, kemudian memijat kening untuk meredakan nyeri di dalam sana.

Akhir-akhir ini, ia tidak lagi bisa sering bermain handphone. Cahaya dari layar ponsel selalu membuat matanya memburam, ia juga tidak punya cukup tenaga untuk mengetik. Maka, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya membaca pesan-pesan yang dikirimkan Agit; mendengarkan gadis itu bercerita tentang apa saja—tugas kuliah, teman-teman, dan keluarganya—membuat Doyoung bahagia.

Agit terlihat seperti seseorang yang sudah berdamai dengan masa lalu, dan karenanya; Doyoung ingin melakukan hal yang sama.

“Pacarmu itu—Agit ya namanya? Kenapa belum berkunjung lagi?” Bunda mendudukkan diri di kursi sisi ranjang, sembari tersenyum kecil, Bunda melanjutkan, “Baik anaknya, ceria juga. Masa waktu pertama kali ketemu Bunda, dia bilang Bunda calon mertuanya.”

Doyoung tergelak, lucu membayangkan reka adegan itu dalam kepalanya. Agit benar-benar balas dendam ternyata.

“Ajak ke sini lagi, suruh sering-sering berkunjung. Kalau mau nginep jagain kamu juga boleh, kok.”

“Nanti dia girang, Bun, kalau dibolehin nginep.”

“Ya gak apa-apa, biar bisa ngobrol banyak juga sama Bunda.” Kemudian, Bunda mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, matanya bergetar seolah pikirannya berlarian entah ke mana. “Waktu pertama kali ketemu, Agit juga bilang makasih sama Bunda loh, Kak. Katanya makasih, udah jadi bunda yang baik buat kamu....”

Kalimat Bunda menggantung di sana. Lama Bunda terdiam, seakan kehilangan tenaga untuk melanjutkan.

Melihat Bunda seperti ini, Doyoung segera mendekatkan diri untuk membungkus kedua tangan Bunda dengan tangannya sendiri. Ditatapnya sang ibu dalam-dalam; helai-helai rambut yang mulai memutih, garis samar di sekitar mata yang berkedip lelah.

Doyoung ingat, ia pernah meminta pada Tuhan agar mencabut nyawanya lebih dulu ketimbang nyawa orangtuanya; sebab baginya, menyakitkan melihat kedua orangtuanya menua dan perlahan-lahan kehilangan kehidupan. Tapi saat ini, detik ini, Doyoung justru menyesal.

Karena tak bisa menjaga Ayah dan Bunda sampai tua, Doyoung menyesal. Karena tak bisa membanggakan Ayah dan Bunda seperti harapan mereka, Doyoung juga menyesal.

“Bunda... Agit benar, makasih udah jadi bunda yang baik. Selama ini, Doyoung nyesel karena belum bisa menuhin semua harapan Bunda, tapi Doyoung udah berjuang keras, Doyoung udah berusaha yang terbaik dan seharusnya itu cukup.”

Ia bergumam dengan suara terputus-putus. Tak apa jika sulit, tak apa jika sakit; ia hanya ingin berdamai dengan masa lalunya sendiri.

“Kalau Doyoung punya kesempatan buat mengulang semuanya pun, belum tentu jadi lebih baik dari ini. Maaf ya Bun... karena sakit, karena jadi beban, Doyoung minta maaf.”

Air mata Bunda berderai tak terkendali, diusapnya puncak kepala anak bungsunya itu berulang-ulang—yang serta merta membangkitkan memori masa lalu.

Sejak kecil, Doyoung tak seperti anak kebanyakan. Ia rapi dan teratur dengan caranya sendiri. Sebagai anak bungsu, ia tak pernah memicu perkelahian dengan kakak lelakinya. Alih-alih bertengkar, Doyoung justru ikut mengerjakan PR sekolah kakaknya, dan mulai tergila-gila pada Fisika sejak saat itu.

Memiliki Doyoung dalam hidup, rasanya seperti diberi anugerah terbesar bagi Bunda.

Hanya saja Bunda lupa, Bunda lupa untuk memastikan anugerahnya selalu bahagia. Bunda telah lalai, dan kini anugerah itu harus kembali sebab dunia tak cukup indah untuk menjadi tempatnya berpijak.

“Doyoung gak pernah jadi beban buat Bunda, buat Ayah, bahkan buat Mas... Doyoung itu, hadiah buat kami sekeluarga.” Bunda menyeka air matanya meski yang lain terus berjatuhan. “Makasih ya, Kak... karena udah berjuang, karena udah jadi anak Bunda. Makasih, Bunda sayang Kakak.”

Doyoung mengangguk berulang kali, tangisnya pecah tatkala Bunda bangkit dan mendekapnya erat-erat.

Dalam pelukan Bunda, Doyoung ingin kembali menjadi anak-anak. Ingin kembali menjadi bocah kecil yang tak perlu memikirkan bagaimana masa depan akan berjalan, bagaimana hari esok akan tiba. Doyoung ingin kembali ke masa itu, masa ketika segalanya terasa menakutkan ia bisa bebas menangis dan tenggelam dalam dekapan sang ibu.

Kini, ia ketakutan. Menyadari ia sekarat seorang diri membuatnya ketakutan setengah mati.

“Makasih juga, Bun... udah ngasih kehidupan ini. Makasih karena udah jadi ibu terhebat. Doyoung sayang Bunda, sayang semuanya.”

Doyoung tak ingin pergi membawa penyesalan, dan dengan ini, ia harap tak ada lagi sesal yang akan menahan langkahnya.

Ia ingin mengakui itu; bahwa ia bahagia menjadi bagian dari keluarga ini, bahwa meskipun ia harus pergi, ia ingin semua orang yang ia sayang hidup seperti biasa....

Seolah ia tetap ada di antara mereka.


Pada malam berikutnya, Doyoung kembali tertidur panjang.

Kamar rumah sakit tempat Doyoung di rawat sebenarnya tak seberapa luas, namun keheningan yang mengukung dua manusia di dalamnya justru membuat jarak terasa lebih lebar dari yang seharusnya.

Di atas ranjang, Doyoung tepekur membolak-balik lembar jawaban ujian Agit. Ia nampak serius meneliti keselarasan antara soal dan jawaban, meski sedikit banyak ia tidak benar-benar paham. Sementara di sebelahnya, Agit terduduk dengan tangan menyilang di depan dada, wajahnya murung—perpaduan kesal dan kecewa.

“Lo bilang kalo gue dapet A+ gue boleh nyi—“

“Tapi lo cuma dapet satu A+,” Doyoung memotong ucapan Agit lebih dulu.

“Lo gak bilang gue harus dapet A+ di semua mata kuliah, ya!”

“Lo juga gak bilang lo dapet C di dua mata kuliah.”

Agit cemberut. “Ini kan cuma UTS, nanti gue perbaiki di UAS, kok!

Doyoung mendecak, menaruh lembaran-lembaran kertas di tangannya ke pojok ranjang dengan acuh. Kemudian, pada Agit yang masih sibuk melipat tangan di depan dada seraya memasang wajah ‘ngambek’ mode on, Doyoung menyodorkan sekotak besar susu cair UHT.

“Nih, hadiah lo,” katanya.

“Gak mau, apa-apaan dikasih susu?”

“Biar gak ngerengek terus, kayak bayi aja!”

Agit semakin geram. “Gue gak mau susu, Kak!”

Doyoung mendelik. “Udah bagus gue kasih susu, biar lo gak jajan pentil Mang Aceng lagi.”

“KAK DOYOUNG SUMPAH YA!”

Berikutnya yang terjadi, Agit mendaratkan cubitan-cubitan kecil di sepanjang lengan Doyoung, membuat lelaki itu terkekeh sembari mengaduh sakit.

“Oke, stop stop... fine!” Doyoung mengangkat kedua tangannya; menyerah. “Ini gak adil, gue gak bisa ngelak dari serangan lo.”

Kalimat itu berhasil menghentikan gerakan Agit yang membabi-buta, kini pandangannya jatuh pada Doyoung. Sedetik, atau bahkan kurang, Doyoung melihat ada semacam penyesalan dan rasa bersalah di mata Agit—namun tak lama sebab gadis itu buru-buru mengalihkan perhatian.

“Gak usah sembunyi di balik selang infus lo deh, Kak! Yang posisinya paling gak adil itu gue!” Agit mendengus. “Gila aja... gue udah belajar mati-matian, begadang tiap malam, ditambah nahan kangen saban hari. Dan sekarang, saatnya gue diapresiasi, lo ternyata PHP sama gueeee!”

Ada yang lucu saat Agit memprotes panjang lebar seperti itu, kedua alisnya berkerut-kerut kesal, bibir yang mengerucut di tiap kata, serta pipi yang menggembung.

Menatap Agit seperti ini, entah kenapa Doyoung merasa lega. Gadis itu terlihat bahagia.

“Gue gak PHP, gue kan bilang lo boleh nyium pipi gue. Tapi karena lo dapet C di dua mata kuliah, jadi nyiumnya—“

Cup~

Kalimatnya belum selesai, kata-katanya masih menggantung di ujung lidah. Namun Agit—perempuan itu telah lebih dulu mendaratkan ciuman tepat di bibirnya.

Mereka terdiam, sama-sama terkejut bukan main.

Kemudian, Agit jadi paling pertama mengedipkan mata. Ia kembali terduduk di kursi, panik setengah mati kala menyadari tindakannya barusan.

Melihat Doyoung masih bergeming karena ciuman sekilasnya tadi, Agit salah tingkah. Ia beranjak berdiri, membuka tutup susu kotak UHT pemberian Doyoung, menuangkannya sedikit dalam gelas.

Ia baru minum satu teguk ketika Doyoung akhirnya berdeham.

“Lo barbar banget, ya?” tanyanya, dengan dahi mengernyit dalam. “Main nyosor aja.”

“Eh?” Agit meletakkan gelasnya di atas nakas. “Lo- lo juga nyosor jidat gue waktu itu!” Dibilang barbar, tentu saja Agit tidak terima.

“Jidat lo gak sebanding sama bibir gue, Git.”

“Y- yaudah sih, ya?” Meski tergagap, Agit harus tetap mempertahankan harga dirinya yang tersisa. “Terus lo mau apa? Mau diambil lagi?”

“Iya.”

Agit tidak menyadari apa yang terjadi, segalanya begitu cepat saat tahu-tahu saja, pergelangan tangannya ditarik paksa oleh Doyoung—membuatnya lantas terduduk di atas paha lelaki itu.

Detik melambat, semuanya terasa seperti background tak hidup. Mereka mengunci pandangan pada satu sama lain, seakan larut dalam emosi masing-masing.

Don’t test me, Git,he rasped

The tiniest smile playing at the edges of his lips, he snakes an arm around Agit’s waist—pulling her close.

He looks at her again, slowly leaning in.

This is you want, huh?Doyoung whispered, letting their lips meet in a soft lingering kiss. And that moment, Doyoung completely lost his mind.

Agit closed her eyes as she returns the kiss. This guy really made her stomach fill with butterflies.

It feels like the first time all over again. Everything settles. Everything is perfect.

And they kissed soflty until their breaths ran out.

You such a good kisser.She's murmur after a moment, making sure to keep close.

Doyoung smirked more at that and laughed.

“Hadiah lo mendarat dengan sempurna, kan?”

Dibisiki seperti itu, kedua pipi Agit memerah. Mulutnya membuka dan menutup, bingung harus menjawab apa, bingung harus bereaksi bagaimana.

Tak ada kata-kata, keduanya sibuk mematri detik ini di memori yang paling dalam. Menjadikannya satu kenangan yang tak akan pernah terlupakan. Kening mereka bersentuhan, tangan Doyoung meniti lekuk wajah Agit; senyumnya, bulu matanya, hidungnya, dan kedua bibirnya—yang tadi sempat berbagi udara yang sama dengannya.

Sementara Agit, ia mengalungkan tangannya di sekitar leher Doyoung. Berusaha mengabaikan betapa lelaki ini telah jauh berubah dari yang biasa ia lihat. Badannya kurus dan ringkih, pucat pasi dengan lebam-lebam kebiruan serta bekas luka suntikan. Tatapan matanya redup, terasa letih dengan helaan-helaan napas yang tidak teratur.

Saat ini, Doyoung bahkan sudah tak sanggup berdiri tanpa bantuan siapa-siapa. Ia butuh kursi roda untuk berpindah tempat.

Agit tahu, ia tahu meski tak dapat penjelasan apa-apa. Agit tahu bahwa waktu mereka tak banyak tersisa.

“Makasih, Kak.” Agit mengangkat wajah, memberikan senyum terbaiknya.

Doyoung mengangguk, menatap Agit dalam-dalam—melukis betapa indah senyum gadis kesayangannya itu sebanyak yang ia mampu.

Kemudian, suara ketukan di pintu kamar membuat keduanya terlonjak. Sebuah troli makanan masuk dengan seorang suster yang berbasa-basi sekilas.

Tak seperti Doyoung yang menimpali obrolan suster dengan tenang, Agit justru merasakan jantungnya masih berkejaran meski adegan tadi sudah lama berlalu.

Ketika suster keluar dan pintu kembali tertutup, Agit menghela napas yang sejak tadi tertahan.

“Hampir aja tercyduk!” serunya, mengusap-usap dada, lalu meneguk kembali susu yang tersisa dalam gelas.

Doyoung melirik Agit sekilas, sebelum kembali tersenyum miring.

“Kenapa lo lihat-lihat? Mau?”

“Nggak,” jawabnya singkat. “Udah tau rasanya lagian.”

“Apa?”

Doyoung mengesah ambigu. “Manis.”

Agit menautkan kedua alisnya, bingung. “Padahal susunya fullcream, loh.”

Doyoung kembali menarik senyum sembari menggaruk tengkuk, “Ya emang bukan susunya.”

Bibir lo, maksud gue.

Doyoung ingin melanjutkan, tapi tak jadi sebab mendapati wajah Agit memerah hanya akan membuat kerja jantungnya semakin carut-marut saja.

Dan malam itu, keduanya kembali berbagi tawa; kembali menyelesaikan satu lagi halaman dengan bahagia.

[Agit]

Menjelang malam, kami bertolak ke arah perbatasan Jakarta Timur.

Ia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang—kurasa ia benar-benar berpaku pada kecepatan 50km/jam yang ia bilang itu—sesekali kami bersenda-gurau, kadang hanya saling tatap dari kaca spion yang entah kenapa terasa lucu, kadang juga tangannya bermain-main di lututku kala menunggu lampu berubah hijau yang kubalas dengan cubitan di lengannya.

Sederhana, tapi hal-hal normal seperti ini bersamanya justru terasa jauh lebih bermakna.

“Lo siap buat terbang, Git?” tanyanya, lalu seperti memahami kebingunganku, jari telunjuknya terangkat ke udara. “Ini bianglala tertinggi se-Indonesia,” ia melanjutkan, ada euforia yang tak biasa dalam nada suaranya, yang terdengar seolah bangga menemukan tempat ini khusus untukku.

Rupanya, tempat kedua yang ia siapkan adalah wahana bianglala yang terletak di salah satu mall ternama. Langit sudah benar-benar gelap ketika kami akhirnya duduk berhadapan di dalam gondola berwarna ungu itu. Saat gondola bergerak naik, kami sama-sama termangu sebab citylight ibukota yang membentang seakan menyatu dengan hitamnya langit, memenuhi pandangan, membuatku tak mampu berkata-kata saking takjubnya.

“Dari sini, lo bisa lihat dunia lebih luas kayak yang lo mau.”

“Wah….”

“Indah, kan?”

“Banget!” aku berseru.

“Dunia ini emang indah, Git. Kalau nggak, mungkin sudut pandang lo aja yang harus diubah.”

Aku mengiyakan dalam hening, justru larut mengabadikan sosoknya dengan latar citylight itu sebanyak-banyaknya dalam memoriku. Aku tak ingin melupakan detik ini; detik-detik ia begitu bersinar.

“Ada bintang juga, jarang-jarang bintang muncul di langit Jakarta.” Ia menopang dagu dengan tangan, matanya berbinar terkena cahaya—untuk pertama kalinya sejak yang mampu kuingat, mata itu terlihat hidup.

Aku menoleh, mengikuti arah pandanganya. “Iya… ada bintang.”

“Lo tau gak, Git, kalau bintang yang kita lihat sekarang itu kemungkinan udah mati?”

“Kok gitu?”

“Karena rata-rata jarak bintang ke bumi itu ratusan bahkan jutaan tahun cahaya,” jelasnya, dan langsung tersenyum simpul menyadari kebingunganku. “Singkatnya gini, kecepatan cahaya itu 300.000km/detik. Kita ambil contoh matahari sebagai bintang yang paling dekat sama bumi, jaraknya 149 juta km.”

Ah, satuan jarak per waktu itu lagi….

Aku benci fisika.

“149 juta km dibagi kecepatan cahaya 300.000km/detik, berarti sekitar 496 detik atau delapan menit,” ia mulai terlihat seperti seseorang yang memiliki kalkulator dalam kepalanya. Tapi aku tetap berusaha menyimak dengan baik. “Jadi, kalau lo berjemur di pagi hari, sinar matahari yang terpapar itu dari delapan menit yang lalu,” lanjutnya.

Aku tidak tahu kenapa, ada sesuatu dalam pembawaannya yang menarik ketika membicarakan hal-hal yang ia kuasai. Ia jadi terlihat jauh… jauh lebih tampan dari sebelumnya.

“Sekarang lo bayangin bintang-bintang itu, mereka punya jarak yang lebih jauh lagi. Cahaya dari bintang itu butuh jutaan tahun buat sampai di bumi,” jelasnya kembali, kali ini sembari mengetuk kaca gondola untuk menunjuk bintang yang ia maksud. “Jadi, ketika cahayanya sampai, kemungkinan bintangnya udah gak ada. Cahaya itu datang dari jutaan tahun yang lalu, artinya secara teknis, kita sekarang lagi melihat ke masa lampau.”

Aku tersenyum kecil. “Waw… fisika gak pernah semenyenangkan ini sebelumnya,” balasku, yang membuat kami sama-sama menyemburkan tawa.

Kemudian, Kak Doyoung menghela napas—sendu. “Nanti, kalau gue gak ada di sini lagi, lo tatap bintang-bintang itu. Anggap aja lo lagi melihat ke masa lalu, ke masa-masa kita sekarang.”

Setelah kalimatnya itu, kami berubah hening. Gondola terus bergerak naik dan turun, tapi kami sama-sama kehilangan kata-kata untuk diucapkan pada satu sama lain.

Sampai di satu titik, kuberanikan diri bertanya. “Kak… lo pernah merasa takut?”

Gondola bergerak semakin ke atas, dan berhenti di puncak tertinggi. Dari sini, lampu gondola lain tak membiasi gondola kami sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.

“Takut apa? Takut mati, maksud lo?” Aku mengangguk meski tahu Kak Doyoung tak sedang menatap ke arahku. “Pernah, sampai sekarang juga gue takut. Takut mati, takut meninggalkan, takut dilupakan… tapi, Git, semua orang pasti mati, kan?” Sejenak, Kak Doyoung tertegun, seperti tengah meyakinkan dirinya sendiri. “Gue cuma beruntung karena gue dikasih tau kapan batasnya, dan gue punya cukup waktu buat siap-siap.”

Gondola kembali berjalan turun, senyumnya getir ketika kami bertatapan.

“Lagian dari lo, gue belajar buat nerima rasa takut itu. Lo aja nerima gue dengan waktu gue yang terbatas, lalu kenapa gue gak bisa nerima diri gue sendiri?” Kedua alisnya bergerak naik, dan meski senyum itu terulas dengan indah, kesedihan di matanya tak bisa berbohong.

“Gue cuma nyesal, karena gak bisa jaga orangtua gue sampai jadi kakek-nenek, gak bisa ada di sana lagi di setiap momen terpenting bagi orang-orang yang gue sayang. Dan gue nyesal… karena gue gak bisa lama sama lo, gak bisa menua bareng lo, gak bisa memastikan dunia lo udah baik-baik aja….”

Air mata menggenang di pelupuk mataku, membuatku lantas menoleh pada langit agar sesak ini hilang. Tapi gagal, sebab rasanya sakit, seperti dihujam ribuan jarum—keinginanku untuk bersamanya dihempaskan paksa oleh kenyataan.

“Git… gue gak pernah nyesal ketemu lo. Lo adalah salah satu orang yang selalu gue harapkan buat bahagia. Kalau gue bisa, gue harap gue punya banyak waktu buat nunjukin sama lo betapa lo berarti udah terlahir ke dunia ini.”

Kini, air mataku tak lagi kutahan, mengalir dengan bebas di wajah. “Lo juga, Kak. Gue harap semesta selalu menyayangi lo.”

Kak Doyoung meraih kedua tanganku, membenamkan wajahnya di sana—menangis sejadi-jadinya. Aku ingin melakukan sesuatu, tapi tak ada yang bisa kulakukan agar segalanya lebih baik. Maka aku pun mendekat, menyeka air matanya, melindunginya dari dunia.

Gue akan selalu ada di sini buat lo.

Itulah yang ingin kukatakan padanya, dan dari sepasang mata yang berkaca-kaca, aku tahu kami sama-sama memaknainya.

[Agit]

Aku tak dapat menahan rasa yang membuncah begitu sosoknya hadir di balik pagar rumahku. Senyumnya miring dan tatapannya jahil bercampur geli ketika mata kami akhirnya berpandangan, dengan langkah lebar-lebar, kuhampiri dia, kemudian bergelayutan manja di lengan tangannya.

“Kenapa pake jaket jeans?” tanyaku, memperhatikannya dari atas sampai bawah.

Jarak kami sudah dekat, namun Kak Doyoung justru menekuk lututnya, menunduk agar bisa berbisik tepat di telingaku. Katanya, “Biar kayak calon suami lo.”

Aku tersipu, hawa panas mulai menjalar di sekitar wajah, maka buru-buru kupukul pelan bahunya agar ia menjauh. “Ih, nanti kedengeran sama orang rumah, malu tau!”

“Biarin aja,” balasnya, mengerling jahil. “BIAR KAYAK CALON SUAMI LO! ASSALAMUALAIKUM, CALON SUAMI AGIT NIH, TANTE!”

“KAK DOYOUNG!” Kedua mataku membulat. Karena panik, secara impulsif aku pun menjulurkan tangan untuk membekap mulutnya, mencegahnya untuk mengatakan hal-hal yang jauh lebih gila. “Lo tuh cari mati, ya?!”

“Kalau itu sih gak usah dicari.” Ia cengengesan. Aku tadinya hendak marah lagi, namun tak sampai hati karena melihat senyumnya selebar itu. “Lo udah izin, kan? Udah bilang sama Mama kalau gue bakal bawa lo pergi sampai malam?”

“Udah.” Aku mengangguk, aku juga telah menceritakan segala hal tentangnya pada Mama. Tentang garis senyumnya, tentang merdu suaranya, tentang hangat peluknya, tentang mimpi-mimpinya yang tertunda.

Itu, adalah kali pertama Mama melihatku begitu mendamba pada seorang lelaki, dan ketika akhirnya Mama memelukku, entah bagaimana, aku merasa tenang. Mengetahui bahwa kini aku tak lagi melewati segalanya sendirian, aku merasa tenang.

Aku juga tahu, bahwa detik ini, dari balik jendela rumah Mama sedang memperhatikan kami.

“Nih, pake.” Kak Doyoung mengulurkan sebuah helm, yang kuterima dengan bingung.

“Kenapa bawa motor? Lo mau jadi Dilan, ya?”

“Ngapain jadi Dilan?” Kak Doyoung tertawa. “Dilan mah gak tau rasanya dicintai sama lo, Git.” Ia mengatakan itu sambil lalu, tanpa tahu efek yang ditimbulkannya pada hatiku. “Gue pake motor atas rekomendasi temen gue, katanya cowok bermotor itu menarik.” Sekali lagi, kerlingan jahil itu bermain-main di matanya, membuat perutku seperti dipenuhi kupu-kupu.

Tapi, aku berusaha mengendalikan diri. “Jadi, kita mau ke mana?”

“Ke Bandung gimana?”

“Ngapain jauh-jauh?”

“Penasaran, kira-kira butuh waktu berapa lama dari sini ke Bandung pakai motor dengan rata-rata kecepatan 60km/jam—eh, jangan deh, 50km/jam aja soalnya gue bawa lo, harus hati-hati.” Ia sudah naik di atas motor besarnya itu, menyalakan mesin, dan kembali berceloteh tentang asumsi jarak serta perkiraan macet yang akan kami tempuh. Namun aku justru melongo di tempatku berdiri, pusing bahkan sebelum perjalanan ini dimulai.

Stop, stop, stop! Lo mau ke Bandung cuma buat ngukur estimasi perjalanan?” Ia mengangguk polos. “Gak dulu, deh. Gak ada Bandung-Bandung. Yang waras-waras aja!” gerutuku, kemudian naik di jok belakang motornya.

“Ke Bandung jauh lebih waras daripada lo yang minta terbang,” selorohnya, mengabaikan pelototanku di kaca spion.

“Bertumbuk aja kita!”

“PMS ya lo, Git?”

“Ini kita mau jalan atau mau berantem?”

“Yaudah pegangan dulu!”

“Kok lo ngambek?!”

Kak Doyoung akhirnya mendengus kuat-kuat, kami saling melempar tatapan dengki lewat kaca spion yang langsung dibelokkan olehnya agar kami tak bisa berpandangan lagi. “Kalau mau jalan pegangan dulu,” katanya, meraih kedua tanganku agar melingkar di pinggangnya. “Kayak gini….”

“Oh, lo minta dipeluk?”

“Nggak, tapi emang gitu aturannya kalau dibonceng gue.”

Aku mencibir. “Menurut gue lo aneh.”

“Aneh-aneh juga lo sayang.” Menyebalkan, tapi ia benar. “Nanti kalau udah jalan, dagu lo taruh di bahu gue, ya?” katanya lagi, kali ini sukses membuatku mengerutkan alis.

“Biar apa, sih?”

“Nurut aja bisa gak?”

Aku jadi terkikik sendiri. “Ngoggey???”

Kemudian, hangat getar tawanya yang beradu dengan deru motor menjadi pembukaan kisah hari ini. Bertemankan langit sore Jakarta dan kemacetan jalan rayanya, kami membelah jalanan ibukota, membaur bersama para insan lain sebagai dua anak manusia yang sedang jatuh cinta.

Lupakan tentang kemarin yang penuh derita, lupakan tentang hari esok yang belum tentu tiba.

Pada halaman ini, detik ini, hanya ada aku dan dia; dan perasaan kami yang penuh oleh satu sama lain.

Sudah, aku tidak minta lebih.


Date pertama kami dimulai dengan mendatangi pertandingan futsal antar jurusan fakultas teknik di salah satu gor olahraga tak jauh dari kampus. Begitu memasuki areanya, beberapa teman Kak Doyoung—termasuk Jeffrey—menyapa seolah sudah menunggu kedatangan kami.

Pertandingan itu tak didatangi oleh banyak orang sebab yang kutahu, ini bukan pertandingan resmi. Namun Kak Doyoung—yang duduk bersamaku di bangku tribun—nampak begitu antusias menyemangati ketiga temannya di lapangan sana.

Aku tahu, jauh di dalam, Kak Doyoung ingin sekali ikut bermain, tapi kondisi tubuhnya tak memungkinkan ia untuk melakukan itu. Melihat binar matanya tiap kali bola mengarah pada gawang membuatku harus mati-matian menggigit bibir agar tak menangis.

Rasanya sakit, membayangkan selama ini Kak Doyoung tak pernah punya kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin dilakukannya; sakit.

Ada suatu momen ketika Kak Yuta berhasil membobol gawang lawan dan memberi satu poin kemenangan untuk timnya, kemudian ia bersorak, “Yang tadi buat lu, Doy! Lu menang!!!” teriaknya, diiringi sorakan riuh dan tepuk tangan dari satu lapangan.

Di sisiku, Kak Doyoung terbahak-bahak, mengacungi kedua jempolnya ke udara. Meski setelahnya, saat ia kira tak ada orang yang melihat, setetes air meleleh di sudut matanya yang buru-buru ia usap dengan punggung tangan.

Mungkin sejak awal, untuk inilah ia datang. Untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunianya yang dulu.

[Agit]

Sore hari ini langit sedang indah-indahnya. Matahari sudah tidak terlalu terik, angin berhembus sejuk, sementara di atas sana, awan-awan putih berarak menghiasi langit yang begitu biru.

Mungkin karena itu, yang membuat Kak Doyoung menepikan mobilnya di pinggir jalan, mengajakku berjalan kaki menyusuri taman di sepanjang sungai yang memisahkan area pergedungan dengan pemukiman. Kami bergandengan tangan, melewati hamparan rumput yang luas, beberapa orang nampak duduk dan membaca buku, bercengkrama, sementara anak-anak sibuk berlarian ke sana ke mari.

Namun, Kak Doyoung tak menghentikan langkahnya di sana, ia terus berjalan dan baru melepaskan genggaman tangannya begitu kami sampai di sebuah terowongan kecil—dindingnya dilukis dengan berbagai gambar bunga, dan langit-langitnya di tumbuhi oleh tanaman rambat yang menjuntai.

Indah.

Aku tak tahu apa tujuannya membawaku ke sini, tapi selama masih bisa bersamanya, kurasa aku tak perlu mempertanyakan apa-apa.

“Gue sengaja gak langsung antar lo pulang, biar lama bareng-barengnya.” Kak Doyoung mengambil beberapa kerikil, kemudian melempari sungai yang membentang di hadapannya. “Gue udah gak bisa lihat lo di kampus, jadi kalau kangen harus curi-curi waktu kayak gini.”

Aku mengernyit, namun tak ayal terkekeh juga. “Lucu banget, ya? Lo di sini, cuti, gak ke kampus lagi… sementara di kampus, gue ke mana-mana selalu dengar nama lo diomongin orang-orang.”

“Oh ya? Otw selebgram dong gue.”

“Dih, malah kesenengan!” Kupukul bahunya, pelan. “Orang-orang tuh kepo lo cuti kenapa. Beberapa ada yang nanya langsung ke gue, beberapa ada yang menyimpulkan sendiri, dan sisanya ngomongin yang nggak-nggak—kayak biasa.”

Kak Doyoung masih sibuk melempari batu ke sungai, tapi ia menatapku sekilas. “Ke ganggu gak?”

“Maksudnya?”

Your anxiety?” tanyanya, membuatku buru-buru memicingkan mata.

I never thought you knew that.

I know you better than you think, Git.” Kak Doyoung menghentikan kesibukannya, lalu menghadapkan tubuhnya padaku.

Aku mendelik. “Iya, dan lo selalu bertingkah seolah-olah lo gak mau mengenal gue,” tukasku sebal, sementara dari balik maskernya, aku tahu ia tengah tersenyum. “Hhhh, that tsundere thingy got me through such a hard time. Lucky you, because I’m addicted to pain so I still love you anyway.”

Kali ini, Kak Doyoung melepaskan tawanya. Tawa yang hangat, sehangat matahari sore itu.

It’s called art; the art of falling in love.

Art?” Aku membeo, sementara ia masih saja tertawa. “Hati gue compang-camping lo bilang art? Muka lo sini gue lukis biar jadi mural!” dengusku, menunjuk dinding di belakang kami yang berwarna-warni. Kak Doyoung kembali terbahak, renyah sekali.

Kemudian, seakan menyadari kekesalanku, ia akhirnya berhenti tertawa. “Tapi serius, lo ke ganggu gak sama omongan mereka? Kalau iya, nanti biar gue ke kampus,” ujarnya.

“Mau apa?”

“Mau bilang sama orang-orang buat jangan ganggu calon istri gue, lah!”

Kalimatnya itu sama sekali tak kuantisipasi, membuat degup jantungku langsung carut-marut, dan perlahan-lahan pipiku mulai memanas. “Apa, sih? Hati-hati kalau ngomong gue bisa jantungan tau!”

Kami sama-sama tergelak lagi, seolah membiarkan semilir angin dan ketenangan sungai menjadi saksi kami pernah bahagia berdua.

Kak Doyoung kemudian kembali melempar bebatuan ke sungai. Kutatap gemericik air di permukaan sungai itu, memperhatikan bagaimana sebutir kerikil mampu memporak-porandakan ketenangan yang sebelumnya ada di sana.

“Omongan mereka gak terlalu mengganggu gue kayak terakhir kali.” Aku menghembuskan napas, akhirnya mengakui keresahanku. “Tapi, gue tetap gak suka ada yang menyimpulkan segala hal tentang lo seolah-olah mereka orang yang paling mengenal lo.”

Tapi padaku, Kak Doyoung hanya tersenyum. “Biarin aja,” katanya pelan. “Bukannya lo sendiri yang bilang, kalau imaji kita yang ada di benak orang lain itu bukan tanggungjawab kita?”

Aku tahu aku pernah mengatakan itu padanya tiga tahun lalu, tapi aku tak tahu ia masih mengingatnya selama ini.

“Lo… ingat?”

“Gue inget semuanya tentang lo.” Kak Doyoung mengangguk, membuatku menoleh untuk menatapnya lamat-lamat. “Lagian, Git, emang sifat dasar manusia begitu, kok. Mereka cenderung mempercayai apa yang mau mereka percayai ketimbang nyari tau kebenarannya.”

Aku tak menjawab, sibuk memikirkan makna kalimatnya itu.

“Jadi lo juga, jangan lupain prinsip lo yang dulu. Ingat ya, mau bagaimana sulitnya keadaan lo, dunia gak akan pernah mau tau lo kenapa. Gak akan ada satu pun orang yang mengerti pikiran lo sehancur apa, hati lo sesakit apa, mental lo selemah apa… yang tau itu cuma diri lo sendiri.” Ada kesedihan dalam nada suaranya, yang serta merta kupahami karena aku pernah ada di posisi itu.

Kak Doyoung menghembuskan napas sembari memejamkan matanya sejenak, ketika matanya kembali membuka, binar sedih itu hilang, digantikan sorot teguh yang menatapku dalam-dalam.

“Lo gak harus memvalidasi perasaan lo pada dunia, yang butuh validasi atas perasaan lo ya cuma lo. Biar lo tau, Git… kapan saatnya berhenti, kapan saatnya istirahat, dan kapan saatnya bangkit lagi,” ia melanjutkan.

Diam-diam, perasaan itu memuncak.

Aku mengaguminya. Kagum luar biasa. Lebih dari seseorang yang ingin menghabiskan seluruh hidupku bersamanya. Lebih dari seseorang yang jatuh cinta.

Aku mengaguminya, dalam, tanpa ampun.

Lalu, tangannya yang besar mengacak puncak kepalaku. Sembari terkekeh, ia bertanya, “Kenapa liatin gue kayak begitu?”

“Lo ini terbuat dari apa sih, Kak? Kenapa semua yang ada dalam diri lo tuh bagus banget?”

“Katanya sih emang gitu?” Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jumawa. “Kalau di mata orang yang tepat, kita tuh jadi luar biasa? Ternyata benar, lo testimoninya.”

Aku salah tingkah. “Jadi gue orang yang tepat buat lo?”

“Gue gak kepikiran orang lain selain lo, Git.”

Aku tak tahu bagaimana cara mendeskripsikan lelaki ini dengan tepat; tapi jika rumah bisa dimanifestasikan dalam sosok manusia, maka ialah orangnya. Dalam hidupku, tak pernah ada yang bisa membuatku memandang dunia dengan lebih luas, lebih lapang, dan lebih menerima selain dirinya. Sehingga kehadirannya saat ini, setiap detik yang kami bagi, rasanya sungguh berarti.

“Lo tau gak sih, Kak? Di saat-saat begini apa yang paling randomnya?” Aku tersenyum menatap sungai. “Gue justru ingat kata-kata Karin, dia bilang, belajar memahami orang lain. Kalau dipikir-pikir, lo selalu memahami gue, tapi gue belum pernah memahami lo….”

“Lo sedang belajar memahami gue.”

Jawabannya membuatku tersenyum lebih lebar, namun entah kenapa aku ingin menangis.

“Katanya, orang yang memahami luka orang lain itu adalah orang yang jauh lebih terluka. Mereka baik karena dunia pernah begitu nggak baik sama mereka,” ucapku, terdengar getir. “Lo… memahami semua luka-luka gue, karena lo pernah ada di posisi yang sama ya, Kak?”

Ketika kami akhirnya berpandangan, dan melihat sendu di matanya, aku tahu… aku tahu tebakanku benar.

“Untuk ukuran orang-orang sakit kayak kita, kita itu terlalu pongah sama dunia. Gak mau keliatan lemah, seolah dengan begitu kita jadi beneran kuat—padahal, itu semakin nyiksa perasaan gak sih karena bahkan ke diri sendiri pun, kita gak ngebolehin jujur kalau kita lagi gak baik-baik aja?”

Aku hampir meneteskan air mata ketika Kak Doyoung memalingkan wajahnya, menghindari tatapanku. Dan baru kusadari, di sini, dari tempatku berdiri, Kak Doyoung nampak sakit; bahasa tubuhnya lemah, pembawaannya kuyu, dan ia sering melakukan hal-hal lain agar fokusku terganggu—salah satunya melempari kerikil ke sungai itu. Ia nampak sakit; fisik dan mental.

“Lo bilang yang butuh validasi atas perasaan lo itu diri lo sendiri? Jadi lo juga, gak boleh lupain prinsip lo, Kak. Kalau sakit, bilang sakit. Kalau takut, bilang takut. Luka-luka lo juga, harus disembuhin dulu sebelum lo punya niat buat nyembuhin luka orang lain.”

Kak Doyoung yang kukenal selalu terlihat angkuh tak tergoyahkan, tapi kali ini, aku melihat dia sebagaimana adanya—sosok yang ketakutan, yang setiap harinya khawatir apakah hari esok akan datang.

Aku ingin berbagi beban dengannya, ingin ia kembali tersenyum seolah kami akan hidup selamanya. Maka, aku pun mendekat, melingkarkan pergelangan tanganku di pinggangnya, memeluknya erat-erat.

“Lo terbuat dari apa sih, Git? Kenapa semua yang ada di diri lo tuh bagus banget?” Meski kurasakan air matanya di puncak kepalaku, kami sama-sama tertawa detik itu.

“Karena lo orang yang tepat buat gue, jadi gue luar biasa di mata lo.”

Sama sepertinya yang menjadi rumah untukku pulang, menjadi sandaran bahu untukku menangis, aku pun ingin ia tahu bahwa aku akan ada di sana—menjadi rumah, menjadi sandaran, dan yang terpenting, adalah untuk menjadi akhir yang bahagia.