Tokoh Utama dan Tokoh Tak Kasat Mata

Menjelang malam, studio tempat pemotretan sudah mulai sepi. Meski begitu, Senja tak dapat menulikan telinganya dari bisikan orang-orang yang ditujukan untuknya—dan Genta, yang kini duduk di sebelahnya.

Senja memang tak pernah mempublikasikan hubungan mereka, namun tetap saja, title-nya sebagai perempuan bersuami mengundang gosip-gosip bertebaran dengan mudah hanya karena ia terlihat duduk bersama lelaki lain.

Melihat betapa tidak nyamannya Genta saat ini, membuat Senja merasa bersalah karena sudah meminta bertemu.

Babe—“

Genta menoleh dengan kedua mata membulat, raut panik bercampur geli bermain-main di wajahnya. Senja segera menutup mulutnya dengan tangan, hampir saja ia membuat situasi ini lebih buruk dari sebelumnya.

“Ta, sori ya... harusnya aku yang main ke rumah kamu bukannya minta kamu yang ke sini.”

It’s okay, yang penting aku bisa lihat kamu,” bisik Genta, sorot matanya melembut. “Harusnya aku yang minta maaf, aku gak bisa antar kamu pulang,” ia melanjutkan lirih, sembari memandang motornya di parkiran.

Senja mengikuti arah pandang Genta, dan seketika itu juga menyadari apa yang tengah lelaki itu pikirkan.

“Sebenarnya gak apa-apa tau antar aku pulang pake motor. Aku kan bisa pake helm sama masker, jadi gak ketauan, deh.”

Mendengar kalimatnya, Genta kembali menarik garis senyum yang sedikit dipaksakan. Ada sendu di sana, sesuatu yang kerap kali melintas di kedua mata lelaki itu ketika mereka bersama.

Senja bukannya tidak menyadari bahwa selama menjalin hubungan ini, Genta tidak percaya diri. Senja sadar itu, namun tak ada yang dapat ia lakukan agar segalanya membaik.

Dan detik ini, Senja melihat bahwa jarak mereka telah terbentang terlalu lebar.

Mereka seperti dua orang yang diciptakan untuk peran yang sama sekali berbeda, seperti si tokoh utama yang jatuh cinta pada si tokoh tak kasat mata; tak ada jalan ceritanya.

“Senja, kamu bahagia sama Abbyan?”

Ditanya begitu, Senja mencelus. Ia tak tahu harus menjawab apa.

“Aku rasa—“

Belum sempat Genta menyelesaikan kalimatnya, sebuah Maserati hitam melintas dengan kecepatan penuh memasuki area parkir, berputar kemudian berhenti tepat di hadapan Genta dan Senja yang terduduk di bangku sepanjang pinggir taman.

Tanpa membuka jendela, Senja tahu siapa pengemudinya.

“... Siapa?”

“Mas Abbyan,” balas Senja.

Genta mengangguk, lalu berdiri dan membantu Senja merapikan barang-barangnya. Sesekali, ia melirik mobil di depannya dengan ujung mata, separuh hatinya bertanya-tanya bagaimana rupa dan sifat lelaki yang berhasil memiliki wanita kesayangannya ini. Namun, bermenit-menit berlalu, lelaki yang ia ketahui bernama Abbyan itu tak kunjung keluar dari mobilnya, sama sekali tak ada niatan untuk membantu atau sekadar menyapa Senja yang seharian ini sudah lelah bekerja.

Genta mengernyit, mengetahui jawaban yang ia dapatkan nampaknya tak sejalan dengan yang ia harapkan.

“Ngapain lagi sih lama amat?” Jendela mobil bergerak turun, Genta menoleh hanya untuk menemukan lelaki dengan dua alis menukik tajam.

“Bentar, ini baju-baju aku nanti kusut—“

“Gak peduli. Cepet, gue pengen tidur.”

“Iya, Mas.”

“Kalau mau cepet makanya bantuin!” Genta tidak tahu apa yang menyulut amarahnya; mungkin rasa benci, mungkin juga marah karena Abbyan ternyata tak memperlakukan Senja sebagaimana ia memperlakukan wanita itu.

Namun, Abbyan justru mendecih. Katanya, “Sori, bukan asistennya.”

Rahang Genta mengeras seketika.

“Lo asistennya, kan? Tugas lo berarti, sana masukin barang-barangnya ke bagasi.”

“Kurang ajar—“

“Udah!” Dengan sigap, Senja segera menarik tangan Genta. “Udah, biarin aja emang kurang waras anaknya,” lanjutnya lagi, kali ini sambil berbisik.

Merasa tidak enak pada kru yang mulai memperhatikan pertikaian mereka, Genta buru-buru menguasai dirinya kembali, dengan tenang mengangkut barang-barang Senja dan memasukkannya ke bagasi.

“Aku pulang dulu, ya?”

Babe....

“Shhhtt! Genta!” Senja terkekeh, reflek memukul lengan pacarnya itu. Meski ikut tertawa, ada raut khawatir yang membayang di mata Genta dan Senja sadar itu. “Gak apa-apa, aku pulang, ya? Kamu hati-hati bawa motornya, jangan ngebut!”

Genta mengangguk, kehilangan kata-kata untuk diucapkan.

“Dadaaaah, Genta!”

Kini, Genta tidak tahu mana yang lebih buruk; menggenggam Senja meski sadar mereka tak bisa bersama, atau membiarkannya dengan lelaki lain walau Senja tak bahagia di sana.