A+, milk, and that kiss
Kamar rumah sakit tempat Doyoung di rawat sebenarnya tak seberapa luas, namun keheningan yang mengukung dua manusia di dalamnya justru membuat jarak terasa lebih lebar dari yang seharusnya.
Di atas ranjang, Doyoung tepekur membolak-balik lembar jawaban ujian Agit. Ia nampak serius meneliti keselarasan antara soal dan jawaban, meski sedikit banyak ia tidak benar-benar paham. Sementara di sebelahnya, Agit terduduk dengan tangan menyilang di depan dada, wajahnya murung—perpaduan kesal dan kecewa.
“Lo bilang kalo gue dapet A+ gue boleh nyi—“
“Tapi lo cuma dapet satu A+,” Doyoung memotong ucapan Agit lebih dulu.
“Lo gak bilang gue harus dapet A+ di semua mata kuliah, ya!”
“Lo juga gak bilang lo dapet C di dua mata kuliah.”
Agit cemberut. “Ini kan cuma UTS, nanti gue perbaiki di UAS, kok!
Doyoung mendecak, menaruh lembaran-lembaran kertas di tangannya ke pojok ranjang dengan acuh. Kemudian, pada Agit yang masih sibuk melipat tangan di depan dada seraya memasang wajah ‘ngambek’ mode on, Doyoung menyodorkan sekotak besar susu cair UHT.
“Nih, hadiah lo,” katanya.
“Gak mau, apa-apaan dikasih susu?”
“Biar gak ngerengek terus, kayak bayi aja!”
Agit semakin geram. “Gue gak mau susu, Kak!”
Doyoung mendelik. “Udah bagus gue kasih susu, biar lo gak jajan pentil Mang Aceng lagi.”
“KAK DOYOUNG SUMPAH YA!”
Berikutnya yang terjadi, Agit mendaratkan cubitan-cubitan kecil di sepanjang lengan Doyoung, membuat lelaki itu terkekeh sembari mengaduh sakit.
“Oke, stop stop... fine!” Doyoung mengangkat kedua tangannya; menyerah. “Ini gak adil, gue gak bisa ngelak dari serangan lo.”
Kalimat itu berhasil menghentikan gerakan Agit yang membabi-buta, kini pandangannya jatuh pada Doyoung. Sedetik, atau bahkan kurang, Doyoung melihat ada semacam penyesalan dan rasa bersalah di mata Agit—namun tak lama sebab gadis itu buru-buru mengalihkan perhatian.
“Gak usah sembunyi di balik selang infus lo deh, Kak! Yang posisinya paling gak adil itu gue!” Agit mendengus. “Gila aja... gue udah belajar mati-matian, begadang tiap malam, ditambah nahan kangen saban hari. Dan sekarang, saatnya gue diapresiasi, lo ternyata PHP sama gueeee!”
Ada yang lucu saat Agit memprotes panjang lebar seperti itu, kedua alisnya berkerut-kerut kesal, bibir yang mengerucut di tiap kata, serta pipi yang menggembung.
Menatap Agit seperti ini, entah kenapa Doyoung merasa lega. Gadis itu terlihat bahagia.
“Gue gak PHP, gue kan bilang lo boleh nyium pipi gue. Tapi karena lo dapet C di dua mata kuliah, jadi nyiumnya—“
Cup~
Kalimatnya belum selesai, kata-katanya masih menggantung di ujung lidah. Namun Agit—perempuan itu telah lebih dulu mendaratkan ciuman tepat di bibirnya.
Mereka terdiam, sama-sama terkejut bukan main.
Kemudian, Agit jadi paling pertama mengedipkan mata. Ia kembali terduduk di kursi, panik setengah mati kala menyadari tindakannya barusan.
Melihat Doyoung masih bergeming karena ciuman sekilasnya tadi, Agit salah tingkah. Ia beranjak berdiri, membuka tutup susu kotak UHT pemberian Doyoung, menuangkannya sedikit dalam gelas.
Ia baru minum satu teguk ketika Doyoung akhirnya berdeham.
“Lo barbar banget, ya?” tanyanya, dengan dahi mengernyit dalam. “Main nyosor aja.”
“Eh?” Agit meletakkan gelasnya di atas nakas. “Lo- lo juga nyosor jidat gue waktu itu!” Dibilang barbar, tentu saja Agit tidak terima.
“Jidat lo gak sebanding sama bibir gue, Git.”
“Y- yaudah sih, ya?” Meski tergagap, Agit harus tetap mempertahankan harga dirinya yang tersisa. “Terus lo mau apa? Mau diambil lagi?”
“Iya.”
Agit tidak menyadari apa yang terjadi, segalanya begitu cepat saat tahu-tahu saja, pergelangan tangannya ditarik paksa oleh Doyoung—membuatnya lantas terduduk di atas paha lelaki itu.
Detik melambat, semuanya terasa seperti background tak hidup. Mereka mengunci pandangan pada satu sama lain, seakan larut dalam emosi masing-masing.
“Don’t test me, Git,” he rasped
The tiniest smile playing at the edges of his lips, he snakes an arm around Agit’s waist—pulling her close.
He looks at her again, slowly leaning in.
“This is you want, huh?” Doyoung whispered, letting their lips meet in a soft lingering kiss. And that moment, Doyoung completely lost his mind.
Agit closed her eyes as she returns the kiss. This guy really made her stomach fill with butterflies.
It feels like the first time all over again. Everything settles. Everything is perfect.
And they kissed soflty until their breaths ran out.
“You such a good kisser.” She's murmur after a moment, making sure to keep close.
Doyoung smirked more at that and laughed.
“Hadiah lo mendarat dengan sempurna, kan?”
Dibisiki seperti itu, kedua pipi Agit memerah. Mulutnya membuka dan menutup, bingung harus menjawab apa, bingung harus bereaksi bagaimana.
Tak ada kata-kata, keduanya sibuk mematri detik ini di memori yang paling dalam. Menjadikannya satu kenangan yang tak akan pernah terlupakan. Kening mereka bersentuhan, tangan Doyoung meniti lekuk wajah Agit; senyumnya, bulu matanya, hidungnya, dan kedua bibirnya—yang tadi sempat berbagi udara yang sama dengannya.
Sementara Agit, ia mengalungkan tangannya di sekitar leher Doyoung. Berusaha mengabaikan betapa lelaki ini telah jauh berubah dari yang biasa ia lihat. Badannya kurus dan ringkih, pucat pasi dengan lebam-lebam kebiruan serta bekas luka suntikan. Tatapan matanya redup, terasa letih dengan helaan-helaan napas yang tidak teratur.
Saat ini, Doyoung bahkan sudah tak sanggup berdiri tanpa bantuan siapa-siapa. Ia butuh kursi roda untuk berpindah tempat.
Agit tahu, ia tahu meski tak dapat penjelasan apa-apa. Agit tahu bahwa waktu mereka tak banyak tersisa.
“Makasih, Kak.” Agit mengangkat wajah, memberikan senyum terbaiknya.
Doyoung mengangguk, menatap Agit dalam-dalam—melukis betapa indah senyum gadis kesayangannya itu sebanyak yang ia mampu.
Kemudian, suara ketukan di pintu kamar membuat keduanya terlonjak. Sebuah troli makanan masuk dengan seorang suster yang berbasa-basi sekilas.
Tak seperti Doyoung yang menimpali obrolan suster dengan tenang, Agit justru merasakan jantungnya masih berkejaran meski adegan tadi sudah lama berlalu.
Ketika suster keluar dan pintu kembali tertutup, Agit menghela napas yang sejak tadi tertahan.
“Hampir aja tercyduk!” serunya, mengusap-usap dada, lalu meneguk kembali susu yang tersisa dalam gelas.
Doyoung melirik Agit sekilas, sebelum kembali tersenyum miring.
“Kenapa lo lihat-lihat? Mau?”
“Nggak,” jawabnya singkat. “Udah tau rasanya lagian.”
“Apa?”
Doyoung mengesah ambigu. “Manis.”
Agit menautkan kedua alisnya, bingung. “Padahal susunya fullcream, loh.”
Doyoung kembali menarik senyum sembari menggaruk tengkuk, “Ya emang bukan susunya.”
Bibir lo, maksud gue.
Doyoung ingin melanjutkan, tapi tak jadi sebab mendapati wajah Agit memerah hanya akan membuat kerja jantungnya semakin carut-marut saja.
Dan malam itu, keduanya kembali berbagi tawa; kembali menyelesaikan satu lagi halaman dengan bahagia.