Papa mau cucu
Acara ulangtahun mertuanya itu digelar di ballroom sebuah hotel mewah. Dalam benaknya, Senja bertanya-tanya kenapa ulangtahun setua itu malah dirayakan besar-besaran—tapi tentu saja pertanyaan itu tak akan pernah ia utarakan, apalagi pada lelaki di sebelahnya ini.
Senja masih sibuk dengan sekelumit pikiran bodohnya itu tatkala ia merasakan telapak tangan yang hangat menggenggam miliknya. Ia menoleh, hanya untuk menemukan raut dingin khas Abbyan.
Tangannya hangat mukanya dingin, dispenser lo? Senja mencaci dalam hati.
“Ini kita harus pegangan tangan begini?”
“Kenapa? Baper?” Abbyan membisik, seraya menebar senyum pada tamu lain yang menyapa.
Senja mendelik sebal. “Kamu gak lebih waw daripada aktor-aktor papan atas yang pernah megang tangan aku ya, Mas.” Dijawab begitu, Abbyan sengaja meremas tangan Senja—membuat perempuan itu sontak melotot. “Jefri Nicol, Junior Roberts, Arbani Yasiz.... mereka aja tuh aku gak baper. Apalagi Abbyan Rafandra?”
“Bisa diem gak?”
“Mas kali tuh yang baper sama aku! Buktinya Mas duluan yang pegang-pegang.”
Abbyan hampir saja menepuk jidatnya sendiri, tak menyangka Senja ternyata sebawel ini.
“Ya, ya... anggap aja gue juga cuma megang tangan lo sebagai dokter dan pasien. Soalnya menurut gue lo sakit.” Kening Senja mengerut, dan Abbyan buru-buru melanjutkan. “Sakit... di sini,” katanya, sembari menunjuk kepala Senja.
Setelah berkata begitu, Abbyan menarik senyum—bahkan nyaris tertawa pongah jika saja ia tidak ingat ada begitu banyak mata yang memperhatikan mereka.
Senja ingin membalas, tapi tak sempat sebab Abbyan segera menarik tangannya menuju meja tempat keluarga besar mereka berada.
“Selamat ulangtahun ya, Pa.”
“Akhirnya datang juga anak Papa. Terimakasih, Abbyan.” Kedua anak ayah itu berpelukan sekilas, sebelum Danuarta kembali bersuara. “Istrimu mana?”
Dibalik tubuh Abbyan, Senja menarik napas dan menyiapkan senyum terbaiknya.
“Ada kok, Pa. Selamat ulangtahun, ya. Senja doakan Papa panjang umur, sehat selalu, dan semua yang Papa harapkan di tahun ini terwujud.”
Kalimat Senja yang seolah ia hapalkan dari skenario di kepalanya itu sontak diaminkan oleh para keluarga yang lain. Di seberang meja, Bunda dan Eyang tersenyum bangga padanya.
“Kalau gitu, harapan Papa yang satu ini tugas kalian yang mewujudkannya.”
Mendengar itu, kedua alis Senja bertaut, sementara Abbyan justru melingkarkan tangan di sekitar bahunya—membawanya dalam rangkulan yang mesra. Namun, seberapa mesra pun rangkulan itu, Senja bisa merasakan segalanya terasa canggung dan palsu.
“Papa mau apa emang?” tanya Abbyan akhirnya.
Danuarta melempar pandangan ambigu pada anaknya, kemudian terkekeh pelan.
“Papa mau cucu.”
Tiga kata.
Hanya tiga kata, tapi rasanya jantung Abbyan dan Senja telah menggelinding entah ke mana.
Semakin malam, pesta itu rupanya semakin meriah. Meski begitu, di keramaian ini Senja justru merasa kesepian. Bunda dan Eyang sudah pulang lebih dulu, sementara keluarga mertuanya itu juga menyusul pulang beberapa menit lalu.
Dari yang Senja dengar, pesta ini katanya sengaja dibuat selain untuk merayakan ulangtahun, juga sebagai hiburan untuk para tenaga kesehatan dan karyawan di rumah sakit mereka. Namun, setelah tak sengaja menguping pembicaraan sang eyang dengan ayah mertuanya, Senja merasa pesta ini lebih seperti merayakan keberhasilan bisnis Om Danu saja.
Lalu, seolah dunia ingin membuatnya lebih kecewa lagi, tak jauh dari tempatnya duduk detik ini, kedua matanya menemukan Abbyan di salah satu meja.
Ada seorang wanita bergaun sederhana yang juga duduk di sana.
Mendadak, Senja ingin tertawa. “Cucu?” tanyanya pada angin, kemudian tergelak sendiri.
“Cucu pantat gue!”