untuk menjadi akhir yang bahagia

[Agit]

Sore hari ini langit sedang indah-indahnya. Matahari sudah tidak terlalu terik, angin berhembus sejuk, sementara di atas sana, awan-awan putih berarak menghiasi langit yang begitu biru.

Mungkin karena itu, yang membuat Kak Doyoung menepikan mobilnya di pinggir jalan, mengajakku berjalan kaki menyusuri taman di sepanjang sungai yang memisahkan area pergedungan dengan pemukiman. Kami bergandengan tangan, melewati hamparan rumput yang luas, beberapa orang nampak duduk dan membaca buku, bercengkrama, sementara anak-anak sibuk berlarian ke sana ke mari.

Namun, Kak Doyoung tak menghentikan langkahnya di sana, ia terus berjalan dan baru melepaskan genggaman tangannya begitu kami sampai di sebuah terowongan kecil—dindingnya dilukis dengan berbagai gambar bunga, dan langit-langitnya di tumbuhi oleh tanaman rambat yang menjuntai.

Indah.

Aku tak tahu apa tujuannya membawaku ke sini, tapi selama masih bisa bersamanya, kurasa aku tak perlu mempertanyakan apa-apa.

“Gue sengaja gak langsung antar lo pulang, biar lama bareng-barengnya.” Kak Doyoung mengambil beberapa kerikil, kemudian melempari sungai yang membentang di hadapannya. “Gue udah gak bisa lihat lo di kampus, jadi kalau kangen harus curi-curi waktu kayak gini.”

Aku mengernyit, namun tak ayal terkekeh juga. “Lucu banget, ya? Lo di sini, cuti, gak ke kampus lagi… sementara di kampus, gue ke mana-mana selalu dengar nama lo diomongin orang-orang.”

“Oh ya? Otw selebgram dong gue.”

“Dih, malah kesenengan!” Kupukul bahunya, pelan. “Orang-orang tuh kepo lo cuti kenapa. Beberapa ada yang nanya langsung ke gue, beberapa ada yang menyimpulkan sendiri, dan sisanya ngomongin yang nggak-nggak—kayak biasa.”

Kak Doyoung masih sibuk melempari batu ke sungai, tapi ia menatapku sekilas. “Ke ganggu gak?”

“Maksudnya?”

Your anxiety?” tanyanya, membuatku buru-buru memicingkan mata.

I never thought you knew that.

I know you better than you think, Git.” Kak Doyoung menghentikan kesibukannya, lalu menghadapkan tubuhnya padaku.

Aku mendelik. “Iya, dan lo selalu bertingkah seolah-olah lo gak mau mengenal gue,” tukasku sebal, sementara dari balik maskernya, aku tahu ia tengah tersenyum. “Hhhh, that tsundere thingy got me through such a hard time. Lucky you, because I’m addicted to pain so I still love you anyway.”

Kali ini, Kak Doyoung melepaskan tawanya. Tawa yang hangat, sehangat matahari sore itu.

It’s called art; the art of falling in love.

Art?” Aku membeo, sementara ia masih saja tertawa. “Hati gue compang-camping lo bilang art? Muka lo sini gue lukis biar jadi mural!” dengusku, menunjuk dinding di belakang kami yang berwarna-warni. Kak Doyoung kembali terbahak, renyah sekali.

Kemudian, seakan menyadari kekesalanku, ia akhirnya berhenti tertawa. “Tapi serius, lo ke ganggu gak sama omongan mereka? Kalau iya, nanti biar gue ke kampus,” ujarnya.

“Mau apa?”

“Mau bilang sama orang-orang buat jangan ganggu calon istri gue, lah!”

Kalimatnya itu sama sekali tak kuantisipasi, membuat degup jantungku langsung carut-marut, dan perlahan-lahan pipiku mulai memanas. “Apa, sih? Hati-hati kalau ngomong gue bisa jantungan tau!”

Kami sama-sama tergelak lagi, seolah membiarkan semilir angin dan ketenangan sungai menjadi saksi kami pernah bahagia berdua.

Kak Doyoung kemudian kembali melempar bebatuan ke sungai. Kutatap gemericik air di permukaan sungai itu, memperhatikan bagaimana sebutir kerikil mampu memporak-porandakan ketenangan yang sebelumnya ada di sana.

“Omongan mereka gak terlalu mengganggu gue kayak terakhir kali.” Aku menghembuskan napas, akhirnya mengakui keresahanku. “Tapi, gue tetap gak suka ada yang menyimpulkan segala hal tentang lo seolah-olah mereka orang yang paling mengenal lo.”

Tapi padaku, Kak Doyoung hanya tersenyum. “Biarin aja,” katanya pelan. “Bukannya lo sendiri yang bilang, kalau imaji kita yang ada di benak orang lain itu bukan tanggungjawab kita?”

Aku tahu aku pernah mengatakan itu padanya tiga tahun lalu, tapi aku tak tahu ia masih mengingatnya selama ini.

“Lo… ingat?”

“Gue inget semuanya tentang lo.” Kak Doyoung mengangguk, membuatku menoleh untuk menatapnya lamat-lamat. “Lagian, Git, emang sifat dasar manusia begitu, kok. Mereka cenderung mempercayai apa yang mau mereka percayai ketimbang nyari tau kebenarannya.”

Aku tak menjawab, sibuk memikirkan makna kalimatnya itu.

“Jadi lo juga, jangan lupain prinsip lo yang dulu. Ingat ya, mau bagaimana sulitnya keadaan lo, dunia gak akan pernah mau tau lo kenapa. Gak akan ada satu pun orang yang mengerti pikiran lo sehancur apa, hati lo sesakit apa, mental lo selemah apa… yang tau itu cuma diri lo sendiri.” Ada kesedihan dalam nada suaranya, yang serta merta kupahami karena aku pernah ada di posisi itu.

Kak Doyoung menghembuskan napas sembari memejamkan matanya sejenak, ketika matanya kembali membuka, binar sedih itu hilang, digantikan sorot teguh yang menatapku dalam-dalam.

“Lo gak harus memvalidasi perasaan lo pada dunia, yang butuh validasi atas perasaan lo ya cuma lo. Biar lo tau, Git… kapan saatnya berhenti, kapan saatnya istirahat, dan kapan saatnya bangkit lagi,” ia melanjutkan.

Diam-diam, perasaan itu memuncak.

Aku mengaguminya. Kagum luar biasa. Lebih dari seseorang yang ingin menghabiskan seluruh hidupku bersamanya. Lebih dari seseorang yang jatuh cinta.

Aku mengaguminya, dalam, tanpa ampun.

Lalu, tangannya yang besar mengacak puncak kepalaku. Sembari terkekeh, ia bertanya, “Kenapa liatin gue kayak begitu?”

“Lo ini terbuat dari apa sih, Kak? Kenapa semua yang ada dalam diri lo tuh bagus banget?”

“Katanya sih emang gitu?” Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jumawa. “Kalau di mata orang yang tepat, kita tuh jadi luar biasa? Ternyata benar, lo testimoninya.”

Aku salah tingkah. “Jadi gue orang yang tepat buat lo?”

“Gue gak kepikiran orang lain selain lo, Git.”

Aku tak tahu bagaimana cara mendeskripsikan lelaki ini dengan tepat; tapi jika rumah bisa dimanifestasikan dalam sosok manusia, maka ialah orangnya. Dalam hidupku, tak pernah ada yang bisa membuatku memandang dunia dengan lebih luas, lebih lapang, dan lebih menerima selain dirinya. Sehingga kehadirannya saat ini, setiap detik yang kami bagi, rasanya sungguh berarti.

“Lo tau gak sih, Kak? Di saat-saat begini apa yang paling randomnya?” Aku tersenyum menatap sungai. “Gue justru ingat kata-kata Karin, dia bilang, belajar memahami orang lain. Kalau dipikir-pikir, lo selalu memahami gue, tapi gue belum pernah memahami lo….”

“Lo sedang belajar memahami gue.”

Jawabannya membuatku tersenyum lebih lebar, namun entah kenapa aku ingin menangis.

“Katanya, orang yang memahami luka orang lain itu adalah orang yang jauh lebih terluka. Mereka baik karena dunia pernah begitu nggak baik sama mereka,” ucapku, terdengar getir. “Lo… memahami semua luka-luka gue, karena lo pernah ada di posisi yang sama ya, Kak?”

Ketika kami akhirnya berpandangan, dan melihat sendu di matanya, aku tahu… aku tahu tebakanku benar.

“Untuk ukuran orang-orang sakit kayak kita, kita itu terlalu pongah sama dunia. Gak mau keliatan lemah, seolah dengan begitu kita jadi beneran kuat—padahal, itu semakin nyiksa perasaan gak sih karena bahkan ke diri sendiri pun, kita gak ngebolehin jujur kalau kita lagi gak baik-baik aja?”

Aku hampir meneteskan air mata ketika Kak Doyoung memalingkan wajahnya, menghindari tatapanku. Dan baru kusadari, di sini, dari tempatku berdiri, Kak Doyoung nampak sakit; bahasa tubuhnya lemah, pembawaannya kuyu, dan ia sering melakukan hal-hal lain agar fokusku terganggu—salah satunya melempari kerikil ke sungai itu. Ia nampak sakit; fisik dan mental.

“Lo bilang yang butuh validasi atas perasaan lo itu diri lo sendiri? Jadi lo juga, gak boleh lupain prinsip lo, Kak. Kalau sakit, bilang sakit. Kalau takut, bilang takut. Luka-luka lo juga, harus disembuhin dulu sebelum lo punya niat buat nyembuhin luka orang lain.”

Kak Doyoung yang kukenal selalu terlihat angkuh tak tergoyahkan, tapi kali ini, aku melihat dia sebagaimana adanya—sosok yang ketakutan, yang setiap harinya khawatir apakah hari esok akan datang.

Aku ingin berbagi beban dengannya, ingin ia kembali tersenyum seolah kami akan hidup selamanya. Maka, aku pun mendekat, melingkarkan pergelangan tanganku di pinggangnya, memeluknya erat-erat.

“Lo terbuat dari apa sih, Git? Kenapa semua yang ada di diri lo tuh bagus banget?” Meski kurasakan air matanya di puncak kepalaku, kami sama-sama tertawa detik itu.

“Karena lo orang yang tepat buat gue, jadi gue luar biasa di mata lo.”

Sama sepertinya yang menjadi rumah untukku pulang, menjadi sandaran bahu untukku menangis, aku pun ingin ia tahu bahwa aku akan ada di sana—menjadi rumah, menjadi sandaran, dan yang terpenting, adalah untuk menjadi akhir yang bahagia.