Ibu Terhebat
Doyoung menaruh ponselnya di atas meja nakas, kemudian memijat kening untuk meredakan nyeri di dalam sana.
Akhir-akhir ini, ia tidak lagi bisa sering bermain handphone. Cahaya dari layar ponsel selalu membuat matanya memburam, ia juga tidak punya cukup tenaga untuk mengetik. Maka, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya membaca pesan-pesan yang dikirimkan Agit; mendengarkan gadis itu bercerita tentang apa saja—tugas kuliah, teman-teman, dan keluarganya—membuat Doyoung bahagia.
Agit terlihat seperti seseorang yang sudah berdamai dengan masa lalu, dan karenanya; Doyoung ingin melakukan hal yang sama.
“Pacarmu itu—Agit ya namanya? Kenapa belum berkunjung lagi?” Bunda mendudukkan diri di kursi sisi ranjang, sembari tersenyum kecil, Bunda melanjutkan, “Baik anaknya, ceria juga. Masa waktu pertama kali ketemu Bunda, dia bilang Bunda calon mertuanya.”
Doyoung tergelak, lucu membayangkan reka adegan itu dalam kepalanya. Agit benar-benar balas dendam ternyata.
“Ajak ke sini lagi, suruh sering-sering berkunjung. Kalau mau nginep jagain kamu juga boleh, kok.”
“Nanti dia girang, Bun, kalau dibolehin nginep.”
“Ya gak apa-apa, biar bisa ngobrol banyak juga sama Bunda.” Kemudian, Bunda mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, matanya bergetar seolah pikirannya berlarian entah ke mana. “Waktu pertama kali ketemu, Agit juga bilang makasih sama Bunda loh, Kak. Katanya makasih, udah jadi bunda yang baik buat kamu....”
Kalimat Bunda menggantung di sana. Lama Bunda terdiam, seakan kehilangan tenaga untuk melanjutkan.
Melihat Bunda seperti ini, Doyoung segera mendekatkan diri untuk membungkus kedua tangan Bunda dengan tangannya sendiri. Ditatapnya sang ibu dalam-dalam; helai-helai rambut yang mulai memutih, garis samar di sekitar mata yang berkedip lelah.
Doyoung ingat, ia pernah meminta pada Tuhan agar mencabut nyawanya lebih dulu ketimbang nyawa orangtuanya; sebab baginya, menyakitkan melihat kedua orangtuanya menua dan perlahan-lahan kehilangan kehidupan. Tapi saat ini, detik ini, Doyoung justru menyesal.
Karena tak bisa menjaga Ayah dan Bunda sampai tua, Doyoung menyesal. Karena tak bisa membanggakan Ayah dan Bunda seperti harapan mereka, Doyoung juga menyesal.
“Bunda... Agit benar, makasih udah jadi bunda yang baik. Selama ini, Doyoung nyesel karena belum bisa menuhin semua harapan Bunda, tapi Doyoung udah berjuang keras, Doyoung udah berusaha yang terbaik dan seharusnya itu cukup.”
Ia bergumam dengan suara terputus-putus. Tak apa jika sulit, tak apa jika sakit; ia hanya ingin berdamai dengan masa lalunya sendiri.
“Kalau Doyoung punya kesempatan buat mengulang semuanya pun, belum tentu jadi lebih baik dari ini. Maaf ya Bun... karena sakit, karena jadi beban, Doyoung minta maaf.”
Air mata Bunda berderai tak terkendali, diusapnya puncak kepala anak bungsunya itu berulang-ulang—yang serta merta membangkitkan memori masa lalu.
Sejak kecil, Doyoung tak seperti anak kebanyakan. Ia rapi dan teratur dengan caranya sendiri. Sebagai anak bungsu, ia tak pernah memicu perkelahian dengan kakak lelakinya. Alih-alih bertengkar, Doyoung justru ikut mengerjakan PR sekolah kakaknya, dan mulai tergila-gila pada Fisika sejak saat itu.
Memiliki Doyoung dalam hidup, rasanya seperti diberi anugerah terbesar bagi Bunda.
Hanya saja Bunda lupa, Bunda lupa untuk memastikan anugerahnya selalu bahagia. Bunda telah lalai, dan kini anugerah itu harus kembali sebab dunia tak cukup indah untuk menjadi tempatnya berpijak.
“Doyoung gak pernah jadi beban buat Bunda, buat Ayah, bahkan buat Mas... Doyoung itu, hadiah buat kami sekeluarga.” Bunda menyeka air matanya meski yang lain terus berjatuhan. “Makasih ya, Kak... karena udah berjuang, karena udah jadi anak Bunda. Makasih, Bunda sayang Kakak.”
Doyoung mengangguk berulang kali, tangisnya pecah tatkala Bunda bangkit dan mendekapnya erat-erat.
Dalam pelukan Bunda, Doyoung ingin kembali menjadi anak-anak. Ingin kembali menjadi bocah kecil yang tak perlu memikirkan bagaimana masa depan akan berjalan, bagaimana hari esok akan tiba. Doyoung ingin kembali ke masa itu, masa ketika segalanya terasa menakutkan ia bisa bebas menangis dan tenggelam dalam dekapan sang ibu.
Kini, ia ketakutan. Menyadari ia sekarat seorang diri membuatnya ketakutan setengah mati.
“Makasih juga, Bun... udah ngasih kehidupan ini. Makasih karena udah jadi ibu terhebat. Doyoung sayang Bunda, sayang semuanya.”
Doyoung tak ingin pergi membawa penyesalan, dan dengan ini, ia harap tak ada lagi sesal yang akan menahan langkahnya.
Ia ingin mengakui itu; bahwa ia bahagia menjadi bagian dari keluarga ini, bahwa meskipun ia harus pergi, ia ingin semua orang yang ia sayang hidup seperti biasa....
Seolah ia tetap ada di antara mereka.
Pada malam berikutnya, Doyoung kembali tertidur panjang.