semesta lebih sayang dia

[Agit]

Hari demi hari, kondisi Kak Doyoung kian memburuk.

Kini, ia tak lagi bisa banyak beraktivitas, mengobrol pun jadi pekerjaan yang menguras banyak tenaganya. Bahkan di setiap kunjunganku, hanya aku yang berbicara dan ia mendengarkan dengan setengah sadar karena di bawah pengaruh obat anti nyeri.

Selebihnya, Kak Doyoung lebih sering tak sadarkan diri; tidur dan kesadaran melintas bergantian.

Lama kelamaan, aku mulai terbiasa dengan suara elektrokardiograf yang menjaga kondisi vitalnya tetap stabil, juga terlonjak panik saat mendengar suara lenguhannya karena sakit atau bermimpi buruk.

Berada dalam posisi ini membuatku tersadar; menyakitkan sekali melihat orang yang kusayang menderita.

Rasanya seperti duniaku berhenti di satu titik, bersiap runtuh dan berantakan. Namun tiap kali keluar dari rumah sakit, memandangi langit, memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar serta merta aku tahu... aku tahu yang dunianya berhenti hanya aku.

Sementara dunia yang lain terus berjalan, hidup terus berlanjut dan itu rasanya tidak adil.

Tidak adil karena waktu akan terus berganti sementara sosok yang kuinginkan menetap justru tengah bersiap pergi.

Tapi, Kak Doyoung tetaplah Kak Doyoung yang kukenal... yang tawanya sehangat mentari, yang binar matanya selalu menatapku seolah aku adalah orang paling berharga di muka bumi.

Ada kalanya ketika ia sepenuhnya terjaga, ia akan melontarkan kata-kata pedas agar menyulut pertengkaran denganku—atau dengan teman-temannya, yang membuat semua orang di ruangan tertawa; termasuk kedua orangtua juga kakak lelakinya.

Suatu hari, Haechan pernah ikut denganku untuk menjenguk. Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi di antara keduanya, tapi mereka sama-sama melayangkan tatapan sinis ketika bertemu—meski pada akhirnya mengobrol dan bergurau juga.

Kak Doyoung tetap Kak Doyoung yang kukenal... tak peduli walau sakit dan melelahkan, ia masih berusaha mencairkan suasana semampunya.

Saat ini, aku tengah terduduk di sisinya sejak satu jam yang lalu. Ayah dan kakaknya harus kembali kerja, sementara ibunya sedang pulang untuk berganti pakaian dan istirahat barang sejenak.

Hari ini menandakan hari kelima semenjak terakhir kali aku dapat melihat binar matanya yang menenangkan itu.

Aku rindu....

Dengan sendu, kugenggam tangannya, merasakan dingin yang menjalar di sana. Dadanya bergerak naik dan turun, seiring suara bip bip bip dari elektrokardiograf yang terus berbunyi.

Kak Doyoung terlihat seperti porselen, pucat dan rapuh.

Lalu, seakan merasakan kerinduanku, kelopak matanya perlahan membuka, membuatku segara bangkit untuk memastikannya benar-benar tersadar.

“Git....”

Dari balik masker oksigen, suaranya terdengar seperti rintihan.

“Kenapa, Kak? Ada yang sakit?” tanyaku seraya mengusap-usap puncak kepalanya—seperti yang selalu dilakukannya padaku. “Gue panggilin dokter, ya?”

Namun, Kak Doyoung menggeleng dan tersenyum. Ada sorot geli dalam tatapannya, melintas sepersekian detik yang mungkin jika diterjemahkan akan berbunyi seperti ‘biasa aja kali, panik amat’.

Itu adalah senyum pertamanya setelah lima hari tertidur tanpa jeda. Dan mendapatinya detik ini, ketika hanya ada aku seorang diri, entah bagaimana kurasa senyum itu memang ditujukannya untukku.

“Yaudah, kalau gitu, biar gue temenin lo, ya?”

Kak Doyoung kembali tersenyum kecil, jari-jarinya mengerat menggenggam balik tanganku.

Aku tak berkata-kata setelahnya, sebab semua yang ingin kukatakan rasanya tak akan sanggup kuutarakan sampai kapanpun. Aku hanya ingin ia baik-baik saja... hanya itu.

Beberapa kali, napasnya terasa memberat, pandangannya tak fokus—mengambang entah ke mana. Kuusap kembali rambutnya, dengan tetes demi tetes air mata yang berjatuhan.

Aku tidak ingin melihatnya kesakitan seperti ini... aku hanya ingin ia baik-baik saja, demi Tuhan, hanya itu.

“Kak....” lirihku, meski aku tidak tahu pasti apakah ia mendengarnya, aku tetap berbisik. “Kak, gue gak tau bagaimana ini dimainkan, tapi gue izin menyerah, ya? Pertandingan ini, gue rasa semesta lebih sayang sama lo....”

“Kalau Sagita—“ ia berusaha membalas ucapanku dengan sekuat tenaga, “... sayang gue juga gak?”

Aku mengangguk, terisak sembari menggenggam tangannya erat-erat.

“Gue sayang lo. Sagita sayang lo, Kak.”

Yang sebenarnya ingin kusampaikan padanya adalah, bahwa aku dan yang lain akan baik-baik saja. Bahwa ia tidak punya tanggungjawab untuk membahagiakanku sampai akhir, dan itu tidak apa-apa. Bahwa aku akan selalu menyayanginya, mengingatnya, juga menyimpan semua kebersamaan kami dalam satu memori yang paling berharga.

Detik itu, ada seulas senyum samar yang menghiasi wajahnya. Saat itulah aku tahu, Kak Doyoung mengerti.

Setelahnya, untuk kali pertama, Kak Doyoung terlihat damai; tenang, tanpa rasa sakit, seakan tengah bermimpi indah dalam tidur panjangnya.