tentang rasa takut dan janji untuk selalu berada di sini

[Agit]

Menjelang malam, kami bertolak ke arah perbatasan Jakarta Timur.

Ia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang—kurasa ia benar-benar berpaku pada kecepatan 50km/jam yang ia bilang itu—sesekali kami bersenda-gurau, kadang hanya saling tatap dari kaca spion yang entah kenapa terasa lucu, kadang juga tangannya bermain-main di lututku kala menunggu lampu berubah hijau yang kubalas dengan cubitan di lengannya.

Sederhana, tapi hal-hal normal seperti ini bersamanya justru terasa jauh lebih bermakna.

“Lo siap buat terbang, Git?” tanyanya, lalu seperti memahami kebingunganku, jari telunjuknya terangkat ke udara. “Ini bianglala tertinggi se-Indonesia,” ia melanjutkan, ada euforia yang tak biasa dalam nada suaranya, yang terdengar seolah bangga menemukan tempat ini khusus untukku.

Rupanya, tempat kedua yang ia siapkan adalah wahana bianglala yang terletak di salah satu mall ternama. Langit sudah benar-benar gelap ketika kami akhirnya duduk berhadapan di dalam gondola berwarna ungu itu. Saat gondola bergerak naik, kami sama-sama termangu sebab citylight ibukota yang membentang seakan menyatu dengan hitamnya langit, memenuhi pandangan, membuatku tak mampu berkata-kata saking takjubnya.

“Dari sini, lo bisa lihat dunia lebih luas kayak yang lo mau.”

“Wah….”

“Indah, kan?”

“Banget!” aku berseru.

“Dunia ini emang indah, Git. Kalau nggak, mungkin sudut pandang lo aja yang harus diubah.”

Aku mengiyakan dalam hening, justru larut mengabadikan sosoknya dengan latar citylight itu sebanyak-banyaknya dalam memoriku. Aku tak ingin melupakan detik ini; detik-detik ia begitu bersinar.

“Ada bintang juga, jarang-jarang bintang muncul di langit Jakarta.” Ia menopang dagu dengan tangan, matanya berbinar terkena cahaya—untuk pertama kalinya sejak yang mampu kuingat, mata itu terlihat hidup.

Aku menoleh, mengikuti arah pandanganya. “Iya… ada bintang.”

“Lo tau gak, Git, kalau bintang yang kita lihat sekarang itu kemungkinan udah mati?”

“Kok gitu?”

“Karena rata-rata jarak bintang ke bumi itu ratusan bahkan jutaan tahun cahaya,” jelasnya, dan langsung tersenyum simpul menyadari kebingunganku. “Singkatnya gini, kecepatan cahaya itu 300.000km/detik. Kita ambil contoh matahari sebagai bintang yang paling dekat sama bumi, jaraknya 149 juta km.”

Ah, satuan jarak per waktu itu lagi….

Aku benci fisika.

“149 juta km dibagi kecepatan cahaya 300.000km/detik, berarti sekitar 496 detik atau delapan menit,” ia mulai terlihat seperti seseorang yang memiliki kalkulator dalam kepalanya. Tapi aku tetap berusaha menyimak dengan baik. “Jadi, kalau lo berjemur di pagi hari, sinar matahari yang terpapar itu dari delapan menit yang lalu,” lanjutnya.

Aku tidak tahu kenapa, ada sesuatu dalam pembawaannya yang menarik ketika membicarakan hal-hal yang ia kuasai. Ia jadi terlihat jauh… jauh lebih tampan dari sebelumnya.

“Sekarang lo bayangin bintang-bintang itu, mereka punya jarak yang lebih jauh lagi. Cahaya dari bintang itu butuh jutaan tahun buat sampai di bumi,” jelasnya kembali, kali ini sembari mengetuk kaca gondola untuk menunjuk bintang yang ia maksud. “Jadi, ketika cahayanya sampai, kemungkinan bintangnya udah gak ada. Cahaya itu datang dari jutaan tahun yang lalu, artinya secara teknis, kita sekarang lagi melihat ke masa lampau.”

Aku tersenyum kecil. “Waw… fisika gak pernah semenyenangkan ini sebelumnya,” balasku, yang membuat kami sama-sama menyemburkan tawa.

Kemudian, Kak Doyoung menghela napas—sendu. “Nanti, kalau gue gak ada di sini lagi, lo tatap bintang-bintang itu. Anggap aja lo lagi melihat ke masa lalu, ke masa-masa kita sekarang.”

Setelah kalimatnya itu, kami berubah hening. Gondola terus bergerak naik dan turun, tapi kami sama-sama kehilangan kata-kata untuk diucapkan pada satu sama lain.

Sampai di satu titik, kuberanikan diri bertanya. “Kak… lo pernah merasa takut?”

Gondola bergerak semakin ke atas, dan berhenti di puncak tertinggi. Dari sini, lampu gondola lain tak membiasi gondola kami sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.

“Takut apa? Takut mati, maksud lo?” Aku mengangguk meski tahu Kak Doyoung tak sedang menatap ke arahku. “Pernah, sampai sekarang juga gue takut. Takut mati, takut meninggalkan, takut dilupakan… tapi, Git, semua orang pasti mati, kan?” Sejenak, Kak Doyoung tertegun, seperti tengah meyakinkan dirinya sendiri. “Gue cuma beruntung karena gue dikasih tau kapan batasnya, dan gue punya cukup waktu buat siap-siap.”

Gondola kembali berjalan turun, senyumnya getir ketika kami bertatapan.

“Lagian dari lo, gue belajar buat nerima rasa takut itu. Lo aja nerima gue dengan waktu gue yang terbatas, lalu kenapa gue gak bisa nerima diri gue sendiri?” Kedua alisnya bergerak naik, dan meski senyum itu terulas dengan indah, kesedihan di matanya tak bisa berbohong.

“Gue cuma nyesal, karena gak bisa jaga orangtua gue sampai jadi kakek-nenek, gak bisa ada di sana lagi di setiap momen terpenting bagi orang-orang yang gue sayang. Dan gue nyesal… karena gue gak bisa lama sama lo, gak bisa menua bareng lo, gak bisa memastikan dunia lo udah baik-baik aja….”

Air mata menggenang di pelupuk mataku, membuatku lantas menoleh pada langit agar sesak ini hilang. Tapi gagal, sebab rasanya sakit, seperti dihujam ribuan jarum—keinginanku untuk bersamanya dihempaskan paksa oleh kenyataan.

“Git… gue gak pernah nyesal ketemu lo. Lo adalah salah satu orang yang selalu gue harapkan buat bahagia. Kalau gue bisa, gue harap gue punya banyak waktu buat nunjukin sama lo betapa lo berarti udah terlahir ke dunia ini.”

Kini, air mataku tak lagi kutahan, mengalir dengan bebas di wajah. “Lo juga, Kak. Gue harap semesta selalu menyayangi lo.”

Kak Doyoung meraih kedua tanganku, membenamkan wajahnya di sana—menangis sejadi-jadinya. Aku ingin melakukan sesuatu, tapi tak ada yang bisa kulakukan agar segalanya lebih baik. Maka aku pun mendekat, menyeka air matanya, melindunginya dari dunia.

Gue akan selalu ada di sini buat lo.

Itulah yang ingin kukatakan padanya, dan dari sepasang mata yang berkaca-kaca, aku tahu kami sama-sama memaknainya.