Menyambut Kehilangan

[Agit]

Kak Doyoung pergi pada malam berikutnya, ketika langit sedang bersih tak berawan, seolah bintang-bintang turut menyambut kepulangannya pada Sang Pemilik Semesta.

Hati, ginjal, dan organ-organ tubuhnya yang lain tak lagi sanggup menopang aktivitas tubuhnya. Pada akhirnya, kanker itu menghentikan kerja jantungnya dan membuatnya menghembuskan napas terakhir.

Kak Doyoung tak lagi merasakan sakit, setidaknya aku bersyukur atas hal itu.

Sebelum Kak Doyoung meninggalkanku, aku selalu berada di sisinya. Menggenggam tangannya ketika ia demam tinggi, saat napasnya tak lagi teratur, hingga akhirnya mesin menyuarakan nada bipppp panjang yang stagnan, dan aku tetap di sana sewaktu Dokter mengumumkan waktu kematiannya.

Mungkin benar kata Jeffrey, bahwa jauh di dalam, kami tengah bersiap untuk saat ini. Sehingga aku pun selalu ingin berada di sisinya, seolah ingin menunjukkan padanya kalau aku tetap mencintainya sampai akhir.

Namun, mereka semua berbohong. Mereka semua membual tentang bersiap-siap menyambut kehilangan. Nyatanya, tidak akan pernah ada kata siap untuk sebuah perpisahan.

Kak Doyoung pergi.

Lelaki yang kucintai telah mati; meninggalkanku sendirian dalam kesepian yang abadi.

Setelah ini, aku benar-benar tak akan pernah melihat sosoknya. Ia tidak akan ada di sana untuk memelukku ketika aku takut pada dunia, ia tidak akan ada di sana untuk mendengarku bercerita, ia tidak akan ada di sana lagi....

Ketika melihatnya merintih menahan sakit, aku selalu berharap untuk mengakhiri ini semua dengan cepat. Aku ingin melihatnya segera melepas rasa sakit itu. Namun aku lupa, aku lupa menyiapkan bagaimana aku akan melalui hari-hariku tanpanya setelah ini. Membiasakan diri tanpa senyumannya, tanpa pelukannya; adalah hal yang tidak pernah kubayangkan.

Kini, dokter dan suster tengah melepas alat-alat yang terpasang di tubuhnya. Ayah, ibu, kakak, serta kerabat-kerabatnya yang lain berkumpul di sekitar ranjang—mengerumuninya dengan air mata yang berderai—membuatku terdorong ke tepi, terlalu terguncang untuk melakukan apa-apa.

Aku tak bisa menangis. Rasanya gamang, seolah aku hanya menyaksikan sebuah film sedih tanpa sadar aku sendirilah si tokoh yang sedang bersedih itu.

Setelahnya, aku memutuskan untuk berjalan di sekitar koridor. Tangis orang-orang di dalam ruangan itu menggema mengiringi setiap langkahku. Aku dapat merasakan sakitnya, aku dapat merasakan pilunya, sebab aku pun mengalami hal yang sama. Hanya saja, aku tak tahu bagaimana mengungkapkan segala sesak ini.

Aku mati rasa.

Di lorong panjang itu, aku terus berjalan dengan langkah mengambang. Sengaja mengabaikan tatapan orang-orang yang lewat, juga menghindari berpapasan dengan beberapa anak kampus yang kukenal sebagai teman-teman Kak Doyoung agar mereka tak perlu melihat keputusasaan di wajahku.

Aku hanya ingin sendirian, jauh dari keramaian.

Kemudian, Jeffrey jadi orang pertama yang menemukanku. Ia berdiri di ujung koridor, hanya beberapa langkah dariku. Kami bertatapan, sama-sama berhenti melangkah. Ada kesedihan yang tak terdefinisi di wajahnya, yang membuatku serta merta tahu aku pun memimik emosi yang serupa.

Kami sama-sama kehilangan orang yang kami sayang.

Tanpa kata-kata, ia mendekat untuk merangkulku. Mulanya, aku tak dapat merasakan apa-apa, hanya mematung dalam pelukannya.

“Kak Doyoung udah gak ada, Jeff.”

Namun, begitu mengucapkan lima kata itu, air mata perlahan meleleh di pipiku. Rasanya dengan mengakuinya pada Jeffrey, kepergian Kak Doyoung menjadi nyata. Seolah kejadian tadi hanya bagian dari mimpi burukku yang akan hilang begitu aku terbangun.

Jeffrey mengusap punggungku, dan aku memejamkan mata, membiarkan tangisku pecah, mengakui kekalahanku yang sesungguhnya pada dunia.

Aku telah kalah. Telak, tanpa ampun.

Sejak awal, di antara aku dan semesta, aku memang bukan pemenangnya.


Pemakanan Kak Doyoung dilaksanakan keesokan harinya—pada pagi hari yang teduh, berangin dengan awan-awan putih menggantung di langit.

Ketika aku tiba, orang-orang berpakaian hitam telah berkumpul di area pemakaman. Sebagian besar dari mereka adalah teman-teman kampus Kak Doyoung, yang hadir untuk mengantarkannya pada keabadian, juga menyampaikan turut berduka cita pada kami yang ditinggalkan.

Kedatangan mereka sedikit banyak membuatku menyadari betapa sosok Kak Doyoung amat dicintai.

Kak Doyoung mungkin tidak terlalu ramah pada orang baru, tapi ia selalu baik dengan caranya sendiri.

Dan dengan begitu, aku tahu, kami semua memiliki alasan untuk terus mengenangnya dalam hati kami.

Meski kini, jiwanya tak lagi ada di sini. Meski kini... raganya telah kembali pada bumi.

“Kak... bahagia terus, ya? Jangan bilang sama gue kalau lo masih sakit, nanti gue nangis.” Di atas pusara itu, kueratkan doa terbaik untuknya. Berharap semesta kini telah mendekap hangat jiwanya, meringankan setiap langkahnya.

Sembari mengusap papan kayu bertuliskan namanya itu, aku menggigit bibir demi menahan tetesan air mata. “Makasih udah bawa gue dalam perjalanan 50km/jam yang ternyata... jauh lebih singkat dari yang bisa gue bayangkan. Thank you for everything... i love you.

Selanjutnya, aku tak lagi dapat menahan tangis saat ingatanku justru memutar memori-memori kebersamaan kami seperti kaset rusak. Wajahnya, senyumnya, tatapan sinisnya, tatapan ramahnya, ketika ia menolakku, ketika ia menerimaku, gandengan pertama kami, ciuman pertama kami.... segalanya berputar di kepalaku, membuatku ingin menjerit sebab aku tak akan pernah bisa mengulangi hal itu lagi.

Yang kutahu berikutnya, Mama memelukku, membawaku menjauh dari gundukan tanah tempatnya terbaring.

Di bawah tenda hitam, aku duduk termangu. Menyaksikan lalu-lalang orang menabur bunga, menyiramkan air, dan menyampaikan kata-kata terakhirnya pada pusara itu.

Kemudian, perlahan kerumunan orang-orang berbaju hitam itu bubar, menyisakan keluarga besar Kak Doyoung, aku, dan Mama di sebelahku—yang tak henti-hentinya mengusap pundakku seakan tengah membagi kekuatan.

Setelah semuanya selesai, Bunda menghampiriku. Pelukannya hangat sama seperti milik putranya, dan aku kembali mendapati diriku menangis di sana.

“Agit, terimakasih ya... udah sayang sama anak Bunda, nemenin dia di hari-harinya yang terbatas, jadi sumber kebahagiaannya.” Suara Bunda tersekat oleh tangis, namun beliau kembali melanjutkan, “Terimakasih, Nak.”

Begitu pelukan itu terlepas, pandanganku memburam karena air mata yang mendesak keluar.

Samar, entah aku berhalusinasi atau memang ia hadir detik itu untuk mengucapkan selamat tinggal, tapi bayangnya benar-benar nampak nyata, tersenyum dengan kedua mata berkaca-kaca.

Kak Doyoung berdiri tepat di belakang ibunya.

Napasku tersengal, bayangan itu hilang sekejap kedipan mata, menyisakan rasa nyeri di dalam dada.

Pedih.

Kehilangan itu kini kembali menghujam jantungku, melumpuhkan seluruh sarafku.

Nyatanya, mau bagaimana pun aku menolak, sosok yang telah dipeluk bumi tak akan pernah kembali lagi.


Nanti, kalau gue gak ada di sini lagi, lo tatap bintang-bintang itu. Anggap aja lo lagi melihat ke masa lalu, ke masa-masa kita sekarang.

Ia pernah berkata begitu, suatu malam di langit Jakarta.

Kini, aku mengudara seorang diri. Menyaksikan citylight ibukota seorang diri. Memandangi bintang seorang diri.

Tapi aku tahu, ia tak pernah benar-benar meninggalkanku. Ia selalu hidup, setidaknya dalam hati, setidaknya dalam kisah yang tak berakhir bahagia ini.

“Kak, apa kabar lo di sana? Gue rindu....”

Kutatap lagi bintang-bintang di langit kelabu itu, sebelum membuka secarik amplop berwarna putih yang ditinggalkannya untukku.

Kertas itu beraroma dirinya, yang segera membuatku tersenyum sendu kala meniti tiap guratan aksara di sana.

Dalam surat itu, ia mengurai kembali masa lalu.

Menghilangkan segala sesal atas masa kini.

Dan karenanya, kini aku siap melangkah menuju masa depan.


“nggak semua yang dekat, harus erat nggak semua yang sama, harus sama-sama manusia cukup dengan menjadi cukup saya dan dia sudah cukup ada, tanpa perlu ada kata ‘kita’.”

— Rintik Sedu