pada halaman ini, hanya ada aku dan dia

[Agit]

Aku tak dapat menahan rasa yang membuncah begitu sosoknya hadir di balik pagar rumahku. Senyumnya miring dan tatapannya jahil bercampur geli ketika mata kami akhirnya berpandangan, dengan langkah lebar-lebar, kuhampiri dia, kemudian bergelayutan manja di lengan tangannya.

“Kenapa pake jaket jeans?” tanyaku, memperhatikannya dari atas sampai bawah.

Jarak kami sudah dekat, namun Kak Doyoung justru menekuk lututnya, menunduk agar bisa berbisik tepat di telingaku. Katanya, “Biar kayak calon suami lo.”

Aku tersipu, hawa panas mulai menjalar di sekitar wajah, maka buru-buru kupukul pelan bahunya agar ia menjauh. “Ih, nanti kedengeran sama orang rumah, malu tau!”

“Biarin aja,” balasnya, mengerling jahil. “BIAR KAYAK CALON SUAMI LO! ASSALAMUALAIKUM, CALON SUAMI AGIT NIH, TANTE!”

“KAK DOYOUNG!” Kedua mataku membulat. Karena panik, secara impulsif aku pun menjulurkan tangan untuk membekap mulutnya, mencegahnya untuk mengatakan hal-hal yang jauh lebih gila. “Lo tuh cari mati, ya?!”

“Kalau itu sih gak usah dicari.” Ia cengengesan. Aku tadinya hendak marah lagi, namun tak sampai hati karena melihat senyumnya selebar itu. “Lo udah izin, kan? Udah bilang sama Mama kalau gue bakal bawa lo pergi sampai malam?”

“Udah.” Aku mengangguk, aku juga telah menceritakan segala hal tentangnya pada Mama. Tentang garis senyumnya, tentang merdu suaranya, tentang hangat peluknya, tentang mimpi-mimpinya yang tertunda.

Itu, adalah kali pertama Mama melihatku begitu mendamba pada seorang lelaki, dan ketika akhirnya Mama memelukku, entah bagaimana, aku merasa tenang. Mengetahui bahwa kini aku tak lagi melewati segalanya sendirian, aku merasa tenang.

Aku juga tahu, bahwa detik ini, dari balik jendela rumah Mama sedang memperhatikan kami.

“Nih, pake.” Kak Doyoung mengulurkan sebuah helm, yang kuterima dengan bingung.

“Kenapa bawa motor? Lo mau jadi Dilan, ya?”

“Ngapain jadi Dilan?” Kak Doyoung tertawa. “Dilan mah gak tau rasanya dicintai sama lo, Git.” Ia mengatakan itu sambil lalu, tanpa tahu efek yang ditimbulkannya pada hatiku. “Gue pake motor atas rekomendasi temen gue, katanya cowok bermotor itu menarik.” Sekali lagi, kerlingan jahil itu bermain-main di matanya, membuat perutku seperti dipenuhi kupu-kupu.

Tapi, aku berusaha mengendalikan diri. “Jadi, kita mau ke mana?”

“Ke Bandung gimana?”

“Ngapain jauh-jauh?”

“Penasaran, kira-kira butuh waktu berapa lama dari sini ke Bandung pakai motor dengan rata-rata kecepatan 60km/jam—eh, jangan deh, 50km/jam aja soalnya gue bawa lo, harus hati-hati.” Ia sudah naik di atas motor besarnya itu, menyalakan mesin, dan kembali berceloteh tentang asumsi jarak serta perkiraan macet yang akan kami tempuh. Namun aku justru melongo di tempatku berdiri, pusing bahkan sebelum perjalanan ini dimulai.

Stop, stop, stop! Lo mau ke Bandung cuma buat ngukur estimasi perjalanan?” Ia mengangguk polos. “Gak dulu, deh. Gak ada Bandung-Bandung. Yang waras-waras aja!” gerutuku, kemudian naik di jok belakang motornya.

“Ke Bandung jauh lebih waras daripada lo yang minta terbang,” selorohnya, mengabaikan pelototanku di kaca spion.

“Bertumbuk aja kita!”

“PMS ya lo, Git?”

“Ini kita mau jalan atau mau berantem?”

“Yaudah pegangan dulu!”

“Kok lo ngambek?!”

Kak Doyoung akhirnya mendengus kuat-kuat, kami saling melempar tatapan dengki lewat kaca spion yang langsung dibelokkan olehnya agar kami tak bisa berpandangan lagi. “Kalau mau jalan pegangan dulu,” katanya, meraih kedua tanganku agar melingkar di pinggangnya. “Kayak gini….”

“Oh, lo minta dipeluk?”

“Nggak, tapi emang gitu aturannya kalau dibonceng gue.”

Aku mencibir. “Menurut gue lo aneh.”

“Aneh-aneh juga lo sayang.” Menyebalkan, tapi ia benar. “Nanti kalau udah jalan, dagu lo taruh di bahu gue, ya?” katanya lagi, kali ini sukses membuatku mengerutkan alis.

“Biar apa, sih?”

“Nurut aja bisa gak?”

Aku jadi terkikik sendiri. “Ngoggey???”

Kemudian, hangat getar tawanya yang beradu dengan deru motor menjadi pembukaan kisah hari ini. Bertemankan langit sore Jakarta dan kemacetan jalan rayanya, kami membelah jalanan ibukota, membaur bersama para insan lain sebagai dua anak manusia yang sedang jatuh cinta.

Lupakan tentang kemarin yang penuh derita, lupakan tentang hari esok yang belum tentu tiba.

Pada halaman ini, detik ini, hanya ada aku dan dia; dan perasaan kami yang penuh oleh satu sama lain.

Sudah, aku tidak minta lebih.


Date pertama kami dimulai dengan mendatangi pertandingan futsal antar jurusan fakultas teknik di salah satu gor olahraga tak jauh dari kampus. Begitu memasuki areanya, beberapa teman Kak Doyoung—termasuk Jeffrey—menyapa seolah sudah menunggu kedatangan kami.

Pertandingan itu tak didatangi oleh banyak orang sebab yang kutahu, ini bukan pertandingan resmi. Namun Kak Doyoung—yang duduk bersamaku di bangku tribun—nampak begitu antusias menyemangati ketiga temannya di lapangan sana.

Aku tahu, jauh di dalam, Kak Doyoung ingin sekali ikut bermain, tapi kondisi tubuhnya tak memungkinkan ia untuk melakukan itu. Melihat binar matanya tiap kali bola mengarah pada gawang membuatku harus mati-matian menggigit bibir agar tak menangis.

Rasanya sakit, membayangkan selama ini Kak Doyoung tak pernah punya kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin dilakukannya; sakit.

Ada suatu momen ketika Kak Yuta berhasil membobol gawang lawan dan memberi satu poin kemenangan untuk timnya, kemudian ia bersorak, “Yang tadi buat lu, Doy! Lu menang!!!” teriaknya, diiringi sorakan riuh dan tepuk tangan dari satu lapangan.

Di sisiku, Kak Doyoung terbahak-bahak, mengacungi kedua jempolnya ke udara. Meski setelahnya, saat ia kira tak ada orang yang melihat, setetes air meleleh di sudut matanya yang buru-buru ia usap dengan punggung tangan.

Mungkin sejak awal, untuk inilah ia datang. Untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunianya yang dulu.