anandaleaa

Titik arena balap yang disiapkan malam ini terletak di daerah Senayan. Mobil serta motor dalam berbagai model dan warna berjajar di sepanjang jalan, para penonton memenuhi trotoar—menandakan bahwa balap liar antar geng Oliver dan Clifton akan segera dimulai.

“Sel, lo tunggu sini dulu, ya?” Setelah memarkirkan motornya dan membawa Ansel ke pinggir, Reiga mendongak untuk mencari teman-temannya. “Gue nemuin Johnny dulu, sekalian ngecek Rengga. Lo jangan ke mana-mana, makan es krim aja. Oke?”

Johnny yang Reiga maksud itu adalah ketua geng Clifton—tempatnya bernaung jika sewaktu-waktu ingin balapan, meski tak resmi tergabung sebagai anggota. Sama seperti yang Rengga lakukan malam ini, ia hanya melakukannya sesekali jika sedang banyak masalah.

Sebelum benar-benar jauh, Reiga menoleh sekali lagi pada Ansel. Perempuan itu nampak tenggelam dalam balutan hoodie super besar, dengan cup McFlurry dan sekotak ayam McD yang baunya menguar ke mana-mana.

“Sel, kulit ayam gue jangan disabotase, loh! Gue botakin alis lo ntar!”

Ansel mendengus. “Iya, bawel!” ketusnya, tak ayal tertawa juga melihat Reiga terbahak di kejauhan sana. “Kata siapa gue bakal ngasih lo ayam lagian? Orang mau gue makan semua,” celotehnya sendiri.

Ia kemudian duduk di pinggiran trotoar, dengan tenang menyuap es krim dan menggerogoti paha ayam tak peduli orang-orang memperhatikannya. Ia juga tak repot-repot menawari, walau sepenuhnya sadar wangi ayam McD yang dibawanya cukup merusak suasana khidmat balapan malam itu.

“Hai!”

Ansel baru saja meletakkan tulang ayam pertamanya ke dalam box ketika seseorang menghampiri.

“Hai?” Ia membalas sangsi.

Ishhhh, jangan bilang mau ngegondol ayam gue nih kambing satu?!

“Gak sempet makan dulu ya di rumah?” Lelaki itu mendudukan dirinya tepat di sebelah Ansel. “Bau ayam lo—“

“Ah... sorry, ya. Gue sebel sebenernya denger suara knalpot motor, jadi gue disogok McD sama temen gue.”

“Reiga, kan?”

“Yup. Kenal?”

Lelaki itu mengangguk mengiyakan. “Siapa yang gak kenal dia? Monster jalanan. Reiga kalo udah balapan kayak orang kesurupan!”

Ansel tertawa mendengar metafora itu, walau sebenarnya ia setuju.

“Gue Bara.”

“Ansel.”

Keduanya berjabat tangan, berbagi tatap sejenak sebelum sama-sama tersenyum pada satu sama lain.

Beautiful.”

Thanks.”

Bara memiringkan kepalanya, menatap Ansel dalam-dalam. “I mean... your name is beautiful.”

“Ya, thank you, I guess?” Ansel menaikkan kedua alisnya. “Eh, sori sori. Gue belum cuci tangan, kayaknya tangan lo jadi bau ayam, deh.” Ia buru-buru menarik tangannya menjauh, sementara Bara mengernyit menahan tawa.

Well, agak berminyak, sih....”

Sorry....”

“Santai aja, tapi gue jadi lapar gara-gara lo. Gue grabfood aja apa, ya?”

Ansel kembali tergelak, diam-diam memperhatikan lelaki yang baru saja dikenalnya ini.

Bara memiliki tawa yang manis.

Dan, Ansel tahu ia sudah menyukai Bara detik itu juga.

“Bunda udah daftarin kamu sekolah modelling, besok pertemuan pertama biar Bunda yang antar.”

Ansel menaikkan pandangan, mencoba mencari kebohongan di wajah ibunya. “Modelling? Sejak kapan aku mau jadi model?”

“Terus kamu mau jadi apa?” Bunda menaruh sendok serta garpunya di atas piring, menatap sang anak bungsu lurus-lurus. “Mau jadi mahasiswa biasa, nongkrong gak jelas, lulus telat dan susah cari kerja? Itu, kehidupan yang kamu mau?”

Empat orang duduk mengelilingi meja makan, namun tak ada kehangatan yang tercipta di dalamnya—tak ada, tak pernah ada. Keluarga ini sudah lama berhenti bekerja, tiap-tiap dari mereka hanya berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Ansel menatap nasinya yang mendingin di atas piring tanpa tersentuh, ia benar-benar sudah muak berada di sini.

“Kenapa, sih, kamu ini susah diatur? Kenapa kamu gak bisa kayak kakakmu?” Bunda melenguh panjang.

“Karena aku bukan Kak Shilla! Aku Ansela Purnama bukan Ashilla Mentari!” Ansel bangkit berdiri, menatap satu per satu tiga orang yang balik menatapnya dengan sorot mata tak terbaca. “Aku berhak milih jalan hidup aku sendiri, aku berhak jadi diri aku sendiri. Aku gak mau jadi pramugari, model, atau apapun itu yang Bunda mau. Aku bukan bayangan Kak Shilla, Bun... dan yang terpenting, aku bukan boneka Bunda!”

“Jaga ucapan kamu!” Ayah menyentak tegas, dengannya menetes sudah air mata Ansel di pelupuk mata.

“Berhenti ngebebanin impian Bunda di pundak aku! Maaf, karena aku bukan anak laki-laki kayak yang Bunda mau. Maaf, karena ngelahirin aku bikin badan Bunda rusak dan impian Bunda hancur, tapi bukan mau aku buat dilahirkan ke dunia jadi jangan suruh aku ganti rugi impian Bunda! Itu gak adil!”

Ansel terisak bukan main, sampai tanpa sadar telah meneriakan kata demi kata. Luka melintas di wajah Bunda, sementara Ayah membeku di tempatnya dengan tangan terkepal. Ashilla—sang kakak yang selalu menjadi tolak ukur kehidupannya—terus menyuap makanan meski kekosongan memenuhi sorot matanya.

Pemandangan ini terlalu menyakitkan untuk dilihat, maka Ansel melakukan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan; pergi.


Perasaan Reiga sudah tak enak sejak ia sampai di rumah, terlebih ketika membuka pintu kamar dan menemukan ayahnya menyilangkan kaki di kursi meja belajar sembari menghembuskan asap rokok.

Lengan kemeja pria paruh baya itu di gulung sebatas siku, ada stick golf di sudut ruangan. Reiga tidak tahu kesalahannya kali ini, namun apapun itu, ia sudah bisa menebak apa yang berikutnya akan terjadi.

“Dirga bilang kamu balapan lagi?”

Dirga. Tentu saja si brengsek itu pelakunya.

“Apa peduli Papa?”

“Kurang ajar! Saya itu Papamu, kamu masih nanya apa peduli saya?”

“Gak usah munafik!” Reiga mendecih, tersenyum miring pada sang ayah. “Semua orang tau yang Papa peduliin itu bukan aku, tapi reputasi Papa! Iya, kan, wahai anggota dewan?”

“Anak gak tau diuntung!”

Selanjutnya, lelaki itu bangkit dengan tergesa. Diraihnya tongkat golf di sudut, tanpa berat hati terayun dan segera menghantam tubuh Reiga yang tersungkur di lantai.

“Dasar gak berguna! Harusnya dulu saya tinggalkan aja kamu di panti asuhan! Sialan!”

Cacian demi cacian keluar dari mulut seorang ayah, ditujukan untuk putra kecilnya; Reiga Althario Putra, yang menerima pukulan serta makian tanpa perlawanan. Tangan Reiga menyilang di kepala, menyembunyikan ringisan juga air matanya yang berderai karena tak kuasa menahan nyeri di sekujur tubuh.

Ini tak akan berlangsung lama, Reiga tahu itu sebab ia sudah mengalaminya berulang-ulang kali. Namun selama menit-menit pukulan itu berlangsung, bukan hanya fisiknya yang lebam dan berdarah, melainkan hatinya—batinnya yang jauh lebih tercecer dan berantakan.

“Papa harap kamu berhenti jadi biang onar, atau lebih baik kamu susul ibumu sekalian!”

Di antara kesadarannya yang tersisa, Reiga dapat melihat Papa terengah sebelum mendengus dan melemparkan tongkat golf ke segala arah, kemudian meninggalkannya seorang diri di dalam kamar yang temaram.

Menyedihkan, mengetahui bahwa tak ada siapapun yang akan menolongnya meski di bawah sana, ia sayup-sayup mendengar suara televisi diiringi obrolan hangat Mama dan kakak lelakinya.

Reiga tersenyum di antara tangis, memangnya apa yang bisa ia harapkan? Sejak awal, kelahirannya adalah sebuah kesalahan.


“Maafkan orangtua lo yang gak bisa menyayangi lo sesuai dengan apa yang lo harapkan. Maafkan orang di sekitar lo yang gak bisa menyayangi lo sesuai dengan apa yang lo berikan. Maafkan diri lo karena mencari kasih sayang di tempat dan orang yang salah.”

— @ceritaselamanya

Di luar, langit malam sedang cerah-cerahnya. Kerlip bintang dan pantulan lampu dari bangunan lain menjadi pemandangan indah yang terlihat dari balkon kamar mereka.

Senja terduduk di sisi ranjang, sibuk bermain ponsel meski Abbyan sudah berbaring di sisinya sejak tadi.

Setelah menemani Senja mencari sop kambing, Abbyan akhirnya menyadari bahwa sebenarnya itu hanya sebuah mekanisme pertahanan diri; yang Senja butuhkan adalah pengalihan, sebab kepergian Genta masih memberatkan hatinya.

“Masih sedih, ya?” Abbyan beringsut maju, membawa Senja untuk ikut rebah di sebelahnya. “Kan, udah ada aku....”

“Nggak sedih, Mas. Cuma kepikiran aja sama kata-kata Bunda.” Senja menghela napas, menaruh ponsel di atas meja nakas. “Bunda sama Ayah aku tuh, kayak aku sama Genta loh, Mas. Persis.”

Mendengar itu, Abbyan tiba-tiba teringat cerita kedua orangtuanya. Dari yang ia ingat, ayah Senja—menantu satu-satunya keluarga Niskala—pergi begitu saja meninggalkan anak, istri, beserta jabatannya selaku kepala rumah sakit. Dan sejak saat itu, keluarga Abbyan mengambil alih yayasan dan menjalankannya sampai sebesar ini.

Rasa penasaran menggelitik di hatinya, sedikit banyak, Abbyan merasa bersalah sebab tak pernah bertanya apa-apa tentang kehidupan keluarga Senja.

“Keluarga kamu... dulu kayak gimana?”

Senja menoleh dengan mata membulat. “Keluarga aku... aku gak ingat banyak. Kecuali fakta kalau Ayah selingkuh terang-terangan di depan aku sama Bunda,” katanya kemudian. “Mungkin itu kenapa Bunda bilang, menyelaraskan hati gak sesulit menyelaraskan keyakinan.”

Untuk sesaat, Abbyan merasa terenyak.

“Hati Bunda dan Ayah pernah selaras pada masanya, tapi keyakinan mereka gak pernah bersatu—pun dengan keluarga kedua belah pihak,” sambung Senja, kali ini lebih lirih. “Jadi sewaktu Ayah selingkuh dari Bunda, Bunda bertahan sendirian karena keluarga Ayah justru ngedukung perbuatan Ayah. Ironis, ya?”

Senja mengulas senyum sendu, Abbyan tahu membicarakan ini membuat gadis itu kembali mengingat luka-luka yang mungkin, sudah lama sekali ingin ia lupakan.

“Aku tau Genta gak bisa dibandingin sama Ayah dan keluarganya. Tapi, kalau buat hal semendasar keyakinan aja gak sejalan, gimana yang lain?” tanya Senja, lebih kepada diri sendiri.

Abbyan terdiam, tak yakin apa yang harus dikatakannya.

“Dulu, waktu Ayah selingkuh dari Bunda, Bunda bilang gini sama aku, biarin ayah mencari bahagianya sendiri, karena manusia emang begitu, sering merasa gak cukup sama apa yang udah mereka miliki. Padahal, kebahagiaan itu sejatinya dibentuk, dibangun... bukan dicari—sebab nanti pas udah ketemu pun, bakal nyari lagi.

Senja tersenyum mengingat kata-kata Bunda beberapa tahun lalu—kala mereka berjuang untuk hidup berdua dan membiasakan diri tanpa kehadiran sang ayah.

Apa yang Ayah lakukan padanya, membuat Senja kecil tumbuh mandiri. Ia ingin mampu berdiri di atas kakinya sendiri, agar kelak tak diremehkan oleh lelaki mana pun.

Mungkin oleh sebab itu juga, tanpa sadar, ia telah membentengi hatinya terlalu keras. Agar tak kehilangan, ia tidak mencintai terlalu dalam. Agar tak ditinggalkan, ia tidak menggantungkan harapan.

Hubungannya dengan Genta pun, mengalir apa adanya.

Sampai Abbyan datang, memporak-porandakan kehidupannya. Lelaki itu menyadarkannya arti takut kehilangan, mengajarkannya untuk memupuk harapan.

Bersama Abbyan, Senja tahu bagaimana sulitnya membangun suatu hubungan, susahnya membagi kepercayaan, dan yang terpenting; membiasakan diri dengan segala perbedaan.

Bersama Abbyan, Senja ingin tumbuh. Ingin menjadi sosok yang pertama kali lelaki itu lihat ketika membuka mata di pagi hari. Ingin membuatkannya masakan-masakan terenak di muka bumi. Ingin percaya bahwa setelah semua yang terjadi, ia benar-benar layak dicintai.

Senja mengulum senyum, tangannya terulur untuk mengusak pelan puncak kepala suaminya. “Jadi, Mas... kalau kamu ngizinin, aku mau bangun kebahagiaan itu bareng kamu. Ya, kalau kamu mau nyari kebahagiaan yang sama kayak yang kamu dan Ayas punya di dalam rumah tangga kita, kamu gak akan pernah nemu. Mau nyari di luar pun, tetep gak akan nemu.” Ia berbisik.

Abbyan memejamkan mata sesaat, merasakan usapan tangan Senja di kepalanya.

“Karena, setiap orang dan setiap hubungan yang terjalin itu punya warnanya masing-masing. Kalau menurut kamu, bahagia itu bersanding sama yang cantik; akan selalu ada yang lebih cantik. Atau, bahagia itu bersanding sama yang pintar; akan selalu ada yang lebih pintar.”

Senja menatap Abbyan lamat-lamat, ketika lelaki itu membuka mata, keduanya bertatapan. Lama.

“Bahagia itu... ketika kamu menemukan kata cukup dalam hidup, Mas.”

Abbyan menarik senyum, lembut. “Kata cukup itu, udah aku temuin di kamu, Ja,” balasnya. “Makasih, udah jadi istri aku.”

Untuk setiap detik yang rela Senja habiskan demi menjaganya, untuk masakan-masakan hangat yang selalu tersaji di meja makan, untuk perhatian dan penerimaan yang begitu besar—yang tak pernah ia dapatkan dari perempuan mana pun itu, Abbyan ingin berterimakasih.

“Sekarang kamu kerasa kayak suami beneran.” Senja terkekeh renyah.

“Kemarin kan nikahnya masih simulasi, kamarnya juga masih misah-misah.”

Senja semakin terbahak, konyol memikirkan bagaimana Abbyan mengunci kamar pengantin di malam pertama mereka.

“Jadi sekarang nikahnya udah real, ya?”

Abbyan mengangguk, kemudian menelusupkan wajahnya di rambut Senja—menghirup harum cologne yang dipakai perempuan itu.

Ia melenguh. “Ja?”

“Hm?”

Hening beberapa saat, kemudian Abbyan berbisik tepat di telinga Senja. “Boleh aku minta hak aku?” katanya parau, sarat akan emosi.

Senja terpaku merasakan hangat deru napas Abbyan yang memburu di sekitar lehernya. Bersamaan dengan itu, rasa panas menjalar di pipi, jantungnya pun berdetak semakin carut marut.

Ketika bibir mereka akhirnya bertemu, Senja tahu; inilah tugas pertamanya sebagai seorang istri.

Setiap sentuhan, setiap kehangatan, membuat bulu kuduknya meremang.

Akal sehat seakan berhenti dan yang ia tahu ia hanya ingin merasakan detik demi detik berada begitu dekat dengan Abbyan karena untuk sesaat, mereka berbagi napas yang sama.

Malam ini, Senja akan mengingat malam ini sebagai salah satu malam terindah yang pernah terjadi dalam hidupnya.

Cara Abbyan menatapnya, lembut setiap sentuhannya, hingga helai terakhir yang membalut tubuh keduanya.

Ya, malam itu.

Senja, Abbyan, dan perasaan yang penuh oleh satu sama lain.


ada beberapa hal yang semakin didekati semakin jauh, yang semakin dipertahankan semakin berantakan yang semakin dibangun semakin runtuh kenapa? karena rencana dirancang bukan cuma untuk diwujudkan, tapi juga untuk didewasakan.

—rintiksedu

Jam antik di ruang keluarga berdentang sebelas kali. Gemanya terdengar sampai ke kamar, membuat Senja bangkit dari tempat tidur dan terduduk di pinggir kasur.

Ia tidak bisa tidur, pikiran tentang kepergian Genta lagi-lagi menghantui kepalanya.

Sembari mengapit sebuah bantal di lengan, Senja menaiki anak tangga. Pelan, ia mengetuk pintu kamar Abbyan, berharap lelaki itu belum tidur.

Setelah ketukan yang ke sekian dan tak ada jawaban, Senja mencoba menggenggam handel pintu. Ternyata, Abbyan tak lagi mengunci kamarnya—entah sejak kapan.

“Mas?” Senja melongokkan kepala dari celah pintu yang terbuka, kedua alisnya menaik begitu menemukan Abbyan baru saja terbangun dengan sebelah mata masih menutup. “Mas, aku ganggu ya?”

“Hah?”

“Aku gak bisa tidur.” Senja melenguh, lalu menjatuhkan dirinya di atas kasur, ikut menyusup ke dalam selimut hangat yang membungkus tubuh suaminya.

Abbyan mengusap wajah, kemudian ikut bergeser ke samping, sengaja memberi ruang untuk sang istri.

“Aku gak bisa tidur.” Senja mengulang.

“Aku bisa,” balas Abbyan, lalu matanya kembali terpejam. Senja cemberut melihat reaksi itu, namun membiarkan Abbyan tetap terlelap di sisinya.

Seraya memandang langit-langit, Senja berlirih, “Kenapa ya aku sama kamu bisa nikah?”

Di luar dugaan, Abbyan menjawab. “Karena dijodohin.”

“Bukan. Bukan jtu, kalau dijodohin aku juga tau. Maksud aku, kenapa semesta mengizinkan pernikahan kita, gitu loh, Mas.”

Mendengar pertanyaan itu, Abbyan mulai kehilangan kantuknya.

“Kita gak mirip; aku lemah lembut, kamu tukang marah-marah.”

“Udah nggak.”

“Masih, cuma sekarang jadi agak manja aja.” Senja mendengus, lalu melanjutkan. “Aku artis, kamu dokter. Hidup aku tentang menjiwai peran, sementara kamu hidup buat kemanusiaan. Aku gak ngerti medis, kamu juga gak tertarik sama seni.”

Abbyan mengerutkan hidung. “Kata siapa? Aku bisa nyanyi, aku juga bisa beberapa alat musik.”

“Ih serius? Licik!”

“Kok?”

“Ya, itu licik! Udah pinter, bisa nyanyi, bisa alat musik. Licik namanya, semua bakat dibawa semua!”

“Iri aja mentang-mentang gak pinter.”

Senja mencebikkan wajah, pura-pura merengut. Sementara di sisinya, Abbyan terkekeh rendah.

“Kamu benar, Ja... kita banyak bedanya.” Kali ini, Abbyan ikut memandang langit-langit kamar mereka yang temaram. “Tapi, bukannya itu yang jadi seru? Karena aku pemarah, aku butuh kamu yang lemah-lembut. Karena aku ceroboh, aku butuh kamu yang telaten. Dan karena kamu gak pintar, kamu butuh aku buat memperbaiki keturunan, kan?”

“Kurang ajar, ya!” Senja melayangkan cubitan bertubi-tubi di lengan Abbyan, namun tak ayal tertawa juga. “Tentang kamu sama Ayas... kalian banyak samanya atau bedanya?”

Abbyan menghela napas, menimbang-nimbang jawaban.

“Aku sama Ayas banyak samanya. Sama-sama mandiri, dan setelah aku pikir-pikir, kita juga sama-sama egois. Aku kira aku udah ngasih yang terbaik buat dia, tapi ternyata aku salah. Ayas juga gak pernah menyuarakan apa yang paling dia mau, dan berharap aku ngerti tanpa dia jelasin apa-apa.” Suara Abbyan terdengar sedih, Senja memahami itu.

“Dan gitu aja, hubungan kita berakhir.” Abbyan tersenyum pahit, lalu menoleh pada Senja. “Kalau kamu, kamu dan Genta banyak samanya atau bedanya?”

“Aku sama Genta... banyak samanya—tapi buat hal-hal yang baik. Aku pertama kali ketemu Genta waktu syuting film perdana aku; waktu itu dia lagi magang di salah satu production house. Kerjaannya cuma bikinin kopi buat crew, dan aku yang waktu itu masih pemain pendamping, banyak gabutnya daripada syutingnya.” Senja tertawa mengingat memori itu. “Karena sama-sama merasa gak penting, akhirnya aku sama Genta banyak ngobrol, tukeran nomor handphone, dan besok-besoknya makin akrab sampai project filmnya selesai.”

Sewaktu Naya mengetahui kedekatan mereka, dengan tegas perempuan itu mengecam hubungan yang lebih dari sekadar teman. Naya sudah memperingatkannya tentang keyakinan mereka yang berbeda—juga mengingatkannya tentang kejadian sang Ayah—namun Senja tetap keras kepala.

“Waktu aku jatuh cinta sama Genta, aku udah tau kalau kita tuh gak akan bisa bersama. Tapi saat itu, dapat perhatian dari dia, dapat afeksi yang gak orang lain berikan tapi dia berikan buat aku... rasanya susah buat nggak jatuh cinta sama orang ini.”

Genta baik, oleh sebab itu, Senja ingin membalas sebesar yang lelaki itu berikan padanya.

“Aku dan Genta sama-sama suka dunia perfilman. Aku sama Genta sama-sama bermimpi jadi public figure. Kita berbagi banyak hal yang serupa. Cuma satu yang beda; dan yang satu itu, justru jadi alasan utama aku dan dia gak bisa sama-sama walau banyak samanya.”

Senja berlinang, mati-matian menahan air matanya agar tidak menetes.

Ia tahu, salah satu kesamaannya dengan Genta yang lain adalah; fakta bahwa mereka sama-sama tak ingin jadi pihak yang pertama mengucapkan selamat tinggal.

“Genta mau lanjut S2, dia udah dapat beasiswa di Kanada. Kamu tau, Mas... aku mau dia bahagia, tapi di sini rasanya berat.” Senja menunjuk dada, setetes air matanya mengalir di sudut mata. “Aku tau hubungan aku sama Genta ibaratnya cuma jalan di tempat, tapi....”

... Tapi selama ini, cuma Genta yang selalu ada untuknya.

Senja terdiam lama, tak sanggup lagi untuk melanjutkan. Di sisinya, Abbyan termenung. Sorot matanya penuh pemahaman.

“Ja, tau kenapa aku akhirnya milih relain Ayas buat pergi?”

“Kenapa?”

“Karena aku, gak mau menempatkan dia di keadaan yang sulit lagi,” bisiknya. “Yang aku tau, setiap masa punya orangnya dan setiap orang punya masanya. Mereka yang mau pergi, gak bisa dipaksa buat tinggal. Dan mereka yang mau tinggal, gak bisa dipaksa buat pergi.”

Kata-kata Abbyan membuat air mata Senja semakin berjatuhan, namun ia tak bisa menyangkal kebenaran yang tersirat di dalamnya.

“Sekarang kamu tau, kan? Kenapa waktu itu aku bilang, aku gak mau kehilangan kamu karena aku gak punya siapa-siapa lagi? Bukan berarti aku gak ngerti komitmen yang kamu maksud; tapi karena aku udah berani merelakan semua yang aku punya—demi kamu, Ja.” Abbyan merapatkan jarak, tangannya bergerak mengusap kepala Senja sebelum menelusupkan wajah di pelukan istrinya itu. “Jadi kamu juga jangan takut, kamu punya aku.”

Untuk sesaat, Senja tak menjawab apa-apa. Jika dibilang Senja takut kepergian Genta akan membawa kembali kesepian yang pernah melingkupinya, itu memang benar. Dan karena itu pula, Senja sadar ia tak seharusnya menahan Genta demi ketakutannya semata.

Hal baik butuh waktu buat datang, Genta pernah berkata demikian.

Kini, Senja paham maksudnya.

“Makasih ya, Mas.”

Karena sudah merelakan segala hal demi dirinya. Karena sudah bertahan, di sini, di pernikahan ini; bersamanya.

“Mas, aku beruntung—“

“—GROKKK”

“MAS! SEBEL BANGET IH MASA TIDURNYA NGOROK KAYAK BABI?! PANTES PAS MALEM PERTAMA MALAH NGUNCI, TERNYATA NGOROK BOBONYA????”

Bukannya bangun, Abbyan justru semakin mengeratkan tangan di pinggang Senja.

Mulanya, Senja bergidik geli dengan kelakuan Abbyan. Namun ketika mendapati betapa polos raut wajah lelaki itu ketika terlelap, sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas.

Dalam hati, ia melanjutkan kembali kalimat sebelumnya.

... Aku beruntung punya kamu. Aku beruntung nikah sama kamu. Kalau aku bisa mengulang waktu pun, aku bakal tetap setuju buat dijodohin sama kamu.

Orang bilang, semesta tak pernah salah dalam menggariskan takdir setiap insannya.

Dan malam ini, Senja hanya ingin percaya itu.

Rumah Genta terletak di dalam sebuah gang kecil yang tidak bisa dilalui mobil. Meski sempit dan ramai anak-anak, lingkungan di sana asri dan terjaga, membuat Senja cukup senang untuk datang walau seringkali tak diundang.

Setelah berdebat cukup panjang dengan Naya, Senja memutuskan untuk berkunjung seorang diri. Beruntung siang itu cukup sepi, jadi Senja tak perlu repot-repot memakai masker untuk menutupi identitasnya.

Dinding rumah Genta dicat putih tulang—senada dengan warna pagar yang mengelilinginya. Ada beragam tanaman hias di teras yang tak seberapa luas itu, beberapa di taruh di balkon; balkon kamar Genta.

Ketika ia sampai di depan pagar, pintu rumah sedang terbuka. Sesaat, tatapannya tertuju pada sebuah simbol keagamaan yang terpatri di salah satu tembok dalam rumah—berbaur dengan beberapa bingkai foto keluarga. Ia tersenyum, mengenyahkan apapun yang ada di pikirannya detik ini.

“Eh, ada siapa ini?”

Seorang wanita paruh baya terbangun dari duduknya ketika menyadari kedatangan Senja. Beliau menepuk-nepuk tangan yang kotor oleh tanah karena sedang memindahkan bunga dalam pot.

“Selamat siang, Tante.” Senja tersenyum, menyalami tangan wanita di hadapannya. “Apa kabar?”

“Senja?”

“Iya, ini Senja, Tante.”

Ada raut tidak suka yang berbayang di wajah ibu Genta—raut yang tak pernah Senja dapat, setidaknya sampai pernikahannya dengan Abbyan dipublikasikan beberapa waktu lalu.

“Ada apa, ya?”

Senja ingin memaklumi perubahan sikap ibu Genta, namun menyadari nada tidak suka dalam kalimat itu membuatnya getir.

“Genta ada, Tante?”

Perempuan paruh baya itu memicing, mulutnya sudah terbuka, namun Genta mendadak hadir dari balik pintu rumah, dengan cepat ia menghampiri Senja yang tertahan di depan pagar.

Babe?” tanyanya, bingung karena Senja datang tanpa memberitahu.

“Hai!”

Sekilas, Genta dan ibunya berpandangan. Senja menyadari itu sebagai isyarat bahwa beliau tak menyukai kedatangannya.

Genta kemudian berdeham, lalu keluar pagar dan mengarahkan Senja untuk menjauh dari sana.

“Kamu kapan pulang dari Bandung?” tanya lelaki itu, terkesan berbasa-basi. Keduanya berjalan dengan canggung menuju luar gang. Senja tidak ingin memikirkan fakta bahwa kini ia seolah tengah diusir.

Ia mengerti, ibu Genta pernah berharap ia menjadi bagian keluarga mereka. Dan dengan statusnya saat ini yang sudah bersuami, jelas kedatangannya tak mungkin lagi diinginkan.

“Baru dua hari lalu, kemarin syutingnya selesai. Lagi tahap editing sekarang.”

“Aku pasti nonton filmnya.”

Senja tersenyum, dulu, Genta selalu berkata, aku gak sabar kita nonton filmnya.

Kini, tak ada lagi kata kita. Ia dan Genta seharusnya sudah mempersiapkan itu sejak lama.

“Akhir-akhir ini kamu susah aku hubungi, Ta....”

Genta menunduk, memandangi langkah kakinya sendiri.

“Sebenarnya ada yang mau aku kasih tau ke kamu. Tapi aku nunggu waktu yang tepat, Ja.”

“Apa?”

Genta berhenti melangkah di ujung gang yang sepi itu, ditatapnya Senja yang melayangkan pandangan bingung.

Ia menghembuskan napas dalam-dalam sebelum bergumam, “Aku dapat beasiswa S2 ke Kanada.”

Satu kalimat. Hanya satu kalimat itu, Senja mematung di tempatnya berdiri.

“Kanada?”

“Iya.” Genta mengangguk, rautnya bercampur antara senang dan tak senang. “Tadinya aku iseng apply, lagian susah juga buat lolos, jadi aku gak berharap banyak. But, here, everything feels stuck. Podcast-ku gak lancar, lagu-lagu mixing aku gak pernah diputar lebih dari satu kali di kafe. Jadi begitu ada kabar kalau aku dapat beasiswa ini, aku rasa aku gak punya alasan buat nolak.”

Satu dari alasan yang dimaksud Genta itu, Senja sadar dirinya termasuk di sana.

Saat ini, Senja tak lebih dari bagian-bagian ‘stuck’ yang Genta harap bisa ia tinggalkan.

Senja mengangkat wajah, tatapannya nanar. “Tapi, Kanada... itu jauhnya setengah lingkar planet ini, Genta.”

Yeah, that's cool isn't it?”

Senja ingin berbahagia untuk Genta, tapi tidak dengan cara ini—tidak dengan ditinggalkan sejauh ini.

Namun yang ia tidak tahu adalah, sejauh-jauhnya Kanada, sejauh apapun Gentanya akan berkelana, pada dasarnya, jarak yang memisahkan mereka bukan benua, melainkan agama; dan itu, adalah jarak terjauh dari semua jarak yang ada di dunia.

“Kamu ngizinin aku pergi, kan?”

“Hah?”

“Kalau aku pergi... kamu bakal baik-baik aja, kan?”

Ada pengharapan yang membayang di kedua mata Genta, membuat Senja merasa lidahnya kelu seketika.

Ia ingin merelakan Genta bahagia—sebab Genta pun telah berhasil melalukan itu padanya. Namun rasa tak ikhlas itu tetap ada, bagaimana jika ia merindukan Genta dan Genta tak ada di sana untuk memeluknya seperti biasa?

Senja butuh waktu. Ia tidak mempersiapkan kehilangan secepat ini.

“Aku lupa aku ada kerjaan, nanti aku hubungi kamu lagi, ya?”

“Senja....”

“Nanti aku kabarin.”

Senja berjalan meninggalkan Genta di belakang, ia hampir meneteskan air mata.

“Senja, kabarin aku secepatnya, ya?” pinta Genta dari kejauhan. “Waktu aku gak banyak lagi, akhir minggu ini aku berangkat.”

Mendengar itu, tangis Senja tumpah sejadi-jadinya.

“Kamu baik-baik aja?”

Abbyan menghela napas, berhenti mengaduk kopi di hadapannya dan menaikkan wajah untuk menatap Ayas. “Setelah kamu tinggal pergi, maksudnya?”

Ayas terdiam di kursinya yang berjarak satu meja dari Abbyan, sorot matanya sendu namun teguh—seperti sama sekali tak menyesali perbuatannya sejauh ini.

“Sulit dipercaya, tapi ternyata aku baik-baik aja tanpa kamu. Dan kayaknya, kamu juga begitu.”

“Aku tau kamu bakal baik-baik aja,” balas Ayas, tatapannya jatuh di cincin yang melingkar di jari manis Abbyan. “Semoga kamu gak pernah menempatkan Senja di keadaan yang sulit, ya.”

Sebelah alis Abbyan terangkat. “Kamu yang lebih dulu pergi, Yas. Daridulu, aku yang ngejar kamu, tapi kamu? Kamu selalu pergi.”

“Kamu gak ngerti....”

“Ya, apa? Apa yang aku gak ngerti?”

“Aku ini gak sebanding sama kamu, By. Aku sangsi sama perasaan kamu, aku gak percaya kamu bisa secinta itu sama aku karena selama aku hidup aku gak pernah tumbuh dengan cinta. Semua orang nganggap aku kesalahan, kamu tau itu....”

Abbyan memalingkan pandangannya ke segala arah. Enggan menatap Ayas yang kini tengah mati-matian menahan tangis.

“Kamu kan tau aku ini anak selingkuhan yang dibawa pulang Papa ke keluarganya waktu aku umur tujuh tahun. Kamu juga kan tau aku gak dapat perlakuan yang baik dari Mama dan saudara-saudara aku yang lain. Kamu tau itu, By... kehadiran aku gak pernah diharapkan siapapun.” Ayas menggigiti bagian dalam bibirnya, setetes air mata luruh, buru-buru ia usap dengan punggung tangan.

“Selama aku pacaran sama kamu, semua orang bilang aku gak pantes buat kamu. Orangtua kamu juga gak pernah suka sama latar belakang aku. Jadi gimana caranya aku bisa bertahan di hubungan ini?”

Ayas pernah percaya bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya. Ayas pernah percaya bahwa Abbyan adalah teman hidupnya; bahwa setelah semua pengalaman buruk yang ia alami, ada satu hal bahagia yang terjadi dan itu wujud dalam diri seorang Abbyan Rafandra.

Sampai hari pernikahan itu di gelar, Ayas sadar kalau bahagia tak pernah semudah yang ia kira.

“Aku gak bisa berpura-pura semuanya bakal kembali baik-baik aja. Dan ternyata, mekanisme pertahanan diri aku atas kepergian kamu itu adalah hilangnya rasa sayang aku perlahan-lahan,” akunya lirih, “atau mungkin kamu benar, sejak awal, aku emang gak pernah sejatuh itu buat kamu.”

Abbyan memandang nanar pada Ayas—perempuan yang bertahun-tahun ia taksir sejak pertemuan pertama mereka sewaktu ospek kampus. Abbyan pikir ia tak akan pernah punya kesempatan untuk mendekati Ayas karena gadis ini terkenal dingin dan mandiri, hingga suatu hari, keduanya berbincang sejenak di sebuah toko fotocopy tua.

Abbyan dengan segala laporan koasnya, Ayas dengan sekelumit berkas-berkas lamaran kerja yang tak kunjung di terima.

Waktu itu, Ayas baru saja putus dari mantan pacarnya, maka ketika Abbyan menawarkan sejuta kehangatan dan tingkah kekanakkannya; Ayas tak kuasa menolak.

“Aku berterimakasih sama kamu, Byan, karena kamu pernah bikin aku merasa begitu diinginkan. Tapi, aku gak pernah butuh itu, aku cuma butuh diterima, aku butuh seseorang yang mengerti luka-luka aku.”

Abbyan mengangguk, tenggorokannya tercekat.

“Kamu orang baik, Byan. Aku harap kamu bahagia selalu.”

Ayas menyingkirkan gelas kopi yang telah mendingin di atas meja, kemudian mengulurkan tangan sebagai tanda perpisahan.

Ini, baru perpisahan yang adil.

“Aku udah diterima di salah satu rumah sakit di daerah sini, dan aku bakal mulai hidup baru aku di sini. Jadi, kamu juga boleh melanjutkan hidup baru kamu.”

Untuk sesaat, Abbyan merasa napasnya memberat. Uluran tangan Ayas masih menggantung di depannya tanpa bersambut. Ia ingin memaki, ingin memaksakan kehendaknya sekali lagi.

Namun, satu senyum setenang langit jingga melintas dalam kepalanya. Dan karena itu, Abbyan akhirnya menyambut tangan Ayas, menggenggamnya erat-erat.

Ia ingin berhenti menjadi egois. Ia tidak ingin lagi menempatkan orang-orang dalam hidupnya di keadaan yang sulit. Maka ia sambut perpisahan ini dengan lapang, sudah saatnya mereka berjumpa di titik temu; dan bersiap bertolak ke arah masing-masing.

“Makasih, Yas. Jaga kesehatan, ya.”

Ayas tersenyum lembut, turut merasakan genggaman tangan Abbyan yang hangat.

“Kamu juga. Titip salam ya buat Senja.”

“Pasti.”

Matahari sudah sepenuhnya tenggelam ketika syuting hari pertama selesai. Abbyan mengemudi dengan tenang di sebelah Senja yang kini sedang sibuk menuangkan micelar water ke atas kapas untuk melepas make up-nya.

Abbyan tahu Senja lelah setelah syuting seharian ini, maka ia menawarkan untuk membawa mobil meski badannya sendiri belum terasa membaik—tidak apa, hitung-hitung ungkapan terimakasih karena istrinya itu sudah merawatnya selama sakit.

“Mas, mampir ke supermarket dulu, ya?”

“Mau ngapain?”

“Nyaleg,” balas Senja seraya mendelik. “Ya belanjalah, ke supermarket emang biasanya ngapain?”

Tanpa banyak mendebat lagi, Abbyan mengangguk mengiyakan.

Ada sesuatu dalam caranya mengemudi yang Senja rasa berbeda sejak terakhir kali lelaki itu menjemputnya di lokasi syuting; terasa lebih pelan, tenang, dan agak berhati-hati.

Senja mengusapkan kapas ke wajahnya perlahan sembari mengamati pergerakan Abbyan. Matanya memicing tiap kali suaminya itu bergerak—menyalakan lampu, mengecilkan volume radio tiap kali ia berbicara, dan lain sebagainya. Jika ia tidak salah menduga, sepertinya Abbyan benar-benar berubah.

“Mas, kamu....”

... Tobat? Kamu kok mendadak baik? Seharian ini kamu merhatiin aku terus tiap aku take, terus kamu gak mau salaman sama Reza Rahadian tuh aneh banget. Kamu cemburu, ya?

Terlalu banyak pertanyaan dalam kepalanya, namun yang ia katakan justru, “Kamu... baik-baik aja, kan?”

Abbyan menoleh sekilas, meliriknya lewat ujung mata. “Hm, aku baik.”

“Udah gak demam?”

“Nggak.”

Senja membereskan peralatan make up-nya, kemudian menatap Abbyan lamat-lamat. “Kamu beneran, baik-baik aja, kan?”

Abbyan ingin segera mengangguk, namun begitu sadar Senja sedang memerhatikannya, ia akhirnya menghela napas panjang. “Aku baik-baik aja.”

“Kalau kamu baik ke aku artinya kamu gak baik-baik aja, Mas.”

“Ya, masa kamu mau aku marah-marahin terus?”

“Kan emang gitu?”

“Aku minta ma—“

Belum sempat Abbyan menyelesaikan kalimatnya, Senja lebih dulu menghela napas berat, punggungnya terhempas di sandaran kursi.

“Bosen, Mas, minta maaf terus,” gumamnya, mengabaikan pandangan Abbyan dan memilih memalingkan wajah ke jendela. “Kamu pasti udah dicampakin sama Ayas, kan?”

Diamnya Abbyan, membuat Senja serta merta tahu dugaannya benar.

“Aku gak mau cuma jadi momen buat kamu.” Senja berbisik, tatapannya jatuh di lalu lalang jalanan. Lalu, ia melanjutkan sebelum Abbyan mampu berkata-kata, “Momen pelarian kamu dari Ayas... aku gak mau.”

Lampu di depan sana berubah merah. Abbyan menginjak rem perlahan sampai mobil benar-benar berhenti. Cukup lama, keduanya terdiam mengamati pengamen dan anak-anak jalanan hilir mudik, sampai di satu titik, Abbyan akhirnya berdeham memecah keheningan.

“Aku gak butuh pelarian,” bisiknya lirih. “Aku sama Ayas udah selesai, benar-benar selesai.”

Senja terenyak di kursinya—ia memang pernah berharap Abbyan akan putus dengan Ayas, namun hanya untuk sementara, setidaknya sampai Abbyan resmi menceraikannya.

Bukan seperti ini....

“Gara-gara aku?” Getir, Senja tetap bertanya.

“Nggak, bukan karena kamu.”

Ada sedih yang terasa menggelayuti kalimat Abbyan detik itu, membuat Senja akhirnya menoleh dan menatap sosok di sisinya lekat-lekat meski temaram. Senja tahu, apapun itu yang menjadi alasan mereka berdua memutuskan untuk berpisah, pasti bukan sesuatu yang baik.

“Kamu masih mau cerai, Ja?”

Pertanyaan itu mencelat bersamaan dengan lampu yang berubah hijau, Abbyan kembali mengemudi dengan tenang, nampak tak menunggu jawaban apapun dari Senja.

“Aku... gak tau.”

Jawaban itu sebenarnya netral, Senja tidak ingin terlalu terburu-buru memutuskan. Ia memang sempat kecewa dengan tindakan Abbyan beberapa waktu lalu, namun rasanya ia tak pantas sakit hati sebab di sisi lain, toh ia pun memang masih menjalin hubungan dengan Genta dan Abbyan sama sekali tak pernah melarangnya.

Senja ingin berhenti menjadi egois, terlebih kini hubungan Abbyan dan Ayas sudah benar-benar selesai.

“Mas, aku ikut kamu aja. Mau pisah atau—“

“Aku gak mau pisah.”

Kedua alis Senja lantas bertaut, tak menyangka Abbyan akan mengatakan itu.

“Aku mau komitmen sama kamu; sama pernikahan ini,” Abbyan melanjutkan.

Mobil telah terparkir di basement supermarket yang dituju Senja, mesin sudah dimatikan dan Abbyan tengah bersiap turun. Namun Senja justru mematung, masih sibuk mencerna kalimat Abbyan sebelumnya.

“Kok bengong? Kita jadi belanja gak?”

“Serius?”

“Serius apa?”

“Kita belanja?”

“Loh, ya iya? Jadi gak?”

Senja menepuk jidat, berusaha menguasai dirinya kembali. “Maksud aku... kita... belanja... as a family?”

Abbyan berhenti merapikan poninya di kaca spion, semburat merah menyambangi pipinya ketika Senja bertanya demikian.

Enggan terlihat semakin salah tingkah, ia buru-buru melepas seat-belt dan membuka pintu mobil.

“Buruan, nanti keburu tutup mall-nya.”

Sembari menahan senyum agar tidak tersungging terlalu lebar, Senja akhirnya keluar, kemudian berlari kecil untuk menyusul Abbyan dan berdiri di sisi lelaki itu—sebagai seorang istri.

Sebagai seorang istri, seperti yang selalu diharapkannya.

Seharian ini, Abbyan merasa lelah bukan main—tak hanya fisik, tapi pikiran dan batinnya juga tersiksa.

Dengan absennya Senja di rumah, Abbyan melewatkan jadwal makannya semudah membalikan telapak tangan. Tak ada yang memarahinya karena salah menu sarapan, atau sesederhana melupakan bekal makan siang.

Hidupnya kembali tenang seperti sebelum ia menikah; namun ia justru merasa hampa.

Terlebih isi kepalanya diperumit dengan pernyataan istrinya tempo hari itu.

Saham apa... bisnis apa.... Abbyan benar-benar tidak paham. Yang ia tahu, ia harus menikahi Senja karena keluarganya berhutang budi pada keluarga Niskala—selaku pendiri rumah sakit yang kini menjadi milik keluarganya—dan untuk membalas budi itu, Abbyan setuju menikahi Senja, dengan harapan hubungan Senja dan Genta yang ditentang sang Eyang akan kandas seiring pernikahan mereka.

Namun, pernyataan yang berbeda dari Senja membuat Abbyan kembali mempertanyakan semuanya.

Benarkah pernikahan ini atas nama bisnis belaka?

Rasa penasaran membawa Abbyan pulang ke rumah. Ia memarkirkan mobilnya dengan asal, dan segera masuk ke dalam dengan tergesa. Ia baru saja menggenggam handle pintu ruang kerja ayahnya, namun seseorang dari dalam lebih dulu membuka pintu.

Mereka berpandangan, terkejut, dan membatu untuk beberapa saat.

Ayas.

“Kamu—“

Belum sempat Ayas bicara, Abbyan telah menarik tangannya menjauh dari sana.


“Kamu ngejual aku, Yas?” Suara Abbyan serak, parau akan emosi.

Sudah hampir setengah jam mereka berdua terduduk di dalam mobil, tak ada yang berani bicara lebih dulu—sampai akhirnya Abbyan mengeluarkan pertanyaan itu setelah melihat langsung isi kertas di dalam amplop coklat yang Ayas genggam erat-erat.

“Dua ratus juta?” Abbyan memandang nanar keluar jendela, lalu melenguh. “Cuma segitu harga aku buat kamu, Yas?”

Di sebelahnya, Ayas hampir menangis.

“Aku bisa ngasih lebih dari itu!”

“Nggak bisa!” Ayas membentak. “Jangan ngerasa kamu bisa ngelakuin segala hal semau kamu, Byan! Dunia gak selalu berjalan kayak yang kamu mau!”

Air mata Ayas jatuh, buru-buru ia hapus dengan punggung tangan.

“Kamu nggak paham... ini semua sulit buat aku, tapi yang kamu lakuin cuma nyuruh aku bertahan di hubungan yang gak gak akan pernah aku menangin sampai kapanpun!” Ayas ingin mengatakan lebih banyak, namun melihat raut Abbyan detik ini, rasanya sakit.

Abbyan tidak salah... yang salah adalah segala ketidaksempurnaan dirinya; dan fakta bahwa selama ini ia tak pernah meminta untuk dicintai sedalam itu.

“Kamu cuma nyuruh aku bertahan, tapi kamu gak nyari tau gimana keadaan aku ketika aku nyoba bertahan di hubungan ini,” ujarnya lagi setelah jeda yang cukup panjang. “Kamu sayang sama aku, tapi kamu malah nempatin aku di posisi yang paling aku benci—posisi di mana aku ngerasa kehadiran aku adalah sebuah kesalahan.”

Ayas menengadah agar air matanya tak jatuh, mengungkit itu membuka lukanya yang lain.

“Orangtua aku... dan sekarang orangtua kamu, udah jadi bukti kalau aku emang gak pernah diterima sama dunia.”

Abbyan terhenyak di tempat, ia lelah merasa terlalu banyak. Dan kalimat-kalimat Ayas hanya membuat isi perut dan kepalanya seakan berputar-putar.

“Dengan atau tanpa uang ini, aku tetap harus ninggalin kamu, Byan.” Ayas menggigit bibir, kemudian merebut kembali kertas dan amplop dalam genggaman Abbyan. “Aku gak punya kerjaan, orangtua kamu yang minta aku buat berhenti, dan sekarang kalau aku pulang ke rumah aku cuma bakal kembali ke neraka. Jadi aku minta maaf, tapi aku butuh uang ini, hidup aku juga harus berlanjut.”

Setelah mengatakan itu, Ayas keluar dari mobil sembari menguatkan dirinya sendiri agar tidak limbung.

Seiring langkahnya menjauh, tetes air matanya kembali berjatuhan.

“Aku mau resign.”

“Tapi, kenapa?”

Pertanyaan Abbyan menggantung di udara, tak kunjung menemukan jawabannya. Ayas bersandar di meja kerja lelaki itu, menunduk memperhatikan sepatu putihnya yang mengusam dimakan waktu.

“Yas, kamu bilang sama aku kalau ini rumah sakit impian kamu, kan? Sewaktu kuliah dulu, kamu selalu bilang sama aku kalau kamu harus kerja di sini.” Abbyan ingat itu, ingat bagaimana bersemangatnya Ayas menyelesaikan studinya agar bisa menjadi psikolog di rumah sakit ini. Kini, Ayas terlihat seperti mengkhianati impiannya sendiri. “Karena aku ya, Yas?”

“Nggak, bukan karena kamu.”

“Terus karena apa?”

Ayas mengangkat pandangan, menatap Abbyan lurus-lurus. “Rumah sakit kan banyak, Byan. Aku jenuh di sini, aku mau nyoba lamar di rumah sakit lain di Bandung.”

“Bandung?” Abbyan mengernyit. “Kamu ini sengaja mau ninggalin aku? Sengaja mau kabur sejauh itu buat ngehindarin aku?”

“Byan—“

“Aku gak ngerti, Yas!” desis Abbyan, ia mengusap wajahnya kasar. “Aku gak ngerti sama kamu. Gampang banget buat kamu ngelepas semua yang kita punya. Kenapa? Karena aku segitu gak pentingnya? Karena aku duluan yang ngejar-ngejar kamu? Apa karena... dari awal, kamu gak pernah sayang sama aku?”

“Gak gitu....”

“Ya, terus apa?”

Ayas mengigiti bibir, nampak sama kalutnya dengan Abbyan.

I loved you, By. Aku... pernah begitu mencintai kamu. Pernah bermimpi bisa sama kamu selama-lamanya.” Sewaktu Ayas memberanikan diri untuk kembali bertatapan dengan Abbyan, Ayas dapat melihat bagaimana lelaki di hadapannya ini hancur perlahan-lahan. “Tapi, semakin aku sayang sama kamu semakin aku tau kita gak bisa sama-sama. Kamu gak ngerti dunia aku, dan aku terlalu lemah buat jadi bagian dari dunia kamu.”

Kalimat terakhir Ayas meninggalkan hening yang cukup panjang. Hingga hanya bunyi detik jarum jam yang menjadi penengah di antara keduanya.

“Pernah?” Abbyan membeo. “Kenapa ‘pernah’? Kenapa perasaan kamu berubah?”

Pandangannya tak fokus, mengawang-ngawang di antara gusar dan kecewa.

“Aku gak tau, aku cuma—“

“Aku bisa bikin kamu sayang sama aku lagi, Yas!”

Dan semuanya terjadi begitu saja.

Terlalu cepat sampai Ayas tak bisa menghindari Abbyan yang tiba-tiba saja menerjangnya—membawanya masuk ke dalam pelukan yang hangat. Bibir mereka bersentuhan, berpagut, berbagi udara yang sama untuk waktu yang lama.

Untuk sesaat, Ayas merasa segala hal di sekelilingnya terasa memudar seiring sentuhan yang lelaki itu berikan padanya. Sementara akal sehatnya meronta-ronta; ia tidak seharusnya membiarkan ini terjadi.

Ini tak seharusnya terjadi.

“Mas Abbyan—“

Bunyi pintu yang terbuka, suara pekikan wanita, dan barang terjatuh setelahnya, membuat kesadaran Abbyan seakan ditarik paksa kembali ke bumi.

Ia menoleh, hanya untuk dibuat merasa bersalah sebab Senja berdiri di sana. Di balik pintu, dengan tangan membekap mulut dan raut yang tak terbaca—nanar, benci, jijik, segalanya bercampur menjadi satu.

“... Senja?”

Abbyan merasa tenggorokannya tercekat, tubuhnya mendadak kaku. Ia belum sempat mencerna apa yang terjadi, namun Senja telah lebih dulu membanting pintu, kemudian berlalu dari sana.

“Ini semua salah kamu, Byan!”

Sebuah tamparan mendarat di pipinya, Ayas berderap keluar ruangan setelah melakukan itu. Namun seakan masih belum tersadar seutuhnya, Abbyan justru mengurut kening; kalut dan panik menggerogoti diri.

Di titik ini, Abbyan merasa begitu buruk.

Bahkan yang lebih buruk, ia tidak tahu harus mengejar siapa.

Ayas atau Senja?

Ia benar-benar tidak tahu.

Setelah menyelesaikan segala urusannya dengan mesin cuci dan tumpukan pakaian kotor, Senja kembali ke dapur. Ia dibuat melongo sebab setibanya di sana, Abbyan terlihat sedang menyeruput mi instan yang entah kapan di masak oleh lelaki itu.

Sembari berkacak pinggang, Senja menghampiri suaminya di meja makan.

“Mas, serius kamu tuh beli bangku ya di fakultas kedokteran?”

Abbyan mengangkat wajah, dengan mi kuah yang bergelantungan di mulutnya. “Hah?” tanyanya, terlalu terkejut untuk merespon.

“Pertama sereal, sekarang indomi. Yang bener aja kamu, masa sarapannya dokter kayak begini?” Senja menggerutu, membuat Abbyan menunduk untuk sekadar memandangi semangkuk mi kuah yang masih mengepulkan asap di hadapannya. “Mi instan gak baik buat kesehatan. Kamu mah, ngejaga kesehatan orang tapi kesehatan sendiri gak dijaga, Mas.”

“Terlanjur dimasak, Ja.”

“Jangan banyak alasan!”

“Ya daripada mubadzir?”

Abbyan mendengus, hampir menyuap sesendok mi lagi seandainya Senja tak sigap menarik telinganya.

“A-aw! Kamu ngapain, sih?”

“Kata Mama, selain ngelayanin kamu, marahin kamu juga udah jadi tugas aku! Kalo kamu nakal, aku boleh jewer kamu kayak gini!”

“Gak dijewer juga, kamu kira aku anak kecil apa?”

“Orang dewasa seharusnya gak susah diatur kayak kamu!”

Fine!” Abbyan mendorong mangkuk mi-nya menjauh, kemudian mengesah. “Tuh, gak aku lanjutin makannya. Udah, lepasin!”

Senja masih cemberut, tapi ketika melihat daun telinga Abbyan memerah, ia buru-buru melepaskan tangannya.

“Yaudah, biar aku siapin sarapan kamu dulu. Tunggu, ya.”

Abbyan tak menjawab, sibuk mengusap-usap telinganya yang terasa panas. Dalam hati, Abbyan terus mengingatkan dirinya untuk bersabar. Semua ini akan segera berakhir. Pasti.


“Kamu lagi ngapain?”

Keluar dari dapur menuju garasi, Abbyan tercenung menyaksikan istrinya tengah berjongkok di dekat rak sepatu.

“Ini, Mas. Sepatu kamu agak kotor, jadi aku semir dikit.”

Abbyan memiringkan kepalanya, sedikit tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Senja Niskala—seorang aktris film-film terkenal, yang selama ini hanya pernah ia lihat di layar bioskop—kini berjongkok untuk membersihkan sepatu kerjanya.

“Taraaa! Udah bersih, yeay!”

Wajah perempuan itu berseri-seri tatkala bangkit berdiri dan mengasongkan sepatu pada Abbyan. Garis senyumnya terlihat begitu manis—begitu tulus.

“Nih, pake!”

Abbyan mengerjap, baru sadar sudah menatap Senja terlalu lama. “Yaudah, taro di bawah aja.”

“Kan mau dipake?”

“Iya, dipake di kaki. Masa dipake di muka?”

Senja mengangguk kikuk. “Oiya, mau aku pakein sekalian, Mas?”

“Gak usah.”

“Tugas istri, kan—“

Sebelum Senja menyelesaikan kalimatnya, Abbyan buru-buru memotong. “Tugas istri emang melayani suami, tapi mereka bukan pelayan. Kamu mau jadi istri aku, atau pelayan aku?”

Ditanya begitu, Senja mati kutu.

“Aku rasa kamu perlu cari tau lagi tugas istri itu apa, biar kamu gak salah paham. Buat hal-hal sederhana kayak nyemir sepatu begini, aku masih bisa lakuin sendiri.”

Yang Abbyan tidak tahu adalah, Senja tak pernah mempelajari langsung bagaimana peran istri yang sesungguhnya. Yang Abbyan tidak tahu adalah, sejak kecil, Senja selalu melihat Bunda melakukan segala hal untuk membahagiakan Ayah—walau tetap saja tak membuat Ayah bertahan di sisi mereka.

Senja tidak paham, tapi ia berusaha.

“Aku berangkat.”

“Mas....”

“Apalagi?”

Abbyan membalikkan badan, kedua alisnya bertaut saat Senja meraih pelan tangan kanannya—kemudian mengecupnya lembut.

Abbyan hendak memprotes, tapi ketika merasakan betapa polosnya gadis ini saat menyalaminya, Abbyan tercekat. Kata-katanya tertahan di tenggorokan, sementara di dalam sana, jantungnya berdetak semakin tak karuan.

“Hati-hati di jalan, ya. Semangat kerjanya!”

Sewaktu Abbyan berkata, aku rasa kamu perlu cari tau lagi tugas istri itu apa, biar kamu gak salah paham, inilah ia yang maksud. Bahwa seorang istri, bukan pelayan. Lebih besar, dan lebih istimewa dari itu.

Abbyan tidak ingin dilayani seperti seorang raja. Karena jika suami adalah raja, maka istri harus berdiri tepat di sisi sang raja layaknya seorang ratu, bukan? Ratu yang tegas, yang berani mengambil keputusan, yang mampu berdiri sendiri bahkan ketika raja tidak ada.

“Cepat pulang ya, Mas. Aku tunggu.” Senja tersenyum sampai kedua matanya membentuk bulan sabit. Abbyan mengangguk sepintas, kemudian ikut tersenyum.

... Dan sebaik-baiknya ratu, adalah mereka yang tetap menjadi rumah terhangat untuk rajanya, meski istana mereka sedang tak baik-baik saja.