Perpisahan yang Adil

“Kamu baik-baik aja?”

Abbyan menghela napas, berhenti mengaduk kopi di hadapannya dan menaikkan wajah untuk menatap Ayas. “Setelah kamu tinggal pergi, maksudnya?”

Ayas terdiam di kursinya yang berjarak satu meja dari Abbyan, sorot matanya sendu namun teguh—seperti sama sekali tak menyesali perbuatannya sejauh ini.

“Sulit dipercaya, tapi ternyata aku baik-baik aja tanpa kamu. Dan kayaknya, kamu juga begitu.”

“Aku tau kamu bakal baik-baik aja,” balas Ayas, tatapannya jatuh di cincin yang melingkar di jari manis Abbyan. “Semoga kamu gak pernah menempatkan Senja di keadaan yang sulit, ya.”

Sebelah alis Abbyan terangkat. “Kamu yang lebih dulu pergi, Yas. Daridulu, aku yang ngejar kamu, tapi kamu? Kamu selalu pergi.”

“Kamu gak ngerti....”

“Ya, apa? Apa yang aku gak ngerti?”

“Aku ini gak sebanding sama kamu, By. Aku sangsi sama perasaan kamu, aku gak percaya kamu bisa secinta itu sama aku karena selama aku hidup aku gak pernah tumbuh dengan cinta. Semua orang nganggap aku kesalahan, kamu tau itu....”

Abbyan memalingkan pandangannya ke segala arah. Enggan menatap Ayas yang kini tengah mati-matian menahan tangis.

“Kamu kan tau aku ini anak selingkuhan yang dibawa pulang Papa ke keluarganya waktu aku umur tujuh tahun. Kamu juga kan tau aku gak dapat perlakuan yang baik dari Mama dan saudara-saudara aku yang lain. Kamu tau itu, By... kehadiran aku gak pernah diharapkan siapapun.” Ayas menggigiti bagian dalam bibirnya, setetes air mata luruh, buru-buru ia usap dengan punggung tangan.

“Selama aku pacaran sama kamu, semua orang bilang aku gak pantes buat kamu. Orangtua kamu juga gak pernah suka sama latar belakang aku. Jadi gimana caranya aku bisa bertahan di hubungan ini?”

Ayas pernah percaya bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya. Ayas pernah percaya bahwa Abbyan adalah teman hidupnya; bahwa setelah semua pengalaman buruk yang ia alami, ada satu hal bahagia yang terjadi dan itu wujud dalam diri seorang Abbyan Rafandra.

Sampai hari pernikahan itu di gelar, Ayas sadar kalau bahagia tak pernah semudah yang ia kira.

“Aku gak bisa berpura-pura semuanya bakal kembali baik-baik aja. Dan ternyata, mekanisme pertahanan diri aku atas kepergian kamu itu adalah hilangnya rasa sayang aku perlahan-lahan,” akunya lirih, “atau mungkin kamu benar, sejak awal, aku emang gak pernah sejatuh itu buat kamu.”

Abbyan memandang nanar pada Ayas—perempuan yang bertahun-tahun ia taksir sejak pertemuan pertama mereka sewaktu ospek kampus. Abbyan pikir ia tak akan pernah punya kesempatan untuk mendekati Ayas karena gadis ini terkenal dingin dan mandiri, hingga suatu hari, keduanya berbincang sejenak di sebuah toko fotocopy tua.

Abbyan dengan segala laporan koasnya, Ayas dengan sekelumit berkas-berkas lamaran kerja yang tak kunjung di terima.

Waktu itu, Ayas baru saja putus dari mantan pacarnya, maka ketika Abbyan menawarkan sejuta kehangatan dan tingkah kekanakkannya; Ayas tak kuasa menolak.

“Aku berterimakasih sama kamu, Byan, karena kamu pernah bikin aku merasa begitu diinginkan. Tapi, aku gak pernah butuh itu, aku cuma butuh diterima, aku butuh seseorang yang mengerti luka-luka aku.”

Abbyan mengangguk, tenggorokannya tercekat.

“Kamu orang baik, Byan. Aku harap kamu bahagia selalu.”

Ayas menyingkirkan gelas kopi yang telah mendingin di atas meja, kemudian mengulurkan tangan sebagai tanda perpisahan.

Ini, baru perpisahan yang adil.

“Aku udah diterima di salah satu rumah sakit di daerah sini, dan aku bakal mulai hidup baru aku di sini. Jadi, kamu juga boleh melanjutkan hidup baru kamu.”

Untuk sesaat, Abbyan merasa napasnya memberat. Uluran tangan Ayas masih menggantung di depannya tanpa bersambut. Ia ingin memaki, ingin memaksakan kehendaknya sekali lagi.

Namun, satu senyum setenang langit jingga melintas dalam kepalanya. Dan karena itu, Abbyan akhirnya menyambut tangan Ayas, menggenggamnya erat-erat.

Ia ingin berhenti menjadi egois. Ia tidak ingin lagi menempatkan orang-orang dalam hidupnya di keadaan yang sulit. Maka ia sambut perpisahan ini dengan lapang, sudah saatnya mereka berjumpa di titik temu; dan bersiap bertolak ke arah masing-masing.

“Makasih, Yas. Jaga kesehatan, ya.”

Ayas tersenyum lembut, turut merasakan genggaman tangan Abbyan yang hangat.

“Kamu juga. Titip salam ya buat Senja.”

“Pasti.”