Momen & Komitmen

Matahari sudah sepenuhnya tenggelam ketika syuting hari pertama selesai. Abbyan mengemudi dengan tenang di sebelah Senja yang kini sedang sibuk menuangkan micelar water ke atas kapas untuk melepas make up-nya.

Abbyan tahu Senja lelah setelah syuting seharian ini, maka ia menawarkan untuk membawa mobil meski badannya sendiri belum terasa membaik—tidak apa, hitung-hitung ungkapan terimakasih karena istrinya itu sudah merawatnya selama sakit.

“Mas, mampir ke supermarket dulu, ya?”

“Mau ngapain?”

“Nyaleg,” balas Senja seraya mendelik. “Ya belanjalah, ke supermarket emang biasanya ngapain?”

Tanpa banyak mendebat lagi, Abbyan mengangguk mengiyakan.

Ada sesuatu dalam caranya mengemudi yang Senja rasa berbeda sejak terakhir kali lelaki itu menjemputnya di lokasi syuting; terasa lebih pelan, tenang, dan agak berhati-hati.

Senja mengusapkan kapas ke wajahnya perlahan sembari mengamati pergerakan Abbyan. Matanya memicing tiap kali suaminya itu bergerak—menyalakan lampu, mengecilkan volume radio tiap kali ia berbicara, dan lain sebagainya. Jika ia tidak salah menduga, sepertinya Abbyan benar-benar berubah.

“Mas, kamu....”

... Tobat? Kamu kok mendadak baik? Seharian ini kamu merhatiin aku terus tiap aku take, terus kamu gak mau salaman sama Reza Rahadian tuh aneh banget. Kamu cemburu, ya?

Terlalu banyak pertanyaan dalam kepalanya, namun yang ia katakan justru, “Kamu... baik-baik aja, kan?”

Abbyan menoleh sekilas, meliriknya lewat ujung mata. “Hm, aku baik.”

“Udah gak demam?”

“Nggak.”

Senja membereskan peralatan make up-nya, kemudian menatap Abbyan lamat-lamat. “Kamu beneran, baik-baik aja, kan?”

Abbyan ingin segera mengangguk, namun begitu sadar Senja sedang memerhatikannya, ia akhirnya menghela napas panjang. “Aku baik-baik aja.”

“Kalau kamu baik ke aku artinya kamu gak baik-baik aja, Mas.”

“Ya, masa kamu mau aku marah-marahin terus?”

“Kan emang gitu?”

“Aku minta ma—“

Belum sempat Abbyan menyelesaikan kalimatnya, Senja lebih dulu menghela napas berat, punggungnya terhempas di sandaran kursi.

“Bosen, Mas, minta maaf terus,” gumamnya, mengabaikan pandangan Abbyan dan memilih memalingkan wajah ke jendela. “Kamu pasti udah dicampakin sama Ayas, kan?”

Diamnya Abbyan, membuat Senja serta merta tahu dugaannya benar.

“Aku gak mau cuma jadi momen buat kamu.” Senja berbisik, tatapannya jatuh di lalu lalang jalanan. Lalu, ia melanjutkan sebelum Abbyan mampu berkata-kata, “Momen pelarian kamu dari Ayas... aku gak mau.”

Lampu di depan sana berubah merah. Abbyan menginjak rem perlahan sampai mobil benar-benar berhenti. Cukup lama, keduanya terdiam mengamati pengamen dan anak-anak jalanan hilir mudik, sampai di satu titik, Abbyan akhirnya berdeham memecah keheningan.

“Aku gak butuh pelarian,” bisiknya lirih. “Aku sama Ayas udah selesai, benar-benar selesai.”

Senja terenyak di kursinya—ia memang pernah berharap Abbyan akan putus dengan Ayas, namun hanya untuk sementara, setidaknya sampai Abbyan resmi menceraikannya.

Bukan seperti ini....

“Gara-gara aku?” Getir, Senja tetap bertanya.

“Nggak, bukan karena kamu.”

Ada sedih yang terasa menggelayuti kalimat Abbyan detik itu, membuat Senja akhirnya menoleh dan menatap sosok di sisinya lekat-lekat meski temaram. Senja tahu, apapun itu yang menjadi alasan mereka berdua memutuskan untuk berpisah, pasti bukan sesuatu yang baik.

“Kamu masih mau cerai, Ja?”

Pertanyaan itu mencelat bersamaan dengan lampu yang berubah hijau, Abbyan kembali mengemudi dengan tenang, nampak tak menunggu jawaban apapun dari Senja.

“Aku... gak tau.”

Jawaban itu sebenarnya netral, Senja tidak ingin terlalu terburu-buru memutuskan. Ia memang sempat kecewa dengan tindakan Abbyan beberapa waktu lalu, namun rasanya ia tak pantas sakit hati sebab di sisi lain, toh ia pun memang masih menjalin hubungan dengan Genta dan Abbyan sama sekali tak pernah melarangnya.

Senja ingin berhenti menjadi egois, terlebih kini hubungan Abbyan dan Ayas sudah benar-benar selesai.

“Mas, aku ikut kamu aja. Mau pisah atau—“

“Aku gak mau pisah.”

Kedua alis Senja lantas bertaut, tak menyangka Abbyan akan mengatakan itu.

“Aku mau komitmen sama kamu; sama pernikahan ini,” Abbyan melanjutkan.

Mobil telah terparkir di basement supermarket yang dituju Senja, mesin sudah dimatikan dan Abbyan tengah bersiap turun. Namun Senja justru mematung, masih sibuk mencerna kalimat Abbyan sebelumnya.

“Kok bengong? Kita jadi belanja gak?”

“Serius?”

“Serius apa?”

“Kita belanja?”

“Loh, ya iya? Jadi gak?”

Senja menepuk jidat, berusaha menguasai dirinya kembali. “Maksud aku... kita... belanja... as a family?”

Abbyan berhenti merapikan poninya di kaca spion, semburat merah menyambangi pipinya ketika Senja bertanya demikian.

Enggan terlihat semakin salah tingkah, ia buru-buru melepas seat-belt dan membuka pintu mobil.

“Buruan, nanti keburu tutup mall-nya.”

Sembari menahan senyum agar tidak tersungging terlalu lebar, Senja akhirnya keluar, kemudian berlari kecil untuk menyusul Abbyan dan berdiri di sisi lelaki itu—sebagai seorang istri.

Sebagai seorang istri, seperti yang selalu diharapkannya.