Retak, Lalu Patah
“Aku mau resign.”
“Tapi, kenapa?”
Pertanyaan Abbyan menggantung di udara, tak kunjung menemukan jawabannya. Ayas bersandar di meja kerja lelaki itu, menunduk memperhatikan sepatu putihnya yang mengusam dimakan waktu.
“Yas, kamu bilang sama aku kalau ini rumah sakit impian kamu, kan? Sewaktu kuliah dulu, kamu selalu bilang sama aku kalau kamu harus kerja di sini.” Abbyan ingat itu, ingat bagaimana bersemangatnya Ayas menyelesaikan studinya agar bisa menjadi psikolog di rumah sakit ini. Kini, Ayas terlihat seperti mengkhianati impiannya sendiri. “Karena aku ya, Yas?”
“Nggak, bukan karena kamu.”
“Terus karena apa?”
Ayas mengangkat pandangan, menatap Abbyan lurus-lurus. “Rumah sakit kan banyak, Byan. Aku jenuh di sini, aku mau nyoba lamar di rumah sakit lain di Bandung.”
“Bandung?” Abbyan mengernyit. “Kamu ini sengaja mau ninggalin aku? Sengaja mau kabur sejauh itu buat ngehindarin aku?”
“Byan—“
“Aku gak ngerti, Yas!” desis Abbyan, ia mengusap wajahnya kasar. “Aku gak ngerti sama kamu. Gampang banget buat kamu ngelepas semua yang kita punya. Kenapa? Karena aku segitu gak pentingnya? Karena aku duluan yang ngejar-ngejar kamu? Apa karena... dari awal, kamu gak pernah sayang sama aku?”
“Gak gitu....”
“Ya, terus apa?”
Ayas mengigiti bibir, nampak sama kalutnya dengan Abbyan.
“I loved you, By. Aku... pernah begitu mencintai kamu. Pernah bermimpi bisa sama kamu selama-lamanya.” Sewaktu Ayas memberanikan diri untuk kembali bertatapan dengan Abbyan, Ayas dapat melihat bagaimana lelaki di hadapannya ini hancur perlahan-lahan. “Tapi, semakin aku sayang sama kamu semakin aku tau kita gak bisa sama-sama. Kamu gak ngerti dunia aku, dan aku terlalu lemah buat jadi bagian dari dunia kamu.”
Kalimat terakhir Ayas meninggalkan hening yang cukup panjang. Hingga hanya bunyi detik jarum jam yang menjadi penengah di antara keduanya.
“Pernah?” Abbyan membeo. “Kenapa ‘pernah’? Kenapa perasaan kamu berubah?”
Pandangannya tak fokus, mengawang-ngawang di antara gusar dan kecewa.
“Aku gak tau, aku cuma—“
“Aku bisa bikin kamu sayang sama aku lagi, Yas!”
Dan semuanya terjadi begitu saja.
Terlalu cepat sampai Ayas tak bisa menghindari Abbyan yang tiba-tiba saja menerjangnya—membawanya masuk ke dalam pelukan yang hangat. Bibir mereka bersentuhan, berpagut, berbagi udara yang sama untuk waktu yang lama.
Untuk sesaat, Ayas merasa segala hal di sekelilingnya terasa memudar seiring sentuhan yang lelaki itu berikan padanya. Sementara akal sehatnya meronta-ronta; ia tidak seharusnya membiarkan ini terjadi.
Ini tak seharusnya terjadi.
“Mas Abbyan—“
Bunyi pintu yang terbuka, suara pekikan wanita, dan barang terjatuh setelahnya, membuat kesadaran Abbyan seakan ditarik paksa kembali ke bumi.
Ia menoleh, hanya untuk dibuat merasa bersalah sebab Senja berdiri di sana. Di balik pintu, dengan tangan membekap mulut dan raut yang tak terbaca—nanar, benci, jijik, segalanya bercampur menjadi satu.
“... Senja?”
Abbyan merasa tenggorokannya tercekat, tubuhnya mendadak kaku. Ia belum sempat mencerna apa yang terjadi, namun Senja telah lebih dulu membanting pintu, kemudian berlalu dari sana.
“Ini semua salah kamu, Byan!”
Sebuah tamparan mendarat di pipinya, Ayas berderap keluar ruangan setelah melakukan itu. Namun seakan masih belum tersadar seutuhnya, Abbyan justru mengurut kening; kalut dan panik menggerogoti diri.
Di titik ini, Abbyan merasa begitu buruk.
Bahkan yang lebih buruk, ia tidak tahu harus mengejar siapa.
Ayas atau Senja?
Ia benar-benar tidak tahu.