Perasaan Yang Tak Lagi Sama
Seharian ini, Abbyan merasa lelah bukan main—tak hanya fisik, tapi pikiran dan batinnya juga tersiksa.
Dengan absennya Senja di rumah, Abbyan melewatkan jadwal makannya semudah membalikan telapak tangan. Tak ada yang memarahinya karena salah menu sarapan, atau sesederhana melupakan bekal makan siang.
Hidupnya kembali tenang seperti sebelum ia menikah; namun ia justru merasa hampa.
Terlebih isi kepalanya diperumit dengan pernyataan istrinya tempo hari itu.
Saham apa... bisnis apa.... Abbyan benar-benar tidak paham. Yang ia tahu, ia harus menikahi Senja karena keluarganya berhutang budi pada keluarga Niskala—selaku pendiri rumah sakit yang kini menjadi milik keluarganya—dan untuk membalas budi itu, Abbyan setuju menikahi Senja, dengan harapan hubungan Senja dan Genta yang ditentang sang Eyang akan kandas seiring pernikahan mereka.
Namun, pernyataan yang berbeda dari Senja membuat Abbyan kembali mempertanyakan semuanya.
Benarkah pernikahan ini atas nama bisnis belaka?
Rasa penasaran membawa Abbyan pulang ke rumah. Ia memarkirkan mobilnya dengan asal, dan segera masuk ke dalam dengan tergesa. Ia baru saja menggenggam handle pintu ruang kerja ayahnya, namun seseorang dari dalam lebih dulu membuka pintu.
Mereka berpandangan, terkejut, dan membatu untuk beberapa saat.
Ayas.
“Kamu—“
Belum sempat Ayas bicara, Abbyan telah menarik tangannya menjauh dari sana.
“Kamu ngejual aku, Yas?” Suara Abbyan serak, parau akan emosi.
Sudah hampir setengah jam mereka berdua terduduk di dalam mobil, tak ada yang berani bicara lebih dulu—sampai akhirnya Abbyan mengeluarkan pertanyaan itu setelah melihat langsung isi kertas di dalam amplop coklat yang Ayas genggam erat-erat.
“Dua ratus juta?” Abbyan memandang nanar keluar jendela, lalu melenguh. “Cuma segitu harga aku buat kamu, Yas?”
Di sebelahnya, Ayas hampir menangis.
“Aku bisa ngasih lebih dari itu!”
“Nggak bisa!” Ayas membentak. “Jangan ngerasa kamu bisa ngelakuin segala hal semau kamu, Byan! Dunia gak selalu berjalan kayak yang kamu mau!”
Air mata Ayas jatuh, buru-buru ia hapus dengan punggung tangan.
“Kamu nggak paham... ini semua sulit buat aku, tapi yang kamu lakuin cuma nyuruh aku bertahan di hubungan yang gak gak akan pernah aku menangin sampai kapanpun!” Ayas ingin mengatakan lebih banyak, namun melihat raut Abbyan detik ini, rasanya sakit.
Abbyan tidak salah... yang salah adalah segala ketidaksempurnaan dirinya; dan fakta bahwa selama ini ia tak pernah meminta untuk dicintai sedalam itu.
“Kamu cuma nyuruh aku bertahan, tapi kamu gak nyari tau gimana keadaan aku ketika aku nyoba bertahan di hubungan ini,” ujarnya lagi setelah jeda yang cukup panjang. “Kamu sayang sama aku, tapi kamu malah nempatin aku di posisi yang paling aku benci—posisi di mana aku ngerasa kehadiran aku adalah sebuah kesalahan.”
Ayas menengadah agar air matanya tak jatuh, mengungkit itu membuka lukanya yang lain.
“Orangtua aku... dan sekarang orangtua kamu, udah jadi bukti kalau aku emang gak pernah diterima sama dunia.”
Abbyan terhenyak di tempat, ia lelah merasa terlalu banyak. Dan kalimat-kalimat Ayas hanya membuat isi perut dan kepalanya seakan berputar-putar.
“Dengan atau tanpa uang ini, aku tetap harus ninggalin kamu, Byan.” Ayas menggigit bibir, kemudian merebut kembali kertas dan amplop dalam genggaman Abbyan. “Aku gak punya kerjaan, orangtua kamu yang minta aku buat berhenti, dan sekarang kalau aku pulang ke rumah aku cuma bakal kembali ke neraka. Jadi aku minta maaf, tapi aku butuh uang ini, hidup aku juga harus berlanjut.”
Setelah mengatakan itu, Ayas keluar dari mobil sembari menguatkan dirinya sendiri agar tidak limbung.
Seiring langkahnya menjauh, tetes air matanya kembali berjatuhan.