Prolog: Rumah Yang Tak Ramah
“Bunda udah daftarin kamu sekolah modelling, besok pertemuan pertama biar Bunda yang antar.”
Ansel menaikkan pandangan, mencoba mencari kebohongan di wajah ibunya. “Modelling? Sejak kapan aku mau jadi model?”
“Terus kamu mau jadi apa?” Bunda menaruh sendok serta garpunya di atas piring, menatap sang anak bungsu lurus-lurus. “Mau jadi mahasiswa biasa, nongkrong gak jelas, lulus telat dan susah cari kerja? Itu, kehidupan yang kamu mau?”
Empat orang duduk mengelilingi meja makan, namun tak ada kehangatan yang tercipta di dalamnya—tak ada, tak pernah ada. Keluarga ini sudah lama berhenti bekerja, tiap-tiap dari mereka hanya berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Ansel menatap nasinya yang mendingin di atas piring tanpa tersentuh, ia benar-benar sudah muak berada di sini.
“Kenapa, sih, kamu ini susah diatur? Kenapa kamu gak bisa kayak kakakmu?” Bunda melenguh panjang.
“Karena aku bukan Kak Shilla! Aku Ansela Purnama bukan Ashilla Mentari!” Ansel bangkit berdiri, menatap satu per satu tiga orang yang balik menatapnya dengan sorot mata tak terbaca. “Aku berhak milih jalan hidup aku sendiri, aku berhak jadi diri aku sendiri. Aku gak mau jadi pramugari, model, atau apapun itu yang Bunda mau. Aku bukan bayangan Kak Shilla, Bun... dan yang terpenting, aku bukan boneka Bunda!”
“Jaga ucapan kamu!” Ayah menyentak tegas, dengannya menetes sudah air mata Ansel di pelupuk mata.
“Berhenti ngebebanin impian Bunda di pundak aku! Maaf, karena aku bukan anak laki-laki kayak yang Bunda mau. Maaf, karena ngelahirin aku bikin badan Bunda rusak dan impian Bunda hancur, tapi bukan mau aku buat dilahirkan ke dunia jadi jangan suruh aku ganti rugi impian Bunda! Itu gak adil!”
Ansel terisak bukan main, sampai tanpa sadar telah meneriakan kata demi kata. Luka melintas di wajah Bunda, sementara Ayah membeku di tempatnya dengan tangan terkepal. Ashilla—sang kakak yang selalu menjadi tolak ukur kehidupannya—terus menyuap makanan meski kekosongan memenuhi sorot matanya.
Pemandangan ini terlalu menyakitkan untuk dilihat, maka Ansel melakukan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan; pergi.
Perasaan Reiga sudah tak enak sejak ia sampai di rumah, terlebih ketika membuka pintu kamar dan menemukan ayahnya menyilangkan kaki di kursi meja belajar sembari menghembuskan asap rokok.
Lengan kemeja pria paruh baya itu di gulung sebatas siku, ada stick golf di sudut ruangan. Reiga tidak tahu kesalahannya kali ini, namun apapun itu, ia sudah bisa menebak apa yang berikutnya akan terjadi.
“Dirga bilang kamu balapan lagi?”
Dirga. Tentu saja si brengsek itu pelakunya.
“Apa peduli Papa?”
“Kurang ajar! Saya itu Papamu, kamu masih nanya apa peduli saya?”
“Gak usah munafik!” Reiga mendecih, tersenyum miring pada sang ayah. “Semua orang tau yang Papa peduliin itu bukan aku, tapi reputasi Papa! Iya, kan, wahai anggota dewan?”
“Anak gak tau diuntung!”
Selanjutnya, lelaki itu bangkit dengan tergesa. Diraihnya tongkat golf di sudut, tanpa berat hati terayun dan segera menghantam tubuh Reiga yang tersungkur di lantai.
“Dasar gak berguna! Harusnya dulu saya tinggalkan aja kamu di panti asuhan! Sialan!”
Cacian demi cacian keluar dari mulut seorang ayah, ditujukan untuk putra kecilnya; Reiga Althario Putra, yang menerima pukulan serta makian tanpa perlawanan. Tangan Reiga menyilang di kepala, menyembunyikan ringisan juga air matanya yang berderai karena tak kuasa menahan nyeri di sekujur tubuh.
Ini tak akan berlangsung lama, Reiga tahu itu sebab ia sudah mengalaminya berulang-ulang kali. Namun selama menit-menit pukulan itu berlangsung, bukan hanya fisiknya yang lebam dan berdarah, melainkan hatinya—batinnya yang jauh lebih tercecer dan berantakan.
“Papa harap kamu berhenti jadi biang onar, atau lebih baik kamu susul ibumu sekalian!”
Di antara kesadarannya yang tersisa, Reiga dapat melihat Papa terengah sebelum mendengus dan melemparkan tongkat golf ke segala arah, kemudian meninggalkannya seorang diri di dalam kamar yang temaram.
Menyedihkan, mengetahui bahwa tak ada siapapun yang akan menolongnya meski di bawah sana, ia sayup-sayup mendengar suara televisi diiringi obrolan hangat Mama dan kakak lelakinya.
Reiga tersenyum di antara tangis, memangnya apa yang bisa ia harapkan? Sejak awal, kelahirannya adalah sebuah kesalahan.
“Maafkan orangtua lo yang gak bisa menyayangi lo sesuai dengan apa yang lo harapkan. Maafkan orang di sekitar lo yang gak bisa menyayangi lo sesuai dengan apa yang lo berikan. Maafkan diri lo karena mencari kasih sayang di tempat dan orang yang salah.”
— @ceritaselamanya