Bara dan McD
Titik arena balap yang disiapkan malam ini terletak di daerah Senayan. Mobil serta motor dalam berbagai model dan warna berjajar di sepanjang jalan, para penonton memenuhi trotoar—menandakan bahwa balap liar antar geng Oliver dan Clifton akan segera dimulai.
“Sel, lo tunggu sini dulu, ya?” Setelah memarkirkan motornya dan membawa Ansel ke pinggir, Reiga mendongak untuk mencari teman-temannya. “Gue nemuin Johnny dulu, sekalian ngecek Rengga. Lo jangan ke mana-mana, makan es krim aja. Oke?”
Johnny yang Reiga maksud itu adalah ketua geng Clifton—tempatnya bernaung jika sewaktu-waktu ingin balapan, meski tak resmi tergabung sebagai anggota. Sama seperti yang Rengga lakukan malam ini, ia hanya melakukannya sesekali jika sedang banyak masalah.
Sebelum benar-benar jauh, Reiga menoleh sekali lagi pada Ansel. Perempuan itu nampak tenggelam dalam balutan hoodie super besar, dengan cup McFlurry dan sekotak ayam McD yang baunya menguar ke mana-mana.
“Sel, kulit ayam gue jangan disabotase, loh! Gue botakin alis lo ntar!”
Ansel mendengus. “Iya, bawel!” ketusnya, tak ayal tertawa juga melihat Reiga terbahak di kejauhan sana. “Kata siapa gue bakal ngasih lo ayam lagian? Orang mau gue makan semua,” celotehnya sendiri.
Ia kemudian duduk di pinggiran trotoar, dengan tenang menyuap es krim dan menggerogoti paha ayam tak peduli orang-orang memperhatikannya. Ia juga tak repot-repot menawari, walau sepenuhnya sadar wangi ayam McD yang dibawanya cukup merusak suasana khidmat balapan malam itu.
“Hai!”
Ansel baru saja meletakkan tulang ayam pertamanya ke dalam box ketika seseorang menghampiri.
“Hai?” Ia membalas sangsi.
Ishhhh, jangan bilang mau ngegondol ayam gue nih kambing satu?!
“Gak sempet makan dulu ya di rumah?” Lelaki itu mendudukan dirinya tepat di sebelah Ansel. “Bau ayam lo—“
“Ah... sorry, ya. Gue sebel sebenernya denger suara knalpot motor, jadi gue disogok McD sama temen gue.”
“Reiga, kan?”
“Yup. Kenal?”
Lelaki itu mengangguk mengiyakan. “Siapa yang gak kenal dia? Monster jalanan. Reiga kalo udah balapan kayak orang kesurupan!”
Ansel tertawa mendengar metafora itu, walau sebenarnya ia setuju.
“Gue Bara.”
“Ansel.”
Keduanya berjabat tangan, berbagi tatap sejenak sebelum sama-sama tersenyum pada satu sama lain.
“Beautiful.”
“Thanks.”
Bara memiringkan kepalanya, menatap Ansel dalam-dalam. “I mean... your name is beautiful.”
“Ya, thank you, I guess?” Ansel menaikkan kedua alisnya. “Eh, sori sori. Gue belum cuci tangan, kayaknya tangan lo jadi bau ayam, deh.” Ia buru-buru menarik tangannya menjauh, sementara Bara mengernyit menahan tawa.
“Well, agak berminyak, sih....”
“Sorry....”
“Santai aja, tapi gue jadi lapar gara-gara lo. Gue grabfood aja apa, ya?”
Ansel kembali tergelak, diam-diam memperhatikan lelaki yang baru saja dikenalnya ini.
Bara memiliki tawa yang manis.
Dan, Ansel tahu ia sudah menyukai Bara detik itu juga.