Kebahagiaan Itu Sejatinya Dibangun, Bukan Dicari
Di luar, langit malam sedang cerah-cerahnya. Kerlip bintang dan pantulan lampu dari bangunan lain menjadi pemandangan indah yang terlihat dari balkon kamar mereka.
Senja terduduk di sisi ranjang, sibuk bermain ponsel meski Abbyan sudah berbaring di sisinya sejak tadi.
Setelah menemani Senja mencari sop kambing, Abbyan akhirnya menyadari bahwa sebenarnya itu hanya sebuah mekanisme pertahanan diri; yang Senja butuhkan adalah pengalihan, sebab kepergian Genta masih memberatkan hatinya.
“Masih sedih, ya?” Abbyan beringsut maju, membawa Senja untuk ikut rebah di sebelahnya. “Kan, udah ada aku....”
“Nggak sedih, Mas. Cuma kepikiran aja sama kata-kata Bunda.” Senja menghela napas, menaruh ponsel di atas meja nakas. “Bunda sama Ayah aku tuh, kayak aku sama Genta loh, Mas. Persis.”
Mendengar itu, Abbyan tiba-tiba teringat cerita kedua orangtuanya. Dari yang ia ingat, ayah Senja—menantu satu-satunya keluarga Niskala—pergi begitu saja meninggalkan anak, istri, beserta jabatannya selaku kepala rumah sakit. Dan sejak saat itu, keluarga Abbyan mengambil alih yayasan dan menjalankannya sampai sebesar ini.
Rasa penasaran menggelitik di hatinya, sedikit banyak, Abbyan merasa bersalah sebab tak pernah bertanya apa-apa tentang kehidupan keluarga Senja.
“Keluarga kamu... dulu kayak gimana?”
Senja menoleh dengan mata membulat. “Keluarga aku... aku gak ingat banyak. Kecuali fakta kalau Ayah selingkuh terang-terangan di depan aku sama Bunda,” katanya kemudian. “Mungkin itu kenapa Bunda bilang, menyelaraskan hati gak sesulit menyelaraskan keyakinan.”
Untuk sesaat, Abbyan merasa terenyak.
“Hati Bunda dan Ayah pernah selaras pada masanya, tapi keyakinan mereka gak pernah bersatu—pun dengan keluarga kedua belah pihak,” sambung Senja, kali ini lebih lirih. “Jadi sewaktu Ayah selingkuh dari Bunda, Bunda bertahan sendirian karena keluarga Ayah justru ngedukung perbuatan Ayah. Ironis, ya?”
Senja mengulas senyum sendu, Abbyan tahu membicarakan ini membuat gadis itu kembali mengingat luka-luka yang mungkin, sudah lama sekali ingin ia lupakan.
“Aku tau Genta gak bisa dibandingin sama Ayah dan keluarganya. Tapi, kalau buat hal semendasar keyakinan aja gak sejalan, gimana yang lain?” tanya Senja, lebih kepada diri sendiri.
Abbyan terdiam, tak yakin apa yang harus dikatakannya.
“Dulu, waktu Ayah selingkuh dari Bunda, Bunda bilang gini sama aku, biarin ayah mencari bahagianya sendiri, karena manusia emang begitu, sering merasa gak cukup sama apa yang udah mereka miliki. Padahal, kebahagiaan itu sejatinya dibentuk, dibangun... bukan dicari—sebab nanti pas udah ketemu pun, bakal nyari lagi.”
Senja tersenyum mengingat kata-kata Bunda beberapa tahun lalu—kala mereka berjuang untuk hidup berdua dan membiasakan diri tanpa kehadiran sang ayah.
Apa yang Ayah lakukan padanya, membuat Senja kecil tumbuh mandiri. Ia ingin mampu berdiri di atas kakinya sendiri, agar kelak tak diremehkan oleh lelaki mana pun.
Mungkin oleh sebab itu juga, tanpa sadar, ia telah membentengi hatinya terlalu keras. Agar tak kehilangan, ia tidak mencintai terlalu dalam. Agar tak ditinggalkan, ia tidak menggantungkan harapan.
Hubungannya dengan Genta pun, mengalir apa adanya.
Sampai Abbyan datang, memporak-porandakan kehidupannya. Lelaki itu menyadarkannya arti takut kehilangan, mengajarkannya untuk memupuk harapan.
Bersama Abbyan, Senja tahu bagaimana sulitnya membangun suatu hubungan, susahnya membagi kepercayaan, dan yang terpenting; membiasakan diri dengan segala perbedaan.
Bersama Abbyan, Senja ingin tumbuh. Ingin menjadi sosok yang pertama kali lelaki itu lihat ketika membuka mata di pagi hari. Ingin membuatkannya masakan-masakan terenak di muka bumi. Ingin percaya bahwa setelah semua yang terjadi, ia benar-benar layak dicintai.
Senja mengulum senyum, tangannya terulur untuk mengusak pelan puncak kepala suaminya. “Jadi, Mas... kalau kamu ngizinin, aku mau bangun kebahagiaan itu bareng kamu. Ya, kalau kamu mau nyari kebahagiaan yang sama kayak yang kamu dan Ayas punya di dalam rumah tangga kita, kamu gak akan pernah nemu. Mau nyari di luar pun, tetep gak akan nemu.” Ia berbisik.
Abbyan memejamkan mata sesaat, merasakan usapan tangan Senja di kepalanya.
“Karena, setiap orang dan setiap hubungan yang terjalin itu punya warnanya masing-masing. Kalau menurut kamu, bahagia itu bersanding sama yang cantik; akan selalu ada yang lebih cantik. Atau, bahagia itu bersanding sama yang pintar; akan selalu ada yang lebih pintar.”
Senja menatap Abbyan lamat-lamat, ketika lelaki itu membuka mata, keduanya bertatapan. Lama.
“Bahagia itu... ketika kamu menemukan kata cukup dalam hidup, Mas.”
Abbyan menarik senyum, lembut. “Kata cukup itu, udah aku temuin di kamu, Ja,” balasnya. “Makasih, udah jadi istri aku.”
Untuk setiap detik yang rela Senja habiskan demi menjaganya, untuk masakan-masakan hangat yang selalu tersaji di meja makan, untuk perhatian dan penerimaan yang begitu besar—yang tak pernah ia dapatkan dari perempuan mana pun itu, Abbyan ingin berterimakasih.
“Sekarang kamu kerasa kayak suami beneran.” Senja terkekeh renyah.
“Kemarin kan nikahnya masih simulasi, kamarnya juga masih misah-misah.”
Senja semakin terbahak, konyol memikirkan bagaimana Abbyan mengunci kamar pengantin di malam pertama mereka.
“Jadi sekarang nikahnya udah real, ya?”
Abbyan mengangguk, kemudian menelusupkan wajahnya di rambut Senja—menghirup harum cologne yang dipakai perempuan itu.
Ia melenguh. “Ja?”
“Hm?”
Hening beberapa saat, kemudian Abbyan berbisik tepat di telinga Senja. “Boleh aku minta hak aku?” katanya parau, sarat akan emosi.
Senja terpaku merasakan hangat deru napas Abbyan yang memburu di sekitar lehernya. Bersamaan dengan itu, rasa panas menjalar di pipi, jantungnya pun berdetak semakin carut marut.
Ketika bibir mereka akhirnya bertemu, Senja tahu; inilah tugas pertamanya sebagai seorang istri.
Setiap sentuhan, setiap kehangatan, membuat bulu kuduknya meremang.
Akal sehat seakan berhenti dan yang ia tahu ia hanya ingin merasakan detik demi detik berada begitu dekat dengan Abbyan karena untuk sesaat, mereka berbagi napas yang sama.
Malam ini, Senja akan mengingat malam ini sebagai salah satu malam terindah yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Cara Abbyan menatapnya, lembut setiap sentuhannya, hingga helai terakhir yang membalut tubuh keduanya.
Ya, malam itu.
Senja, Abbyan, dan perasaan yang penuh oleh satu sama lain.
ada beberapa hal yang semakin didekati semakin jauh, yang semakin dipertahankan semakin berantakan yang semakin dibangun semakin runtuh kenapa? karena rencana dirancang bukan cuma untuk diwujudkan, tapi juga untuk didewasakan.
—rintiksedu