Abbyan, Senja, dan Obrolan Sebelum Tidur
Jam antik di ruang keluarga berdentang sebelas kali. Gemanya terdengar sampai ke kamar, membuat Senja bangkit dari tempat tidur dan terduduk di pinggir kasur.
Ia tidak bisa tidur, pikiran tentang kepergian Genta lagi-lagi menghantui kepalanya.
Sembari mengapit sebuah bantal di lengan, Senja menaiki anak tangga. Pelan, ia mengetuk pintu kamar Abbyan, berharap lelaki itu belum tidur.
Setelah ketukan yang ke sekian dan tak ada jawaban, Senja mencoba menggenggam handel pintu. Ternyata, Abbyan tak lagi mengunci kamarnya—entah sejak kapan.
“Mas?” Senja melongokkan kepala dari celah pintu yang terbuka, kedua alisnya menaik begitu menemukan Abbyan baru saja terbangun dengan sebelah mata masih menutup. “Mas, aku ganggu ya?”
“Hah?”
“Aku gak bisa tidur.” Senja melenguh, lalu menjatuhkan dirinya di atas kasur, ikut menyusup ke dalam selimut hangat yang membungkus tubuh suaminya.
Abbyan mengusap wajah, kemudian ikut bergeser ke samping, sengaja memberi ruang untuk sang istri.
“Aku gak bisa tidur.” Senja mengulang.
“Aku bisa,” balas Abbyan, lalu matanya kembali terpejam. Senja cemberut melihat reaksi itu, namun membiarkan Abbyan tetap terlelap di sisinya.
Seraya memandang langit-langit, Senja berlirih, “Kenapa ya aku sama kamu bisa nikah?”
Di luar dugaan, Abbyan menjawab. “Karena dijodohin.”
“Bukan. Bukan jtu, kalau dijodohin aku juga tau. Maksud aku, kenapa semesta mengizinkan pernikahan kita, gitu loh, Mas.”
Mendengar pertanyaan itu, Abbyan mulai kehilangan kantuknya.
“Kita gak mirip; aku lemah lembut, kamu tukang marah-marah.”
“Udah nggak.”
“Masih, cuma sekarang jadi agak manja aja.” Senja mendengus, lalu melanjutkan. “Aku artis, kamu dokter. Hidup aku tentang menjiwai peran, sementara kamu hidup buat kemanusiaan. Aku gak ngerti medis, kamu juga gak tertarik sama seni.”
Abbyan mengerutkan hidung. “Kata siapa? Aku bisa nyanyi, aku juga bisa beberapa alat musik.”
“Ih serius? Licik!”
“Kok?”
“Ya, itu licik! Udah pinter, bisa nyanyi, bisa alat musik. Licik namanya, semua bakat dibawa semua!”
“Iri aja mentang-mentang gak pinter.”
Senja mencebikkan wajah, pura-pura merengut. Sementara di sisinya, Abbyan terkekeh rendah.
“Kamu benar, Ja... kita banyak bedanya.” Kali ini, Abbyan ikut memandang langit-langit kamar mereka yang temaram. “Tapi, bukannya itu yang jadi seru? Karena aku pemarah, aku butuh kamu yang lemah-lembut. Karena aku ceroboh, aku butuh kamu yang telaten. Dan karena kamu gak pintar, kamu butuh aku buat memperbaiki keturunan, kan?”
“Kurang ajar, ya!” Senja melayangkan cubitan bertubi-tubi di lengan Abbyan, namun tak ayal tertawa juga. “Tentang kamu sama Ayas... kalian banyak samanya atau bedanya?”
Abbyan menghela napas, menimbang-nimbang jawaban.
“Aku sama Ayas banyak samanya. Sama-sama mandiri, dan setelah aku pikir-pikir, kita juga sama-sama egois. Aku kira aku udah ngasih yang terbaik buat dia, tapi ternyata aku salah. Ayas juga gak pernah menyuarakan apa yang paling dia mau, dan berharap aku ngerti tanpa dia jelasin apa-apa.” Suara Abbyan terdengar sedih, Senja memahami itu.
“Dan gitu aja, hubungan kita berakhir.” Abbyan tersenyum pahit, lalu menoleh pada Senja. “Kalau kamu, kamu dan Genta banyak samanya atau bedanya?”
“Aku sama Genta... banyak samanya—tapi buat hal-hal yang baik. Aku pertama kali ketemu Genta waktu syuting film perdana aku; waktu itu dia lagi magang di salah satu production house. Kerjaannya cuma bikinin kopi buat crew, dan aku yang waktu itu masih pemain pendamping, banyak gabutnya daripada syutingnya.” Senja tertawa mengingat memori itu. “Karena sama-sama merasa gak penting, akhirnya aku sama Genta banyak ngobrol, tukeran nomor handphone, dan besok-besoknya makin akrab sampai project filmnya selesai.”
Sewaktu Naya mengetahui kedekatan mereka, dengan tegas perempuan itu mengecam hubungan yang lebih dari sekadar teman. Naya sudah memperingatkannya tentang keyakinan mereka yang berbeda—juga mengingatkannya tentang kejadian sang Ayah—namun Senja tetap keras kepala.
“Waktu aku jatuh cinta sama Genta, aku udah tau kalau kita tuh gak akan bisa bersama. Tapi saat itu, dapat perhatian dari dia, dapat afeksi yang gak orang lain berikan tapi dia berikan buat aku... rasanya susah buat nggak jatuh cinta sama orang ini.”
Genta baik, oleh sebab itu, Senja ingin membalas sebesar yang lelaki itu berikan padanya.
“Aku dan Genta sama-sama suka dunia perfilman. Aku sama Genta sama-sama bermimpi jadi public figure. Kita berbagi banyak hal yang serupa. Cuma satu yang beda; dan yang satu itu, justru jadi alasan utama aku dan dia gak bisa sama-sama walau banyak samanya.”
Senja berlinang, mati-matian menahan air matanya agar tidak menetes.
Ia tahu, salah satu kesamaannya dengan Genta yang lain adalah; fakta bahwa mereka sama-sama tak ingin jadi pihak yang pertama mengucapkan selamat tinggal.
“Genta mau lanjut S2, dia udah dapat beasiswa di Kanada. Kamu tau, Mas... aku mau dia bahagia, tapi di sini rasanya berat.” Senja menunjuk dada, setetes air matanya mengalir di sudut mata. “Aku tau hubungan aku sama Genta ibaratnya cuma jalan di tempat, tapi....”
... Tapi selama ini, cuma Genta yang selalu ada untuknya.
Senja terdiam lama, tak sanggup lagi untuk melanjutkan. Di sisinya, Abbyan termenung. Sorot matanya penuh pemahaman.
“Ja, tau kenapa aku akhirnya milih relain Ayas buat pergi?”
“Kenapa?”
“Karena aku, gak mau menempatkan dia di keadaan yang sulit lagi,” bisiknya. “Yang aku tau, setiap masa punya orangnya dan setiap orang punya masanya. Mereka yang mau pergi, gak bisa dipaksa buat tinggal. Dan mereka yang mau tinggal, gak bisa dipaksa buat pergi.”
Kata-kata Abbyan membuat air mata Senja semakin berjatuhan, namun ia tak bisa menyangkal kebenaran yang tersirat di dalamnya.
“Sekarang kamu tau, kan? Kenapa waktu itu aku bilang, aku gak mau kehilangan kamu karena aku gak punya siapa-siapa lagi? Bukan berarti aku gak ngerti komitmen yang kamu maksud; tapi karena aku udah berani merelakan semua yang aku punya—demi kamu, Ja.” Abbyan merapatkan jarak, tangannya bergerak mengusap kepala Senja sebelum menelusupkan wajah di pelukan istrinya itu. “Jadi kamu juga jangan takut, kamu punya aku.”
Untuk sesaat, Senja tak menjawab apa-apa. Jika dibilang Senja takut kepergian Genta akan membawa kembali kesepian yang pernah melingkupinya, itu memang benar. Dan karena itu pula, Senja sadar ia tak seharusnya menahan Genta demi ketakutannya semata.
Hal baik butuh waktu buat datang, Genta pernah berkata demikian.
Kini, Senja paham maksudnya.
“Makasih ya, Mas.”
Karena sudah merelakan segala hal demi dirinya. Karena sudah bertahan, di sini, di pernikahan ini; bersamanya.
“Mas, aku beruntung—“
“—GROKKK”
“MAS! SEBEL BANGET IH MASA TIDURNYA NGOROK KAYAK BABI?! PANTES PAS MALEM PERTAMA MALAH NGUNCI, TERNYATA NGOROK BOBONYA????”
Bukannya bangun, Abbyan justru semakin mengeratkan tangan di pinggang Senja.
Mulanya, Senja bergidik geli dengan kelakuan Abbyan. Namun ketika mendapati betapa polos raut wajah lelaki itu ketika terlelap, sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas.
Dalam hati, ia melanjutkan kembali kalimat sebelumnya.
... Aku beruntung punya kamu. Aku beruntung nikah sama kamu. Kalau aku bisa mengulang waktu pun, aku bakal tetap setuju buat dijodohin sama kamu.
Orang bilang, semesta tak pernah salah dalam menggariskan takdir setiap insannya.
Dan malam ini, Senja hanya ingin percaya itu.