anandaleaa

[HANA]

Selasar kampus tak begitu ramai begitu aku menginjakkan kaki di sana. Di genggamanku, sekotak susu pisang dingin telah ditusuk dengan sedotan─pemberian Keenan selepas kami berpisah di parkiran kampus karena ia harus buru-buru mengejar kelasnya.

Aku sendiri celingak-celinguk kebingungan karena datang setengah jam lebih cepat dari jadwal kuliahku, habis Keenan memaksaku untuk berangkat bersamanya.

Ketika aku bilang aku tidak mau merepotkan, ia pasti dengan lugas menjawab, udah tabiat lo ngerepotin gue, Hana. Iya, sih. Tapi sekarang kan beda kasus, aku seharusnya masih berselancar di atas tempat tidurku bukannya terombang-ambing di selasar kampus.

“Heh, Jamilah!” Aku terlonjak kaget, Keana menyenggol bahuku sampai membuatku terhuyung. Hih, dasar anak banteng!

“Kenapa sih rusuh banget, K? Susu gue hampir jatuh tau!”

Ia tertawa, kemudian matanya mengerling dengan jahil. “Waduh, susu yang mana?”

What the hell? I’m pretty sure something is wrong with her mind. Aku buru-buru menoyor kepalanya. “Lo tuh, ya! Lo nya kuliah tapi otaknya nggak, tobat ukhti, astagfirullah….”

Alih-alih menganggap serius ucapanku, Keana malah menjulurkan lidahnya. “Cie… yang langsung istigfar mulu mentang-mentang ada yang nyuruh. CIE.” Aku memutar bola mata, memang ya, manusia brengsek itu adalah mereka yang selalu meledek temannya ketika sedang jatuh cinta. Brengsek banget, sumpah. Merasa tidak ditanggapi, Keana menyenggol bahuku lagi. “Lo tadi berangkat sama siapa?” tanyanya.

“Keenan lah, siapa lagi? Kan, Dika udah di-booking sama lo.” Keana mengangguk-angguk. “Kenapa gak minta berangkat bareng sama si kakak ketua BEM? Muehehehe.”

Bulu kudukku langsung meremang mendengarnya. Aku tahu aku gila, tapi tidak segila itu untuk meminta berangkat bersama Kak Dimitri yang notabenenya adalah orang asing─garis bawahi─yang juga sudah ilfil akibat obrolan kami semalam.

“Gue masih waras ya!”

“Dih? Yakali aja, lagian urat malu lo kan udah putus.”

“Telapak kaki gue kalau mendarat di muka lo sakit loh, K.” Aku geram. “Gue sih bisa-bisa aja minta berangkat bareng, tapi emangnya Kak Dimitri mau?”

“Mau.”

Suara pelan itu datangnya dari arah belakang. Serta merta aku dan Keana mematung, seolah nyawa kami terbang entah ke mana. Jangan bilang….

“Kenapa gak minta? Kan bisa berangkat bareng.”

Aku membalikkan badan takut-takut, dan benar saja, wajah sparkling Kak Dimitri yang tengah menarik sudut-sudut bibirnya dengan manis langsung memenuhi pandanganku. Gila! Susu pisangku sampai terlepas dari genggaman saking lemasnya.

“Ha?” Aku melongo.

Kak Dimitri kemudian tertawa pelan bersama salah seorang temannya─bukan Kak Juan, yang ini mirip Dinosaurus. Astaga, pemandangan Kak Dimitri tertawa seperti ini indah sekali, jadi ingin aku museumkan. Gak sehat buat jantung, aduh!

“Itu susu lo─”

Mataku lekas membulat. “HAH SUSU?!!” Reflek, aku langsung menyilangkan tangan di depan dada. Kak Dimitri, Hana tiada menyangka…

“Bukan itu, duh.” Kak Dimitri menggaruk-garuk kepalanya dengan kikuk, saling pandang dengan temannya sejenak, kemudian tertawa lagi. “Maksud gue, itu… susu pisang lo jatuh.”

Dengan polosnya aku menunduk, hanya untuk menemukan susu pisangku yang sudah tumpah di atas lantai. Ah, jadi ini toh… DAN AKU TADI BERPIKIR APA?!

Keana menyikut pinggangku. “Lo kenapa sih, Na?” bisiknya.

Aku memejamkan mata, rasanya ingin ditelan bumi sekarang juga. Sintinggggg!

“Eh? Ma-maaf ya, Kak. Gue kira… ah, pokoknya maaf, sumpah habis ini gue re-instal otak deh, serius!”

Kak Dimitri mengangguk beberapa kali, masih dengan senyumnya yang menyungging itu. Tak ada sedikit pun penghakiman di matanya, hanya sebuah pemakluman. Entah kenapa, aku tidak merasa bodoh di hadapannya. Kak Dimitri punya sorot mata setulus dan selembut itu.

“Besok berangkat sama gue mau?” tanyanya mendadak, jantungku nyaris saja berpindah ke lambung. “Alamat lo nanti kirim di chat aja, ya?”

Aku meneguk ludah, apakah ini mimpi? Ini bahkan terlalu indah untuk jadi mimpi. Namun kemudian aku sadar kalau ini bukan sebatas khayalan saja sebab Keana sibuk menyubit bokongku. Sakit.

Akhirnya, aku mengangguk juga. “I-iya, Kak. Nanti gue chat, hehehe.”

Setelah mendapat jawabanku, Kak Dimitri tersenyum lagi sebelum beranjak pergi bersama temannya, meninggalkanku dan Keana yang menggila dan nyaris kejang-kejang di tempat. Kami masih memandangi sosoknya yang berlalu menaiki tangga─dan sibuk mengobrol dengan temannya─ketika tiba-tiba saja aku ingin memuji maha karya Tuhan yang satu itu.

“Kak Dimitri tuh naik tangga aja ganteng, apalagi naik ke pelaminan,” celutukku, Keana menoleh sekilas. “Apalagi kalau naik ke pelaminannya sama gue.” Aku melanjutkan, dan kali ini, celotehanku nampaknya membuat Keana jengah.

Keep dreaming, bestie. Teruslah bermimpi walaupun mimpi lo gak masuk akal,” tandasnya.

Ah, Keana memang tidak bisa melihatku bahagia barang sedetik saja, tapi aku tidak peduli.

Yang jelas, indah banget ya, hari ini?

[KEENAN]

“Aaaaaaaa!!!”

Teriakan Hana yang melengking bergema di ruang rawat gue, bikin gue yang lagi melepas kancing baju rumah sakit jadi diam gak bergerak sama sekali. Detik berlalu, dan gak ada juga yang bersuara di antara kita.

Gue menaikkan sebelas alis, sementara Hana masih membatu dengan kedua telapak tangannya menutup muka.

“Keenan, lo kalau mau buka baju bilang dulu, dong!”

Loh? Perasaan bukan gue yang salah di sini.

“Lo nya yang kalau masuk kamar orang tuh diketuk dulu,” balas gue sembari meneruskan kegiatan gue sebelumnya. Baju rumah sakit bikin gue kelihatan kayak orang penyakitan─ya gak salah juga, sih─tapi gue gak suka itu. Lagipula besok gue udah boleh keluar rumah sakit, jadi sekarang gue milih buat pakai baju-baju biasa yang gue bawa aja.

“Terus itu lo kenapa malah ngelanjutin ganti baju di sini?” Hana berteriak lagi, masih dengan telapak tangan yang berusaha menutupi matanya. Gue tahu dia ngintip tapi.

“Harusnya gue yang nanya, lo mau di situ aja? Gue mau buka baju, nih.” Gue gak bisa nahan senyum, habis, lihat Hana gelagapan begini bikin pipinya memerah. Kayak apel, lucu.

“Lo dong yang ke kamar mandi. Gue kan tamu masa gue diusir?”

Pertanyaannya mau gak mau malah bikin gue semakin terkekeh. Kenapa juga dia harus malu-malu, kayak gak pernah lihat badan gue aja.

Gue menghampiri dia, yang langsung bergerak mundur entah kenapa. “Hana?”

“Hah?”

“Tutup matanya yang ikhlas, jangan setengah-setengah.”

Setelah itu, gue langsung tertawa kemudian masuk ke dalam kamar mandi, membiarkan Hana merutuki dirinya sendiri. Kalau gue pikir-pikir, Hana itu perempuan paling ceroboh dan konyol yang pernah gue kenal. Tapi rasanya, kekonyolan dalam diri Hana itulah yang bikin dia jadi menyenangkan.

Dari dalam kamar mandi, gue membuka pintu dan mengintip dari celah yang sedikit terbuka demi melihat sosoknya lagi. “Lo beneran gak bawa apa-apa, Na?”

Hana noleh, matanya mengerjap polos. “Iya, kan lo sendiri yang bilang.”

“Bilang apa?”

“Bilang gak usah bawa apa-apa, kan lo maunya gue doang.”

Demi Tuhan, gue gak bisa ngontrol diri gue sendiri. Senyum gue lekas mengembang dengar jawabannya yang terlampau apa adanya itu. Gue juga gak yakin sebenarnya Hana benar-benar polos atau cuma bego aja. Tapi gak apa-apa, kalau itu Hana, dia bakal selalu istimewa buat gue serandom apapun pikirannya.

Begitu gue keluar dari dalam kamar mandi, pemandangan selanjutnya yang gue lihat adalah Hana yang merangkak masuk ke kolong ranjang rumah sakit, sampai yang tersisa hanya kaki-kaki panjangnya yang menghalangi jalan gue.

“Lo ngapain, Na?”

Hana gak langsung jawab, melainkan beringsut keluar dari kolong ranjang. “Caca gue jatuh ngegelinding ke sini.” Gue langsung mendecak, sementara tangan Hana terangkat mengamankan sebutir permen coklat yang udah terkontaminasi debu dan penyakit. “Yes, dapat!”

Sebelum kepala Hana keluar dari kolong ranjang, gue buru-buru mengambil permen coklat dari tangannya lalu beranjak ke tempat sampah di balik pintu.

“Woy, kok dibuang?! Susah susah gue ngambilnya mengerahkan seluruh jiwa raga.”

Gue mendelik. “Kotor, Hana. Lo tau gak ada berapa banyak bakteri sama penyakit yang siap menyerang lo seandainya lo makan coklat tadi?”

“Gue penganut ‘makanan jatuh masih bersih kalau belum lima menit’. Lagian ini tuh tentang perjuangannya bukan semata-mata coklatnya, Ken. Selama masih bisa diperjuangkan kenapa harus menyerah?” Hana masih berusaha keluar dari kolong ranjang.

Gue natap dia prihatin, ckckck, omongannya udah berat banget tapi keluar dari kolong ranjang aja nyangkut.

“Itu awas kepala lo─”

Tuk!

“Aw! Ranjang sialan! Kalau kepala gue bocor gue minta ganti rugi ke rumah sakit kenapa naro ranjang di sini!”

Di titik ini, jujur gue malah pengen Hana kejedot lagi aja.

Hana kemudian bangkit berdiri sembari mengusap-usap bagian belakang kepalanya, matanya mulai berair, tapi yang Hana lakuin berikutnya bukan nangis, melainkan menghampiri gue dengan tatapan khawatir.

“Ken, lo jadi kayak gini bukan gara-gara kepala lo pernah kepentok, kan?”

Sadar kalau yang dia maksud adalah penyakit yang bercokol di otak gue ini, gue buru-buru menyentil dahinya gemas. “Tuh, gue baru aja men-transfer tumor otak gue ke lo. Puas?”

Kedua mata almond-nya langsung membulat, dia menjauhi gue dengan panik, kemudian mengetuk-ngetuk tembok sembari bergumam “amit-amit amit-amit” begitu.

Gue menggeleng seraya terkekeh─walaupun dalam benak gue, sejujurnya gue cukup terganggu karena Hana nampak benar-benar ketakutan sama penyakit gue. Atau sebenarnya gue gak terganggu karena tingkahnya, gue justru terganggu sama ketakutannya, karena dia memimik ketakutan gue juga.

Tiga bulan lalu, gue terdiagnosis fibrilarry astrocytoma atau tumor otak stadium dini. Seharusnya gue menjalani operasi pertama secepatnya, tapi karena pengobatan sehabis operasi bakal menyita banyak waktu sementara gue baru aja menginjak bangku kuliah, gue membujuk orangtua gue untuk memberi gue waktu.

Sebenarnya, gue cuma belum siap aja kehilangan rutinitas-rutinitas gue yang biasa. Sedikit banyak, gue tahu kalau penyakit gue ini bukan penyakit yang mudah dibasmi dengan sekali operasi. Itu juga alasan gue belum mau menjalani pembedahan, karena meski tumor gue diangkat, gak ada jaminan gue bakal bisa kembali ke kehidupan gue yang normal.

Gue masih mau menikmati kuliah, jadi mahasiswa baru, main futsal sama Dika, dan menghabiskan waktu sama mereka semua─Bukan Kepompong─begitu Dika menamai pertemanan ini, gue juga gak tahu alasannya apa.

Jadi, dokter menjadwalkan serangkaian kemoterapi yang harus gue jalani setiap bulan. Efek sampingnya gue jadi merasa gue lemah─persis kayak orang penyakitan, yang gak mau gue akui. Cairan yang disuntikkan ke tubuh gue itu selalu berhasil bikin gue mual-mual lalu muntah, dan kali ini kemoterapi bikin gue demam sampai harus dirawat karena sel darah rendah.

“Lo kapan boleh pulang?” Pertanyaan Hana membuyarkan lamunan gue, gue menghela napas sembari menyeret tiang infus menuju sofa dan duduk di sana.

“Besok juga udah boleh pulang.”

“Mau gue jemput sama anak-anak?”

Gue balas tatapannya, lalu menggeleng. “Gak usah, Mama yang jemput gue.”

Senyum Hana langsung melebar dengar jawaban gue. “Mama pulang? Ih, gue kangen, deh. Besok gue ke sini ah, mau ketemu.”

“Mama pulang malam ini, seharusnya sekarang udah sampai tapi katanya penerbangannya delay.”

Hana tiba-tiba menatap gue jahil, dia kelihatan mau meledek gue. “Utututu anak mami, kangen banget ya lo sama emak lo? Pantas aja pas gue datang udah senyam-senyum kayak abis menang undian tiket umroh, ternyata ada yang mau ketemu emaknya setelah sekian lama ditinggal kerja. Uuuuu… sayang.”

“Ck, apaan sih, Na?” Gue memutar bola mata, sembari menguasai diri supaya gak kelihatan salah tingkahnya. Tapi usaha gue sia-sia karena berikutnya Hana menepuk-nepuk puncak kepala gue, seolah-olah di matanya sekarang gue adalah anak bayi yang baru numbuh gigi dua di bawah.

“Cieee, bentar lagi mau ketemu mamanya nih yeeee….”

Untung dia Hana, jadi gue cuma senyum aja. Gue udah bilang, kan? Kalau itu Hana, dia bakal selalu istimewa buat gue serandom apapun pikiran dan tingkah lakunya.

That’s just how love works. Isn’t it?

[HANA]

Aku melirik jam di ponselku, lalu berdecak dan buru-buru bergegas ke luar kampus. Aku tidak pernah naik angkutan umum sebelumnya, jadi aku sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri sembari berjalan menuju halte yang Keana maksud.

Kok, tiba-tiba aku ragu? Apalagi di halte sana─yang tepat beberapa langkah lagi dari tempatku berdiri─dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiwa berambut gondrong. Ih, dari jauh saja aku bisa membayangkan rambutnya pasti licin penuh ketombe.

Duh, kenapa juga harus bergerombol di halte, gelantungan segala lagi kayak Marsupilami. Stay calm, Hana. Abaikan mereka.

Aku melanjutkan jalan sembari memasang wajah paling planga-plongo yang kubisa. Dan benar saja dugaanku, begitu sampai di pinggir halte, siulan pelan mulai terdengar.

Oh, God!

“Dek, maba ya? Mau diantar pulang gak?” tawar salah seorang lelaki yang duduk di sana sembari tertawa tengil bersama gerombolannya.

Aku pura-pura tidak mendengar.

“Hey, sombong banget. Mentang-mentang cantik,” timpal yang lain. Kali ini aku melirik sekilas, reflek, aku penasaran saja siapa yang bilang aku cantik.

“Kalau kating ngomong dijawab dong, Dek. Anak mana, sih?” Rupanya kating, pantas menyebalkan. Ia berjalan mendekatiku, masih diiringi siulan dari teman-temannya di belakang sana. Aku diam, pura-pura tak gentar padahal rasanya kakiku sudah gemetaran. “Heh! Dengar gak?”

Kakak ini menyenggol bahuku dengan bahunya, membuatku berjengit kaget.

Kopajanya mana kok gak datang-datang?!

“Gue antar, ya?” tanyanya lagi. Aku menoleh dan mendapati senyum creepy seperti om-om penculik anak, membuatku jadi makin ingin pipis!

Akhirnya aku menggeleng pelan. “Gak usah, Kak. Makasih.”

“Ayolah….”

Kakak berambut gondrong ketombean ini berusaha menyentuh tanganku, sementara teman-temannya di belakang sana sibuk tertawa.

Mom, please pick me up! I’M SCARED!!! MANUSIA BUMI JAHAT-JAHAT!!!

Aku berontak. “Lepasin, Kak─”

Dan detik itu, omonganku terpotong karena tiba-tiba saja, entah darimana datangnya, seorang laki-laki tinggi berdiri memunggungiku, menghalangiku dari si Kakak Gondrong Ketombean.

“Gak ada kerjaan?” tanya laki-laki yang punggungnya memenuhi pandanganku ini, membuat semua orang di halte itu langsung diam tak beraksi sama sekali. “Urus urusan lo sendiri, ngerti?” gertaknya lagi.

Aku memiringkan kepala, mengintip wajah si Kakak Gondrong Ketombean yang juga menatapku, lalu buru-buru menjulurkan lidah. Huuuu, rasain!

Aku belum sempat berpikir apa-apa sewaktu tanganku ditarik menjauh dari halte. Lagi-lagi, yang kulihat hanya punggung. Heran juga, siapa sih dia? Kok, punggungnya aja ganteng.

Laki-laki ini menarikku sampai perempatan jalan yang tak terlalu jauh dari halte, namun cukup ramai dan banyak kendaraan umum. Begitu ia membalikkan badannya, aku tiba-tiba merasa ingin mati saja.

“Lain kali jangan nunggu kopaja di halte, bahaya.”

Ini… ini… apakah aku salah lihat? Aku pasti halusinasi!

“Lo lihat sendiri kan cowok-cowok tengil tadi? Mereka bisa apa-apain lo, hati-hati!”

Astaga, demi Neptunus, aku tidak bisa fokus sama sekali.

Kak Dimitri, bisa gak kalau ngomel gak usah ganteng-ganteng? Kan jadi pengen dimarahin akunya.

“Ck, lo dengar gue gak, sih?”

Aku mengerjap dan buru-buru mengangguk. “Iya. Dengar kok, Kak.”

Kak Dimitri menatapku lama, kedua alisnya berkerut-kerut bingung.

Gemessss! Dia lagi mikir apa, ya? Apa dia mikir kalau aku cantik? Muehehehe.

“Lo yang majang foto gue di mading, kan?”

Dan jantungku langsung menggelinding entah ke mana. “Eh? Hngg, itu… anu….”

Kak Dimitri menghela napas sembari mengernyit karena matanya terkena sinar matahari. Gila, aku baru tahu kalau ada orang yang menghela napas di bawah terik matahari aja gantengnya jadi gak manusiawi gini.

“Gue udah tau,” ujarnya, sembari menyilangkan tangan di depan dada. “Kalau lo gak mau ngaku, yaudah.”

Aku menunduk malu. Tamat sudah riwayatmu, Gerhana Senja.

“Lo udah aman, gue tinggal, ya?” Tanpa menunggu jawabanku, Kak Dimitri lekas berbalik pergi meninggalkanku di trotoar jalan itu.

Sebelum benar-benar jauh, aku menyerukan namanya. “Kak Dimtri!” Yang dipanggil tak berhenti jalan, maka aku buru-buru melanjutkan. “Makasih!”

Kukira, ia tidak dengar. Kukira, kalau pun ia dengar, ia tidak akan peduli. Namun aku salah, Kak Dimitri mengangkat tangannya untuk melambai padaku. Ya, memang bukan di-dadah-in, sih. Cuma melambai dikit pakai punggung tangan sebagai tanggapan atas ucapanku barusan.

Tapi, tapi, tapi….

Hatiku jadi semakin berantakan!

Tidak seperti biasanya, suasana siaran kali ini hanya diisi kesunyian hingga akhirnya lampu on air berubah merah dan Maraka menyapa pendengar.

Di sisi lelaki itu, Ansel berusaha menyeimbangkan, menarik senyum dan membuat suaranya terdengar ceria seolah tak ada apapun yang terjadi meski kenyataannya jelas tidak demikian.

Maraka berubah dingin, Ansel menyadari itu.

“Jadi, sore ini kita udah punya beberapa pesan yang terpilih buat kita bahas. Kita langsung masuk aja ke pesan yang pertama….”

Ansel memandangi kertas di hadapannya sampai memburam, pikirannya jauh melayang pada kata-kata Winona sebelumnya; tentang Reiga, persahabatan mereka, juga… perasaan yang bersembunyi di baliknya.

Ia masih memikirkan itu, sampai tiba-tiba ketukan jari Maraka di meja membuatnya terkesiap.

“Ah… pesan yang pertama—” Kalimat itu menggantung lama di udara, ia mengacak-ngacak lembaran kertas, bingung sendiri mencari pesan yang harus ia bacakan.

Melihat itu, Maraka segera mengambil alih. “Selamat sore Neocampus Radio, sore juga buat Maraka sama Ansel!”

“Selamat sore, sender!” Ansel menanggapi.

“Gue mau curhat, nih. Jadi sebagai anak semester akhir, gue ngerasa lagi burnout banget. Rasanya kayak semua hal tuh buntu, belum lagi dosen pembimbing yang susah dihubungin. Capek kuliah, pengen nikah aja, deh. Solusinya dong, guys?”

Kening Ansel berkerut dalam, sebelum akhirnya mendekatkan diri pada mic. “First of all, stop bilang, ‘capek kuliah, pengen nikah aja’. Nikah gak segampang itu, loh,” balasnya tanpa basa-basi. Maraka memiringkan kepala, ia bahkan belum meminta Ansel memberikan tanggapan. “Please, jangan pernah jadiin pernikahan sebagai jalan keluar dari masalah yang sedang kalian hadapi,” lanjutnya lagi.

“Tapi gue pribadi melihat sisi positif dari menikah muda loh, Sel.” Maraka mendebat. “I mean, dunia kuliah tuh lebih luas dan fleksibel ketimbang dunia sekolah, kan? Jadi daripada bilang, ‘capek kuliah, pengen nikah aja’, why not just do both, then?” Maraka terkekeh, geli sendiri dengan candaannya.

Namun, Ansel justru mencebikkan muka. “Sinting,” celetuknya.

Kedua alis Maraka menukik tajam. “Gue serius tapi, gue banyak kok ngelihat orang yang kuliah dan udah nikah, and they’re look fine.”

Yes, in the outside. Lo pernah lihat dalam rumahnya? Lihat keadaan keluarganya?” tanya Ansel sarkas. “Gue berani taruhan, sebanyak-banyaknya lo melihat orang yang bahagia sama pernikahannya, lebih banyak lagi orang yang sebenarnya cuma pura-pura bahagia.”

“Tentang bahagia atau nggaknya mereka, itu bukan tanggungjawab gue lagi.” Maraka menggaruk tengkuk, tahu ada yang salah dari jalannya siaran sore ini. “Tapi setidaknya, pernikahan punya sisi positif buat menghindari sex bebas, apalagi dikalangan dunia perkuliahan kayak gini, ya walaupun gue juga gak mendukung pernikahan dini, sih.”

“Kata siapa pernikahan menghindari sex bebas?” Ansel tersenyum miring, kalimat itu terasa lelucon sekali baginya.

Kilasan kejadian di bioskop dan pertengkarannya dengan Ayah beberapa hari lalu melintas begitu saja, membuatnya semakin yakin bahwa kalimat itu hanya omong kosong belaka. Lagipula, jika memang benar pernikahan mengikat dua insan untuk selamanya; maka seharusnya tak pernah ada Reiga—beserta luka-luka yang lelaki itu derita.

“Sel—”

“Udah gue bilang, pernikahan itu bukan jalan keluar suatu masalah. Gak ada jaminan orang yang udah menikah bakal terhindar dari sex bebas, kok.” Ansel memandang Maraka, tatapannya nanar. “Mudahnya gini, lawan kata zinah itu ya gak berzinah, lawan kata sex bebas ya nggak sex bebas, bukannya menikah. It’s simple.”

Ketika Ansel mengangkat pandangan, dadanya mencelus sebab semua orang dalam tim yang berdiri mengawasi di luar ruang siaran serentak terdiam dengan wajah bingung.

Maraka sendiri memijat kening sembari membolak-balik kertas di tangan, raut wajahnya suram. Semuanya hening, sampai tiba-tiba suara tayangan iklan bermain di balik headphone, dan lampu on air berubah gelap.

Singkat kata, siaran kacau.

Dan, Ansel sadar ialah penyebabnya.

Waktu makan malam adalah salah satu dari sekian banyak hal yang Ansel benci di rumah, karena saat itu, ia harus menyaksikan bagaimana keluarganya berpura-pura menjadi figur keluarga harmonis, ketika kenyataannya sama sekali sudah tak ada cinta di sana.

Dan benar saja, sesampainya ia di dapur, pemandangan lauk-pauk hangat dengan Ayah, Bunda, dan Kak Shilla yang duduk mengelilingi meja hampir membuat Ansel muntah di tempat.

“Ayah tuh aslinya dua orang, ya?” Ansel bertanya sinis, memilih mencomoti kukis sembari bersandar di kulkas ketimbang bergabung di meja makan. “Yah, harusnya Ayah tuh jadi artis daripada jadi pengacara. Akting Ayah natural,” tambahnya lagi disertai tepukan tangan.

Dapat Ansel lihat, rahang Ayah mengeras dan tatapannya penuh ancaman seolah sedang menahan amarah. Namun, Ansel menyerah untuk peduli.

“Kamu tuh ngomong apa, Sel? Jangan ngawur!” tegur Bunda. “Sini, cepat makan!” Di sisi Bunda, sebuah piring dengan nasi nampak nelangsa menunggunya mendekat.

Kadang, ada hari-hari di mana Ansel begitu menghargai usaha Bunda untuk selalu menyediakan makan malam yang hangat—waktu berharga keluarga, begitu Bunda menyebutnya—tapi, Ansel tak pernah suka kepura-puraan di baliknya, terlebih setelah yang ia lihat siang tadi.

“Aku mending kelaparan daripada makan bareng sama Ayah! Jijik!”

“Ansel!”

“Ayah gak boleh makan di sini! Ayah gak pantes makan masakan Bunda!” Suara Ansel meninggi, membuat tiga orang di hadapannya mematung seketika.

“Duduk!” Bunda kemudian mengurut kening. “Bunda bilang duduk, Ansel! Kamu pikir sopan ngomong kayak gitu ke orangtua?”

Ansel mencebik, membanting kukis dalam genggamannya hingga berceceran di lantai. “Orangtua? Orangtua macam apa yang selingkuh di depan mata anaknya sendiri?” Pertanyaan itu membuat Bunda menganga, sementara wajah Ayah memerah geram. “Aku gak sopan sama Ayah aku sadar, tapi Ayah sadar gak Ayah bener-bener bikin aku malu siang tadi? Ayah pegangan tangan sama perempuan lain… dan sekarang Ayah bertingkah seolah gak ada apa-apa?”

Bunda dan Kak Shilla serentak menoleh pada Ayah di ujung meja, kekecewaan di raut keduanya menambah sesak di dalam dada. Kali terakhir orangtuanya bertengkar hebat karena perselingkuhan Ayah beberapa tahun silam… Ansel pikir, ia tak ingin mengalaminya lagi sebab rasanya sakit luar biasa. Maka, ketika semua orang di rumah bertingkah seakan segalanya baik-baik saja, Ansel pun turut menjalankan perannya.

Namun, itu tidak benar. Sesuatu yang telah rusak tak akan pernah kembali menjadi utuh sekuat apapun usaha mereka, dan detik ini, Ansel tak dapat lagi membendung pilu yang ada.

“Tadi siang aku lihat Ayah pacaran sama selingkuhannya di bioskop, Bunda! Ayah pegangan tangan sama perempuan itu!” Ansel berteriak parau, tangannya terentang menunjuk Ayah dengan gemetar. “Ayah juga gak berusaha nyangkal atau ngasih aku penjelasan, aku malu! Pacar aku bahkan salim ke selingkuhan Ayah, dia kira si jablay itu Bunda!”

Jerit isak tangis Ansel memekakkan ruangan, kedua matanya memerah menatap Ayah, Bunda, dan Kak Shilla bergantian, menunggu hingga salah satunya menginterupsi. Tetapi, Bunda hanya menatapnya dengan sorot mata kompleks yang sulit diterjemahkan, setetes air mata membahasi pipinya.

“Selama ini aku pikir aku jadi satu-satunya alasan Ayah selingkuh, karena aku bukan anak laki-laki kayak yang kalian mau. Tiap hari, aku nanggung rasa bersalah, rasa gak berguna, rasa terbuang di keluarga sendiri!” Ansel mengusap air matanya kasar, kemarahannya menguap sudah, berganti menjadi pilu yang menghujamnya tanpa ampun. “Tapi, Bunda… selingkuh itu kebiasaan, bukan alasan! Ayah berkali-kali selingkuh semenjak aku lahir dan Bunda berharap Ayah bakal berubah? Nggak!” tukasnya getir.

Kemudian, ia melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, “Apa aku harus mati dulu biar jadi bukti?”


Dari atas sini, Ansel bisa melihat rumahnya dan rumah Reiga yang berhadapan, juga rumah-rumah bergaya minimalis modern di sekelilingnya. Sekali pandang, rumah-rumah itu memang nampak sama, yang berbeda adalah kisah-kisah keluarga yang menghuninya.

Ansel menghela napas panjang sembari telentang di sisi Reiga, tersenyum miris kala pikirannya mulai berandai-andai; bagaimanakah rasanya menjadi bagian di keluarga yang lain?

“Gak ada bintang,” Reiga mengeluh.

“Hm,” Ansel balas mengangguk, lalu menarik lengan Reiga agar menjadi bantalan kepalanya. “Suram banget deh langit, kayak hidup lo!”

“Ralat. Hidup kita.”

Ansel terkekeh, menyembunyikan getir dalam tawanya. Malam ini, mereka berada di Laputa—rooftop lantai tiga sebuah rumah kosong yang sudah bertahun-tahun ditinggal pemiliknya. Ansel yang menemukan rumah ini sewaktu SD, menjadikannya tempat sembunyi setiap kali Reiga dipukuli sang ayah. Kini, Reiga tak dipukuli sesering dulu, tapi Laputa tetap menjadi destinasi terbaik bagi keduanya.

Di atas dipan kayu lebar, mereka selalu berbaring menatap langit malam. Mengobrol tentang apa saja. Menyaksikan pesawat yang hilir-mudik, juga gemerlap lampu gedung-gedung tinggi di kejauhan. Kadang Ansel berpikir ini menyedihkan, menjadikan rumah kosong tak berpenghuni sebagai rumah untuk pulang, alih-alih rumah yang membesarkannya.

“Sel, lo pernah kepikiran gak, apa aja yang mau lo lakuin sampai lima tahun ke depan?”

“Gue mau cepat dewasa dan keluar dari rumah sialan itu.” Ansel menjawab sekenanya, lalu, “Lo sendiri?”

Reiga membiarkan beberapa detik berlalu sebelum bersuara. “Gue pengen besok gak ada.”

Kalimat itu meninggalkan hening yang panjang. Jika jujur pada dirinya sendiri, Ansel pun sebenarnya menginginkan hal yang sama, tapi bukankah tidak adil jika segala hal menyedihkan ini justru berakhir menyedihkan juga? Ia berhak bahagia.

“Gue pengen suatu hari gue tidur, dan gue bangun di keadaan yang sama sekali beda dari kehidupan gue sekarang.”

Ansel mengangguk.

Sebuah pesawat melintas dalam posisi rendah, dengung suaranya dan lampu yang berkedip pelan di bawah sayapnya menghadirkan euforia yang sulit dijelaskan. Kemudian, Reiga berdeham, mengenyahkan nyeri di tenggorokannya.

“Ibu nyesel gak ya ninggalin gue sendirian kayak gini?” bisiknya, menatap jauh ke atas langit.

“Lo mau Ibu lo ngerasa begitu?”

Reiga mengangguk sesaat, kemudian terdiam ketika indah lengkung senyum Ibu melintasi benaknya tanpa aba-aba, membuatnya segera menggeleng kuat-kuat. “Nggak….” ia berbisik, setetes air mata meluncur di ujung matanya. “Gue cuma penasaran, gimana perasaan Ibu setiap lihat gue dari atas sana?”

Apakah Ibu turut membencinya—seperti Papa, Mama, dan Kak Dirga?

Your mom gonna loves you, your mom gonna proud of you,” Ansel berkata, “lihat lo tumbuh besar dengan sehat, jadi anak baik, mandiri, ganteng… gue yakin ibu lo bahagia setiap lihat lo, Rei.”

“Tapi gue bukan anak baik, Sel,” sanggahnya.

“Lo baik buat gue, lo selalu jagain gue, pastiin gue baik-baik aja.” Ansel tersenyum sendu. “Definisi baik itu luas, Rei… dan lo baik dalam cara lo memperlakukan orang yang lo sayang. That’s it.

Reiga bersyukur Ansel mengatakan itu. Selama ini, ia sudah begitu lupa bagaimana rasanya dicintai, dan detik ini, Ansel membuatnya kembali merasa berarti.

Lalu, perempuan itu mengesah. “Jangan mati, Rei,” katanya.

Sebelah alis Reiga terangkat.

“Gue tau apa yang lo pikirin setiap kali lo balapan atau berantem. Lo berharap lo mati, kan?” Reiga merasakan lidahnya kelu, terlebih saat menyadari lengan tangannya yang mendadak basah oleh air mata. “Rei… gue gak mau beranjak ke masa depan yang gak ada lo nya. Gue takut….”

Hening.

Hingga kemudian, Ansel mengangkat jari telunjuknya ke atas—ke arah pesawat yang berkelip terang di langit. “Lo tau, Rei? Ada gak adanya lo, pesawat-pesawat itu bakal tetap mengudara. Matahari bakal tetap terbit, dan langit yang kita lihat sekarang bakal tetap berubah biru.”

Reiga menarik senyum meski matanya berkaca-kaca. “Terus?”

“Terus, lo tetap pergi. Ninggalin rasa sakit buat orang-orang yang lo sayang,” balas Ansel, tenggorokannya tercekat. “Matahari bakal tetap terbit, dan langit yang kita lihat sekarang bakal tetap berubah biru, Rei. Tapi buat mereka yang menyayangi lo, matahari yang terbit rasanya menyesakkan karena mereka ingat hari-hari yang mereka lewati tanpa adanya lo lagi. Langit yang berubah biru rasanya menyedihkan karena mereka menjalani hari yang indah dan itu juga tanpa kehadiran lo lagi.”

Keduanya terdiam memandangi langit, larut dalam pikiran masing-masing.

“Gue gak mau lihat pesawat-pesawat itu mengudara tanpa lo di sisi gue, Rei. Gue mungkin gak bisa menjanjikan dunia yang lebih baik buat lo, tapi satu hal yang gue tau, kalau lo nyerah dengan cara itu, lo gak bisa ketemu Ibu lo lagi; atau ketemu gue lagi.”

Ketika Ansel menoleh untuk melihat Reiga, ia termangu sebab menemukan sepasang mata jernih yang menatapnya sedemikian dalam. Ada seulas senyum hangat yang terukir di wajahnya.

“Gue gak akan mati, Sel.”

Gue gak akan bunuh diri.

“Janji?”

Reiga mengangguk. “Hm, janji.”

Malam itu, disaksikan langit malam dan kerlip lampu pesawat, Reiga berjanji pada Ansel—untuk tetap hidup, untuk tetap melihat matahari terbit serta tenggelam di tempat yang sama.

Rasa pedih di sekujur kaki dan nyeri di tangan kiri yang terkilir tak lagi berarti begitu Reiga bersandar di ranjang kamarnya—menanti sidang dari sang ayah yang sudah terlihat marah semenjak kepulangannya bersama Rengga, Chandra, dan Nathan tadi.

Segalanya begitu berantakan dalam kepala; tentang kemunculan geng Junet yang tiba-tiba, motornya yang kini entah di mana, acara balapan yang dibubarkan sukarela. Reiga tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Papa, ia tak punya pembelaan, dan tidak punya siapa-siapa yang akan membelanya.

“Luka kamu udah dicuci?” Yang tidak ia duga, Mama muncul dari balik pintu kamarnya, membawa nampan berisi kapas dan alkohol. “Kenapa bisa begini?”

Perempuan yang helai-helai rambutnya mulai memutih itu mendudukkan dirinya di sisi ranjang, mendecak begitu memperhatikan lecet di kaki Reiga berkat menghantam aspal.

“Jatoh.”

“Balapan lagi?”

Reiga diam, menunduk dalam-dalam.

“Dirga bilang kemarin kamu dikeroyok?” Mama bertanya sembari mengusapkan alkohol. “Kemarin dikeroyok, sekarang jatoh—“

“Bentar lagi dipukulin Papa,” tukas Reiga, sengaja memotong kalimat ibunya.

“Kalo kamu tau bakal dipukulin, harusnya kamu nurut, jangan bikin masalah!” sentak Mama.

Reiga tersenyum pahit, kehilangan selera untuk berdebat sebab ia tahu ke mana semua obrolan ini akan bermuara. Ia tidak minta untuk dikeroyok, ia tidak minta untuk celaka; namun baik Mama dan Papa, akan selalu menganggap bahwa semua ini adalah salahnya.

“Kamu udah gede, harusnya tau kenapa Papa sering menghukum kamu, Rei!”

“Rei emang tau, Ma.” Reiga menunduk, menyembunyikan air matanya yang berkumpul di pelupuk. “Karena Rei anak haram, kan? Karena Rei anak selingkuhannya Papa, kan? Karena Rei gak seharusnya ada di rumah ini kan makanya Papa, Mama, sama Kak Dirga merlakuin Rei kayak binatang?”

Seketika, gerakan Mama terhenti, digantikan dengan pandangan nanar yang mengarah ke dinding—sengaja mengabaikan tatapan Reiga.

“Mama gak perlu repot-repot ngobatin, Rei gak butuh—“

“Kamu bener, Rei. Mama gak pernah suka kamu ada di sini,” potong Mama, setetes air mata jatuh di pipinya. “Lihat kamu cuma bikin Mama ingat sama pengkhiatan Papa ke Mama, tapi... selama bertahun-tahun ini Mama tetap ngurus kamu kalo kamu lupa. Mama tetap ambil rapor kamu ke sekolah. Mama tetap ngasih kamu obat setiap kamu sakit.”

Mendengar pengakuan itu, Reiga terisak menahan tangis.

Lalu, Mama melanjutkan dengan suara bergetar, “Terserah kamu kalo kamu gak mau menghargai Mama, tapi tolong hargai diri kamu sendiri. Dan hargai Papa kamu yang berani mempertaruhkan rumah tangganya demi ngebawa kamu ke rumah ini!”

Setelahnya, Mama berbalik dan pergi secepat mungkin. Meninggalkan Reiga bersama setumpuk rasa bersalah yang kian menggerogoti diri.


“Lo kayaknya terlalu nganggap omongan gue angin lalu ya, Rei?” Dengan setengah dibanting, Ansel membuka pintu kamar Reiga dan segara berdiri di hadapan lelaki itu. Tangannya berkacak pinggang. “Gue udah bilang kan kalo lo balapan terus, luka terus, dengan tujuan nyakitin diri sendiri gue bakal benci sama lo!”

Reiga bergeming, tepekur memandangi lantai seolah pikirannya melayang entah ke mana.

“Lo tau gak gimana khawatirnya gue denger kabar lo kecelakaan?” teriak Ansel, terengah mengatur napasnya yang memburu. “Gue benci khawatir sama lo, Rei! Gue benci ngerasa lo bakal hilang dari dunia gue!”

Sakit di tenggorokannya kemudian berubah menjadi isakan tertahan, Ansel gagal menyembunyikan fakta bahwa ia ketakutan setengah mati tiap kali Reiga tidak ada di sisinya—seakan ia harus selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk.

“Kalo lo masih gini terus, mending gue yang lebih dulu pergi dari hidup lo! Kita gak usah sahabatan lagi!”

Reiga tersentak, baru menaikkan wajahnya yang memar dan basah oleh air mata.

“Jangan bercanda,” lirihnya.

“Gue serius!” balas Ansel, ia tidak ingin bertingkah kekanakan seperti ini, namun rasanya tak ada lagi yang mampu ia lakukan agar Reiga mau mengerti ketakutannya. “Temenan sama lo nambah-nambahin beban pikiran gue doang!”

“Maaf....”

Ansel menengadah, tak ingin melihat tatapan Reiga yang nanar.

“Maaf.” Lelaki itu mengulang, suaranya parau. “Maaf, Sel.”

“Percuma lo bilang maaf kalo—“

“Maaf, maaf, maaf.”

Kalimat Ansel terpotong sebab Reiga lebih dulu mengucapkan kata itu—maaf—berkali-kali dengan kedua telapak tangan saling mengusap di depan dada.

“Maaf, Reiga salah. Maaf,” lirihnya kembali.

Sontak, Ansel mengernyit, menyadari ada yang janggal. Ia masih menerka-nerka, hingga kemudian Reiga berbisik lagi, kali ini dengan suara yang hampir putus-putus.

“Ampun....”

Tangis Ansel pecah detik itu, buru-buru ia mendekat dan membawa Reiga ke dalam pelukannya. Di sana, Ansel terisak bukan main, meraung dengan kedua tangan berusaha mendekap Reiganya erat-erat—melindunginya dari dunia.

Kata maaf dan ampun terus Reiga ulang-ulang, membuat Ansel serta-merta teringat pada bocah delapan tahun yang terduduk di depan pagar rumah sebab tak diizinkan masuk, tubuhnya dipenuhi lebam, dan hujan hari itu membuatnya menggigil basah kuyup.

Itu adalah kali pertama Ansel melihat Reiga. Maaf dan ampun terus keluar dari bibir kecilnya, sama seperti sekarang.

“Maaf, Reiga salah.”

“Nggak.” Kini, Ansel menyesali perbuatannya. Ia membuat lelaki itu kembali mengingat dan terjebak di masa lalu. “Nggak, Rei. Gue yang salah, gue minta maaf.”

Perlahan-lahan, tubuh Reiga merelaks dalam pelukannya. Ansel terus membisikkan kalimat penenang seraya mengusap punggung Reiga—sampai akhirnya lelaki itu berhenti meminta maaf dan tertidur di dekapannya.

“12,7 FM Neocampus Radio. Hello, guys! This is Maraka!

And this is Ansel, good afternoon listeners!

Lampu bertuliskan on air yang terletak di atas pintu masuk ruang siaran berubah warna menjadi merah—menandakan suara Maraka dan Ansel tengah mengudara untuk kali pertama.

Tentu, ini bukan siaran pertama bagi Maraka. Namun dengan Ansel di sini, semua terasa jauh berbeda dari sebelumnya.

Sooo, sore ini kita berdua bakal nemenin jam pulang kalian di program Sweet Talk edisi pertama hari Sabtu, tanggal 28 Agustus 2021.”

“Bener banget nih, Kak Maraka.” Ansel tersenyum sembari menoleh. “Di siaran siang tadi, udah dibagi informasi buat pengiriman pesan atau curhatan yang mau dibahas di program Sweet Talk, bisa dikirim melalui sms ke nomor 082213141516 atau bisa dm ke akun twitter official Neocampus Radio,” lanjutnya pelan, kemudian berpaling pada naskah di hadapannya. “Dan sekarang, udah ada beberapa pesan yang masuk. Lumayan banyak, ternyata.”

Really?” Maraka menimpali.

Keduanya sama-sama terkekeh begitu salah seorang tim menyerahkan selembar kertas baru berisi pesan-pesan terpilih yang akan dibacakan.

“Waw, ada puluhan pesan yang masuk.” Ansel mendecak takjub. “Tapi karena waktu kita terbatas, jadi kita pilih yang paling menarik dulu buat dibahas ya, Kak Maraka?”

Uhm-hm!” Maraka mengangguk seraya membolak-balik kertas di tangannya. “They look very excited with this program, don't you think?

Ya, and i’m very excited too!” jawab Ansel, tak lagi bisa menutupi nada suaranya yang berubah girang.

Me too! Me too!” timpal Maraka, sengaja mengikuti nada bicara Ansel, membuat mereka sama-sama terkekeh setelahnya. Ia kemudian menekan tombol audio mixer, mengecilkan lagu Berdua Bersama milik Jaz yang menjadi backsound siaran.

“Pesan pertama nih, listeners!” Ansel melirik Maraka sejenak, yang balik memandangnya dengan senyuman miring. “Halo, semuanya! Aku mau curhat dikit, nih....”

“Banyak juga gak apa-apa,” canda Maraka.

“Durasi, Kak. Kecuali curhatnya jalur pribadi.”

Maraka tergelak kencang, dan Ansel kembali bersuara, “Oke, ulang, ya. Halo semuanya! Aku mau curhat dikit, nih. Jadi, aku lagi suka sama teman sekampus, setiap hari berangkat ke kampus motivasinya jadi ketemu dia.”

“Waduhhh!” Maraka mengomentari sembari geleng-geleng kepala.

“Akhir-akhir ini juga kita jadi semakin deket, tapi aku khawatir kalau semisal nanti kita pacaran terus putus, pasti aku bakal bete ke kampus soalnya setiap lihat kampus bakal inget sama momen-momen bareng dia. Menurut Kak Maraka sama Ansel, baiknya aku lanjut atau cukup di sini aja buat mengagumi dari jauh, jadi gak akan pernah ada kata putus di antara aku sama dia? Makasih ya, semangat siarannya!”

“Ah, thankyou juga udah berpartisipasi ya sender!” Maraka berdeham sebelum meneruskan, “Hm, emang pacaran satu kampus tuh ada plus-minusnya sih, menurut gue. Kayak pas pdkt atau pacaran, pasti pengennya ke kampus terus, mendadak rajin gitu, kelas jam 1 juga datangnya dari pagi demi sarapan bareng dia.”

“Pengalaman banget kayaknya, ya?” sahut Ansel.

“Nggak juga, cuma lumayan tau aja.” Maraka terkekeh rendah. “Ya gitu, itu salah satu poin baiknya pacaran satu kampus, alias mendadak rajin dan gak pernah absen kelas. Cuma minusnya nanti pas udah putus, justru jadi boomerang karena bakal gak mood ke kampus, males ketemu mantan atau ke tempat-tempat yang jadi tempat pacaran bareng si mantan.”

“Jadi gimana dong, Kak?”

“Kalau menurut gue, pacaran aja, sih. Kalau putus kan tinggal cari pacar lagi.”

“Yeeee, buaya!” Ansel tergelak, reflek memukul lengan Maraka, membuat lelaki itu ikut tertawa bersamanya.

“Kalau menurut lo sendiri, Sel, gimana tuh pacaran sama satu kampus?”

Ditanya begitu, Ansel mengernyit. “Uhm... susah gak, sih?”

“Susah gimana?” Sebelah alis Maraka terangkat.

“Ya, susah aja. Pacaran sama satu orang juga kan kadang ribet, apalagi sama satu kampus gak sih, Kak? Banyak banget.”

Lagi-lagi, tawa renyah khas Maraka melambung begitu saja, seolah saat bersama Ansel ia telah kehilangan kontrol atas tawanya sendiri.

Sebuah tatapan melayang, Maraka dan Ansel bertemu mata dan saling pandang selama beberapa jenak. Tawa membeku, digantikan dengan semburat merah yang sama-sama membara di pipi keduanya.

“Lo pernah?” tanya Ansel kembali, menyipitkan mata pada Maraka. “Suka sama teman sekampus?” ia melanjutkan.

“Gue sedang,” jawab Maraka cepat, tak mengalihkan pandangannya sama sekali dari Ansel. Tatapannya intens, dalam, tanpa ampun. “Dan gue rasa sekarang orangnya tau.”

Untuk sesaat, Ansel merasa segala hal di sekitarnya memudar—hanya ada dirinya, Maraka, dan musik yang berdendang pelan dari balik headphone. Degup jantungnya berlarian kian kencang, seiring dengan senyum yang diam-diam terukir ketika mereka berbagi tatap detik itu.

Kata-kata Maraka terus berputar dalam benaknya. Lama, bahkan sampai siaran hari itu selesai... Ansel tak pernah memandang Maraka dengan cara yang sama lagi seperti sebelumnya.

... Ia telah jatuh cinta.

“Rei, menurut lo wajar gak gue insecure?”

Ansel menoleh pada Reiga yang berbaring di atas tempat tidurnya. Lelaki itu tak langsung menjawab, hanya memandang lurus ke arah langit-langit dengan sebelah tangan dijadikan bantalan.

“Kak Maraka bilang, gue masih bisa latihan dan belajar. Gue tau, tapi rasanya buat sekarang bukan itu jawaban yang gue butuh,” aku Ansel. “Gue beneran kepikiran apa gue pantas ada di sini? Jadi penyiar... maksud gue.”

Reiga menggeleng. “Lo gak akan pernah tau lo pantas atau ngga ada di sana kalo lo gak pernah nyoba, Sel.”

I’ve tried.”

Not that. Yang kemaren itu tes.” Reiga mengernyit, memandang Ansel yang duduk di meja belajar sembari memamah-biak makanan yang dibawakannya. “Apapun yang lo rasain sekarang... semua perasaan lo itu wajar, rasa insecure lo itu valid.”

“Tapi—“

... Orang-orang memperlakukan gue seolah gue gak boleh ngerasain insecure atas semua yang udah gue punya.

Ansel terdiam, menelan liurnya dengan getir.

Menyadari ada yang salah, Reiga bangkit dari tidurnya, kemudian duduk di sisi ranjang—sengaja menghadap perempuan itu.

“Kenapa? Apa yang jadi masalah?”

Ansel mengedikkan bahu, menaruh rotinya di atas meja. “Gue takut gue bakal ngacauin segalanya. Gue ragu sama kemampuan gue sendiri, Rei.”

Reiga memahami itu. Sejak kecil, ia tahu bahwa Ansel selalu dibandingkan dengan kakaknya yang sekarang adalah seorang model. Entah apapun yang Ansel lalukan, orangtuanya memilih untuk tak mau tahu.

Anak-anak yang tak pernah mendapat dukungan dan apresiasi dari lingkungannya cenderung tidak percaya dengan kemampuannya sendiri, dan hal itu terbaca jelas dalam diri Ansel—sebagaimana Reiga melihat ke dalam dirinya juga.

“Kalau lo sendiri ragu, terus yang bakal percaya siapa?” Pertanyaan Reiga membuat Ansel mengerutkan alis. “Semua orang di dunia ini udah ngeraguin lo, terus yang bakal percaya siapa, Sel?”

“Lo?”

Reiga terkekeh. “Yup, gue pasti percaya lo. Tapi rasa percaya gue juga percuma kalau lo nya sendiri ragu-ragu.”

“Jadi, gue?”

“Iyalah, dongo!” Reiga menjitak puncak kepala Ansel sekali seraya tertawa. “Walaupun semua orang jahat, lo gak boleh jahat ke diri lo sendiri. Walaupun semua orang ragu, lo gak boleh ragu ke diri lo sendiri. Ingat ya, Sel, pada akhirnya, yang stay sama kita ya cuma diri kita sendiri. Bahkan sebaik-baiknya teman, teman terbaik itu diri sendiri.”

Ansel menghembuskan napas panjang, lalu balik menjitak kepala Reiga di hadapannya.

“Siapa yang bilang teman terbaik itu diri sendiri?” protesnya. “Teman terbaik buat gue itu lo, dan teman terbaik buat lo itu gue. Paham?”

Reiga beringsut menjauh, mengusap kepalanya yang barusan dijitak Ansel dengan tidak hormat. “Ya, gue sama lo kan belom tentu stay selamanya, Sel.”

“Gue mau kok stay selamanya sama lo.”

“Terus lo gak akan nikah?”

“Nikah itu plan B. Plan A gue jadi rich, young, and free sampe bisa berak di Paris cebok di Dubai.” Ansel memeletkan lidah, yang dibalas Reiga dengan dengusan sebal. “By the way, emang lo mau nikah, Rei?”

Ditanya begitu, Reiga tersenyum pahit.

“Ogah!” katanya sembari bergidik ngeri. “Nikah nikah tai anjing,” dengusnya lagi.

Ansel ikut menyunggingkan senyum geli. “Lo terlalu skeptis. Biasanya yang anti-nikah begini malah nikah duluan, sih.”

“Amit-amit!”

Ansel terbahak, lucu sendiri melihat wajah gusar milik Reiga.

Sebagai anak yang hadir di luar nikah, Reiga memiliki luka dan sudut pandangnya sendiri mengenai pernikahan. Baginya, semua konsep tentang cinta dan menikah adalah omong kosong belaka.

Who’s know? Mungkin suatu hari lo tiba-tiba jatuh cinta ke cewek dan lo berniat hidup selamanya sama dia, kan?”

Berbeda dengannya yang tak percaya cinta, Ansel justru memandang cinta sebagai sesuatu yang kerap datang tiba-tiba.

“Gak semua kisah cinta itu berakhir buruk kayak yang terjadi di orangtua kita, Rei.” Ansel mendekat, kemudian mengacak rambut lelaki itu sekilas. “Cuma karena belum terjadi, bukan berarti gak ada. Lo, dan gue... pantas dapat happily ever after kayak yang di dongeng-dongeng itu. Dan buat gue, gue cukup yakin Kak Maraka orangnya.”

Reiga membeku di atas ranjang, sama sekali tak menyadari detak jantungnya yang berkejaran.

“Nama kok Maraka?” Reiga memberengut. “Kayak panggilang ibu-ibu.”

Ansel menaikkan sebelah alisnya bingung. “Panggilan ibu-ibu gimana dah?”

“Iya. Ibunya; Maraka. Bapaknya; Paraka. Kakaknya; Karaka. Adeknya; Deraka.”

“GAJETOT LO!” Ansel tergelak kencang, kemudian melemparkan bantal tepat ke wajah Reiga. “Goblok, gak abis pikir gue!”

Namun, Reiga tetap melanjutkan, “Cucunya; Curaka.”

Ansel semakin terbahak di atas ranjang—tepat di sisi Reiga. “Neneknya; Neraka,” ia ikut menimpali.

Reiga tertawa renyah. “Nah, kalau yang itu mah destinasi terakhir lo, Sel.”

“AMIT-AMIT. REIGA, OMONGANNYA DIJAGA KAMU ISLAM BUKAN?”

Dan tentu saja, yang terjadi berikutnya adalah perang bantal.

Seperti yang Ansel duga, ruang siaran ramai begitu ia dan Winona sampai di sana. Mulai dari mahasiswa baru sampai mahasiswa tingkat tiga memenuhi selasar, masing-masing sibuk melatih hapalan dan intonasi suara.

Ansel dan Winona saling bertukar pandang dengan raut seperti keledai, sadar bahwa mereka sama sekali tak menyiapkan apa-apa.

“Mampus, Sel. Kita abis makan gorengan si Mang Memi.” Winona menyikut pinggang Ansel, panik sendiri merasakan minyak jelantah di tenggorokannya. “Lo sih, pake acara ngajak gue ke kantin dulu! Udah telat, becek lagi suara gue!”

“Ya, gue laper, Win!” Ansel mendelik. “Lagian, gue mana tau kalau saingan gue bakal sebanyak dan seniat ini? Gue kira saingan gue ya cuma lo.”

Winona lantas menoleh. “Lo nganggap gue saingan?”

Ansel baru saja akan tertawa untuk menghindari amukan Winona, namun tawanya lebih dulu dibungkam oleh panggilan dari dalam ruang siaran yang dibatasi oleh dinding kaca.

“Pendaftar nomor 17, atas nama Ansela Purnama?”

Winona berbisik tertahan. “Lo, anjir!”

“Mati gue, Win. Gue belom—“

“Ansela Purnama, ada?” Sekali lagi, suara perempuan menyerukan namanya dari dalam, membuat beberapa orang menoleh dan melayangkan tatapan tak sabaran.

“Ada, Kak!” Bukan Ansel, melainkan Winona yang menyahut. “Udah cepetan sana, ebel!”

“Gue belom siap, bangke!” Ansel mati-matian menahan rasa ingin menjambak Winona ketika gadis itu mendorong tubuhnya masuk ke dalam ruang siaran. Namun ketika ia akhirnya memasuki pintu dan menghirup atmosfir ruangan itu, serta merta ia terdiam.

Dua buah microphone berdiri menghadap dua kursi, beberapa layar komputer menampilkan software yang entah apa fungsinya. Selain dirinya, tak ada siapapun di ruangan berdinding kaca itu kecuali seorang lelaki dengan headphone yang sibuk mengotak-atik audio mixer.

Ruang siaran beraura tenang, dengan aroma musk yang memabukkan.

Singkat kata, Ansel menyukainya.

“Hai! Udah siap?”

Ansel menggaruk tengkuk, sejujurnya ia gugup setengah mati.

“Rileks aja. Ini cuma latihan, microphone on tapi kita gak on air, jadi yang dengar suara lo cuma gue buat sekarang. Nanti panitia yang lain dengar suara lo lewat rekaman.” Lelaki itu memberikan headphone, yang Ansel pakai dengan ragu-ragu. “Dua kali take. Kalau lo rasa yang pertama kurang, kita ulang. By the way, gue Maraka.”

Kedua alis Ansel terangkat, seiring dengan telapak tangannya yang menjabat lembut uluran tangan Maraka.

“Ansel,” balasnya pelan.

Maraka mengangguk, berusaha meredam senyumnya yang melebar. “Gak ada script, lo bebas ngarang program apapun. Frekuensi radio kita 12,7 FM, dan jangan lupa kenalin diri lo, jangan kayak di chat kemaren ya,” goda Maraka.

Ansel meringis, namun tak ayal tersenyum juga. “Sorry, Kak.”

No, it’s fine. Ready?” Maraka menoleh pada Ansel. “Hitungan ketiga begitu volume lagu gue kecilin, lo masuk. 3... 2... 1....”

Ansel memejamkan matanya sesaat, menarik napas seiring hitungan mundur terdengar. Lalu, perlahan musik di balik headphone mengecil, bersamaan dengan tombol audio mixer yang ditekan mundur oleh Maraka.

Hening.

Kemudian....

“12,7 FM Neocampus Radio. Selamat siang semuanya. Halo, aku Ansel.”

Suaranya lantang, dengan aksen khas yang terdengar menyenangkan.

Listeners, rasanya seneng banget deh hari ini Ansel bisa nemenin jam makan siang kamu sambil bincang-bincang sama Kak Maraka di program baru kita, “Sweet Talk”. Nah, di program Sweet Talk ini kita bakal ngomongin yang sweet-sweet, dan nanti kamu bisa banget request lagu, titip salam, curhat—ettt, tapi jangan tentang skripsi ya, nanti namanya bukan obrolan manis lagi tapi jadi obrolan mumet.”

Maraka sontak tertawa, yang dihadiahi Ansel dengan senyuman.

“Langsung aja kirim pesannya di 0823-7167-0877, sekali lagi di 0823-7167-0877.”

Ansel sama sekali tak terlihat kehilangan kendali meski Maraka sempat kesulitan menahan tawanya, dan melihat itu, harus Maraka akui bahwa Ansel cukup berbakat.

“Kita bakal tunggu pesan pertama yang masuk sambil dengerin lagu dari Devano featuring Aisyah Aqilah – Teman Cintaku. Selamat mendengarkan!”

Lagu terputar, menggema di ruangan itu saja.

Ansel dan Maraka sama-sama melepas headphone-nya, lalu saling pandang dan tersenyum pada satu sama lain.

“Gue gak pernah bilang kita bakal putar lagu ini?”

“Gue reflek, di desktop kelihatan lagu ini yang bakal di-play berikutnya, jadi sekalian aja gue omongin. Lo bilang kan gue bebas ngarang apa aja?”

Senyum Maraka kembali terbit. “Wow,” katanya. “Reflek lo bagus juga. Dan gue suka intonasi suara lo, anyway. Artikulasi kalimat lo juga jelas, so far... good.

“Ini gue langsung dievaluasi?”

No, ini komentar dari gue aja.”

Keduanya tertawa. Sementara lagu terus bermain di antara mereka.

“Motivasi lo pengen jadi penyiar apa, Sel?”

Ansel menopang dagu, memperhatikan mic di hadapannya. “Gue pengen suara gue didengar,” akunya lirih. “Pasti enak rasanya punya pendengar.”

That sounds so lonely,” balas Maraka, tak ada penghakiman dalam kalimatnya.

Ansel mengedikkan bahu. “You think so?

Maraka mengangguk lagi, memandang Ansel dalam-dalam. Keduanya berubah hening, membiarkan denting lagu menjadi satu-satunya penengah di antara mereka.

Begitu lagu hampir berakhir, Ansel baru tersadar sudah menatap Maraka terlalu lama. Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan pipi membara, diliriknya pemutar musik di layar komputer....

3 menit 51 detik.

Durasi lagu itu berlalu tanpa terasa, bersama degup jantungnya yang berkejaran seolah-olah ia sedang jatuh cinta.

Tak seperti malam sebelumnya yang hanya berbalut hoodie kumal serta wajah sembab, malam ini Ansel mengenakan dress tercantik yang ia punya di dalam lemari. Ia juga memakai make up dan menata rambutnya sedemikian rupa, membuat senyum percaya diri terukir di wajah manisnya.

Malam yang spesial untuk orang yang spesial, setidaknya itulah yang ia pikir, sampai detik ini, Bara menghempaskan semua ekspektasinya.

“Ansel?”

Kedua alis Bara terangkat, wajahnya memimik panik dalam suaranya.

“Hai?” Ansel balik menyapa dengan getir, tatapannya jatuh pada perempuan berambut pirang di sisi lelaki itu. “... Siapa?” Ragu-ragu, ia memberanikan diri bertanya pada Bara.

“Gue Maudy, pacarnya Bara.”

Bukan Bara, melainkan perempuan bernama Maudy itu yang lebih dulu memperkenalkan diri, membuat Ansel lantas mengangguk walau seluruh tubuhnya terasa kebas.

“Lo sendiri?”

“Gue—“ Ansel baru saja hendak menjawab, namun Bara lebih dulu memotong.

“Ini Ansel, temennya si Reiga. Kamu ke mobil duluan bisa kan, By? Ada yang mau aku omongin bentar sama dia.”

Meski sempat terlihat bingung, Maudy menuruti permintaan Bara dan segera meninggalkan mereka berdua. Ansel mendecih, seolah baru menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Sel, lo kenapa datang? Gue bilang kan kita bisa jalan besok.”

“Lo taruhan?”

Bara mengernyit. “Hah?”

“Lo taruhan, kan?” Ansel mengulang walau sepenuhnya sadar Bara mendengar kalimatnya. “Lo taruhan gue, iya?”

Sesuatu seperti keterkejutan dan rasa bersalah melintas di mata Bara, Ansel tak perlu menunggu konfirmasi untuk tahu bahwa dugaannya benar.

“Taruhan apa?”

“Lo... tau darimana?”

Ansel tersenyum sedih. “Jadi benar? Padahal gue cuma nebak dan berharap lo jawab nggak.”

“Sel, sorry....”

“Taruhan apa gue tanya!”

“Motor,” jawab Bara pelan seraya mengusap wajahnya kasar. “Junet mau kasih motornya ke gue kalau gue bisa dapetin lo dan bawa lo ke hotel—“

“Bajingan lo!”

“—dan tentu aja gak akan gue lakuin, Sel!” Bara kembali melanjutkan. “Junet pernah kalah tanding sama Reiga, dia tau lo berarti banget buat Rei makanya dia mikir buat hancurin Rei lewat lo. Tapi gue gak setuju bagian itu, gue pikir bikin lo patah hati aja udah cukup.”

“Apanya yang cukup? Hati gue patah lo pikir cukup buat nebus motor sialan itu?”

Bara menunduk. “Gue salah, Sel, gue tau. Gue minta maaf.”

Ansel mendelik, merasakan perlahan-lahan emosi memuncak di ujung kepalanya.

“Jadi, lo udah dapat motornya?”

Ditanya begitu, Bara menaikkan wajahnya bingung. “Kenapa?”

“Bagi dua, bangsat.”

“Maksud lo?”

“Ya, bagi dua. Enak aja lo matahin hati gue, terus gue gak dapat kompensasi gitu?”

Ansel benar-benar serius mengatakan itu, namun Bara justru menahan senyum—sebelum mengusak puncak kepala Ansel dengan gemas.

“Apaan, sih, pegang-pegang? Haram jaddah!” Ansel merutuk seraya menepis tangan Bara di kepalanya.

“Lo mau nunggu gue gak?” tanya Bara. “Tunggu gue putusin pacar gue, terus gue kompensasi hati lo.”

Ada sesuatu yang rubuh dalam diri Ansel begitu mendengar perkataannya—seolah-olah bagi Bara, mengganti posisi seseorang yang menjadi pasangannya bisa semudah dan sesederhana itu.

“Lo mau gue jadi selingkuhan lo?” lirih, Ansel bertanya.

Bara mengangguk mengiyakan. “Buat sementara aja, nanti gue putusin pacar gue kalau waktunya udah tepat.”

Ansel mendongak sembari tersenyum, menatap wajah Bara lurus-lurus.

Ia kemudian berbisik pelan, “Get out of my face, asshole!” Caciannya pelan, namun menusuk dan sebelum berpaling, ia sengaja meludah sembarangan tepat di hadapan lelaki itu.

Setelahnya, Ansel melanggang pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.