anandaleaa

[HANA]

Pada kunjungan yang berikutnya, aku menemukan Keenan tengah memandangi jendela kamar rawatnya yang menampilkan area gedung rumah sakit. Belakangan aku tahu bahwa ia bukan sedang menikmati pemandangan membosankan itu, melainkan mengamati pantulan dirinya sendiri di kaca. Ia menyadari kehadiranku, tapi fokusnya tetap tak teralihkan.

“Udah ganteng,” kataku, seraya berjalan menghampirinya. Dari pantulan kaca yang memburam itu, dapat kulihat ia tersenyum sekilas, sebelum berganti redup lagi.

“Sekarang masih ada rambutnya, gue gak yakin lo bakal bilang hal yang sama begitu gue botak.”

“Lo bakal tetap sama buat gue. Mau botak, mau ada rambutnya, gak bikin lo bukan Nalendra Keenan Atmadja yang gue kenal lagi, kan?” Aku berdiri tepat di belakangnya, sama-sama memandang jendela yang kini membayangi sosok kami berdua.

Setelah kuteliti, aku baru sadar bahwa Keenan berubah. Tatapannya yang dulu selalu berbinar-binar, berubah sendu dan lelah. Pun dengan garis bibirnya yang dulu kerap dilengkungi senyum, sekarang lenyap, digantikan helaan-helaan napas putus asa.

Aku menggigit bibir, merasakan ngilu yang teramat sangat di rongga dada. Keenan telah berubah sejauh ini ternyata, dan aku menyesal menyadari itu.

“Gue boleh jujur gak, Na? Mumpung cuma ada kita berdua….”

“Apa?” tanyaku, bergetar menahan tangis.

Sebelum bersuara, Keenan menghela napas panjang. Pandangannya lurus pada jendela, seolah-olah sedang mengabadikan dirinya sendiri dalam ingatan. “Gue takut,” akunya pelan, membuatku menaikkan kedua alis karena tidak percaya pada apa yang baru saja kudengar. “Jujur, gue takut mati, Na.”

Sia-sia. Tangisku pecah detik itu. Air mata sialan yang sejak tadi kutahan langsung berjatuhan, tak terkendali lagi. Sakit. Sakit mengetahui bahwa Keenan semenderita ini.

“Tiga bulan lalu gue nolak di operasi bukan karena gue sok tegar, bukan karena gue berani mau jalani pengobatan. Justru sebaliknya… gue takut.”

Lewat pantulan kaca, akhirnya kami bertatapan. Sorot takut itu jelas berbayang di matanya, dan itu membuatku semakin sakit hati.

“Gue takut ninggalin Mama, Mama pasti kacau tanpa gue. Gue takut ninggalin Papa, ntar pasti Papa gak punya teman main catur. Gue juga takut ninggalin lo, ninggalin Dika, ninggalin Keana, ninggalin kehidupan gue. Semuanya.” Keenan berkaca-kaca, senyumnya terukir dengan pahit. “Tapi gue mikir, kalau gue takut, apalagi orang lain? Mama masih berjuang buat gue, kalian juga selalu nemenin gue. Gue gak bisa nyerah walaupun gue lelah.”

Aku mengangguk setuju, kemudian beranjak untuk melingkari tangan di sekitar pinggangnya. Saat ini, yang kutahu, aku ingin berbagi kekuatan dengannya. Seperti Keenan yang selalu memberi kekuatan padaku ketika kami masih kanak-kanak, kini aku mengembalikan itu padanya.

Seperti Keenan yang selalu melindungiku dari dunia, aku juga ingin melakukan hal yang sama.

“Maaf, Ken. Karena gue gak pernah ngerasain di posisi lo, gue gak pernah melihat segala sesuatunya dari sudut pandang lo.”

“Gak apa-apa, lo juga punya masalah lo sendiri. Gue paham.”

“Jangan nyerah, ya? Jangan pernah sekalipun berpikir buat nyerah, gue pastiin gue bakal selalu ada buat lo.”

Ia melepas pegangan tanganku di pinggangnya, lalu berbalik, tersenyum dengan genangan air di pelupuk mata. Kemudian ia mengusap pelan kepalaku─usapannya hangat, penuh makna. Sesuatu yang menyerupai penyesalan melintas dalam raut wajahnya, seperti ada beribu hal yang ingin sampaikan namun di titik terakhir ia memilih untuk tetap menyimpannya seorang diri.

Keenan tersenyum tipis. “Janji ya?” katanya.

Aku mengangguk buru-buru. “Pasti,” jawabku yakin, lalu kembali mengeratkan tangan untuk memeluknya.


Perjalanan pulang kali ini terasa sepi meski musik dari radio bergema dan Kak Dimitri bernyanyi seperti biasa. Aku menyandarkan kepala pada jendela mobil, mengamati lalu-lalang kendaraan lain juga hiruk-pikuk manusia di trotoar.

Sejak mendengar kondisi Keenan yang sebenarnya, aku merasa seolah masaku terhenti di satu tempat dan tak berputar lagi. Dan menyadari bahwa dunia tetap bekerja, semesta tetap berjalan seperti semestinya, aku tak dapat mengenyahkan sakit di tenggorokan karena ternyata yang hidupnya terpuruk hanya aku.

Dan Keenan, tentu saja.

Aku tahu dunia memang tidak adil tapi rasanya semakin menyesakkan ketika ketidakadilan itu menimpa orang yang paling kusayang.

Sepanjang perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam menerjang kemacetan itu, aku hanya diam dengan isi pikiran melayang ke mana-mana. Aku beruntung karena Kak Dimitri sama sekali tidak menginterupsi lamunanku, meski aku tahu sesekali ia melirik lewat sudut mata, seolah menantiku untuk bersuara lebih dulu.

Barulah ketika mobilnya terparkir di depan gerbang komplek rumahku, ia melepas seatbelt, kemudian menghadapkan tubuhnya padaku.

“Mau cerita?” tanyanya lugas.

Aku sudah bisa menduga ia akan bertanya pada akhirnya dan aku bisa saja segera keluar karena tidak ada yang harus kuceritakan. Namun di detik terakhir, kubiarkan sisi lain hatiku untuk menang. Setengah diriku toh memang ingin tetap di sini bersamanya.

“Udah beberapa hari ini gue perhatiin lo gak kayak biasanya. Tadinya gue kira gue ada salah, tapi lo gak marah sama gue.” Kak Dimitri bergerak lagi, mendekatkan dirinya padaku. “Gue tanya sekali lagi, mau cerita? Kalau gak mau gue gak akan maksa,” lanjutnya. Meski suaranya tenang, dapat kurasakan ada kekecewaan dalam kalimatnya.

Ini akan jadi tidak adil juga untuknya jika aku tidak menjelaskan apa-apa. Kak Dimitri telah menceritakan semua keluh kesahnya padaku, bukankah aku juga seharusnya begitu?

Tapi menceritakan masalah Keenan pada Kak Dimitri rasanya seperti mengakui ketakutanku sendiri.

“Oke, fine. Gue gak akan maksa.” Kak Dimitri membuang napas, lalu bersandar di kursinya, bersiap memakai seatbelt lagi. “Lo tahu? Lo juga, bisa cerita apapun ke gue. Lo bisa ngeluh apapun ke gue.”

Mendengarnya mengulang kata-kataku sendiri, tiba-tiba membuatku kehilangan kontrol. Aku menangis, merasakan segala hal terasa rubuh di sekitarku dan tidak ada yang mempersiapkanku untuk itu. Aku pernah merasa kehilangan, tapi bagaimana caranya menjadi terbiasa? Tidak bisa. Tidak pernah ada cara agar kehilangan tidak terasa menakutkan. Setiap kali menyadari betapa berubahnya Keenan detik ini, aku selalu teringat pada Ayah.

Aku ingat bagaimana menderitanya Ayah di akhir-akhir hidupnya. Mengeluh sakit setiap saat, terbangun setiap malam, obat-obatan, pekikan, tangisan. Aku masih mengingat semua fragmen mengerikan itu, hari-hari di mana kupikir aku tidak akan punya masa depan, masa-masa di mana kurasa melihat orangtuaku bertengkar setiap hari jauh lebih baik ketimbang melihat salah satunya hilang.

Kehilangan itu begitu menakutkan. Dan aku tak ingin mengalami sekali lagi, aku tidak akan sanggup lagi.

Tangisku semakin menggila, sampai rasanya aku megap udara. Kak Dimitri kemudian menarikku dalam pelukannya, mengusap-usap belakang kepalaku dengan pelan.

Dalam dekapannya itu, aku menangis sejadi-jadinya, seolah aku ingin seluruh dunia tahu aku ketakukan. Bersama Keenan atau siapapun di antara Keana dan Ardika, aku tak bisa menunjukkan kekhawatiranku yang sebenarnya, karena aku tahu kami semua berjuang sama-sama. Tapi di satu titik, titik terlemahku, sungguh rasanya aku ingin kabur. Aku ingin pergi ke tempat di mana segala hal tidak sekacau ini.

“Sebenarnya ada apa? Lo nangis begini kenapa, Nye? Gue takut.”

Suara Kak Dimitri bergetar di telingaku, tapi aku bahkan terlalu sedih untuk menjelaskan padanya.

Aku menangis sampai pandanganku mengabur, dan Kak Dimitri tetap memelukku sampai tangisku berhenti dengan sendirinya. Lama, kami tetap dalam posisi itu sampai langit menguning, semburatnya menghadirkan setitik hangat di dalam dada. Begitu aku melepas pelukan, kutatap mata Kak Dimitri dalam, menyadari betapa khawatir raut wajahnya.

“Keenan sakit,” ungkapku, sesingkat itu, tapi serta merta Kak Dimitri paham apa maksudnya. Aku menghela napas panjang sembari menghapus jejak-jejak air mata di pipi. “Tumor otak, dan sekarang lagi nyari jadwal buat operasi,” aku melanjutkan dengan getir.

Hening.

Aku memilin benang yang terurai di ujung bajuku. “Jujur, gue takut sama semuanya. Tapi di atas itu semua, gue takut gue gak cukup baik ada di sisi Keenan selama ini.”

Sewaktu Ayah pergi, aku baru menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku bukan anak yang pintar, aku tak pernah juara kelas atau pun memenangi lomba, dan kepergiannya selain membuatku berpikir aku tidak akan punya masa depan karena tulang punggung keluargaku hilang, juga menimbulkan penyesalan sebab aku belum membuatnya bangga.

Ayah memang bukan sosok ayah terbaik di dunia, membuatnya bangga tidak pernah ada dalam tujuan hidupku sebelumnya. Tapi setelah Ayah tidak ada, rasa sesal menghantuiku. Aku menyesal karena ketika aku berpikir Ayah selalu menyakitiku dan Bunda, aku pun nyatanya memang tidak pernah membuatnya bahagia.

Setetes air mataku jatuh lagi, buru-buru kuhapus dengan punggung tangan. “Keenan butuh seseorang yang kuat buat berjuang bareng dia, tapi gue merasa gak cukup baik ada di sana.”

“Hana?”

Aku menaikkan wajah, sedikit terkejut karena Kak Dimitri memanggil namaku. “Ya?”

“Lo selalu cukup. Keenan pasti mikir lo juga selalu cukup buat dia, lo ada di sana, nemenin dia berjuang aja itu udah ngebuktiin kalau lo cukup baik.” Aku tidak tahu apa yang membuatku menangis untuk kedua kalinya, tapi kurasa jauh di dalam, aku hanya ingin mendengar bahwa aku telah melakukan hal yang benar dan itu cukup.

Kak Dimitri menyunggingkan senyum tulus, lalu menangkup kedua pipiku dengan lembut. “Lo selalu cukup, Hana. Buat Keenan, bahkan buat gue juga.”

Tak ada yang ingin kulakukan detik itu selain menelusupkan wajah di lekukan bahunya, merasakan penerimaan yang teramat sangat. Aku bersyukur Kak Dimitri, orang sebaik ini, ada untukku di titik-titik terendah dalam hidup.

Kami berpelukan lagi untuk waktu yang sangat, sangat lama.

Ketika langit telah berubah gelap seutuhnya, Kak Dimitri menghidupkan mobil dan untuk pertama kalinya kuiyakan keinginannya untuk mengantarku sampai rumah. Aku menunjuk jalan, namun tiap kali aku menyuruhnya untuk berbelok, Kak Dimitri nampak ragu dan selalu bertanya apakah aku menunjuk jalan yang benar.

“Lo benar ini jalannya?”

“Iyalah, masa gue salah?” Aku terkekeh melihat wajah Kak Dimitri yang kebingungan. “Ada apa sih, Kak?”

Ia menggeleng. “Nggak, gue takut ketemu musuh bebuyutan gue. Dia tinggal di daerah sini juga. Kalau gak salah tuh rumahnya belok kiri dari sini.”

“Waw. Good luck deh, musuh bebuyutan lo tetangga gue kayaknya.” Tawaku melambung lagi, kali ini lebih keras. “Di depan, kita belok kiri.”

“Hah???” Kak Dimitri berjengit, wajahnya semakin panik, aku jadi geli sendiri. Sesudah berbelok, aku menyuruhnya berhenti di depan rumah berpagar tinggi yang dicat putih. Itu adalah rumahku. Untung karena masih terbilang sore, Papa belum pulang dari kantor. “Yang mana rumah lo?” Kak Dimitri bertanya, tapi pandangannya sibuk menelisik rumah-rumah yang lain.

Astaga, siapapun musuh bebuyutan yang ia maksud, itu pasti orang yang sangat tidak ingin ia temui.

“Yang ini,” jawabku, menunjuk rumah di samping dengan dagu. Setelah merapikan barang-barang, aku bersiap turun. “Mau mampir? Tapi kayaknya Kakak takut ketemu musuh, tuh.”

“Nye, kamu sejak kapan tinggal di rumah ini?” Tiba-tiba, nada suaranya berubah serius. “Uhm, sekitar dua tahun lalu?” Kak Dimitri bergeming, memandangi bagian dalam rumahku. “Kenapa? Ada hantunya?”

“Nggak. Eh, nggak tau, sih. Ada kali, di kamar kamu, tuh.”

“Jangan nakut-nakutin!” Kupukul lengannya, dan ia langsung tergelak. “Makasih ya, Kak. Buat hari ini, dan buat dianterin pulang sampai depan rumah.” Kak Dimitri mengacak rambutku usil. “Iya, sama-sama. Masuk gih, hati-hati.”

“Kok hati-hati? Kan yang mau pergi kamu?”

“Oh iya, ya.”

“Ngaco!” Aku menutup pintu mobilnya, lalu melambaikan tangan. “Hati-hati, nanti ketemu musuh bebuyutan.”

“Kamu yang hati-hati, awas ada kuyang di kamar kamu.”

“Berisik! Udah sana pulang!”

Kak Dimitri terkekeh sebelum menutup jendela, kemudian dengan satu lambaian tangan, mobilnya bergerak maju. Aku masih berdiri di depan rumahku sampai mobilnya berbelok di tikungan jalan.

Terimakasih, Kak.

Bersama Kak Dimitri hari ini, aku menemukan cara untuk tertawa lagi.

[HANA]

“Gue punya sesuatu buat lo!”

Kalimat Kak Dimitri ternyata menghantarkanku pada sebuah gedung puluhan tingkat yang selalu kulewati tiap kali berangkat dan pulang kuliah, itu adalah gedung apartemennya. Kamarnya sendiri ada di lantai tujuh belas, bukan lantai yang bagus kalau lift sedang mati atau ada gempa─oke, lupakan bagian itu─tapi Kak Dimitri kan penyuka malam dan langit, pasti menyenangkan melihat pemandangan kota dari balkon kamarnya.

Ia kini tengah membuka pintu, tapi ada sesuatu yang janggal dari tingkah lakunya sejak di basement tadi, lengkung senyumnya tidak henti-hentinya bermain, membuatku berpikir yang tidak-tidak saja.

Aku memalingkan wajah, enggan terlihat salah tingkah karena ia terus menatapku dengan tatapan tajamnya itu. Begitu pintu membuka, ada sebuah melodi yang mengalun pelan dari dalam, yang langsung saja membuatku memutar mata untuk menajamkan pendengaran.

Aku kenal lagu ini. ‘Fly Me to the Moon’ versi akustik, petikan gitarnya pelan dan lembut, menambah kesan romantis karena musiknya membaur di ruangan temaram yang hanya diterangi oleh lampu-lampu kuning─berpendar lemah di sisi-sisi dinding. Langkahku berhenti setelah Kak Dimitri menutup pintu, kami berpandangan, tapi tidak saling berkata-kata.

“I-ini apa?” tanyaku, masih terpaku di tempat meski Kak Dimitri telah bergerak membenahi bantal-bantal di atas karpet yang menghadap televisi, lalu beralih ke pantry.

“Lo pernah bilang mau deeptalk sama gue,” jawabnya, tapi itu tidak menjawab pertanyaanku. Dalam remang-remang lampu yang berkedip, Kak Dimitri tersenyum lagi, entah apa yang akan dilakukannya dengan dua cangkir di atas meja bar itu. “Lo juga bilang lo gak bisa begadang, kan?”

Aku mengangguk, diam-diam terkesan karena ia mengingat kata-kataku.

Well, karena gue juga gak mungkin bikin lo nginap di apartemen gue buat deeptalk jam tiga pagi, jadi ya begini aja.”

“Begini gimana?”

Ia mendekat, menarikku untuk duduk di atas karpet, mengambil kardigan yang baru saja kulepas beserta tasku, kemudian menggantungnya di hanger di dekat pintu masuk.

“Ya, begini. Masih jam tujuh sih, tapi kan udah gelap, anggap aja sekarang jam tiga pagi.” Kak Dimitri kembali dari pantry, menyodorkan segelas coklat panas padaku. “Gue sengaja ngatur ini sedemikian rupa supaya kayak tengah malam beneran, termasuk nyusun itu supaya gue gak harus ngebawa lo ke kamar,” lanjutnya lagi seraya mengedikkan kepala untuk menunjuk tempat dudukku, kali ini ia nampak awkward, aku ingin tertawa. “Gue takut lo mikir yang nggak-nggak.”

Gue udah mikir begitu daritadi padahal.

“Gue gak mikir yang nggak-nggak.”

“Iya. Lo pasti berpikir begitu.”

“Nggak. Lihat siapa yang berpikir begitu.” Aku bersikukuh, lucu melihatnya panik dan salah tingkah.

“Gue juga bakal antar lo pulang sebelum jam sembilan.”

“Oke,” balasku.

“Oke.”

Kami berpandangan kembali.

“Yaudah, gue mandi dulu.” Setelah berkata begitu, Kak Dimitri berlalu menuju kamar mandi, meninggalkanku dalam temaramnya ruangan yang katanya telah ia siapkan khusus untukku.

Sembari mendengarkan lagu yang terputar dalam mode repeat itu, aku membawa gelas coklat panasku berkeliling─melihat-lihat seisi apartemennya yang rapi, seolah semuanya tertata dan tidak ada benda yang terletak tidak sesuai tempatnya. Kemudian aku menemukan figura yang terpajang di atas meja di dekat televisi, foto-fotonya yang terbingkai dengan kayu bercat putih.

Dalam foto-foto itu, Kak Dimitri tersenyum lebar, senyum yang serta merta membuatku tersenyum juga. Foto masa kecilnya, foto dengan teman-teman kuliahnya setelah acara ulangtahun kampus, dan fotonya dengan dua orang berbaju formal di sebuah studio berlatar polos─itu pasti orangtuanya.

Aku meraih figura yang satu itu, memandangi tiga sosok di dalamnya yang tersenyum menatap kamera. Kak Dimitri pernah bilang padaku kalau ia anak tunggal, kedua orangtuanya tinggal di luar kota, dan baru akan pulang jika ia mau saja. Dari caranya bercerita, aku tahu ada sesuatu mengenai keluarganya yang tidak ingin ia jelaskan, seperti tak biasa membicarakan itu dengan siapapun. Aku tahu, sebab aku pun memimik ekspresi yang sama.

“Itu orangtua gue,” katanya pelan dari arah belakang.

Aku memutar tubuh karena kaget, tapi rupanya ia tak bereaksi apa-apa, sibuk mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.

“Lo mirip ayah lo, Kak.”

“Apanya? Lo kenal ayah gue emang?”

“Nggaklah. Maksud gue mukanya mirip.”

Ia tertawa, lalu menaruh handuk basahnya di keranjang baju. “Oh, kirain. Kenalan gih sana, siapa tau dapat restu.” Aku balas terkekeh mendengar omongannya. “Gue gak mau mirip sama Papi,” lanjutnya sembari mengernyit, seperti tengah menimbang-nimbang sesuatu.

Aku menaruh figura yang kupegang kembali ke tempatnya, lalu mengambil posisi duduk di karpet, menekan bantal di atas kedua kakiku yang menyila. “Kenapa? Bukannya seorang ayah hampir selalu jadi panutan buat anak laki-lakinya ya?”

Kak Dimitri menggeleng, menghembuskan napas panjang dan terduduk di sebelahku. “Nggak, kalau nanti gue punya anak, gue gak mau memaksakan kehendak gue atau menaruh impian-impian gue yang gak tergapai di pundaknya. Gue mau anak-anak gue nanti punya impian sendiri, bebas ngerjar passion-nya, dan gue bakal selalu dukung mereka.” Aku sibuk menyimak, menatapnya figurnya dari samping selalu menjadi favoritku. “Lo juga anak tunggal, Nye? Lo gak pernah cerita tentang saudara lo soalnya.”

“Yup, gue juga anak tunggal.” Aku mengangguk, lalu tiba-tiba menggeleng. “Maksud gue, awalnya iya. Tapi beberapa tahun ke belakang Bunda nikah lagi, jadi sekarang gue punya ayah tiri dan kakak tiri. Bisa dibilang gue bungsu di keluarga gue.”

Suaraku terdengar sumbang, karena entah darimana datangnya, dadaku dihujam rasa sesak. Aku selalu ingin mengakui bahwa aku punya kakak perempuan, tapi setiap kali hampir melakukannya, aku takut─takut Kak Gladys semakin tidak menyukaiku.

Kak Dimitri mengangguk berulang-ulang kali, menyesap coklat panasnya yang telah lama mendingin pelan-pelan. “Kakak tiri lo pasti senang ya punya lo? Lo kan lucu, Nye.” Kata-katanya terdengar tulus, tapi itu justru membuatku semakin tercekat.

“Omong-omong soal passion, emang kuliah di FEB bukan passion Kakak ya?” tanyaku, membanting topik obrolan.

“Dibilang passion nggak, tapi dibilang bukan passion juga nggak. Paham gak tuh?” tanyanya, terkekeh sendiri. “Mungkin karena dari kecil orangtua gue mengarahkan gue ke dunia ini, mau gak mau ya lama-lama gue senang juga belajar bisnis. Lagian gue tau gue harapan satu-satunya buat mereka, kalau bukan gue yang ngelanjutin bisnis keluarga, siapa lagi?”

“Emang passion Kakak yang sebenarnya apa?”

“Musik,” jawabnya, lugas sekali. “Dulu, gue sering nulis lagu, sering juga tampil di acara-acara sekolah. Gue senang lihat orang-orang yang menikmati lagu gue, kayak ada rasa puas gitu, apalagi kalau mereka paham sama apa yang mau gue sampaikan lewat lagu-lagu itu.”

Wajahnya tiba-tiba berubah murung, lengkung senyumnya nampak pahit.

“Dan akhirnya gue berhenti karena tuntutan orangtua. Padahal dalam pikiran gue, musik dan bisnis bisa jalan beriringan, tapi ternyata gak gampang. Jadi dewasa, kita emang harus tau mana prioritas mana yang bukan. Lagian kalau dipikir-pikir ada bagusnya juga gue gak bergelut di dunia musik, gue takutnya kalau gue bergelut di sana, gue bakal berhenti suka sama musik. Lo sendiri, lo senang di jurusan lo sekarang?” Ia menoleh padaku.

“Banget. Pertama-tama, gue gak punya bakat khusus kayak jago musik atau jago gambar. Kedua, gue juga gak pintar-pintar amat, apalagi matematika. Satu-satunya yang bisa gue banggakan tentang diri gue adalah gue gampang beradaptasi, gue senang dengerin dan ngobrol sama siapa aja. Gue juga gak malu kalau harus bicara di depan banyak orang─atau mungkin gue emang gak punya malu, gak tau deh.”

Kalimatku membuat Kak Dimitri tergelak hebat sampai harus bersandar di tembok di belakang kami setelahnya, ia menepuk puncak kepalaku beberapa kali sebelum aku melanjutkan lagi.

“Sebenarnya, gue dulu pengen jadi psikolog, tapi waktu tes gue gak lolos. Sedih.”

“Lo ada bakat jadi psikolog, loh. Walaupun lo lebih cocok jadi pasiennya.”

“Heh, mulutnya belum pernah di kepang ya?” Kak Dimitri terbahak lagi, jauh lebih lepas dari sebelumnya. “Bunda juga selalu nuntut gue buat sekolah yang benar, belajar yang rajin. Dulu gue ngerasa itu beban dan berat banget karena dituntut ini-itu. Tapi setelah gue gagal tes masuk psikologi, gue akhirnya sadar kalau tuntutan Bunda sebenarnya baik, Bunda mau gue berhasil. Semua orangtua pasti mau anaknya berhasil, Kak. Apapun yang orangtua lo bebankan di bahu lo, itu mungkin salah satu cara mereka menyayangi lo, karena mereka tau lo mampu dan lo bakal berhasil.”

Hening. Kami berdua tak lagi berkata-kata, sibuk tersenyum pada satu sama lain seolah larut dalam pikiran masing-masing, hanya menyisakan petikan gitar dan suara nyanyian dari seorang perempuan yang meng-cover ‘Fly Me to the Moon’ dalam versi akustik.

Lengan Kak Dimitri melingkar di sekitar bahuku, perlahan membawaku bersandar di dadanya. Aroma sabun langsung memasuki indera penciumanku begitu merebahkan kepala di sana, mendengarkan irama detak jantungnya yang tenang─berbanding terbalik denganku yang berkejaran.

“Kamu tau gak, Nye? Setiap kali aku mikirin kamu, aku selalu bilang makasih,” ujarnya, nyaris seperti berbisik. “Makasih karena kamu berani nunjukin rasa suka kamu lebih dulu, walaupun saat itu kamu kan gak tau perasaan kamu bakal terbalas atau nggak.”

“Kenapa mendadak jadi aku-kamu begitu?” tanyaku sembari memicingkan mata, sengaja menggodanya.

Kak Dimitri mendengus, tapi tak ayal tertawa juga. “Mode manja,” kekehnya.

“Aku rasa aku bukan satu-satunya orang yang nunjukin rasa suka aku ke kamu, deh, Kak. Kamu tuh dikagumi banyak orang, tau!”

“Mereka yang kagum sama aku belum tentu mau jadi bagian dari kehidupan aku, Nye. Untuk beberapa orang, mereka nganggap aku too much, dan buat sebagian yang lain aku malah gak cukup.” Nada suaranya terdengar sendu, pahit namun jujur.

Detik ini, aku menemukan dirinya yang tak lagi berpura-pura, seolah ia memang sengaja ingin menunjukkannya padaku.

“Tapi kamu, kamu bikin aku ngerasa pas, gak ada tuntutan apa-apa. Kamu bikin aku pengen jadi sebaik-baiknya diri sendiri, jadi versi terbaik dari diri aku sendiri.”

Rasa hangat itu segera menjalar ke seluruh tubuhku, kata-katanya membuatku ingin teriak dan membungkam di saat bersamaan. Entah bagaimana, mendengar pengakuannya itu aku jadi merasa diinginkan.

“Parah!” Aku terkekeh tak percaya. “Tapi fakta menariknya adalah, aku juga ngerasa diterima apa adanya setiap sama kamu, Kak. Gak tau kenapa, sayang sama kamu tuh bikin aku sayang sama diri aku juga. Otomatis gitu.”

Ia membalas ucapanku dengan kekehan pelan yang membuat dadanya bergetar, kemudian dengan satu kali hela napas panjang, tangannya bermain-main di kepalaku, menyisir setiap helai rambutku. “Bagus deh kalau kamu sayang sama diri kamu sendiri, berarti kita menyayangi orang yang sama,” katanya.

Aku berjengit untuk mencubit pinggangnya, tapi Kak Dimitri lebih dulu menarikku semakin menelusup, membawaku ke dalam pelukannya yang menenangkan. Dapat kurasakan dagunya di puncak kepalaku, sementara aku sendiri nyaman berada di lekukan lehernya, menghirup aroma shampo yang memabukkan. Dari sini, dari posisiku berbaring, pintu balkon yang sedikit terbuka menampakkan pemandangan langit malam dan lampu dari gedung-gedung tinggi di seberang sana.

Aku pernah melihat malam yang sangat cerah, aku pernah menatap langit sembari menyaksikan bintang jatuh, aku pernah melewati begitu banyak malam-malam yang tak mungkin kulupakan saking indahnya. Tapi hari ini, malam ini, semuanya berbeda.

Malam ini jauh lebih indah dari malam-malam lain yang bahkan tak pernah kubayangkan.

Ternyata mereka benar, segala hal jadi lebih baik jika kau melewatinya bersama orang yang kau sayang.

Selama bermenit-menit itu, kami berdua berubah hening, saling merasakan hangat dari satu sama lain. Tak ada lagi yang kuinginkan saat ini selain membuatnya nyaman dengan kehadiranku, dan kami bertahan di posisi itu sampai tanpa sadar waktu telah merangkak menuju jam sembilan.

Ketika aku bergerak mundur pelan-pelan, ternyata Kak Dimitri terlelap pulas dengan dengkuran halus yang keluar dari mulutnya. Aku mengambil posisi duduk di sebelahnya dan mengernyit, tidak habis pikir kenapa orang ini selalu tidur ketika bersamaku.

Tapi mendapati wajahnya yang begitu tenang, bibirnya yang sedikit terbuka, juga bulu mata panjangnya yang kontras di kulit putihnya itu, akhirnya aku menunduk─mengamati lekuk wajahnya sepuas yang aku inginkan.

Kalau sedang tidur begini, Kak Dimitri terlihat seperti anak kecil yang butuh perlindungan. Jauh bertolak belakang dengan sosoknya yang biasa, yang kokoh dan berwibawa.

“Makasih, udah ngizinin aku masuk ke dunia kamu, Kak,” bisikku, mengusap-usap rambutnya yang jatuh di dahi.

Aku baru saja akan mengambil selimut untuknya, tapi tak ada yang lebih membuatku sesak napas selain ketika mengecek ponsel, pesan Keana jadi notifikasi teratas di layar.

Keana | Keenan masuk rumah sakit lagi | Lo cepet ke sini!

[KEENAN]

Setelah memarkirkan mobil di area parkir sebuah kafe yang udah tutup, gue langsung lari menaiki tangga jembatan penyeberangan. Jam udah merambat tengah malam ketika gue sampai di sana, tapi suasana jalanan rupanya masih sama aja─ramai.

Gue berhenti di salah satu anak tangga, berpegangan erat di pagar pembatasnya sembari mengatur napas yang terengah. Seorang bapak-bapak dengan karung di punggungnya memperhatikan gue sesaat, kemudian berlalu begitu gue mulai melangkah lagi.

Hana berdiri di tengah jembatan, tangannya menjuntai keluar pagar. Dia menoleh seraya tersenyum hangat begitu gue sampai di sebelahnya.

“Cape?”

Gue mendelik, masih mengatur napas. “Lo kira?”

Dia ketawa. “Hitung-hitung olahraga, Ken. Dokter lo kan bilang lo harus banyak gerak biar sistem motorik lo gak kaku.”

“Ya gak gini juga, Na,” balas gue lalu ikut menjuntaikan tangan di pagar pembatas, natap jalanan di bawah sana. “Jadi, ada cerita apa?”

Hana gak langsung menjawab, bikin gue melirik lewat sudut mata─memastikan kalau dia baik-baik aja.

“Seperti biasa, Cici nanya apa gue bersenang-senang selama dia gak ada, apa gue nyaman hidup sebagai tukang rebut. Cici juga bilang kalau gue harus berhenti bersikap seolah-olah gue adalah adeknya…. Lucu ya? Setelah bertahun-tahun, gue masih sakit hati tiap dia bilang begitu.”

“Lo sakit hati karena lo masih punya hati, dan omongan jahat itu semakin nyakitin lo karena keluar dari mulut orang yang lo sayang. Wajar, Na.”

Hana tersenyum pahit, matanya berkaca-kaca lagi. “Sial, kenapa juga gue harus sayang sama dia. Padahal dia aja gak pernah nganggap gue adeknya, kan?”

“Itu yang gue suka dari lo,” sahut gue, bikin kita jadi bertatapan karena Hana sempat terkejut, tapi gue enggan berpaling. Kali ini aja, kali ini, gue ingin jujur setidaknya pada diri gue sendiri. “Lo itu baik, tulus, polos, dan sedikit bego.”

“Dugong Alaska!” dengusnya.

Gue ketawa, pelan. “Kadang-kadang lo itu naif, lo selalu mandang semua hal terlalu positif. Itu makanya gue selalu di belakang lo, jaga-jaga takutnya lo jatuh.”

“Emang kalau gue jatuh lo mau apa? Gendong gue?”

“Gue makin jegrokin, biar lo tau rasa!”

Bogeman Hana kemudian mendarat hebat di bahu gue. “Ayo ngomong sekali lagi, gue dorong lo biar terjun bebas,” jawabnya, bikin tawa kita sama-sama melambung.

“Ada bintang!” Gue berseru seraya ngangkat telunjuk ke atas, tapi alih-alih mengikuti tangan gue, Hana menaikkan sebelah alisnya sembari natap balik ke gue─yang lagi natap dia juga. Gue jadi gugup.

“Gue kan bintang yang lo maksud? Ah elah, basi.”

Gombalan gue gagal, tapi gak apa-apa, yang penting bikin Hana ketawa. “Eh, tapi beneran ada bintang loh,” ucapnya lagi. Gue menaikkan pandangan, dan baru sadar ternyata langit sedang indah-indahnya. “Itu Sirius!” Jari telunjuk Hana terangkat ke udara.

“Gak ngerti.”

“Ih lo mah apa sih yang dimengerti? Jadi rumput aja sana lo!” Hana menggerutu, entah kenapa itu kelihatan lucu di mata gue. Senyum gue mengulas lagi, menyadari binar-binar di mata Hana begitu hidup karena pantulan bintang-bintang yang lagi dia pandang. “Lo tau konstelasi Orion? Si Pemburu?”

Gue menggeleng, tapi masih berusaha fokus ke langit dan jari telunjuknya yang entah nunjuk apa karena gue benar-benar gak paham tentang rasi bintang. Gue harus nyalahin Ardika gak sih karena dia udah nularin virus astrophilia ke Hana? Mereka berdua jadi maniak benda-benda langit tapi gak ngajak-ngajak gue.

“Anggap aja konstelasi Orion itu gue. Dan di sebelah konstelasi Orion ada rasi bintang Canis Major.” Gue sibuk membagi perhatian antara dia dan langit. “Canis Major itu rasi bintang Sirius yang tadi gue bilang, bintang yang paling terang kalau malam,” jelasnya, kemudian tangannya bergerak-gerak pelan, seolah menghubungkan titik bintang sedemikian rupa. “Lo tau? Canis major itu bentuknya anjing. Itu diibaratkan seperti anjing yang selalu mengikuti si Pemburu.”

Hana noleh ke gue, kemudian tersenyum. “Karena gue Orion, berarti lo Canis Majornya.”

Lama, kita bertatapan dalam hening, menjadikan deru kendaraan dan langkah kaki orang yang berjalan di belakang jadi satu-satunya apa yang bisa didengar. Tapi rasanya cukup, Hana di sini dan segalanya terasa cukup buat gue. Seperti Orion dan Canis Major, keduanya cukup dengan hanya bersisian di langit yang sebegitu luasnya, tanpa pernah menuntut agar keduanya jadi satu rasi dengan kisah yang sama.

Begitukah? Apa itu berarti gue dan dia selamanya hanya akan bersisian─selayaknya Orion dan Canis Major─karena langit dan semesta yang terlalu luas sampai rasanya gak mungkin kalau kita saling bersinggungan?

Gue mengerjap, buru-buru memalingkan wajah sebelum Hana melihat sendu di mata gue. “Jadi maksud lo gue anjing?” tanya gue, bikin dia langsung cekikikan.

“BEHAHAHAHA. Bukan lo mah codot!” Dia memukul bahu gue, lalu membiarkan tangannya melingkar di sana. “Tapi maksud gue tuh, Ken, kita berdua kayak Orion sama Canis Major, selalu ada buat satu sama lain. Bukan bentuk anjingnya ih lo mah, gimana sih!”

Gue mengangguk sembari mengacak-ngacak rambutnya. “Gue tau, tadi cuma bercanda. Senang bisa bikin lo ketawa, jangan sedih lagi.” Hana gak menjawab apa-apa, sibuk natap gue. “Lo tau, Na? Bahagia lo bisa jadi bahagia orang lain, sedih lo bisa jadi sedih orang lain juga,” lanjut gue.

“Gue baru tau.”

“Itu gue kasih tau.”

“Gue senang orang sebaik lo nyangkut di kehidupan gue, Ken. Gue jadi yakin di kehidupan sebelumnya gue benar-benar udah menyelamatkan negara.” Entah kenapa, suaranya jadi bergetar lagi, matanya juga berkaca-kaca lagi. Seolah menyadari kekhawatiran gue, Hana buru-buru mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah supaya air matanya gak jatuh. “Gue janji gak akan sedih, tapi lo juga janji jangan ke mana-mana, ya?”

Oh, jadi itu….

Dada gue mencelus, seolah ada sesuatu yang rubuh di dalam sana. Gue menghela napas sembari menatap ke segala arah─gue gak sanggup natap mata Hana yang penuh permohonan kayak gitu.

“Gue gak bisa janji itu, lo kan tau sendiri─”

“Ya janji aja dulu, kenapa sih? Dunia medis sekarang udah canggih, bola ping-pong sialan yang bercokol di kepala lo itu pasti bisa dibasmi. Percaya sama Hana!”

“Musyrik percaya sama lo!”

Perlahan, Hana meraih tangan gue, mengaitkan jari kelingking gue di jari kelingkingnya sendiri. Kerutan di dahinya lenyap, digantikan senyum dan ekspresi lembut yang bikin napas gue semakin memberat.

“Ini janji Canis Major buat Orion. Jangan ingkar, ya?” pintanya.

Sekilas, benak gue berlari mengingat hari-hari yang sepi di rumah sakit. Suntikan, obat-obatan, hasil CT-Scan, ruang kemoterapi, dan segala hal buruk lainnya yang ingin gue lupakan justru mencuat keluar tanpa aba-aba. Tapi malam ini, untuk Hana, gue akhirnya mengangguk, seolah gue bisa─dan akan─melewati itu semua.

Pada Hana, gue menyanggupi janji Canis Major untuk Orion.

Janji untuk tetap berada di langit yang sama.

[HANA]

Pesan Bunda kupandangi sampai huruf-hurufnya memburam, tidak kuasa lagi membalas apapun. Kini keinginan untuk pulang terasa memudar, alih-alih ingin sampai di rumah aku malah merasa aku harus kabur sejauh mungkin.

Aku terdiam memandangi kendaraan yang melintas hilir mudik, dan semakin waktu beranjak, semakin tubuhku bergetar mengingat rumah.

Ponselku masih berada dalam genggaman, pikiranku masih melayang-layang entah ke mana ketika sebuah mobil menepi tepat di depanku. Lampunya membuat suasana yang temaram jadi lebih terang.

Seseorang keluar dari pintu, kemudian memutari mobil untuk menghampiriku dengan rahang mengeras. Aku menunduk, enggan menatap matanya yang seolah kesal dan lega bersamaan.

Kenapa harus dia? Kenapa harus Keenan yang datang menemuiku? Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja, itu membuatku merasa bersalah.

“Kenapa gak ngasih tau gue?!” bentaknya dengan napas memburu. “Kenapa Dika yang ngasih tau gue kalau lo masih di kampus? Kenapa lo gak bilang sendiri?”

Aku semakin menekuk wajah. Gue gak mau ngerepotin lo, Ken….

“Apa gue udah gak penting buat lo?” Pertanyaannya membuatku menengadah, aku buru-buru menggeleng, tapi lidahku terlalu kelu untuk menjawab. “Ah…,” ia tersenyum sinis, “sori kalau gue khawatir gak jelas lagi. Lo risih, kan?”

Gak gitu.

“Ayo pulang, udah malam.” Keenan berbalik, membuatku secara impulsif langsung menarik lengan bajunya agar ia tidak meninggalkanku.

“Ken….”

“Apalagi?”

Aku diam, bingung harus bagaimana mengatakannya. “Itu… gue…,”

Dan seolah paham maksudku, Keenan menghela napas panjang seraya mengangguk. Ia lalu berjalan ke arah mobilnya, mengambil jaket dari kursi penumpang.

“Nih pake,” katanya singkat. Tiba-tiba tenggorokanku tercekat, rasanya sakit. Air mataku kembali berkumpul menggenang di pelupuk melihat jaket yang disodorkannya. Sekali saja bicara, tangisku pasti pecah.

Melihatku tak merespon, Keenan mendecak kemudian menarik tanganku agar aku bangkit, setelah itu ia menunduk untuk melingkarkan jaketnya di pinggangku. “Gue kan udah bilang gue selalu di belakang lo. Jadi kalau ada apa-apa gue bakal senang kalau jadi orang pertama yang lo hubungi. Ngerti?”

Keenan menatapku dalam, tak ada lagi kemarahan yang membayang di matanya. Aku mengangguk, membuat air mata yang sudah kutahan mati-matian sejak tadi terjatuh begitu saja membasahi pipi.

“Gue lebih suka lihat pipi lo yang merah kayak apel daripada yang basah kena air mata begini,” ucapnya lagi sambil mengusap pipiku pelan, senyumnya tulus. “Yuk, pulang!”

Di dalam mobilnya, Keenan tak langsung jalan, pegangannya di kemudi terlihat mencengkram, entahlah apa yang sedang dipikirkannya, ia membiarkan suara mesin mobil jadi satu-satunya suara yang dapat kami dengar. Kami diam seperti itu selama beberapa jenak, sampai aku baru sadar wajahnya yang pucat pasi di terpa lampu kendaraan lain dari arah berlawanan.

“Kenapa?” tanyaku akhirnya. Keenan menjilat bibir, seperti tengah menimbang-nimbang sesuatu.

“Sebenarnya─”

Omongan Keenan terpotong karena dering dari ponselku. Lagi-lagi pesan dari Bunda yang menyuruhku segera pulang untuk menyambut kedatangan kakak tiriku. Dengan kesal, kumatikan teleponku dan menjejalkannya ke dalam tas.

“Dari siapa?”

Aku melenguh. “Bunda.”

“Kok gak dibalas?”

“Cici udah pulang.” Mengatakannya pada Keenan malah membuatku ingin menangis lagi. Bayang-bayang kebencian di wajah perempuan yang dua tahun lebih tua dariku itu melintas─kebencian yang tak pernah memudar.

Keenan menarik bahuku, memaksaku untuk menatapnya. “Cici? Ci Gladys pulang?”

Aku mengangguk, bibirku bergetar. “Gue juga gak tau kenapa dia bisa pulang sekarang. Padahal katanya baru minggu depan.” Keenan diam, dia jelas paham masalah apa yang akan segera kuhadapi. Penolakan, pengabaian, permusuhan. “Kenapa sih dia harus pulang? Kenapa gak tinggal aja di Jepang selamanya!”

Tawa Keenan terdengar samar-samar. “Gitu-gitu dia kakak lo, Na.”

“Kakak yang gak pernah nganggap gue ada,” balasku, ikut terkekeh pilu. Aku harap setengah tahun di Jepang, kakak tiriku akhirnya bisa menerima kehadiranku sebagai adiknya. Meski rasanya tidak mungkin.

Ironis, karena aku tahu alasannya memilih pertukaran pelajar ke negeri sakura sana adalah karenaku─aku dan Bunda, yang menjadi keluarga barunya.

“Oh iya, tadi lo mau ngomong apa, Ken?”

Keenan nampak terkesiap mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba, tapi ia menggeleng setelahnya. “Nggak jadi, gue juga udah lupa,” balasnya.

Aku ingin bertanya lagi, ingin mendesaknya karena kurasa ia baru saja berbohong. Namun mendapati cengkraman tangannya di kemudi telah mengendur dan ia bersiap menginjak gas, aku akhirnya urung bertanya.

Apapun itu, Keenan akan memberitahuku jika ia sudah siap.

Pasar malam yang kami tuju sudah ramai bahkan sebelum matahari kembali ke peraduan. Lampu-lampu lampion dalam berbagai warna tergantung dengan tali dari satu tenda ke tenda yang lain.

Kak Dimitri berdiri di sebelah kanan, melindungiku dari pengunjung yang jalan ke arah berlawanan. Jujur, aku tak pernah ke tempat semacam ini sebelumnya dengan lelaki mana pun selain kedua sahabatku.

Aku tidak tahu bagaimana wajahku terlihat di matanya, maka ketika ia menunduk untuk menatapku dan akhirnya tertawa, aku diam saja sembari mati-matian bertingkah senatural mungkin.

“Lo kenapa tegang gitu, Nye?” tanyanya, dan aku tak kuasa menjawab karena terlalu salah tingkah. Namun kemudian, tangannya yang hangat membungkus tanganku, membuatku langsung menaikkan wajah.

“Tenang aja. Kita senang-senang, ya?” Suaranya pelan, nyaris terbungkam oleh keramaian di sekitar kami, tapi sebab ia mengucapkannya di dekat telingaku, aku lantas mengangguk sembari tersipu tanpa ampun.

Kami kemudian melewati beberapa stan makanan, sama-sama bingung harus memulai dari mana. Mataku mengerjap berulang kali setiap kali melewati stan gulali, menahan hasrat ingin memakan permen kapas di depan gebetan. Tidak, tahan Hana, kamu sudah cukup konyol di hadapannya, jangan lebih kekanakan lagi!

Ketika itulah, ketika aku tengah mati-matian mengenyahkan napsu ingin berhenti di stan gulali, Kak Dimitri memiringkan kepalanya padaku. “Mau gulali?” tanyanya, mataku membulat detik itu juga.

Orang ini punya super-hearing atau apa?!

Maka, kami pun menepi di stan itu, yang di setiap sisinya tergantung gulali warna-warni dalam plastik menggembung. KakDimitri menengadahkan wajahnya untuk melihat-lihat, kemudian berpaling lagi padaku. “Mau warna apa?”

“Warna apa aja, semuanya juga manis.”

Detik itu, senyumnya menyungging miring. “Ada yang lebih manis, tau gak siapa?”

“Nggak tau, emang siapa?”

“Gue!” Kak Dimitri langsung terbahak, mengabaikan pelototanku yang tidak terima dengan jawabannya.

Tapi iya, deh, kalau tertawa selucu itu, Kak Dimtri emang lebih manis dari gulali!


Sebungkus perman kapas yang kami bagi bersama, dua porsi kentang goreng dan sosis bakar kemudian, langit sepenuhnya gelap. Lampion-lampion yang menggantung sudah dinyalakan, permainan-permainan mulai dijalankan, juga pengunjung yang semakin membludak membuat Kak Dimitri menggenggam tanganku lebih erat.

Beberapa kali tubuhku limbung karena bertabrakan dengan orang lain, dan Kak Dimitri berusaha menarikku untuk melewati jalan yang tak terlalu ramai.

Aku suka kerutan di dahinya setiap kali harus pasang badan untuk melindungiku, padahal sebenarnya aku baik-baik saja, tapi melihatnya kesal karena orang lain yang jalan terburu-buru dan berakhir menabrakku, aku suka perasaan itu.

Aku suka bagaimana caranya memperlakukan seorang perempuan.

Langkah kami kemudian berhenti tepat di depan bianglala mini, setelah membeli dua tiket, Kak Dimitri membawaku masuk ke dalam antrian.

“Lo gak takut tinggi, kan?” Kedua alisnya menaik, yang kuhadiahi dengan gelengan cepat. “Bagus, gue suka cewek pemberani,” katanya lagi, tersenyum sembari menumpukan tangan di pagar besi di sisi-sisi kami.

“Bianglala doang masa takut?” Aku membalikkan badan agar bisa menghadap padanya yang berdiri di belakangku. “Gue bahkan berani naik hysteria sepuluh kali!”

“Oh ya?”

“Iya, dong! Perlu bukti?” tanyaku seraya berkacak pinggang. Kak Dimitri lekas terkekeh, telapak tangannya yang besar menepuk-nepuk puncak kepalaku.

Katanya, “Oke, next time. Gue gak nerima alasan apa-apa ya kalau ternyata lo semaput di tempat.”

Aku mengerutkan hidung tidak terima. “Gue itu lebih berani dari bayangan lo, Kak.”

“Kayak masang foto ketua BEM di mading, maksudnya?”

“Ih, lupain aja!” Melihatku mulai jengkel, Kak Dimitri malah cengengesan. Aku menunjuk-nunjuk beberapa permainan lain di sekitar kami. “Bianglala, kora-kora, rollercoaster, gue berani naik semuanya. Yang gak bisa naik permainan-permainan kayak gini tuh Keenan, dia naik komidi putar aja gak mau.”

Kek Dimitri mengangguk pelan, menyimak ceritaku dengan alis bertaut. “Lo dekat banget ya sama Keenan?” tanyanya.

Giliranku yang mengangguk. “Banget! Kita udah temenan dari TK, rasanya kayak seluruh kehidupan gue, gue lewatin sama dia. Kadang bosan sih, tapi kalau gak sama Keenan malah kerasa ada yang kurang.”

“Serius? Lama banget dong, ya?”

Aku mengangguk lagi, fragmen-fragmen kebersamaanku dan Keenan mendadak melintas di benak, membuatku tanpa sadar mengembangkan senyuman. “Gue bahkan gak ingat gimana bentuk hidup gue sebelum Keenan datang.”

Yang kutahu, di masa-masa sulitku dulu, setiap kali Ayah pulang dan Bunda menangis, Keenan akan membawaku ke rumahnya, kami akan sama-sama tengkurap di bawah meja makan, menunggu ibunya selesai memasak makanan untuk kami berdua. Kenangan itu kini terasa begitu jauh, mimpi buruk itu telah lama hilang, dan Keenan lah salah satu sosok yang membantuku berdiri di tempatku saat ini.

“Lo tau, Nye?” Kak Dimitri berdeham, membuyarkan lamunanku. “Kata orang, persahabatan antara cewek sama cowok itu gak ada yang murni. Kalau di antara kalian ada yang jatuh cinta gimana?”

Aku tertohok, mengerjap menatap matanya yang membalas tatapanku tepat di manik. Aku tidak pernah menyangka akan ada orang yang menanyakan perihal persahabatanku dengan Keenan, kami sendiri bahkan tidak pernah meragukan persahabatan ini. Aku percaya, aku dan Keenan sama-sama tahu bahwa persahabatan kami ada di atas segalanya.

Tahu aku tak mau menjawab, Kak Dimitri kemudian mengacak-ngacak rambutku lagi, sambil tertawa pelan, ia menunduk padaku. “Siapapun itu, gue harap bukan lo.” Tatapannya teduh, membuatku mematung tak bisa berkutik sama sekali. Lalu ia melanjutkan, “Jatuh cintanya sama gue aja, ya?”

Aku tersenyum membalas ucapannya sebelum penjaga bianglala menyuruh kami untuk bergerak. Di dalam gondola, kami duduk bersebelahan, terlalu dekat sampai aku bisa merasakan setiap helaan napasnya yang hangat. Begitu gondola bergerak naik, aku berusaha mengalihkan perhatianku ke pemandangan kota di bawah sana.

“Tinggi, ya?” celetuknya, dan ketika aku menoleh untuk menjawab, yang kutemui adalah wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.

Aku gelagapan. “I-iya, t-tinggi banget....”

Tapi, Kak Sean malah tertawa kencang. “Lo kenapa? Tadi katanya gak takut tinggi.”

Bukan tingginya, tapi lo nya yang bikin gue takut, Kak!

Aku masih mati-matian mengatur detak jantung yang carut-marut ketika gondola berhenti di puncak tertinggi, dan baru kusadari kami benar-benar berubah hening─tapi bukan hening yang canggung. Beberapa menit kami lewati pemandangan seindah itu hanya dengan sunyi, sampai kemudian Kak Dimitri menghela napas panjang.

Ia meluruskan kakinya, lalu perlahan kepalanya tersandar di bahuku. Aku terkejut, namun ketika menoleh untuk protes, yang kulihat adalah kedua matanya yang terpejam─juga senyumnya yang masih melengkung tipis.

“Sebentar, biarin kayak gini aja. Gue ngantuk.”

“Hm,” jawabku, sibuk meremas jari jemari untuk mengendalikan detak jantungku.

“Ntar kalau disuruh turun, bilang aja kita mau beli bianglalanya.”

Aku tidak tahan untuk tidak tertawa.

Malam itu, ditemani semilir angin dan lampu dari jalanan kota di bawah sana, seorang Dimitri Maheru tertidur di bahuku. Dan aku, yang mengusap-usap pelan rambutnya.

Rasanya kalau aku mampu, aku rela menukar apapun yang aku miliki untuk menghentikan waktu. Karena detik ini, aku benar-benar bahagia.

Pasar malam yang kami tuju sudah ramai bahkan sebelum matahari kembali ke peraduan. Lampu-lampu lampion dalam berbagai warna tergantung dengan tali dari satu tenda ke tenda yang lain.

Kak Dimitri berdiri di sebelah kanan, melindungiku dari pengunjung yang jalan ke arah berlawanan. Jujur, aku tak pernah ke tempat semacam ini sebelumnya dengan lelaki mana pun selain kedua sahabatku.

Aku tidak tahu bagaimana wajahku terlihat di matanya, maka ketika ia menunduk untuk menatapku dan akhirnya tertawa, aku diam saja sembari mati-matian bertingkah senatural mungkin.

“Lo kenapa tegang gitu, Nye?” tanyanya, dan aku tak kuasa menjawab karena terlalu salah tingkah. Namun kemudian, tangannya yang hangat membungkus tanganku, membuatku langsung menaikkan wajah.

“Tenang aja. Kita senang-senang, ya?” Suaranya pelan, nyaris terbungkam oleh keramaian di sekitar kami, tapi sebab ia mengucapkannya di dekat telingaku, aku lantas mengangguk sembari tersipu tanpa ampun.

Kami kemudian melewati beberapa stan makanan, sama-sama bingung harus memulai dari mana. Mataku mengerjap berulang kali setiap kali melewati stan gulali, menahan hasrat ingin memakan permen kapas di depan gebetan. Tidak, tahan Hana, kamu sudah cukup konyol di hadapannya, jangan lebih kekanakan lagi!

Ketika itulah, ketika aku tengah mati-matian mengenyahkan napsu ingin berhenti di stan gulali, Kak Dimitri memiringkan kepalanya padaku. “Mau gulali?” tanyanya, mataku membulat detik itu juga.

Orang ini punya super-hearing atau apa?!

Maka, kami pun menepi di stan itu, yang di setiap sisinya tergantung gulali warna-warni dalam plastik menggembung. KakDimitri menengadahkan wajahnya untuk melihat-lihat, kemudian berpaling lagi padaku. “Mau warna apa?”

“Warna apa aja, semuanya juga manis.”

Detik itu, senyumnya menyungging miring. “Ada yang lebih manis, tau gak siapa?”

“Nggak tau, emang siapa?”

“Gue!” Kak Dimitri langsung terbahak, mengabaikan pelototanku yang tidak terima dengan jawabannya.

Tapi iya, deh, kalau tertawa selucu itu, Kak Dimtri emang lebih manis dari gulali!


Sebungkus perman kapas yang kami bagi bersama, dua porsi kentang goreng dan sosis bakar kemudian, langit sepenuhnya gelap. Lampion-lampion yang menggantung sudah dinyalakan, permainan-permainan mulai dijalankan, juga pengunjung yang semakin membludak membuat Kak Dimitri menggenggam tanganku lebih erat.

Beberapa kali tubuhku limbung karena bertabrakan dengan orang lain, dan Kak Dimitri berusaha menarikku untuk melewati jalan yang tak terlalu ramai.

Aku suka kerutan di dahinya setiap kali harus pasang badan untuk melindungiku, padahal sebenarnya aku baik-baik saja, tapi melihatnya kesal karena orang lain yang jalan terburu-buru dan berakhir menabrakku, aku suka perasaan itu.

Aku suka bagaimana caranya memperlakukan seorang perempuan.

Langkah kami kemudian berhenti tepat di depan bianglala mini, setelah membeli dua tiket, Kak Dimitri membawaku masuk ke dalam antrian.

“Lo gak takut tinggi, kan?” Kedua alisnya menaik, yang kuhadiahi dengan gelengan cepat. “Bagus, gue suka cewek pemberani,” katanya lagi, tersenyum sembari menumpukan tangan di pagar besi di sisi-sisi kami.

“Bianglala doang masa takut?” Aku membalikkan badan agar bisa menghadap padanya yang berdiri di belakangku. “Gue bahkan berani naik hysteria sepuluh kali!”

“Oh ya?”

“Iya, dong! Perlu bukti?” tanyaku seraya berkacak pinggang. Kak Dimitri lekas terkekeh, telapak tangannya yang besar menepuk-nepuk puncak kepalaku.

Katanya, “Oke, next time. Gue gak nerima alasan apa-apa ya kalau ternyata lo semaput di tempat.”

Aku mengerutkan hidung tidak terima. “Gue itu lebih berani dari bayangan lo, Kak.”

“Kayak masang foto ketua BEM di mading, maksudnya?”

“Ih, lupain aja!” Melihatku mulai jengkel, Kak Dimitri malah cengengesan. Aku menunjuk-nunjuk beberapa permainan lain di sekitar kami. “Bianglala, kora-kora, rollercoaster, gue berani naik semuanya. Yang gak bisa naik permainan-permainan kayak gini tuh Keenan, dia naik komidi putar aja gak mau.”

Kek Dimitri mengangguk pelan, menyimak ceritaku dengan alis bertaut. “Lo dekat banget ya sama Keenan?” tanyanya.

Giliranku yang mengangguk. “Banget! Kita udah temenan dari TK, rasanya kayak seluruh kehidupan gue, gue lewatin sama dia. Kadang bosan sih, tapi kalau gak sama Keenan malah kerasa ada yang kurang.”

“Serius? Lama banget dong, ya?”

Aku mengangguk lagi, fragmen-fragmen kebersamaanku dan Keenan mendadak melintas di benak, membuatku tanpa sadar mengembangkan senyuman. “Gue bahkan gak ingat gimana bentuk hidup gue sebelum Keenan datang.”

Yang kutahu, di masa-masa sulitku dulu, setiap kali Ayah pulang dan Bunda menangis, Keenan akan membawaku ke rumahnya, kami akan sama-sama tengkurap di bawah meja makan, menunggu ibunya selesai memasak makanan untuk kami berdua. Kenangan itu kini terasa begitu jauh, mimpi buruk itu telah lama hilang, dan Keenan lah salah satu sosok yang membantuku berdiri di tempatku saat ini.

“Lo tau, Nye?” Kak Dimitri berdeham, membuyarkan lamunanku. “Kata orang, persahabatan antara cewek sama cowok itu gak ada yang murni. Kalau di antara kalian ada yang jatuh cinta gimana?”

Aku tertohok, mengerjap menatap matanya yang membalas tatapanku tepat di manik. Aku tidak pernah menyangka akan ada orang yang menanyakan perihal persahabatanku dengan Keenan, kami sendiri bahkan tidak pernah meragukan persahabatan ini. Aku percaya, aku dan Keenan sama-sama tahu bahwa persahabatan kami ada di atas segalanya.

Tahu aku tak mau menjawab, Kak Dimitri kemudian mengacak-ngacak rambutku lagi, sambil tertawa pelan, ia menunduk padaku. “Siapapun itu, gue harap bukan lo.” Tatapannya teduh, membuatku mematung tak bisa berkutik sama sekali. Lalu ia melanjutkan, “Jatuh cintanya sama gue aja, ya?”

Aku tersenyum membalas ucapannya sebelum penjaga bianglala menyuruh kami untuk bergerak. Di dalam gondola, kami duduk bersebelahan, terlalu dekat sampai aku bisa merasakan setiap helaan napasnya yang hangat. Begitu gondola bergerak naik, aku berusaha mengalihkan perhatianku ke pemandangan kota di bawah sana.

“Tinggi, ya?” celetuknya, dan ketika aku menoleh untuk menjawab, yang kutemui adalah wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.

Aku gelagapan. “I-iya, t-tinggi banget....”

Tapi, Kak Sean malah tertawa kencang. “Lo kenapa? Tadi katanya gak takut tinggi.”

Bukan tingginya, tapi lo nya yang bikin gue takut, Kak!

Aku masih mati-matian mengatur detak jantung yang carut-marut ketika gondola berhenti di puncak tertinggi, dan baru kusadari kami benar-benar berubah hening─tapi bukan hening yang canggung. Beberapa menit kami lewati pemandangan seindah itu hanya dengan sunyi, sampai kemudian Kak Dimitri menghela napas panjang.

Ia meluruskan kakinya, lalu perlahan kepalanya tersandar di bahuku. Aku terkejut, namun ketika menoleh untuk protes, yang kulihat adalah kedua matanya yang terpejam─juga senyumnya yang masih melengkung tipis.

“Sebentar, biarin kayak gini aja. Gue ngantuk.”

“Hm,” jawabku, sibuk meremas jari jemari untuk mengendalikan detak jantungku.

“Ntar kalau disuruh turun, bilang aja kita mau beli bianglalanya.”

Aku tidak tahan untuk tidak tertawa.

Malam itu, ditemani semilir angin dan lampu dari jalanan kota di bawah sana, seorang Dimitri Maheru tertidur di bahuku. Dan aku, yang mengusap-usap pelan rambutnya.

Rasanya kalau aku mampu, aku rela menukar apapun yang aku miliki untuk menghentikan waktu. Karena detik ini, aku benar-benar bahagia.

[HANA]

Setelah kelas pertama selesai, aku buru-buru melesat menuju kantin fakultasku untuk menemui Keenan yang sudah menunggu di sana. Tadi pagi, aku lupa meninggalkan brownies buatanku (dan Bunda) di mobilnya.

Jadi, Keenan dengan senang hati mengantarkan itu padaku. Sepanjang koridor, aku tak bisa menyembunyikan senyum karena bayang-bayang reaksi Kak Dimitri memenuhi pikiranku. Kira-kira… dia suka gak, ya?

Namun, semua anganku buyar seketika tatkala sampai di kantin dan menemukan Ardika sedang mengobrol dengan Keenan. Bukan, bukan itu yang membuatku mencelus mendadak. Melainkan kotak makan berisi brownies milikku yang terbuka di hadapan keduanya. Jangan bilang???

“KEENAN! ARDIKA! ITU BROWNIES GUE KENAPA DIMAKAN???” Aku menatap nanar kotak makan yang isi browniesnya tinggal beberapa potong itu. Mau nangis.

“Lah kenapa sih, Na? Pelit banget lo. Astagfirullah, sesungguhnya orang pelit rezekinya akan dipersempit.”

Bacot lo, Dik. Gue sedot juga ubun-ubun lo!

Aku meringis. “Bukan gitu, tapi ini gue buat spesial buat Kak Dims tau!”

Mendengar kalimatku, Ardika dan Keenan langsung berhenti mengunyah seketika itu juga. Ardika melotot, meratapi brownies di tangannya sekaligus melirikku takut-takut, mungkin kalau dia bisa, dia mau memuntahkan semua brownies yang sudah masuk ke perutnya.

Sementara Keenan mematung di tempat, lalu menaruh kembali sisa brownies di tangannya ke dalam kotak makan dengan tanpa selera

Ardika mendecak seraya memasukkan potongan terakhir browniesnya ke dalam mulut. “Kenapa lo gak bilang?”

“Lah ini gue bilang?”

“Ya telat, ebel. Harusnya lo tulis yang gede ‘BUAT KAK DIMITRI TERSEYENG’ gitu, terus lo lakban di wadahnya.” Ardika menggerutu. “Alah, lo mah bikin gue merasa bersalah aja,” lanjutnya, kembali mengecurutkan bibir.

“Lo tadi nyuruh bawain ke kantin, mana gue tau kalau ini buat orang lain?” tanya Keenan, suaranya yang datar serta wajahnya yang tertunduk enggan menatapku membuatnya jadi kelihatan menakutkan.

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal demi menghalau canggung di antara kami. Kutarik bangku di depan Ardika, terduduk di depannya sembari memandangi potongan brownies yang tersisa hitungan jari.

Ah, aku mungkin harus mengacaukan dapur dan merepotkan Bunda sekali lagi.

Sambil mendengus, kuambil satu potong brownies kemudian mengunyahnya dengan keki. “Yaudah lah, terserah.” Aku tak mau masalah ini semakin rumit, jadi kumakan saja potongan brownies yang tersisa.

“Terus itu kenapa malah di makan?” Keenan mengernyit, menunjuk brownies di tanganku dengan dagunya.

“Biarin dong, brownies-brownies gue.”

Keenan dan Ardika sama-sama memalingkan wajah dengan suram, melihat mereka begitu mau tak mau aku jadi tertawa juga. Akhirnya, kudorong pelan kotak makan berisi brownies tadi ke hadapan mereka.

“Makan aja makan, mubadzir tau!” kataku. Seperti yang bisa kutebak, Ardika langsung menyambar sepotong brownies lagi, membuat kami sama-sama terkikik geli.

“Terus Kak Dimitri gimana?” Keenan menaikkan sebelah alisnya, seolah tak tertarik.

Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Ntar kapan-kapan gue bikinin lagi aja, gampang. Udah… ayo, makan!”

“Nggak, deh. Bukan buat gue,” ujarnya, kemudian bangun dari duduk sambil menyampirkan tas di bahu. Tapi sebelum berbalik, Keenan menoleh padaku. “Kalau ada waktu, bikinin yang khusus buat gue juga. Gue cabut.”

Setelah itu, Keenan berlalu begitu saja, meninggalkanku yang terheran-heran.

“Idih, kenapa dia sewot coba?”

Ardika lantas terkekeh, menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menatapku dengan jenaka. “Cemburu kali dianya, peka dikit bego.”

“Lo yang bego! Cemburu kepala lo peang!” omelku, yang dibalas Ardika dengan gelak tawanya yang semakin membahana.

Aku tahu aku tak seharusnya menganggap serius omongan Ardika, karena segala hal yang keluar dari mulutnya tidak bisa dipercaya. Ardika senang bercanda, ia pasti bercanda.

Tapi aku jadi kepikiran. Tidak mungkin, kan?

[HANA]

Setelah kelas pertama selesai, aku buru-buru melesat menuju kantin fakultasku untuk menemui Keenan yang sudah menunggu di sana. Tadi pagi, aku lupa meninggalkan brownies buatanku (dan Bunda) di mobilnya.

Jadi, Keenan dengan senang hati mengantarkan itu padaku. Sepanjang koridor, aku tak bisa menyembunyikan senyum karena bayang-bayang reaksi Kak Dimitri memenuhi pikiranku. Kira-kira… dia suka gak, ya?

Namun, semua anganku buyar seketika tatkala sampai di kantin dan menemukan Ardika sedang mengobrol dengan Keenan. Bukan, bukan itu yang membuatku mencelus mendadak. Melainkan kotak makan berisi brownies milikku yang terbuka di hadapan keduanya. Jangan bilang???

“KEENAN! ARDIKA! ITU BROWNIES GUE KENAPA DIMAKAN???” Aku menatap nanar kotak makan yang isi browniesnya tinggal beberapa potong itu. Mau nangis.

“Lah kenapa sih, Na? Pelit banget lo. Astagfirullah, sesungguhnya orang pelit rezekinya akan dipersempit.”

Bacot lo, Dik. Gue sedot juga ubun-ubun lo!

Aku meringis. “Bukan gitu, tapi ini gue buat spesial buat Kak Dims tau!”

Mendengar kalimatku, Ardika dan Keenan langsung berhenti mengunyah seketika itu juga. Ardika melotot, meratapi brownies di tangannya sekaligus melirikku takut-takut, mungkin kalau dia bisa, dia mau memuntahkan semua brownies yang sudah masuk ke perutnya.

Sementara Keenan mematung di tempat, lalu menaruh kembali sisa brownies di tangannya ke dalam kotak makan dengan tanpa selera

Ardika mendecak seraya memasukkan potongan terakhir browniesnya ke dalam mulut. “Kenapa lo gak bilang?”

“Lah ini gue bilang?”

“Ya telat, ebel. Harusnya lo tulis yang gede ‘BUAT KAK DIMITRI TERSEYENG’ gitu, terus lo lakban di wadahnya.” Ardika menggerutu. “Alah, lo mah bikin gue merasa bersalah aja,” lanjutnya, kembali mengecurutkan bibir.

“Lo tadi nyuruh bawain ke kantin, mana gue tau kalau ini buat orang lain?” tanya Keenan, suaranya yang datar serta wajahnya yang tertunduk enggan menatapku membuatnya jadi kelihatan menakutkan.

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal demi menghalau canggung di antara kami. Kutarik bangku di depan Ardika, terduduk di depannya sembari memandangi potongan brownies yang tersisa hitungan jari.

Ah, aku mungkin harus mengacaukan dapur dan merepotkan Bunda sekali lagi.

Sambil mendengus, kuambil satu potong brownies kemudian mengunyahnya dengan keki. “Yaudah lah, terserah.” Aku tak mau masalah ini semakin rumit, jadi kumakan saja potongan brownies yang tersisa.

“Terus itu kenapa malah di makan?” Keenan mengernyit, menunjuk brownies di tanganku dengan dagunya.

“Biarin dong, brownies-brownies gue.”

Keenan dan Ardika sama-sama memalingkan wajah dengan suram, melihat mereka begitu mau tak mau aku jadi tertawa juga. Akhirnya, kudorong pelan kotak makan berisi brownies tadi ke hadapan mereka.

“Makan aja makan, mubadzir tau!” kataku. Seperti yang bisa kutebak, Ardika langsung menyambar sepotong brownies lagi, membuat kami sama-sama terkikik geli.

“Terus Kak Dimitri gimana?” Keenan menaikkan sebelah alisnya, seolah tak tertarik.

Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Ntar kapan-kapan gue bikinin lagi aja, gampang. Udah… ayo, makan!”

“Nggak, deh. Bukan buat gue,” ujarnya, kemudian bangun dari duduk sambil menyampirkan tas di bahu. Tapi sebelum berbalik, Keenan menoleh padaku. “Kalau ada waktu, bikinin yang khusus buat gue juga. Gue cabut.”

Setelah itu, Keenan berlalu begitu saja, meninggalkanku yang terheran-heran.

“Idih, kenapa dia sewot coba?”

Ardika lantas terkekeh, menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menatapku dengan jenaka. “Cemburu kali dianya, peka dikit bego.”

“Lo yang bego! Cemburu kepala lo peang!” omelku, yang dibalas Ardika dengan gelak tawanya yang semakin membahana.

Aku tahu aku tak seharusnya menganggap serius omongan Ardika, karena segala hal yang keluar dari mulutnya tidak bisa dipercaya. Ardika senang bercanda, ia pasti bercanda.

Tapi aku jadi kepikiran. Tidak mungkin, kan?

[DIMITRI]

Seperti sebelum-sebelumnya, kelas bubar dan gue pulang ditemani suasana yang biasa; langit sore, jalanan Jakarta yang luar biasa padat, mahasiswa yang menyerbu gerbang keluar kampus dengan segala hiruk-pikuknya.

Kalau nggak ada jadwal kumpulan atau tugas yang harus dibahas, gue hampir selalu pulang begitu kelas selesai, tapi tentu aja pulang yang gue maksud bukan menuju apartemen gue, melainkan tempat-tempat lain di mana gue bisa melepaskan titel dan segala tetek-bengek tanggungjawab yang senantiasa gue pikul ketika gue ada di sekitar kampus.

Tapi sore ini berbeda. Gue belum tahu bakal ke mana setelah gue mengantarkan perempuan ini─yang sekarang tengah duduk di sebelah gue dengan susu pisang di pangkuannya. Dia gak banyak bicara─atau mungkin belum─karena setelah beberapa kali sempat chatting-an, gue rasa dia agak bawel.

Ya ya ya, gue tahu Hana nervous. Perempuan-perempuan sebelumnya yang duduk di kursi yang sama juga selalu nervous setiap kali gue setirin.

“Uhm, Kak?” Itu suara pertamanya yang gue dengar sejak di dalam mobil. Gue noleh sekilas, sebelum menginjak rem perlahan karena lampu di depan sana berubah merah. “Makasih ya, udah diantar pulang.”

Gue pengen ketawa. “Kenapa makasih sekarang? Kan belum nyampe, loh.”

Hana gak menjawab lagi, cuma garuk-garuk kepala yang menurut tebakan gue sih kayaknya gak gatal. Tadinya, gue berrniat jemput dia ke kampus bareng bukannya pulang bareng, karena suasana jalanan pulang seringkali memancing makian gue keluar dengan lebih mudah, dan itu jelas bukan sesuatu yang ingin gue tunjukkan ke Hana. Tapi Hana bilang dia punya partner berangkat sendiri, sahabatnya atau apalah itu, gue gak terlalu peduli juga.

Lampu berubah hijau, gue melajukan mobil lagi dengan tenang. Keheningan ini jauh di luar ekspektasi gue, mengingat kelakukan Hana yang majang foto gue di mading dan cuitan-cuitan randomnya, juga beberapa kali chat terakhir, gue kira Hana anak yang sedikit annoying.

Melihatnya diam begini gue jadi gak tahu apakah ini lebih annoying lagi atau sebaliknya. Jujur, gue juga agak sulit basa-basi, sejauh ini kalau ada pendekatan dengan inceran baru, gue cuma menanggpi seadanya dan yang bertindak lebih udah pasti lawan gue, bukan gue. Gue mah bagian iya-iya aja.

“Susu pisangnya enak?” Astaga, kenapa juga gue malah nanya pertanyaan sekonyol itu. Kan, nggak lucu kalau Hana merasa gue sama anehnya kayak dia. Gue lirik dia lewat sudut mata, tapi Hana cuma senyum samar sembari mengangguk.

“Enak, Kak. Mau coba?”

“Nggak, makasih. Udah tau rasanya kayak apa soalnya.”

“Kayak apa emangnya?”

“Ya kayak pisang.”

Aduh, ini yang bego siapa dah? Tapi gue malah ketawa, heran.

“Omong-omong, makasih, Kak. Buat susu pisangnya bukan buat dianterin pulang.”

Gue ngangguk, masih geli sama topik obrolan sebelumnya. “Sama-sama, Onye,” balas gue, entah dari mana juga datangnya panggilan itu. Mendengar kalimat gue, Hana buru-buru noleh, tanpa dilihat langsung juga gue tahu dahinya sekarang mengerut gak terima.

“Kok manggil Onye, sih?” tanyanya, gue ketawa lagi.

“Mirip abisnya,” jawab gue sembari menunjuk susu pisang di pangkuannya pakai dagu. Hana melengos, kemudian menyesap susu pisang pemberian gue itu lambat-lambat. Lampu merah berikutnya sedikit lebih lama, gue baru aja mau menyalakan radio buat membunuh hening ketika suara Hana menghentikan gerakan gue.

“Ini mungkin telat, tapi aku minta maaf karena ngambil foto Kakak diam-diam, sekaligus majang foto Kakak di mading.”

Gue nengok, sama sekali gak nyangka dia bakal minta maaf. Gue aja udah lupa sebenarnya, tapi gue akui tindakan majang foto gue di mading itu cukup mengganggu─ya walaupun ini jauh lebih bisa ditoleransi ketimbang insta-story foto gue lagi nguap atau terciduk tidur di perpustakaan. Setidaknya gue dalam foto jepretan Hana ganteng, ganteng kata gue.

“Santai aja.” Gue mengibaskan tangan tanda gak masalah, persis kayak yang selalu gue lakuin untuk kasus yang serupa. “Anyway, kita belum kenalan yang serius, kan? Kalau gitu kenalin, gue Dimitri. Dan jaga-jaga takutnya lo lupa lagi… iya, gue anak BEM.”

Hana ketawa setengah meringis, menatap uluran tangan gue ragu-ragu.

“Gak mau kenalan, ah.”

Alis gue miring sebelah. “Kenapa? Tak kenal maka tak sayang, tau!”

“Ya makanya aku gak mau kenalan kalau gak bisa sayang.”

Damn it. Gue hampir speechless. Gue gak pernah ketemu cewek se-straight forward ini, anjir. Buru-buru gue kuasai diri gue lagi.

“Sayang itu bisa diatur, Hana.”

“Oke, kalau gitu kenalin… Gerhana Senja.”

Gue tersenyum menatap kejauhan dan langit sore yang mulai memunculkan semburat oranye. Gerhana Senja… is such a beautiful name.

Gue gak tahan buat gak tersenyum lebih lebar sewaktu gue rasakan tangan Hana menggenggam balik tangan gue. Dan begitu gue noleh buat natap dia, kayaknya gue jadi punya alasan buat menganggap senja itu indah kayak yang orang-orang bilang.

“Emang ada, ya? Gerhana senja?” Entah kenapa, gue jadi beneran penasaran.

Hana mengangguk semangat. “Ada, dong. Gerhana senja itu gerhana yang paling cantik dari gerhana-gerhana yang lain.”

“Emang iya?”

“Iya! Ini buktinya.” Hana nunjuk dirinya sendiri, kemudian melengkungkan senyum semanis mungkin ketika gue berhasil membagi perhatian antara jalan dan dia.

Hana punya senyum di matanya.

Karena itu, akhirnya gue terkekeh sembari mengacak rambutnya dengan gemas. Satu jam terjebak di kemacetan, gue nyaris gak percaya kalau gue melewati semuanya tanpa ada satu pun cacian yang keluar.

Bukan, bukan karena gue menahan diri di depan Hana, melainkan Hana yang gak ngasih gue kesempatan buat memikirkan hal lain selain kerandomannya. Mengenal Hana, gue kayak berkenalan sama kotak pandora, gue selalu salah tebak dan dikejutkan dari sisinya yang baru.

Pulang dari sini, gue berniat meminta maaf sama Juan karena diam-diam gue pernah menghujat dia yang bilang Hana lucu.

Well, I admit it. She might be a little bit… cute.

[KEENAN]

“Cubit gue sekarang juga! Kak Dimitri serius ngajak gue berangkat bareng besok!!!”

As you wish… Gue pun menarik pipinya─antara gemas dan emosi.

“Aw! Sakit banget, pipi gue mau copot rasanya!”

“Loh? Lo kan minta.”

Hana memajukan bibir bawahnya, pipinya menggembung seketika, ditambah bekas cubitan gue yang memerah. Gemas, asli! Tapi ini udah keterlaluan─eh, nggak─maksud gue ini semua terlalu cepat. Gue paham kalau Hana lagi naksir-naksirnya ke orang baru itu, tapi bukan berarti gue harus kehilangan dia secepat ini.

Sadar wajah gue berubah murung (ha, padahal wajah gue emang selalu begini), akhirnya Hana menaruh ponselnya di atas meja. Rautnya nampak merasa bersalah begitu natap gue.

“Lo sensi banget kayaknya.” Dia merengut, melirik gue takut-takut.

“Biasa aja,” timpal gue sekenanya.

“Ngaku, deh. Jangan-jangan lo selama ini, naksir ya?” Demi Tuhan, jantung gue nyaris aja berhenti berdetak. Tapi kemudian Hana memicingkan matanya, dan ketika wajahnya berkedut-kedut menahan tawa, gue langsung tahu apa yang ada dipikirannya saat ini. “Naksir, kan? Sama Kak Dimitri?”

“Dih.”

“Ngaku lo biji nangka!” Hana tetap bersikukuh. “Lo kalau naksir dia juga bersaing yang sehat sama gue.”

Salah gak sih, kalau sekarang gue jadi bertanya-tanya IQ Hana berapa?

Gue gak tahan buat gak narik pipinya sekali lagi, kali ini lebih kuat. “Oh, jadi di mata lo gue kelihatan kayak homo, hah?” Hana berontak begitu pipinya memerah, bikin cubitan gue terlepas dan beralih mengusap-usap lembut.

Gue udah bilang belum kalau pipinya Hana itu lucu? Kalau udah, biar gue ulang lagi. Iya, pipinya Hana gemas, gampang merah, waktu kecil gue sering manggil dia pipi apel. Gak penting memang, tapi gue mau ngasih tahu aja.

Hana mendengus. “Lo udah beberapa bulan ini gak kelihatan tertarik sama cewek dan malah ngintilin Dika mulu, wajar dong gue curiga?”

“Nggak wajar,” sahut gue. Ah, yaiyalah gue gak cerita tentang cewek yang menarik perhatian gue akhir-akhir ini. Lah oknumnya aja dia, gimana gue mau cerita? Kecuali gue mau bikin persahabatan ini jadi aneh, maka gue bakal bilang perasaan gue yang sebenarnya. “Emang harus ya gue tertarik sama cewek setiap saat? Kan, nggak juga.”

“Lo masih belum bisa lupain Jani, ya?”

Jani. Rinjani. Ini pertama kalinya gue dengar nama itu lagi setelah sekian lama.

“Kok jadi bawa-bawa dia?”

“Cuma nanya. Lagian biar gimana pun, dia cewek yang lo taksir abis-abisan semasa SMA, Ken. Menurut pengalaman gue, ngelupain itu gak segampang jatuh cinta.” Hana mengedikkan bahunya, kemudian menyuap es krim setengah meleleh di atas meja sedikit demi sedikit.

Beberapa detik gue lewati buat mengamati Hana lamat-lamat, memikirkan kalimat terakhirnya yang masih menggantung di benak gue.

Melupakan gak segampang jatuh cinta….

Gue mendecih, lalu tersenyum hambar. “Ngelupain emang susah, Na. Sampai dia yang lebih dulu ninggalin gue, maka ngelupain dia jadi hal termudah yang bisa gue lakuin.”

“Dan kalau suatu hari nanti dia kembali?”

Jangan. Gue gak mempersiapkan jawaban sampai sejauh itu.

Seperti yang Hana bilang, Rinjani adalah perempuan yang mengisi masa-masa SMA gue. Dia gak suka berada dalam satu komitmen, dan untuk itu gue bahkan rela menjalani hubungan yang gak berstatus demi dia; demi tetap bersama dia. Sampai beberapa bulan lalu, sewaktu gue terdiagnosis tumor otak, Rinjani adalah orang pertama di hidup gue yang memilih melangkah pergi.

Gue sadar, ketika orang-orang terdekat gue tahu keadaan gue, pikiran pertama mereka adalah pergi karena pada dasarnya manusia punya sikap defensif. Sebelum disakiti, mereka memilih menyakiti lebih dulu. Sebelum ditinggal, mereka memilih meninggalkan lebih dulu.

Gue paham itu lebih baik dari siapapun, maka ketika Rinjani pergi gue gak pernah mencari dan menuntut penjelasan apa-apa. Tapi kalau suatu hari nanti dia kembali… bukankah itu gak adil buat gue?

“Gue bisa manfaatin lo,” jawab gue akhirnya, bikin kedua alis Hana bertaut bingung. “Kita bisa pura-pura pacaran, nanti Jani pasti nyerah sama gue.” Yang gak gue duga, raut bingung Hana langsung lenyap, digantikan sorot mata tajam dengan bibir terkatup rapat.

“Apa? Manfaatin gue?” tanyanya, bikin gue langsung menyadari apa yang salah. Gue membuka mulut, tapi Hana buru-buru melanjutkan.

“Sori, gue gak mau. Jangan pernah manfaatin gue buat nyakitin perempuan lain, Ken. Lo gak ingat apa yang terjadi sama keluarga gue?” Bibirnya bergetar, mata almondnya mulai berkaca-kaca─ini mungkin terdengar hiperbola, tapi lihat Hana menangis akan selalu jadi kelemahan gue. Dan gue akan mengutuk diri gue sendiri kalau sampai gue jadi alasan tangisnya di kemudian hari.

Gue mengusap wajah dengan kasar, gue gak boleh lepas kendali cuma karena satu nama itu. “Maaf, Na. Sumpah, gue gak maksud begitu.”

Hana gak langsung menjawab, tapi gak lama senyumnya kembali melengkung. Satu lagi yang gue kagumi dari dia; bagaimana suasana hatinya yang mudah berubah, semudah itu juga bahagianya selalu menjadi bahagia gue.

Kayaknya Hana udah menghabiskan semua kisah sedih di hidupnya semasa kecil, jadi sekarang yang tersisa cuma bagian senang-senangnya aja. Gue harap memang begitu, because she deserve all the love and happiness in the world.

“Maafin jangan?”

“Maafin dong.”

Hana mengetuk-ngetuk dagunya seolah menimbang-nimbang sesuatu.

“Oke. Hokben gimana?”

“Lo serius?” Mata gue membelalak. “Tadi katanya mau kebab sama takoyaki?”

“Kalau bisa tiga kenapa harus dua? Ayo, si anak babi yang lo bilang ini udah kelaparan.”

Gue tergelak, sementara Hana mengamit tangan gue dan menarik gue menuju restoran tujuannya. Yah, lagi-lagi, kalau terlanjur sayang, memangnya gue bisa apa?

“Lo gak boleh nge-date sama orang lain kalau gini ceritanya. Kasian pacar lo kalau harus menuhin napsu makan lo yang kayak bocah kelaparan Somalia.”

Hana gak tersinggung sama kalimat gue, dia malah terkikik sendiri. Katanya, “Gue kayak gini cuma ke lo aja kok, Ken. Gak usah khawatir.”

Tangan gue bergerak buat menepuk-nepuk puncak kepalanya lagi, bikin Hana tersenyum sampai kedua matanya tinggal segaris. Lucu.

Janji, ya? Rakusnya kalau sama gue aja. Gue gak rela kalau lo mulai bergantung ke orang lain soalnya.