As Weird As You
Pasar malam yang kami tuju sudah ramai bahkan sebelum matahari kembali ke peraduan. Lampu-lampu lampion dalam berbagai warna tergantung dengan tali dari satu tenda ke tenda yang lain.
Kak Dimitri berdiri di sebelah kanan, melindungiku dari pengunjung yang jalan ke arah berlawanan. Jujur, aku tak pernah ke tempat semacam ini sebelumnya dengan lelaki mana pun selain kedua sahabatku.
Aku tidak tahu bagaimana wajahku terlihat di matanya, maka ketika ia menunduk untuk menatapku dan akhirnya tertawa, aku diam saja sembari mati-matian bertingkah senatural mungkin.
“Lo kenapa tegang gitu, Nye?” tanyanya, dan aku tak kuasa menjawab karena terlalu salah tingkah. Namun kemudian, tangannya yang hangat membungkus tanganku, membuatku langsung menaikkan wajah.
“Tenang aja. Kita senang-senang, ya?” Suaranya pelan, nyaris terbungkam oleh keramaian di sekitar kami, tapi sebab ia mengucapkannya di dekat telingaku, aku lantas mengangguk sembari tersipu tanpa ampun.
Kami kemudian melewati beberapa stan makanan, sama-sama bingung harus memulai dari mana. Mataku mengerjap berulang kali setiap kali melewati stan gulali, menahan hasrat ingin memakan permen kapas di depan gebetan. Tidak, tahan Hana, kamu sudah cukup konyol di hadapannya, jangan lebih kekanakan lagi!
Ketika itulah, ketika aku tengah mati-matian mengenyahkan napsu ingin berhenti di stan gulali, Kak Dimitri memiringkan kepalanya padaku. “Mau gulali?” tanyanya, mataku membulat detik itu juga.
Orang ini punya super-hearing atau apa?!
Maka, kami pun menepi di stan itu, yang di setiap sisinya tergantung gulali warna-warni dalam plastik menggembung. KakDimitri menengadahkan wajahnya untuk melihat-lihat, kemudian berpaling lagi padaku. “Mau warna apa?”
“Warna apa aja, semuanya juga manis.”
Detik itu, senyumnya menyungging miring. “Ada yang lebih manis, tau gak siapa?”
“Nggak tau, emang siapa?”
“Gue!” Kak Dimitri langsung terbahak, mengabaikan pelototanku yang tidak terima dengan jawabannya.
Tapi iya, deh, kalau tertawa selucu itu, Kak Dimtri emang lebih manis dari gulali!
Sebungkus perman kapas yang kami bagi bersama, dua porsi kentang goreng dan sosis bakar kemudian, langit sepenuhnya gelap. Lampion-lampion yang menggantung sudah dinyalakan, permainan-permainan mulai dijalankan, juga pengunjung yang semakin membludak membuat Kak Dimitri menggenggam tanganku lebih erat.
Beberapa kali tubuhku limbung karena bertabrakan dengan orang lain, dan Kak Dimitri berusaha menarikku untuk melewati jalan yang tak terlalu ramai.
Aku suka kerutan di dahinya setiap kali harus pasang badan untuk melindungiku, padahal sebenarnya aku baik-baik saja, tapi melihatnya kesal karena orang lain yang jalan terburu-buru dan berakhir menabrakku, aku suka perasaan itu.
Aku suka bagaimana caranya memperlakukan seorang perempuan.
Langkah kami kemudian berhenti tepat di depan bianglala mini, setelah membeli dua tiket, Kak Dimitri membawaku masuk ke dalam antrian.
“Lo gak takut tinggi, kan?” Kedua alisnya menaik, yang kuhadiahi dengan gelengan cepat. “Bagus, gue suka cewek pemberani,” katanya lagi, tersenyum sembari menumpukan tangan di pagar besi di sisi-sisi kami.
“Bianglala doang masa takut?” Aku membalikkan badan agar bisa menghadap padanya yang berdiri di belakangku. “Gue bahkan berani naik hysteria sepuluh kali!”
“Oh ya?”
“Iya, dong! Perlu bukti?” tanyaku seraya berkacak pinggang. Kak Dimitri lekas terkekeh, telapak tangannya yang besar menepuk-nepuk puncak kepalaku.
Katanya, “Oke, next time. Gue gak nerima alasan apa-apa ya kalau ternyata lo semaput di tempat.”
Aku mengerutkan hidung tidak terima. “Gue itu lebih berani dari bayangan lo, Kak.”
“Kayak masang foto ketua BEM di mading, maksudnya?”
“Ih, lupain aja!” Melihatku mulai jengkel, Kak Dimitri malah cengengesan. Aku menunjuk-nunjuk beberapa permainan lain di sekitar kami. “Bianglala, kora-kora, rollercoaster, gue berani naik semuanya. Yang gak bisa naik permainan-permainan kayak gini tuh Keenan, dia naik komidi putar aja gak mau.”
Kek Dimitri mengangguk pelan, menyimak ceritaku dengan alis bertaut. “Lo dekat banget ya sama Keenan?” tanyanya.
Giliranku yang mengangguk. “Banget! Kita udah temenan dari TK, rasanya kayak seluruh kehidupan gue, gue lewatin sama dia. Kadang bosan sih, tapi kalau gak sama Keenan malah kerasa ada yang kurang.”
“Serius? Lama banget dong, ya?”
Aku mengangguk lagi, fragmen-fragmen kebersamaanku dan Keenan mendadak melintas di benak, membuatku tanpa sadar mengembangkan senyuman. “Gue bahkan gak ingat gimana bentuk hidup gue sebelum Keenan datang.”
Yang kutahu, di masa-masa sulitku dulu, setiap kali Ayah pulang dan Bunda menangis, Keenan akan membawaku ke rumahnya, kami akan sama-sama tengkurap di bawah meja makan, menunggu ibunya selesai memasak makanan untuk kami berdua. Kenangan itu kini terasa begitu jauh, mimpi buruk itu telah lama hilang, dan Keenan lah salah satu sosok yang membantuku berdiri di tempatku saat ini.
“Lo tau, Nye?” Kak Dimitri berdeham, membuyarkan lamunanku. “Kata orang, persahabatan antara cewek sama cowok itu gak ada yang murni. Kalau di antara kalian ada yang jatuh cinta gimana?”
Aku tertohok, mengerjap menatap matanya yang membalas tatapanku tepat di manik. Aku tidak pernah menyangka akan ada orang yang menanyakan perihal persahabatanku dengan Keenan, kami sendiri bahkan tidak pernah meragukan persahabatan ini. Aku percaya, aku dan Keenan sama-sama tahu bahwa persahabatan kami ada di atas segalanya.
Tahu aku tak mau menjawab, Kak Dimitri kemudian mengacak-ngacak rambutku lagi, sambil tertawa pelan, ia menunduk padaku. “Siapapun itu, gue harap bukan lo.” Tatapannya teduh, membuatku mematung tak bisa berkutik sama sekali. Lalu ia melanjutkan, “Jatuh cintanya sama gue aja, ya?”
Aku tersenyum membalas ucapannya sebelum penjaga bianglala menyuruh kami untuk bergerak. Di dalam gondola, kami duduk bersebelahan, terlalu dekat sampai aku bisa merasakan setiap helaan napasnya yang hangat. Begitu gondola bergerak naik, aku berusaha mengalihkan perhatianku ke pemandangan kota di bawah sana.
“Tinggi, ya?” celetuknya, dan ketika aku menoleh untuk menjawab, yang kutemui adalah wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.
Aku gelagapan. “I-iya, t-tinggi banget....”
Tapi, Kak Sean malah tertawa kencang. “Lo kenapa? Tadi katanya gak takut tinggi.”
Bukan tingginya, tapi lo nya yang bikin gue takut, Kak!
Aku masih mati-matian mengatur detak jantung yang carut-marut ketika gondola berhenti di puncak tertinggi, dan baru kusadari kami benar-benar berubah hening─tapi bukan hening yang canggung. Beberapa menit kami lewati pemandangan seindah itu hanya dengan sunyi, sampai kemudian Kak Dimitri menghela napas panjang.
Ia meluruskan kakinya, lalu perlahan kepalanya tersandar di bahuku. Aku terkejut, namun ketika menoleh untuk protes, yang kulihat adalah kedua matanya yang terpejam─juga senyumnya yang masih melengkung tipis.
“Sebentar, biarin kayak gini aja. Gue ngantuk.”
“Hm,” jawabku, sibuk meremas jari jemari untuk mengendalikan detak jantungku.
“Ntar kalau disuruh turun, bilang aja kita mau beli bianglalanya.”
Aku tidak tahan untuk tidak tertawa.
Malam itu, ditemani semilir angin dan lampu dari jalanan kota di bawah sana, seorang Dimitri Maheru tertidur di bahuku. Dan aku, yang mengusap-usap pelan rambutnya.
Rasanya kalau aku mampu, aku rela menukar apapun yang aku miliki untuk menghentikan waktu. Karena detik ini, aku benar-benar bahagia.