Gadis Bermata Almond

[DIMITRI]

Seperti sebelum-sebelumnya, kelas bubar dan gue pulang ditemani suasana yang biasa; langit sore, jalanan Jakarta yang luar biasa padat, mahasiswa yang menyerbu gerbang keluar kampus dengan segala hiruk-pikuknya.

Kalau nggak ada jadwal kumpulan atau tugas yang harus dibahas, gue hampir selalu pulang begitu kelas selesai, tapi tentu aja pulang yang gue maksud bukan menuju apartemen gue, melainkan tempat-tempat lain di mana gue bisa melepaskan titel dan segala tetek-bengek tanggungjawab yang senantiasa gue pikul ketika gue ada di sekitar kampus.

Tapi sore ini berbeda. Gue belum tahu bakal ke mana setelah gue mengantarkan perempuan ini─yang sekarang tengah duduk di sebelah gue dengan susu pisang di pangkuannya. Dia gak banyak bicara─atau mungkin belum─karena setelah beberapa kali sempat chatting-an, gue rasa dia agak bawel.

Ya ya ya, gue tahu Hana nervous. Perempuan-perempuan sebelumnya yang duduk di kursi yang sama juga selalu nervous setiap kali gue setirin.

“Uhm, Kak?” Itu suara pertamanya yang gue dengar sejak di dalam mobil. Gue noleh sekilas, sebelum menginjak rem perlahan karena lampu di depan sana berubah merah. “Makasih ya, udah diantar pulang.”

Gue pengen ketawa. “Kenapa makasih sekarang? Kan belum nyampe, loh.”

Hana gak menjawab lagi, cuma garuk-garuk kepala yang menurut tebakan gue sih kayaknya gak gatal. Tadinya, gue berrniat jemput dia ke kampus bareng bukannya pulang bareng, karena suasana jalanan pulang seringkali memancing makian gue keluar dengan lebih mudah, dan itu jelas bukan sesuatu yang ingin gue tunjukkan ke Hana. Tapi Hana bilang dia punya partner berangkat sendiri, sahabatnya atau apalah itu, gue gak terlalu peduli juga.

Lampu berubah hijau, gue melajukan mobil lagi dengan tenang. Keheningan ini jauh di luar ekspektasi gue, mengingat kelakukan Hana yang majang foto gue di mading dan cuitan-cuitan randomnya, juga beberapa kali chat terakhir, gue kira Hana anak yang sedikit annoying.

Melihatnya diam begini gue jadi gak tahu apakah ini lebih annoying lagi atau sebaliknya. Jujur, gue juga agak sulit basa-basi, sejauh ini kalau ada pendekatan dengan inceran baru, gue cuma menanggpi seadanya dan yang bertindak lebih udah pasti lawan gue, bukan gue. Gue mah bagian iya-iya aja.

“Susu pisangnya enak?” Astaga, kenapa juga gue malah nanya pertanyaan sekonyol itu. Kan, nggak lucu kalau Hana merasa gue sama anehnya kayak dia. Gue lirik dia lewat sudut mata, tapi Hana cuma senyum samar sembari mengangguk.

“Enak, Kak. Mau coba?”

“Nggak, makasih. Udah tau rasanya kayak apa soalnya.”

“Kayak apa emangnya?”

“Ya kayak pisang.”

Aduh, ini yang bego siapa dah? Tapi gue malah ketawa, heran.

“Omong-omong, makasih, Kak. Buat susu pisangnya bukan buat dianterin pulang.”

Gue ngangguk, masih geli sama topik obrolan sebelumnya. “Sama-sama, Onye,” balas gue, entah dari mana juga datangnya panggilan itu. Mendengar kalimat gue, Hana buru-buru noleh, tanpa dilihat langsung juga gue tahu dahinya sekarang mengerut gak terima.

“Kok manggil Onye, sih?” tanyanya, gue ketawa lagi.

“Mirip abisnya,” jawab gue sembari menunjuk susu pisang di pangkuannya pakai dagu. Hana melengos, kemudian menyesap susu pisang pemberian gue itu lambat-lambat. Lampu merah berikutnya sedikit lebih lama, gue baru aja mau menyalakan radio buat membunuh hening ketika suara Hana menghentikan gerakan gue.

“Ini mungkin telat, tapi aku minta maaf karena ngambil foto Kakak diam-diam, sekaligus majang foto Kakak di mading.”

Gue nengok, sama sekali gak nyangka dia bakal minta maaf. Gue aja udah lupa sebenarnya, tapi gue akui tindakan majang foto gue di mading itu cukup mengganggu─ya walaupun ini jauh lebih bisa ditoleransi ketimbang insta-story foto gue lagi nguap atau terciduk tidur di perpustakaan. Setidaknya gue dalam foto jepretan Hana ganteng, ganteng kata gue.

“Santai aja.” Gue mengibaskan tangan tanda gak masalah, persis kayak yang selalu gue lakuin untuk kasus yang serupa. “Anyway, kita belum kenalan yang serius, kan? Kalau gitu kenalin, gue Dimitri. Dan jaga-jaga takutnya lo lupa lagi… iya, gue anak BEM.”

Hana ketawa setengah meringis, menatap uluran tangan gue ragu-ragu.

“Gak mau kenalan, ah.”

Alis gue miring sebelah. “Kenapa? Tak kenal maka tak sayang, tau!”

“Ya makanya aku gak mau kenalan kalau gak bisa sayang.”

Damn it. Gue hampir speechless. Gue gak pernah ketemu cewek se-straight forward ini, anjir. Buru-buru gue kuasai diri gue lagi.

“Sayang itu bisa diatur, Hana.”

“Oke, kalau gitu kenalin… Gerhana Senja.”

Gue tersenyum menatap kejauhan dan langit sore yang mulai memunculkan semburat oranye. Gerhana Senja… is such a beautiful name.

Gue gak tahan buat gak tersenyum lebih lebar sewaktu gue rasakan tangan Hana menggenggam balik tangan gue. Dan begitu gue noleh buat natap dia, kayaknya gue jadi punya alasan buat menganggap senja itu indah kayak yang orang-orang bilang.

“Emang ada, ya? Gerhana senja?” Entah kenapa, gue jadi beneran penasaran.

Hana mengangguk semangat. “Ada, dong. Gerhana senja itu gerhana yang paling cantik dari gerhana-gerhana yang lain.”

“Emang iya?”

“Iya! Ini buktinya.” Hana nunjuk dirinya sendiri, kemudian melengkungkan senyum semanis mungkin ketika gue berhasil membagi perhatian antara jalan dan dia.

Hana punya senyum di matanya.

Karena itu, akhirnya gue terkekeh sembari mengacak rambutnya dengan gemas. Satu jam terjebak di kemacetan, gue nyaris gak percaya kalau gue melewati semuanya tanpa ada satu pun cacian yang keluar.

Bukan, bukan karena gue menahan diri di depan Hana, melainkan Hana yang gak ngasih gue kesempatan buat memikirkan hal lain selain kerandomannya. Mengenal Hana, gue kayak berkenalan sama kotak pandora, gue selalu salah tebak dan dikejutkan dari sisinya yang baru.

Pulang dari sini, gue berniat meminta maaf sama Juan karena diam-diam gue pernah menghujat dia yang bilang Hana lucu.

Well, I admit it. She might be a little bit… cute.