Brownies

[HANA]

Setelah kelas pertama selesai, aku buru-buru melesat menuju kantin fakultasku untuk menemui Keenan yang sudah menunggu di sana. Tadi pagi, aku lupa meninggalkan brownies buatanku (dan Bunda) di mobilnya.

Jadi, Keenan dengan senang hati mengantarkan itu padaku. Sepanjang koridor, aku tak bisa menyembunyikan senyum karena bayang-bayang reaksi Kak Dimitri memenuhi pikiranku. Kira-kira… dia suka gak, ya?

Namun, semua anganku buyar seketika tatkala sampai di kantin dan menemukan Ardika sedang mengobrol dengan Keenan. Bukan, bukan itu yang membuatku mencelus mendadak. Melainkan kotak makan berisi brownies milikku yang terbuka di hadapan keduanya. Jangan bilang???

“KEENAN! ARDIKA! ITU BROWNIES GUE KENAPA DIMAKAN???” Aku menatap nanar kotak makan yang isi browniesnya tinggal beberapa potong itu. Mau nangis.

“Lah kenapa sih, Na? Pelit banget lo. Astagfirullah, sesungguhnya orang pelit rezekinya akan dipersempit.”

Bacot lo, Dik. Gue sedot juga ubun-ubun lo!

Aku meringis. “Bukan gitu, tapi ini gue buat spesial buat Kak Dims tau!”

Mendengar kalimatku, Ardika dan Keenan langsung berhenti mengunyah seketika itu juga. Ardika melotot, meratapi brownies di tangannya sekaligus melirikku takut-takut, mungkin kalau dia bisa, dia mau memuntahkan semua brownies yang sudah masuk ke perutnya.

Sementara Keenan mematung di tempat, lalu menaruh kembali sisa brownies di tangannya ke dalam kotak makan dengan tanpa selera

Ardika mendecak seraya memasukkan potongan terakhir browniesnya ke dalam mulut. “Kenapa lo gak bilang?”

“Lah ini gue bilang?”

“Ya telat, ebel. Harusnya lo tulis yang gede ‘BUAT KAK DIMITRI TERSEYENG’ gitu, terus lo lakban di wadahnya.” Ardika menggerutu. “Alah, lo mah bikin gue merasa bersalah aja,” lanjutnya, kembali mengecurutkan bibir.

“Lo tadi nyuruh bawain ke kantin, mana gue tau kalau ini buat orang lain?” tanya Keenan, suaranya yang datar serta wajahnya yang tertunduk enggan menatapku membuatnya jadi kelihatan menakutkan.

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal demi menghalau canggung di antara kami. Kutarik bangku di depan Ardika, terduduk di depannya sembari memandangi potongan brownies yang tersisa hitungan jari.

Ah, aku mungkin harus mengacaukan dapur dan merepotkan Bunda sekali lagi.

Sambil mendengus, kuambil satu potong brownies kemudian mengunyahnya dengan keki. “Yaudah lah, terserah.” Aku tak mau masalah ini semakin rumit, jadi kumakan saja potongan brownies yang tersisa.

“Terus itu kenapa malah di makan?” Keenan mengernyit, menunjuk brownies di tanganku dengan dagunya.

“Biarin dong, brownies-brownies gue.”

Keenan dan Ardika sama-sama memalingkan wajah dengan suram, melihat mereka begitu mau tak mau aku jadi tertawa juga. Akhirnya, kudorong pelan kotak makan berisi brownies tadi ke hadapan mereka.

“Makan aja makan, mubadzir tau!” kataku. Seperti yang bisa kutebak, Ardika langsung menyambar sepotong brownies lagi, membuat kami sama-sama terkikik geli.

“Terus Kak Dimitri gimana?” Keenan menaikkan sebelah alisnya, seolah tak tertarik.

Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Ntar kapan-kapan gue bikinin lagi aja, gampang. Udah… ayo, makan!”

“Nggak, deh. Bukan buat gue,” ujarnya, kemudian bangun dari duduk sambil menyampirkan tas di bahu. Tapi sebelum berbalik, Keenan menoleh padaku. “Kalau ada waktu, bikinin yang khusus buat gue juga. Gue cabut.”

Setelah itu, Keenan berlalu begitu saja, meninggalkanku yang terheran-heran.

“Idih, kenapa dia sewot coba?”

Ardika lantas terkekeh, menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menatapku dengan jenaka. “Cemburu kali dianya, peka dikit bego.”

“Lo yang bego! Cemburu kepala lo peang!” omelku, yang dibalas Ardika dengan gelak tawanya yang semakin membahana.

Aku tahu aku tak seharusnya menganggap serius omongan Ardika, karena segala hal yang keluar dari mulutnya tidak bisa dipercaya. Ardika senang bercanda, ia pasti bercanda.

Tapi aku jadi kepikiran. Tidak mungkin, kan?