Rumpang
[HANA]
Pesan Bunda kupandangi sampai huruf-hurufnya memburam, tidak kuasa lagi membalas apapun. Kini keinginan untuk pulang terasa memudar, alih-alih ingin sampai di rumah aku malah merasa aku harus kabur sejauh mungkin.
Aku terdiam memandangi kendaraan yang melintas hilir mudik, dan semakin waktu beranjak, semakin tubuhku bergetar mengingat rumah.
Ponselku masih berada dalam genggaman, pikiranku masih melayang-layang entah ke mana ketika sebuah mobil menepi tepat di depanku. Lampunya membuat suasana yang temaram jadi lebih terang.
Seseorang keluar dari pintu, kemudian memutari mobil untuk menghampiriku dengan rahang mengeras. Aku menunduk, enggan menatap matanya yang seolah kesal dan lega bersamaan.
Kenapa harus dia? Kenapa harus Keenan yang datang menemuiku? Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja, itu membuatku merasa bersalah.
“Kenapa gak ngasih tau gue?!” bentaknya dengan napas memburu. “Kenapa Dika yang ngasih tau gue kalau lo masih di kampus? Kenapa lo gak bilang sendiri?”
Aku semakin menekuk wajah. Gue gak mau ngerepotin lo, Ken….
“Apa gue udah gak penting buat lo?” Pertanyaannya membuatku menengadah, aku buru-buru menggeleng, tapi lidahku terlalu kelu untuk menjawab. “Ah…,” ia tersenyum sinis, “sori kalau gue khawatir gak jelas lagi. Lo risih, kan?”
Gak gitu.
“Ayo pulang, udah malam.” Keenan berbalik, membuatku secara impulsif langsung menarik lengan bajunya agar ia tidak meninggalkanku.
“Ken….”
“Apalagi?”
Aku diam, bingung harus bagaimana mengatakannya. “Itu… gue…,”
Dan seolah paham maksudku, Keenan menghela napas panjang seraya mengangguk. Ia lalu berjalan ke arah mobilnya, mengambil jaket dari kursi penumpang.
“Nih pake,” katanya singkat. Tiba-tiba tenggorokanku tercekat, rasanya sakit. Air mataku kembali berkumpul menggenang di pelupuk melihat jaket yang disodorkannya. Sekali saja bicara, tangisku pasti pecah.
Melihatku tak merespon, Keenan mendecak kemudian menarik tanganku agar aku bangkit, setelah itu ia menunduk untuk melingkarkan jaketnya di pinggangku. “Gue kan udah bilang gue selalu di belakang lo. Jadi kalau ada apa-apa gue bakal senang kalau jadi orang pertama yang lo hubungi. Ngerti?”
Keenan menatapku dalam, tak ada lagi kemarahan yang membayang di matanya. Aku mengangguk, membuat air mata yang sudah kutahan mati-matian sejak tadi terjatuh begitu saja membasahi pipi.
“Gue lebih suka lihat pipi lo yang merah kayak apel daripada yang basah kena air mata begini,” ucapnya lagi sambil mengusap pipiku pelan, senyumnya tulus. “Yuk, pulang!”
Di dalam mobilnya, Keenan tak langsung jalan, pegangannya di kemudi terlihat mencengkram, entahlah apa yang sedang dipikirkannya, ia membiarkan suara mesin mobil jadi satu-satunya suara yang dapat kami dengar. Kami diam seperti itu selama beberapa jenak, sampai aku baru sadar wajahnya yang pucat pasi di terpa lampu kendaraan lain dari arah berlawanan.
“Kenapa?” tanyaku akhirnya. Keenan menjilat bibir, seperti tengah menimbang-nimbang sesuatu.
“Sebenarnya─”
Omongan Keenan terpotong karena dering dari ponselku. Lagi-lagi pesan dari Bunda yang menyuruhku segera pulang untuk menyambut kedatangan kakak tiriku. Dengan kesal, kumatikan teleponku dan menjejalkannya ke dalam tas.
“Dari siapa?”
Aku melenguh. “Bunda.”
“Kok gak dibalas?”
“Cici udah pulang.” Mengatakannya pada Keenan malah membuatku ingin menangis lagi. Bayang-bayang kebencian di wajah perempuan yang dua tahun lebih tua dariku itu melintas─kebencian yang tak pernah memudar.
Keenan menarik bahuku, memaksaku untuk menatapnya. “Cici? Ci Gladys pulang?”
Aku mengangguk, bibirku bergetar. “Gue juga gak tau kenapa dia bisa pulang sekarang. Padahal katanya baru minggu depan.” Keenan diam, dia jelas paham masalah apa yang akan segera kuhadapi. Penolakan, pengabaian, permusuhan. “Kenapa sih dia harus pulang? Kenapa gak tinggal aja di Jepang selamanya!”
Tawa Keenan terdengar samar-samar. “Gitu-gitu dia kakak lo, Na.”
“Kakak yang gak pernah nganggap gue ada,” balasku, ikut terkekeh pilu. Aku harap setengah tahun di Jepang, kakak tiriku akhirnya bisa menerima kehadiranku sebagai adiknya. Meski rasanya tidak mungkin.
Ironis, karena aku tahu alasannya memilih pertukaran pelajar ke negeri sakura sana adalah karenaku─aku dan Bunda, yang menjadi keluarga barunya.
“Oh iya, tadi lo mau ngomong apa, Ken?”
Keenan nampak terkesiap mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba, tapi ia menggeleng setelahnya. “Nggak jadi, gue juga udah lupa,” balasnya.
Aku ingin bertanya lagi, ingin mendesaknya karena kurasa ia baru saja berbohong. Namun mendapati cengkraman tangannya di kemudi telah mengendur dan ia bersiap menginjak gas, aku akhirnya urung bertanya.
Apapun itu, Keenan akan memberitahuku jika ia sudah siap.