Tentang Seseorang yang Pergi

[KEENAN]

“Cubit gue sekarang juga! Kak Dimitri serius ngajak gue berangkat bareng besok!!!”

As you wish… Gue pun menarik pipinya─antara gemas dan emosi.

“Aw! Sakit banget, pipi gue mau copot rasanya!”

“Loh? Lo kan minta.”

Hana memajukan bibir bawahnya, pipinya menggembung seketika, ditambah bekas cubitan gue yang memerah. Gemas, asli! Tapi ini udah keterlaluan─eh, nggak─maksud gue ini semua terlalu cepat. Gue paham kalau Hana lagi naksir-naksirnya ke orang baru itu, tapi bukan berarti gue harus kehilangan dia secepat ini.

Sadar wajah gue berubah murung (ha, padahal wajah gue emang selalu begini), akhirnya Hana menaruh ponselnya di atas meja. Rautnya nampak merasa bersalah begitu natap gue.

“Lo sensi banget kayaknya.” Dia merengut, melirik gue takut-takut.

“Biasa aja,” timpal gue sekenanya.

“Ngaku, deh. Jangan-jangan lo selama ini, naksir ya?” Demi Tuhan, jantung gue nyaris aja berhenti berdetak. Tapi kemudian Hana memicingkan matanya, dan ketika wajahnya berkedut-kedut menahan tawa, gue langsung tahu apa yang ada dipikirannya saat ini. “Naksir, kan? Sama Kak Dimitri?”

“Dih.”

“Ngaku lo biji nangka!” Hana tetap bersikukuh. “Lo kalau naksir dia juga bersaing yang sehat sama gue.”

Salah gak sih, kalau sekarang gue jadi bertanya-tanya IQ Hana berapa?

Gue gak tahan buat gak narik pipinya sekali lagi, kali ini lebih kuat. “Oh, jadi di mata lo gue kelihatan kayak homo, hah?” Hana berontak begitu pipinya memerah, bikin cubitan gue terlepas dan beralih mengusap-usap lembut.

Gue udah bilang belum kalau pipinya Hana itu lucu? Kalau udah, biar gue ulang lagi. Iya, pipinya Hana gemas, gampang merah, waktu kecil gue sering manggil dia pipi apel. Gak penting memang, tapi gue mau ngasih tahu aja.

Hana mendengus. “Lo udah beberapa bulan ini gak kelihatan tertarik sama cewek dan malah ngintilin Dika mulu, wajar dong gue curiga?”

“Nggak wajar,” sahut gue. Ah, yaiyalah gue gak cerita tentang cewek yang menarik perhatian gue akhir-akhir ini. Lah oknumnya aja dia, gimana gue mau cerita? Kecuali gue mau bikin persahabatan ini jadi aneh, maka gue bakal bilang perasaan gue yang sebenarnya. “Emang harus ya gue tertarik sama cewek setiap saat? Kan, nggak juga.”

“Lo masih belum bisa lupain Jani, ya?”

Jani. Rinjani. Ini pertama kalinya gue dengar nama itu lagi setelah sekian lama.

“Kok jadi bawa-bawa dia?”

“Cuma nanya. Lagian biar gimana pun, dia cewek yang lo taksir abis-abisan semasa SMA, Ken. Menurut pengalaman gue, ngelupain itu gak segampang jatuh cinta.” Hana mengedikkan bahunya, kemudian menyuap es krim setengah meleleh di atas meja sedikit demi sedikit.

Beberapa detik gue lewati buat mengamati Hana lamat-lamat, memikirkan kalimat terakhirnya yang masih menggantung di benak gue.

Melupakan gak segampang jatuh cinta….

Gue mendecih, lalu tersenyum hambar. “Ngelupain emang susah, Na. Sampai dia yang lebih dulu ninggalin gue, maka ngelupain dia jadi hal termudah yang bisa gue lakuin.”

“Dan kalau suatu hari nanti dia kembali?”

Jangan. Gue gak mempersiapkan jawaban sampai sejauh itu.

Seperti yang Hana bilang, Rinjani adalah perempuan yang mengisi masa-masa SMA gue. Dia gak suka berada dalam satu komitmen, dan untuk itu gue bahkan rela menjalani hubungan yang gak berstatus demi dia; demi tetap bersama dia. Sampai beberapa bulan lalu, sewaktu gue terdiagnosis tumor otak, Rinjani adalah orang pertama di hidup gue yang memilih melangkah pergi.

Gue sadar, ketika orang-orang terdekat gue tahu keadaan gue, pikiran pertama mereka adalah pergi karena pada dasarnya manusia punya sikap defensif. Sebelum disakiti, mereka memilih menyakiti lebih dulu. Sebelum ditinggal, mereka memilih meninggalkan lebih dulu.

Gue paham itu lebih baik dari siapapun, maka ketika Rinjani pergi gue gak pernah mencari dan menuntut penjelasan apa-apa. Tapi kalau suatu hari nanti dia kembali… bukankah itu gak adil buat gue?

“Gue bisa manfaatin lo,” jawab gue akhirnya, bikin kedua alis Hana bertaut bingung. “Kita bisa pura-pura pacaran, nanti Jani pasti nyerah sama gue.” Yang gak gue duga, raut bingung Hana langsung lenyap, digantikan sorot mata tajam dengan bibir terkatup rapat.

“Apa? Manfaatin gue?” tanyanya, bikin gue langsung menyadari apa yang salah. Gue membuka mulut, tapi Hana buru-buru melanjutkan.

“Sori, gue gak mau. Jangan pernah manfaatin gue buat nyakitin perempuan lain, Ken. Lo gak ingat apa yang terjadi sama keluarga gue?” Bibirnya bergetar, mata almondnya mulai berkaca-kaca─ini mungkin terdengar hiperbola, tapi lihat Hana menangis akan selalu jadi kelemahan gue. Dan gue akan mengutuk diri gue sendiri kalau sampai gue jadi alasan tangisnya di kemudian hari.

Gue mengusap wajah dengan kasar, gue gak boleh lepas kendali cuma karena satu nama itu. “Maaf, Na. Sumpah, gue gak maksud begitu.”

Hana gak langsung menjawab, tapi gak lama senyumnya kembali melengkung. Satu lagi yang gue kagumi dari dia; bagaimana suasana hatinya yang mudah berubah, semudah itu juga bahagianya selalu menjadi bahagia gue.

Kayaknya Hana udah menghabiskan semua kisah sedih di hidupnya semasa kecil, jadi sekarang yang tersisa cuma bagian senang-senangnya aja. Gue harap memang begitu, because she deserve all the love and happiness in the world.

“Maafin jangan?”

“Maafin dong.”

Hana mengetuk-ngetuk dagunya seolah menimbang-nimbang sesuatu.

“Oke. Hokben gimana?”

“Lo serius?” Mata gue membelalak. “Tadi katanya mau kebab sama takoyaki?”

“Kalau bisa tiga kenapa harus dua? Ayo, si anak babi yang lo bilang ini udah kelaparan.”

Gue tergelak, sementara Hana mengamit tangan gue dan menarik gue menuju restoran tujuannya. Yah, lagi-lagi, kalau terlanjur sayang, memangnya gue bisa apa?

“Lo gak boleh nge-date sama orang lain kalau gini ceritanya. Kasian pacar lo kalau harus menuhin napsu makan lo yang kayak bocah kelaparan Somalia.”

Hana gak tersinggung sama kalimat gue, dia malah terkikik sendiri. Katanya, “Gue kayak gini cuma ke lo aja kok, Ken. Gak usah khawatir.”

Tangan gue bergerak buat menepuk-nepuk puncak kepalanya lagi, bikin Hana tersenyum sampai kedua matanya tinggal segaris. Lucu.

Janji, ya? Rakusnya kalau sama gue aja. Gue gak rela kalau lo mulai bergantung ke orang lain soalnya.