7 O'clock Conversation

[HANA]

“Gue punya sesuatu buat lo!”

Kalimat Kak Dimitri ternyata menghantarkanku pada sebuah gedung puluhan tingkat yang selalu kulewati tiap kali berangkat dan pulang kuliah, itu adalah gedung apartemennya. Kamarnya sendiri ada di lantai tujuh belas, bukan lantai yang bagus kalau lift sedang mati atau ada gempa─oke, lupakan bagian itu─tapi Kak Dimitri kan penyuka malam dan langit, pasti menyenangkan melihat pemandangan kota dari balkon kamarnya.

Ia kini tengah membuka pintu, tapi ada sesuatu yang janggal dari tingkah lakunya sejak di basement tadi, lengkung senyumnya tidak henti-hentinya bermain, membuatku berpikir yang tidak-tidak saja.

Aku memalingkan wajah, enggan terlihat salah tingkah karena ia terus menatapku dengan tatapan tajamnya itu. Begitu pintu membuka, ada sebuah melodi yang mengalun pelan dari dalam, yang langsung saja membuatku memutar mata untuk menajamkan pendengaran.

Aku kenal lagu ini. ‘Fly Me to the Moon’ versi akustik, petikan gitarnya pelan dan lembut, menambah kesan romantis karena musiknya membaur di ruangan temaram yang hanya diterangi oleh lampu-lampu kuning─berpendar lemah di sisi-sisi dinding. Langkahku berhenti setelah Kak Dimitri menutup pintu, kami berpandangan, tapi tidak saling berkata-kata.

“I-ini apa?” tanyaku, masih terpaku di tempat meski Kak Dimitri telah bergerak membenahi bantal-bantal di atas karpet yang menghadap televisi, lalu beralih ke pantry.

“Lo pernah bilang mau deeptalk sama gue,” jawabnya, tapi itu tidak menjawab pertanyaanku. Dalam remang-remang lampu yang berkedip, Kak Dimitri tersenyum lagi, entah apa yang akan dilakukannya dengan dua cangkir di atas meja bar itu. “Lo juga bilang lo gak bisa begadang, kan?”

Aku mengangguk, diam-diam terkesan karena ia mengingat kata-kataku.

Well, karena gue juga gak mungkin bikin lo nginap di apartemen gue buat deeptalk jam tiga pagi, jadi ya begini aja.”

“Begini gimana?”

Ia mendekat, menarikku untuk duduk di atas karpet, mengambil kardigan yang baru saja kulepas beserta tasku, kemudian menggantungnya di hanger di dekat pintu masuk.

“Ya, begini. Masih jam tujuh sih, tapi kan udah gelap, anggap aja sekarang jam tiga pagi.” Kak Dimitri kembali dari pantry, menyodorkan segelas coklat panas padaku. “Gue sengaja ngatur ini sedemikian rupa supaya kayak tengah malam beneran, termasuk nyusun itu supaya gue gak harus ngebawa lo ke kamar,” lanjutnya lagi seraya mengedikkan kepala untuk menunjuk tempat dudukku, kali ini ia nampak awkward, aku ingin tertawa. “Gue takut lo mikir yang nggak-nggak.”

Gue udah mikir begitu daritadi padahal.

“Gue gak mikir yang nggak-nggak.”

“Iya. Lo pasti berpikir begitu.”

“Nggak. Lihat siapa yang berpikir begitu.” Aku bersikukuh, lucu melihatnya panik dan salah tingkah.

“Gue juga bakal antar lo pulang sebelum jam sembilan.”

“Oke,” balasku.

“Oke.”

Kami berpandangan kembali.

“Yaudah, gue mandi dulu.” Setelah berkata begitu, Kak Dimitri berlalu menuju kamar mandi, meninggalkanku dalam temaramnya ruangan yang katanya telah ia siapkan khusus untukku.

Sembari mendengarkan lagu yang terputar dalam mode repeat itu, aku membawa gelas coklat panasku berkeliling─melihat-lihat seisi apartemennya yang rapi, seolah semuanya tertata dan tidak ada benda yang terletak tidak sesuai tempatnya. Kemudian aku menemukan figura yang terpajang di atas meja di dekat televisi, foto-fotonya yang terbingkai dengan kayu bercat putih.

Dalam foto-foto itu, Kak Dimitri tersenyum lebar, senyum yang serta merta membuatku tersenyum juga. Foto masa kecilnya, foto dengan teman-teman kuliahnya setelah acara ulangtahun kampus, dan fotonya dengan dua orang berbaju formal di sebuah studio berlatar polos─itu pasti orangtuanya.

Aku meraih figura yang satu itu, memandangi tiga sosok di dalamnya yang tersenyum menatap kamera. Kak Dimitri pernah bilang padaku kalau ia anak tunggal, kedua orangtuanya tinggal di luar kota, dan baru akan pulang jika ia mau saja. Dari caranya bercerita, aku tahu ada sesuatu mengenai keluarganya yang tidak ingin ia jelaskan, seperti tak biasa membicarakan itu dengan siapapun. Aku tahu, sebab aku pun memimik ekspresi yang sama.

“Itu orangtua gue,” katanya pelan dari arah belakang.

Aku memutar tubuh karena kaget, tapi rupanya ia tak bereaksi apa-apa, sibuk mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.

“Lo mirip ayah lo, Kak.”

“Apanya? Lo kenal ayah gue emang?”

“Nggaklah. Maksud gue mukanya mirip.”

Ia tertawa, lalu menaruh handuk basahnya di keranjang baju. “Oh, kirain. Kenalan gih sana, siapa tau dapat restu.” Aku balas terkekeh mendengar omongannya. “Gue gak mau mirip sama Papi,” lanjutnya sembari mengernyit, seperti tengah menimbang-nimbang sesuatu.

Aku menaruh figura yang kupegang kembali ke tempatnya, lalu mengambil posisi duduk di karpet, menekan bantal di atas kedua kakiku yang menyila. “Kenapa? Bukannya seorang ayah hampir selalu jadi panutan buat anak laki-lakinya ya?”

Kak Dimitri menggeleng, menghembuskan napas panjang dan terduduk di sebelahku. “Nggak, kalau nanti gue punya anak, gue gak mau memaksakan kehendak gue atau menaruh impian-impian gue yang gak tergapai di pundaknya. Gue mau anak-anak gue nanti punya impian sendiri, bebas ngerjar passion-nya, dan gue bakal selalu dukung mereka.” Aku sibuk menyimak, menatapnya figurnya dari samping selalu menjadi favoritku. “Lo juga anak tunggal, Nye? Lo gak pernah cerita tentang saudara lo soalnya.”

“Yup, gue juga anak tunggal.” Aku mengangguk, lalu tiba-tiba menggeleng. “Maksud gue, awalnya iya. Tapi beberapa tahun ke belakang Bunda nikah lagi, jadi sekarang gue punya ayah tiri dan kakak tiri. Bisa dibilang gue bungsu di keluarga gue.”

Suaraku terdengar sumbang, karena entah darimana datangnya, dadaku dihujam rasa sesak. Aku selalu ingin mengakui bahwa aku punya kakak perempuan, tapi setiap kali hampir melakukannya, aku takut─takut Kak Gladys semakin tidak menyukaiku.

Kak Dimitri mengangguk berulang-ulang kali, menyesap coklat panasnya yang telah lama mendingin pelan-pelan. “Kakak tiri lo pasti senang ya punya lo? Lo kan lucu, Nye.” Kata-katanya terdengar tulus, tapi itu justru membuatku semakin tercekat.

“Omong-omong soal passion, emang kuliah di FEB bukan passion Kakak ya?” tanyaku, membanting topik obrolan.

“Dibilang passion nggak, tapi dibilang bukan passion juga nggak. Paham gak tuh?” tanyanya, terkekeh sendiri. “Mungkin karena dari kecil orangtua gue mengarahkan gue ke dunia ini, mau gak mau ya lama-lama gue senang juga belajar bisnis. Lagian gue tau gue harapan satu-satunya buat mereka, kalau bukan gue yang ngelanjutin bisnis keluarga, siapa lagi?”

“Emang passion Kakak yang sebenarnya apa?”

“Musik,” jawabnya, lugas sekali. “Dulu, gue sering nulis lagu, sering juga tampil di acara-acara sekolah. Gue senang lihat orang-orang yang menikmati lagu gue, kayak ada rasa puas gitu, apalagi kalau mereka paham sama apa yang mau gue sampaikan lewat lagu-lagu itu.”

Wajahnya tiba-tiba berubah murung, lengkung senyumnya nampak pahit.

“Dan akhirnya gue berhenti karena tuntutan orangtua. Padahal dalam pikiran gue, musik dan bisnis bisa jalan beriringan, tapi ternyata gak gampang. Jadi dewasa, kita emang harus tau mana prioritas mana yang bukan. Lagian kalau dipikir-pikir ada bagusnya juga gue gak bergelut di dunia musik, gue takutnya kalau gue bergelut di sana, gue bakal berhenti suka sama musik. Lo sendiri, lo senang di jurusan lo sekarang?” Ia menoleh padaku.

“Banget. Pertama-tama, gue gak punya bakat khusus kayak jago musik atau jago gambar. Kedua, gue juga gak pintar-pintar amat, apalagi matematika. Satu-satunya yang bisa gue banggakan tentang diri gue adalah gue gampang beradaptasi, gue senang dengerin dan ngobrol sama siapa aja. Gue juga gak malu kalau harus bicara di depan banyak orang─atau mungkin gue emang gak punya malu, gak tau deh.”

Kalimatku membuat Kak Dimitri tergelak hebat sampai harus bersandar di tembok di belakang kami setelahnya, ia menepuk puncak kepalaku beberapa kali sebelum aku melanjutkan lagi.

“Sebenarnya, gue dulu pengen jadi psikolog, tapi waktu tes gue gak lolos. Sedih.”

“Lo ada bakat jadi psikolog, loh. Walaupun lo lebih cocok jadi pasiennya.”

“Heh, mulutnya belum pernah di kepang ya?” Kak Dimitri terbahak lagi, jauh lebih lepas dari sebelumnya. “Bunda juga selalu nuntut gue buat sekolah yang benar, belajar yang rajin. Dulu gue ngerasa itu beban dan berat banget karena dituntut ini-itu. Tapi setelah gue gagal tes masuk psikologi, gue akhirnya sadar kalau tuntutan Bunda sebenarnya baik, Bunda mau gue berhasil. Semua orangtua pasti mau anaknya berhasil, Kak. Apapun yang orangtua lo bebankan di bahu lo, itu mungkin salah satu cara mereka menyayangi lo, karena mereka tau lo mampu dan lo bakal berhasil.”

Hening. Kami berdua tak lagi berkata-kata, sibuk tersenyum pada satu sama lain seolah larut dalam pikiran masing-masing, hanya menyisakan petikan gitar dan suara nyanyian dari seorang perempuan yang meng-cover ‘Fly Me to the Moon’ dalam versi akustik.

Lengan Kak Dimitri melingkar di sekitar bahuku, perlahan membawaku bersandar di dadanya. Aroma sabun langsung memasuki indera penciumanku begitu merebahkan kepala di sana, mendengarkan irama detak jantungnya yang tenang─berbanding terbalik denganku yang berkejaran.

“Kamu tau gak, Nye? Setiap kali aku mikirin kamu, aku selalu bilang makasih,” ujarnya, nyaris seperti berbisik. “Makasih karena kamu berani nunjukin rasa suka kamu lebih dulu, walaupun saat itu kamu kan gak tau perasaan kamu bakal terbalas atau nggak.”

“Kenapa mendadak jadi aku-kamu begitu?” tanyaku sembari memicingkan mata, sengaja menggodanya.

Kak Dimitri mendengus, tapi tak ayal tertawa juga. “Mode manja,” kekehnya.

“Aku rasa aku bukan satu-satunya orang yang nunjukin rasa suka aku ke kamu, deh, Kak. Kamu tuh dikagumi banyak orang, tau!”

“Mereka yang kagum sama aku belum tentu mau jadi bagian dari kehidupan aku, Nye. Untuk beberapa orang, mereka nganggap aku too much, dan buat sebagian yang lain aku malah gak cukup.” Nada suaranya terdengar sendu, pahit namun jujur.

Detik ini, aku menemukan dirinya yang tak lagi berpura-pura, seolah ia memang sengaja ingin menunjukkannya padaku.

“Tapi kamu, kamu bikin aku ngerasa pas, gak ada tuntutan apa-apa. Kamu bikin aku pengen jadi sebaik-baiknya diri sendiri, jadi versi terbaik dari diri aku sendiri.”

Rasa hangat itu segera menjalar ke seluruh tubuhku, kata-katanya membuatku ingin teriak dan membungkam di saat bersamaan. Entah bagaimana, mendengar pengakuannya itu aku jadi merasa diinginkan.

“Parah!” Aku terkekeh tak percaya. “Tapi fakta menariknya adalah, aku juga ngerasa diterima apa adanya setiap sama kamu, Kak. Gak tau kenapa, sayang sama kamu tuh bikin aku sayang sama diri aku juga. Otomatis gitu.”

Ia membalas ucapanku dengan kekehan pelan yang membuat dadanya bergetar, kemudian dengan satu kali hela napas panjang, tangannya bermain-main di kepalaku, menyisir setiap helai rambutku. “Bagus deh kalau kamu sayang sama diri kamu sendiri, berarti kita menyayangi orang yang sama,” katanya.

Aku berjengit untuk mencubit pinggangnya, tapi Kak Dimitri lebih dulu menarikku semakin menelusup, membawaku ke dalam pelukannya yang menenangkan. Dapat kurasakan dagunya di puncak kepalaku, sementara aku sendiri nyaman berada di lekukan lehernya, menghirup aroma shampo yang memabukkan. Dari sini, dari posisiku berbaring, pintu balkon yang sedikit terbuka menampakkan pemandangan langit malam dan lampu dari gedung-gedung tinggi di seberang sana.

Aku pernah melihat malam yang sangat cerah, aku pernah menatap langit sembari menyaksikan bintang jatuh, aku pernah melewati begitu banyak malam-malam yang tak mungkin kulupakan saking indahnya. Tapi hari ini, malam ini, semuanya berbeda.

Malam ini jauh lebih indah dari malam-malam lain yang bahkan tak pernah kubayangkan.

Ternyata mereka benar, segala hal jadi lebih baik jika kau melewatinya bersama orang yang kau sayang.

Selama bermenit-menit itu, kami berdua berubah hening, saling merasakan hangat dari satu sama lain. Tak ada lagi yang kuinginkan saat ini selain membuatnya nyaman dengan kehadiranku, dan kami bertahan di posisi itu sampai tanpa sadar waktu telah merangkak menuju jam sembilan.

Ketika aku bergerak mundur pelan-pelan, ternyata Kak Dimitri terlelap pulas dengan dengkuran halus yang keluar dari mulutnya. Aku mengambil posisi duduk di sebelahnya dan mengernyit, tidak habis pikir kenapa orang ini selalu tidur ketika bersamaku.

Tapi mendapati wajahnya yang begitu tenang, bibirnya yang sedikit terbuka, juga bulu mata panjangnya yang kontras di kulit putihnya itu, akhirnya aku menunduk─mengamati lekuk wajahnya sepuas yang aku inginkan.

Kalau sedang tidur begini, Kak Dimitri terlihat seperti anak kecil yang butuh perlindungan. Jauh bertolak belakang dengan sosoknya yang biasa, yang kokoh dan berwibawa.

“Makasih, udah ngizinin aku masuk ke dunia kamu, Kak,” bisikku, mengusap-usap rambutnya yang jatuh di dahi.

Aku baru saja akan mengambil selimut untuknya, tapi tak ada yang lebih membuatku sesak napas selain ketika mengecek ponsel, pesan Keana jadi notifikasi teratas di layar.

Keana | Keenan masuk rumah sakit lagi | Lo cepet ke sini!