Don't Fall Away
[HANA]
Pada kunjungan yang berikutnya, aku menemukan Keenan tengah memandangi jendela kamar rawatnya yang menampilkan area gedung rumah sakit. Belakangan aku tahu bahwa ia bukan sedang menikmati pemandangan membosankan itu, melainkan mengamati pantulan dirinya sendiri di kaca. Ia menyadari kehadiranku, tapi fokusnya tetap tak teralihkan.
“Udah ganteng,” kataku, seraya berjalan menghampirinya. Dari pantulan kaca yang memburam itu, dapat kulihat ia tersenyum sekilas, sebelum berganti redup lagi.
“Sekarang masih ada rambutnya, gue gak yakin lo bakal bilang hal yang sama begitu gue botak.”
“Lo bakal tetap sama buat gue. Mau botak, mau ada rambutnya, gak bikin lo bukan Nalendra Keenan Atmadja yang gue kenal lagi, kan?” Aku berdiri tepat di belakangnya, sama-sama memandang jendela yang kini membayangi sosok kami berdua.
Setelah kuteliti, aku baru sadar bahwa Keenan berubah. Tatapannya yang dulu selalu berbinar-binar, berubah sendu dan lelah. Pun dengan garis bibirnya yang dulu kerap dilengkungi senyum, sekarang lenyap, digantikan helaan-helaan napas putus asa.
Aku menggigit bibir, merasakan ngilu yang teramat sangat di rongga dada. Keenan telah berubah sejauh ini ternyata, dan aku menyesal menyadari itu.
“Gue boleh jujur gak, Na? Mumpung cuma ada kita berdua….”
“Apa?” tanyaku, bergetar menahan tangis.
Sebelum bersuara, Keenan menghela napas panjang. Pandangannya lurus pada jendela, seolah-olah sedang mengabadikan dirinya sendiri dalam ingatan. “Gue takut,” akunya pelan, membuatku menaikkan kedua alis karena tidak percaya pada apa yang baru saja kudengar. “Jujur, gue takut mati, Na.”
Sia-sia. Tangisku pecah detik itu. Air mata sialan yang sejak tadi kutahan langsung berjatuhan, tak terkendali lagi. Sakit. Sakit mengetahui bahwa Keenan semenderita ini.
“Tiga bulan lalu gue nolak di operasi bukan karena gue sok tegar, bukan karena gue berani mau jalani pengobatan. Justru sebaliknya… gue takut.”
Lewat pantulan kaca, akhirnya kami bertatapan. Sorot takut itu jelas berbayang di matanya, dan itu membuatku semakin sakit hati.
“Gue takut ninggalin Mama, Mama pasti kacau tanpa gue. Gue takut ninggalin Papa, ntar pasti Papa gak punya teman main catur. Gue juga takut ninggalin lo, ninggalin Dika, ninggalin Keana, ninggalin kehidupan gue. Semuanya.” Keenan berkaca-kaca, senyumnya terukir dengan pahit. “Tapi gue mikir, kalau gue takut, apalagi orang lain? Mama masih berjuang buat gue, kalian juga selalu nemenin gue. Gue gak bisa nyerah walaupun gue lelah.”
Aku mengangguk setuju, kemudian beranjak untuk melingkari tangan di sekitar pinggangnya. Saat ini, yang kutahu, aku ingin berbagi kekuatan dengannya. Seperti Keenan yang selalu memberi kekuatan padaku ketika kami masih kanak-kanak, kini aku mengembalikan itu padanya.
Seperti Keenan yang selalu melindungiku dari dunia, aku juga ingin melakukan hal yang sama.
“Maaf, Ken. Karena gue gak pernah ngerasain di posisi lo, gue gak pernah melihat segala sesuatunya dari sudut pandang lo.”
“Gak apa-apa, lo juga punya masalah lo sendiri. Gue paham.”
“Jangan nyerah, ya? Jangan pernah sekalipun berpikir buat nyerah, gue pastiin gue bakal selalu ada buat lo.”
Ia melepas pegangan tanganku di pinggangnya, lalu berbalik, tersenyum dengan genangan air di pelupuk mata. Kemudian ia mengusap pelan kepalaku─usapannya hangat, penuh makna. Sesuatu yang menyerupai penyesalan melintas dalam raut wajahnya, seperti ada beribu hal yang ingin sampaikan namun di titik terakhir ia memilih untuk tetap menyimpannya seorang diri.
Keenan tersenyum tipis. “Janji ya?” katanya.
Aku mengangguk buru-buru. “Pasti,” jawabku yakin, lalu kembali mengeratkan tangan untuk memeluknya.
Perjalanan pulang kali ini terasa sepi meski musik dari radio bergema dan Kak Dimitri bernyanyi seperti biasa. Aku menyandarkan kepala pada jendela mobil, mengamati lalu-lalang kendaraan lain juga hiruk-pikuk manusia di trotoar.
Sejak mendengar kondisi Keenan yang sebenarnya, aku merasa seolah masaku terhenti di satu tempat dan tak berputar lagi. Dan menyadari bahwa dunia tetap bekerja, semesta tetap berjalan seperti semestinya, aku tak dapat mengenyahkan sakit di tenggorokan karena ternyata yang hidupnya terpuruk hanya aku.
Dan Keenan, tentu saja.
Aku tahu dunia memang tidak adil tapi rasanya semakin menyesakkan ketika ketidakadilan itu menimpa orang yang paling kusayang.
Sepanjang perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam menerjang kemacetan itu, aku hanya diam dengan isi pikiran melayang ke mana-mana. Aku beruntung karena Kak Dimitri sama sekali tidak menginterupsi lamunanku, meski aku tahu sesekali ia melirik lewat sudut mata, seolah menantiku untuk bersuara lebih dulu.
Barulah ketika mobilnya terparkir di depan gerbang komplek rumahku, ia melepas seatbelt, kemudian menghadapkan tubuhnya padaku.
“Mau cerita?” tanyanya lugas.
Aku sudah bisa menduga ia akan bertanya pada akhirnya dan aku bisa saja segera keluar karena tidak ada yang harus kuceritakan. Namun di detik terakhir, kubiarkan sisi lain hatiku untuk menang. Setengah diriku toh memang ingin tetap di sini bersamanya.
“Udah beberapa hari ini gue perhatiin lo gak kayak biasanya. Tadinya gue kira gue ada salah, tapi lo gak marah sama gue.” Kak Dimitri bergerak lagi, mendekatkan dirinya padaku. “Gue tanya sekali lagi, mau cerita? Kalau gak mau gue gak akan maksa,” lanjutnya. Meski suaranya tenang, dapat kurasakan ada kekecewaan dalam kalimatnya.
Ini akan jadi tidak adil juga untuknya jika aku tidak menjelaskan apa-apa. Kak Dimitri telah menceritakan semua keluh kesahnya padaku, bukankah aku juga seharusnya begitu?
Tapi menceritakan masalah Keenan pada Kak Dimitri rasanya seperti mengakui ketakutanku sendiri.
“Oke, fine. Gue gak akan maksa.” Kak Dimitri membuang napas, lalu bersandar di kursinya, bersiap memakai seatbelt lagi. “Lo tahu? Lo juga, bisa cerita apapun ke gue. Lo bisa ngeluh apapun ke gue.”
Mendengarnya mengulang kata-kataku sendiri, tiba-tiba membuatku kehilangan kontrol. Aku menangis, merasakan segala hal terasa rubuh di sekitarku dan tidak ada yang mempersiapkanku untuk itu. Aku pernah merasa kehilangan, tapi bagaimana caranya menjadi terbiasa? Tidak bisa. Tidak pernah ada cara agar kehilangan tidak terasa menakutkan. Setiap kali menyadari betapa berubahnya Keenan detik ini, aku selalu teringat pada Ayah.
Aku ingat bagaimana menderitanya Ayah di akhir-akhir hidupnya. Mengeluh sakit setiap saat, terbangun setiap malam, obat-obatan, pekikan, tangisan. Aku masih mengingat semua fragmen mengerikan itu, hari-hari di mana kupikir aku tidak akan punya masa depan, masa-masa di mana kurasa melihat orangtuaku bertengkar setiap hari jauh lebih baik ketimbang melihat salah satunya hilang.
Kehilangan itu begitu menakutkan. Dan aku tak ingin mengalami sekali lagi, aku tidak akan sanggup lagi.
Tangisku semakin menggila, sampai rasanya aku megap udara. Kak Dimitri kemudian menarikku dalam pelukannya, mengusap-usap belakang kepalaku dengan pelan.
Dalam dekapannya itu, aku menangis sejadi-jadinya, seolah aku ingin seluruh dunia tahu aku ketakukan. Bersama Keenan atau siapapun di antara Keana dan Ardika, aku tak bisa menunjukkan kekhawatiranku yang sebenarnya, karena aku tahu kami semua berjuang sama-sama. Tapi di satu titik, titik terlemahku, sungguh rasanya aku ingin kabur. Aku ingin pergi ke tempat di mana segala hal tidak sekacau ini.
“Sebenarnya ada apa? Lo nangis begini kenapa, Nye? Gue takut.”
Suara Kak Dimitri bergetar di telingaku, tapi aku bahkan terlalu sedih untuk menjelaskan padanya.
Aku menangis sampai pandanganku mengabur, dan Kak Dimitri tetap memelukku sampai tangisku berhenti dengan sendirinya. Lama, kami tetap dalam posisi itu sampai langit menguning, semburatnya menghadirkan setitik hangat di dalam dada. Begitu aku melepas pelukan, kutatap mata Kak Dimitri dalam, menyadari betapa khawatir raut wajahnya.
“Keenan sakit,” ungkapku, sesingkat itu, tapi serta merta Kak Dimitri paham apa maksudnya. Aku menghela napas panjang sembari menghapus jejak-jejak air mata di pipi. “Tumor otak, dan sekarang lagi nyari jadwal buat operasi,” aku melanjutkan dengan getir.
Hening.
Aku memilin benang yang terurai di ujung bajuku. “Jujur, gue takut sama semuanya. Tapi di atas itu semua, gue takut gue gak cukup baik ada di sisi Keenan selama ini.”
Sewaktu Ayah pergi, aku baru menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku bukan anak yang pintar, aku tak pernah juara kelas atau pun memenangi lomba, dan kepergiannya selain membuatku berpikir aku tidak akan punya masa depan karena tulang punggung keluargaku hilang, juga menimbulkan penyesalan sebab aku belum membuatnya bangga.
Ayah memang bukan sosok ayah terbaik di dunia, membuatnya bangga tidak pernah ada dalam tujuan hidupku sebelumnya. Tapi setelah Ayah tidak ada, rasa sesal menghantuiku. Aku menyesal karena ketika aku berpikir Ayah selalu menyakitiku dan Bunda, aku pun nyatanya memang tidak pernah membuatnya bahagia.
Setetes air mataku jatuh lagi, buru-buru kuhapus dengan punggung tangan. “Keenan butuh seseorang yang kuat buat berjuang bareng dia, tapi gue merasa gak cukup baik ada di sana.”
“Hana?”
Aku menaikkan wajah, sedikit terkejut karena Kak Dimitri memanggil namaku. “Ya?”
“Lo selalu cukup. Keenan pasti mikir lo juga selalu cukup buat dia, lo ada di sana, nemenin dia berjuang aja itu udah ngebuktiin kalau lo cukup baik.” Aku tidak tahu apa yang membuatku menangis untuk kedua kalinya, tapi kurasa jauh di dalam, aku hanya ingin mendengar bahwa aku telah melakukan hal yang benar dan itu cukup.
Kak Dimitri menyunggingkan senyum tulus, lalu menangkup kedua pipiku dengan lembut. “Lo selalu cukup, Hana. Buat Keenan, bahkan buat gue juga.”
Tak ada yang ingin kulakukan detik itu selain menelusupkan wajah di lekukan bahunya, merasakan penerimaan yang teramat sangat. Aku bersyukur Kak Dimitri, orang sebaik ini, ada untukku di titik-titik terendah dalam hidup.
Kami berpelukan lagi untuk waktu yang sangat, sangat lama.
Ketika langit telah berubah gelap seutuhnya, Kak Dimitri menghidupkan mobil dan untuk pertama kalinya kuiyakan keinginannya untuk mengantarku sampai rumah. Aku menunjuk jalan, namun tiap kali aku menyuruhnya untuk berbelok, Kak Dimitri nampak ragu dan selalu bertanya apakah aku menunjuk jalan yang benar.
“Lo benar ini jalannya?”
“Iyalah, masa gue salah?” Aku terkekeh melihat wajah Kak Dimitri yang kebingungan. “Ada apa sih, Kak?”
Ia menggeleng. “Nggak, gue takut ketemu musuh bebuyutan gue. Dia tinggal di daerah sini juga. Kalau gak salah tuh rumahnya belok kiri dari sini.”
“Waw. Good luck deh, musuh bebuyutan lo tetangga gue kayaknya.” Tawaku melambung lagi, kali ini lebih keras. “Di depan, kita belok kiri.”
“Hah???” Kak Dimitri berjengit, wajahnya semakin panik, aku jadi geli sendiri. Sesudah berbelok, aku menyuruhnya berhenti di depan rumah berpagar tinggi yang dicat putih. Itu adalah rumahku. Untung karena masih terbilang sore, Papa belum pulang dari kantor. “Yang mana rumah lo?” Kak Dimitri bertanya, tapi pandangannya sibuk menelisik rumah-rumah yang lain.
Astaga, siapapun musuh bebuyutan yang ia maksud, itu pasti orang yang sangat tidak ingin ia temui.
“Yang ini,” jawabku, menunjuk rumah di samping dengan dagu. Setelah merapikan barang-barang, aku bersiap turun. “Mau mampir? Tapi kayaknya Kakak takut ketemu musuh, tuh.”
“Nye, kamu sejak kapan tinggal di rumah ini?” Tiba-tiba, nada suaranya berubah serius. “Uhm, sekitar dua tahun lalu?” Kak Dimitri bergeming, memandangi bagian dalam rumahku. “Kenapa? Ada hantunya?”
“Nggak. Eh, nggak tau, sih. Ada kali, di kamar kamu, tuh.”
“Jangan nakut-nakutin!” Kupukul lengannya, dan ia langsung tergelak. “Makasih ya, Kak. Buat hari ini, dan buat dianterin pulang sampai depan rumah.” Kak Dimitri mengacak rambutku usil. “Iya, sama-sama. Masuk gih, hati-hati.”
“Kok hati-hati? Kan yang mau pergi kamu?”
“Oh iya, ya.”
“Ngaco!” Aku menutup pintu mobilnya, lalu melambaikan tangan. “Hati-hati, nanti ketemu musuh bebuyutan.”
“Kamu yang hati-hati, awas ada kuyang di kamar kamu.”
“Berisik! Udah sana pulang!”
Kak Dimitri terkekeh sebelum menutup jendela, kemudian dengan satu lambaian tangan, mobilnya bergerak maju. Aku masih berdiri di depan rumahku sampai mobilnya berbelok di tikungan jalan.
Terimakasih, Kak.
Bersama Kak Dimitri hari ini, aku menemukan cara untuk tertawa lagi.