Janji Orion dan Canis Major

[KEENAN]

Setelah memarkirkan mobil di area parkir sebuah kafe yang udah tutup, gue langsung lari menaiki tangga jembatan penyeberangan. Jam udah merambat tengah malam ketika gue sampai di sana, tapi suasana jalanan rupanya masih sama aja─ramai.

Gue berhenti di salah satu anak tangga, berpegangan erat di pagar pembatasnya sembari mengatur napas yang terengah. Seorang bapak-bapak dengan karung di punggungnya memperhatikan gue sesaat, kemudian berlalu begitu gue mulai melangkah lagi.

Hana berdiri di tengah jembatan, tangannya menjuntai keluar pagar. Dia menoleh seraya tersenyum hangat begitu gue sampai di sebelahnya.

“Cape?”

Gue mendelik, masih mengatur napas. “Lo kira?”

Dia ketawa. “Hitung-hitung olahraga, Ken. Dokter lo kan bilang lo harus banyak gerak biar sistem motorik lo gak kaku.”

“Ya gak gini juga, Na,” balas gue lalu ikut menjuntaikan tangan di pagar pembatas, natap jalanan di bawah sana. “Jadi, ada cerita apa?”

Hana gak langsung menjawab, bikin gue melirik lewat sudut mata─memastikan kalau dia baik-baik aja.

“Seperti biasa, Cici nanya apa gue bersenang-senang selama dia gak ada, apa gue nyaman hidup sebagai tukang rebut. Cici juga bilang kalau gue harus berhenti bersikap seolah-olah gue adalah adeknya…. Lucu ya? Setelah bertahun-tahun, gue masih sakit hati tiap dia bilang begitu.”

“Lo sakit hati karena lo masih punya hati, dan omongan jahat itu semakin nyakitin lo karena keluar dari mulut orang yang lo sayang. Wajar, Na.”

Hana tersenyum pahit, matanya berkaca-kaca lagi. “Sial, kenapa juga gue harus sayang sama dia. Padahal dia aja gak pernah nganggap gue adeknya, kan?”

“Itu yang gue suka dari lo,” sahut gue, bikin kita jadi bertatapan karena Hana sempat terkejut, tapi gue enggan berpaling. Kali ini aja, kali ini, gue ingin jujur setidaknya pada diri gue sendiri. “Lo itu baik, tulus, polos, dan sedikit bego.”

“Dugong Alaska!” dengusnya.

Gue ketawa, pelan. “Kadang-kadang lo itu naif, lo selalu mandang semua hal terlalu positif. Itu makanya gue selalu di belakang lo, jaga-jaga takutnya lo jatuh.”

“Emang kalau gue jatuh lo mau apa? Gendong gue?”

“Gue makin jegrokin, biar lo tau rasa!”

Bogeman Hana kemudian mendarat hebat di bahu gue. “Ayo ngomong sekali lagi, gue dorong lo biar terjun bebas,” jawabnya, bikin tawa kita sama-sama melambung.

“Ada bintang!” Gue berseru seraya ngangkat telunjuk ke atas, tapi alih-alih mengikuti tangan gue, Hana menaikkan sebelah alisnya sembari natap balik ke gue─yang lagi natap dia juga. Gue jadi gugup.

“Gue kan bintang yang lo maksud? Ah elah, basi.”

Gombalan gue gagal, tapi gak apa-apa, yang penting bikin Hana ketawa. “Eh, tapi beneran ada bintang loh,” ucapnya lagi. Gue menaikkan pandangan, dan baru sadar ternyata langit sedang indah-indahnya. “Itu Sirius!” Jari telunjuk Hana terangkat ke udara.

“Gak ngerti.”

“Ih lo mah apa sih yang dimengerti? Jadi rumput aja sana lo!” Hana menggerutu, entah kenapa itu kelihatan lucu di mata gue. Senyum gue mengulas lagi, menyadari binar-binar di mata Hana begitu hidup karena pantulan bintang-bintang yang lagi dia pandang. “Lo tau konstelasi Orion? Si Pemburu?”

Gue menggeleng, tapi masih berusaha fokus ke langit dan jari telunjuknya yang entah nunjuk apa karena gue benar-benar gak paham tentang rasi bintang. Gue harus nyalahin Ardika gak sih karena dia udah nularin virus astrophilia ke Hana? Mereka berdua jadi maniak benda-benda langit tapi gak ngajak-ngajak gue.

“Anggap aja konstelasi Orion itu gue. Dan di sebelah konstelasi Orion ada rasi bintang Canis Major.” Gue sibuk membagi perhatian antara dia dan langit. “Canis Major itu rasi bintang Sirius yang tadi gue bilang, bintang yang paling terang kalau malam,” jelasnya, kemudian tangannya bergerak-gerak pelan, seolah menghubungkan titik bintang sedemikian rupa. “Lo tau? Canis major itu bentuknya anjing. Itu diibaratkan seperti anjing yang selalu mengikuti si Pemburu.”

Hana noleh ke gue, kemudian tersenyum. “Karena gue Orion, berarti lo Canis Majornya.”

Lama, kita bertatapan dalam hening, menjadikan deru kendaraan dan langkah kaki orang yang berjalan di belakang jadi satu-satunya apa yang bisa didengar. Tapi rasanya cukup, Hana di sini dan segalanya terasa cukup buat gue. Seperti Orion dan Canis Major, keduanya cukup dengan hanya bersisian di langit yang sebegitu luasnya, tanpa pernah menuntut agar keduanya jadi satu rasi dengan kisah yang sama.

Begitukah? Apa itu berarti gue dan dia selamanya hanya akan bersisian─selayaknya Orion dan Canis Major─karena langit dan semesta yang terlalu luas sampai rasanya gak mungkin kalau kita saling bersinggungan?

Gue mengerjap, buru-buru memalingkan wajah sebelum Hana melihat sendu di mata gue. “Jadi maksud lo gue anjing?” tanya gue, bikin dia langsung cekikikan.

“BEHAHAHAHA. Bukan lo mah codot!” Dia memukul bahu gue, lalu membiarkan tangannya melingkar di sana. “Tapi maksud gue tuh, Ken, kita berdua kayak Orion sama Canis Major, selalu ada buat satu sama lain. Bukan bentuk anjingnya ih lo mah, gimana sih!”

Gue mengangguk sembari mengacak-ngacak rambutnya. “Gue tau, tadi cuma bercanda. Senang bisa bikin lo ketawa, jangan sedih lagi.” Hana gak menjawab apa-apa, sibuk natap gue. “Lo tau, Na? Bahagia lo bisa jadi bahagia orang lain, sedih lo bisa jadi sedih orang lain juga,” lanjut gue.

“Gue baru tau.”

“Itu gue kasih tau.”

“Gue senang orang sebaik lo nyangkut di kehidupan gue, Ken. Gue jadi yakin di kehidupan sebelumnya gue benar-benar udah menyelamatkan negara.” Entah kenapa, suaranya jadi bergetar lagi, matanya juga berkaca-kaca lagi. Seolah menyadari kekhawatiran gue, Hana buru-buru mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah supaya air matanya gak jatuh. “Gue janji gak akan sedih, tapi lo juga janji jangan ke mana-mana, ya?”

Oh, jadi itu….

Dada gue mencelus, seolah ada sesuatu yang rubuh di dalam sana. Gue menghela napas sembari menatap ke segala arah─gue gak sanggup natap mata Hana yang penuh permohonan kayak gitu.

“Gue gak bisa janji itu, lo kan tau sendiri─”

“Ya janji aja dulu, kenapa sih? Dunia medis sekarang udah canggih, bola ping-pong sialan yang bercokol di kepala lo itu pasti bisa dibasmi. Percaya sama Hana!”

“Musyrik percaya sama lo!”

Perlahan, Hana meraih tangan gue, mengaitkan jari kelingking gue di jari kelingkingnya sendiri. Kerutan di dahinya lenyap, digantikan senyum dan ekspresi lembut yang bikin napas gue semakin memberat.

“Ini janji Canis Major buat Orion. Jangan ingkar, ya?” pintanya.

Sekilas, benak gue berlari mengingat hari-hari yang sepi di rumah sakit. Suntikan, obat-obatan, hasil CT-Scan, ruang kemoterapi, dan segala hal buruk lainnya yang ingin gue lupakan justru mencuat keluar tanpa aba-aba. Tapi malam ini, untuk Hana, gue akhirnya mengangguk, seolah gue bisa─dan akan─melewati itu semua.

Pada Hana, gue menyanggupi janji Canis Major untuk Orion.

Janji untuk tetap berada di langit yang sama.