Cara Cinta Bekerja
[KEENAN]
“Aaaaaaaa!!!”
Teriakan Hana yang melengking bergema di ruang rawat gue, bikin gue yang lagi melepas kancing baju rumah sakit jadi diam gak bergerak sama sekali. Detik berlalu, dan gak ada juga yang bersuara di antara kita.
Gue menaikkan sebelas alis, sementara Hana masih membatu dengan kedua telapak tangannya menutup muka.
“Keenan, lo kalau mau buka baju bilang dulu, dong!”
Loh? Perasaan bukan gue yang salah di sini.
“Lo nya yang kalau masuk kamar orang tuh diketuk dulu,” balas gue sembari meneruskan kegiatan gue sebelumnya. Baju rumah sakit bikin gue kelihatan kayak orang penyakitan─ya gak salah juga, sih─tapi gue gak suka itu. Lagipula besok gue udah boleh keluar rumah sakit, jadi sekarang gue milih buat pakai baju-baju biasa yang gue bawa aja.
“Terus itu lo kenapa malah ngelanjutin ganti baju di sini?” Hana berteriak lagi, masih dengan telapak tangan yang berusaha menutupi matanya. Gue tahu dia ngintip tapi.
“Harusnya gue yang nanya, lo mau di situ aja? Gue mau buka baju, nih.” Gue gak bisa nahan senyum, habis, lihat Hana gelagapan begini bikin pipinya memerah. Kayak apel, lucu.
“Lo dong yang ke kamar mandi. Gue kan tamu masa gue diusir?”
Pertanyaannya mau gak mau malah bikin gue semakin terkekeh. Kenapa juga dia harus malu-malu, kayak gak pernah lihat badan gue aja.
Gue menghampiri dia, yang langsung bergerak mundur entah kenapa. “Hana?”
“Hah?”
“Tutup matanya yang ikhlas, jangan setengah-setengah.”
Setelah itu, gue langsung tertawa kemudian masuk ke dalam kamar mandi, membiarkan Hana merutuki dirinya sendiri. Kalau gue pikir-pikir, Hana itu perempuan paling ceroboh dan konyol yang pernah gue kenal. Tapi rasanya, kekonyolan dalam diri Hana itulah yang bikin dia jadi menyenangkan.
Dari dalam kamar mandi, gue membuka pintu dan mengintip dari celah yang sedikit terbuka demi melihat sosoknya lagi. “Lo beneran gak bawa apa-apa, Na?”
Hana noleh, matanya mengerjap polos. “Iya, kan lo sendiri yang bilang.”
“Bilang apa?”
“Bilang gak usah bawa apa-apa, kan lo maunya gue doang.”
Demi Tuhan, gue gak bisa ngontrol diri gue sendiri. Senyum gue lekas mengembang dengar jawabannya yang terlampau apa adanya itu. Gue juga gak yakin sebenarnya Hana benar-benar polos atau cuma bego aja. Tapi gak apa-apa, kalau itu Hana, dia bakal selalu istimewa buat gue serandom apapun pikirannya.
Begitu gue keluar dari dalam kamar mandi, pemandangan selanjutnya yang gue lihat adalah Hana yang merangkak masuk ke kolong ranjang rumah sakit, sampai yang tersisa hanya kaki-kaki panjangnya yang menghalangi jalan gue.
“Lo ngapain, Na?”
Hana gak langsung jawab, melainkan beringsut keluar dari kolong ranjang. “Caca gue jatuh ngegelinding ke sini.” Gue langsung mendecak, sementara tangan Hana terangkat mengamankan sebutir permen coklat yang udah terkontaminasi debu dan penyakit. “Yes, dapat!”
Sebelum kepala Hana keluar dari kolong ranjang, gue buru-buru mengambil permen coklat dari tangannya lalu beranjak ke tempat sampah di balik pintu.
“Woy, kok dibuang?! Susah susah gue ngambilnya mengerahkan seluruh jiwa raga.”
Gue mendelik. “Kotor, Hana. Lo tau gak ada berapa banyak bakteri sama penyakit yang siap menyerang lo seandainya lo makan coklat tadi?”
“Gue penganut ‘makanan jatuh masih bersih kalau belum lima menit’. Lagian ini tuh tentang perjuangannya bukan semata-mata coklatnya, Ken. Selama masih bisa diperjuangkan kenapa harus menyerah?” Hana masih berusaha keluar dari kolong ranjang.
Gue natap dia prihatin, ckckck, omongannya udah berat banget tapi keluar dari kolong ranjang aja nyangkut.
“Itu awas kepala lo─”
Tuk!
“Aw! Ranjang sialan! Kalau kepala gue bocor gue minta ganti rugi ke rumah sakit kenapa naro ranjang di sini!”
Di titik ini, jujur gue malah pengen Hana kejedot lagi aja.
Hana kemudian bangkit berdiri sembari mengusap-usap bagian belakang kepalanya, matanya mulai berair, tapi yang Hana lakuin berikutnya bukan nangis, melainkan menghampiri gue dengan tatapan khawatir.
“Ken, lo jadi kayak gini bukan gara-gara kepala lo pernah kepentok, kan?”
Sadar kalau yang dia maksud adalah penyakit yang bercokol di otak gue ini, gue buru-buru menyentil dahinya gemas. “Tuh, gue baru aja men-transfer tumor otak gue ke lo. Puas?”
Kedua mata almond-nya langsung membulat, dia menjauhi gue dengan panik, kemudian mengetuk-ngetuk tembok sembari bergumam “amit-amit amit-amit” begitu.
Gue menggeleng seraya terkekeh─walaupun dalam benak gue, sejujurnya gue cukup terganggu karena Hana nampak benar-benar ketakutan sama penyakit gue. Atau sebenarnya gue gak terganggu karena tingkahnya, gue justru terganggu sama ketakutannya, karena dia memimik ketakutan gue juga.
Tiga bulan lalu, gue terdiagnosis fibrilarry astrocytoma atau tumor otak stadium dini. Seharusnya gue menjalani operasi pertama secepatnya, tapi karena pengobatan sehabis operasi bakal menyita banyak waktu sementara gue baru aja menginjak bangku kuliah, gue membujuk orangtua gue untuk memberi gue waktu.
Sebenarnya, gue cuma belum siap aja kehilangan rutinitas-rutinitas gue yang biasa. Sedikit banyak, gue tahu kalau penyakit gue ini bukan penyakit yang mudah dibasmi dengan sekali operasi. Itu juga alasan gue belum mau menjalani pembedahan, karena meski tumor gue diangkat, gak ada jaminan gue bakal bisa kembali ke kehidupan gue yang normal.
Gue masih mau menikmati kuliah, jadi mahasiswa baru, main futsal sama Dika, dan menghabiskan waktu sama mereka semua─Bukan Kepompong─begitu Dika menamai pertemanan ini, gue juga gak tahu alasannya apa.
Jadi, dokter menjadwalkan serangkaian kemoterapi yang harus gue jalani setiap bulan. Efek sampingnya gue jadi merasa gue lemah─persis kayak orang penyakitan, yang gak mau gue akui. Cairan yang disuntikkan ke tubuh gue itu selalu berhasil bikin gue mual-mual lalu muntah, dan kali ini kemoterapi bikin gue demam sampai harus dirawat karena sel darah rendah.
“Lo kapan boleh pulang?” Pertanyaan Hana membuyarkan lamunan gue, gue menghela napas sembari menyeret tiang infus menuju sofa dan duduk di sana.
“Besok juga udah boleh pulang.”
“Mau gue jemput sama anak-anak?”
Gue balas tatapannya, lalu menggeleng. “Gak usah, Mama yang jemput gue.”
Senyum Hana langsung melebar dengar jawaban gue. “Mama pulang? Ih, gue kangen, deh. Besok gue ke sini ah, mau ketemu.”
“Mama pulang malam ini, seharusnya sekarang udah sampai tapi katanya penerbangannya delay.”
Hana tiba-tiba menatap gue jahil, dia kelihatan mau meledek gue. “Utututu anak mami, kangen banget ya lo sama emak lo? Pantas aja pas gue datang udah senyam-senyum kayak abis menang undian tiket umroh, ternyata ada yang mau ketemu emaknya setelah sekian lama ditinggal kerja. Uuuuu… sayang.”
“Ck, apaan sih, Na?” Gue memutar bola mata, sembari menguasai diri supaya gak kelihatan salah tingkahnya. Tapi usaha gue sia-sia karena berikutnya Hana menepuk-nepuk puncak kepala gue, seolah-olah di matanya sekarang gue adalah anak bayi yang baru numbuh gigi dua di bawah.
“Cieee, bentar lagi mau ketemu mamanya nih yeeee….”
Untung dia Hana, jadi gue cuma senyum aja. Gue udah bilang, kan? Kalau itu Hana, dia bakal selalu istimewa buat gue serandom apapun pikiran dan tingkah lakunya.
That’s just how love works. Isn’t it?