Laputa dan Obrolan di Bawah Pesawat

Waktu makan malam adalah salah satu dari sekian banyak hal yang Ansel benci di rumah, karena saat itu, ia harus menyaksikan bagaimana keluarganya berpura-pura menjadi figur keluarga harmonis, ketika kenyataannya sama sekali sudah tak ada cinta di sana.

Dan benar saja, sesampainya ia di dapur, pemandangan lauk-pauk hangat dengan Ayah, Bunda, dan Kak Shilla yang duduk mengelilingi meja hampir membuat Ansel muntah di tempat.

“Ayah tuh aslinya dua orang, ya?” Ansel bertanya sinis, memilih mencomoti kukis sembari bersandar di kulkas ketimbang bergabung di meja makan. “Yah, harusnya Ayah tuh jadi artis daripada jadi pengacara. Akting Ayah natural,” tambahnya lagi disertai tepukan tangan.

Dapat Ansel lihat, rahang Ayah mengeras dan tatapannya penuh ancaman seolah sedang menahan amarah. Namun, Ansel menyerah untuk peduli.

“Kamu tuh ngomong apa, Sel? Jangan ngawur!” tegur Bunda. “Sini, cepat makan!” Di sisi Bunda, sebuah piring dengan nasi nampak nelangsa menunggunya mendekat.

Kadang, ada hari-hari di mana Ansel begitu menghargai usaha Bunda untuk selalu menyediakan makan malam yang hangat—waktu berharga keluarga, begitu Bunda menyebutnya—tapi, Ansel tak pernah suka kepura-puraan di baliknya, terlebih setelah yang ia lihat siang tadi.

“Aku mending kelaparan daripada makan bareng sama Ayah! Jijik!”

“Ansel!”

“Ayah gak boleh makan di sini! Ayah gak pantes makan masakan Bunda!” Suara Ansel meninggi, membuat tiga orang di hadapannya mematung seketika.

“Duduk!” Bunda kemudian mengurut kening. “Bunda bilang duduk, Ansel! Kamu pikir sopan ngomong kayak gitu ke orangtua?”

Ansel mencebik, membanting kukis dalam genggamannya hingga berceceran di lantai. “Orangtua? Orangtua macam apa yang selingkuh di depan mata anaknya sendiri?” Pertanyaan itu membuat Bunda menganga, sementara wajah Ayah memerah geram. “Aku gak sopan sama Ayah aku sadar, tapi Ayah sadar gak Ayah bener-bener bikin aku malu siang tadi? Ayah pegangan tangan sama perempuan lain… dan sekarang Ayah bertingkah seolah gak ada apa-apa?”

Bunda dan Kak Shilla serentak menoleh pada Ayah di ujung meja, kekecewaan di raut keduanya menambah sesak di dalam dada. Kali terakhir orangtuanya bertengkar hebat karena perselingkuhan Ayah beberapa tahun silam… Ansel pikir, ia tak ingin mengalaminya lagi sebab rasanya sakit luar biasa. Maka, ketika semua orang di rumah bertingkah seakan segalanya baik-baik saja, Ansel pun turut menjalankan perannya.

Namun, itu tidak benar. Sesuatu yang telah rusak tak akan pernah kembali menjadi utuh sekuat apapun usaha mereka, dan detik ini, Ansel tak dapat lagi membendung pilu yang ada.

“Tadi siang aku lihat Ayah pacaran sama selingkuhannya di bioskop, Bunda! Ayah pegangan tangan sama perempuan itu!” Ansel berteriak parau, tangannya terentang menunjuk Ayah dengan gemetar. “Ayah juga gak berusaha nyangkal atau ngasih aku penjelasan, aku malu! Pacar aku bahkan salim ke selingkuhan Ayah, dia kira si jablay itu Bunda!”

Jerit isak tangis Ansel memekakkan ruangan, kedua matanya memerah menatap Ayah, Bunda, dan Kak Shilla bergantian, menunggu hingga salah satunya menginterupsi. Tetapi, Bunda hanya menatapnya dengan sorot mata kompleks yang sulit diterjemahkan, setetes air mata membahasi pipinya.

“Selama ini aku pikir aku jadi satu-satunya alasan Ayah selingkuh, karena aku bukan anak laki-laki kayak yang kalian mau. Tiap hari, aku nanggung rasa bersalah, rasa gak berguna, rasa terbuang di keluarga sendiri!” Ansel mengusap air matanya kasar, kemarahannya menguap sudah, berganti menjadi pilu yang menghujamnya tanpa ampun. “Tapi, Bunda… selingkuh itu kebiasaan, bukan alasan! Ayah berkali-kali selingkuh semenjak aku lahir dan Bunda berharap Ayah bakal berubah? Nggak!” tukasnya getir.

Kemudian, ia melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, “Apa aku harus mati dulu biar jadi bukti?”


Dari atas sini, Ansel bisa melihat rumahnya dan rumah Reiga yang berhadapan, juga rumah-rumah bergaya minimalis modern di sekelilingnya. Sekali pandang, rumah-rumah itu memang nampak sama, yang berbeda adalah kisah-kisah keluarga yang menghuninya.

Ansel menghela napas panjang sembari telentang di sisi Reiga, tersenyum miris kala pikirannya mulai berandai-andai; bagaimanakah rasanya menjadi bagian di keluarga yang lain?

“Gak ada bintang,” Reiga mengeluh.

“Hm,” Ansel balas mengangguk, lalu menarik lengan Reiga agar menjadi bantalan kepalanya. “Suram banget deh langit, kayak hidup lo!”

“Ralat. Hidup kita.”

Ansel terkekeh, menyembunyikan getir dalam tawanya. Malam ini, mereka berada di Laputa—rooftop lantai tiga sebuah rumah kosong yang sudah bertahun-tahun ditinggal pemiliknya. Ansel yang menemukan rumah ini sewaktu SD, menjadikannya tempat sembunyi setiap kali Reiga dipukuli sang ayah. Kini, Reiga tak dipukuli sesering dulu, tapi Laputa tetap menjadi destinasi terbaik bagi keduanya.

Di atas dipan kayu lebar, mereka selalu berbaring menatap langit malam. Mengobrol tentang apa saja. Menyaksikan pesawat yang hilir-mudik, juga gemerlap lampu gedung-gedung tinggi di kejauhan. Kadang Ansel berpikir ini menyedihkan, menjadikan rumah kosong tak berpenghuni sebagai rumah untuk pulang, alih-alih rumah yang membesarkannya.

“Sel, lo pernah kepikiran gak, apa aja yang mau lo lakuin sampai lima tahun ke depan?”

“Gue mau cepat dewasa dan keluar dari rumah sialan itu.” Ansel menjawab sekenanya, lalu, “Lo sendiri?”

Reiga membiarkan beberapa detik berlalu sebelum bersuara. “Gue pengen besok gak ada.”

Kalimat itu meninggalkan hening yang panjang. Jika jujur pada dirinya sendiri, Ansel pun sebenarnya menginginkan hal yang sama, tapi bukankah tidak adil jika segala hal menyedihkan ini justru berakhir menyedihkan juga? Ia berhak bahagia.

“Gue pengen suatu hari gue tidur, dan gue bangun di keadaan yang sama sekali beda dari kehidupan gue sekarang.”

Ansel mengangguk.

Sebuah pesawat melintas dalam posisi rendah, dengung suaranya dan lampu yang berkedip pelan di bawah sayapnya menghadirkan euforia yang sulit dijelaskan. Kemudian, Reiga berdeham, mengenyahkan nyeri di tenggorokannya.

“Ibu nyesel gak ya ninggalin gue sendirian kayak gini?” bisiknya, menatap jauh ke atas langit.

“Lo mau Ibu lo ngerasa begitu?”

Reiga mengangguk sesaat, kemudian terdiam ketika indah lengkung senyum Ibu melintasi benaknya tanpa aba-aba, membuatnya segera menggeleng kuat-kuat. “Nggak….” ia berbisik, setetes air mata meluncur di ujung matanya. “Gue cuma penasaran, gimana perasaan Ibu setiap lihat gue dari atas sana?”

Apakah Ibu turut membencinya—seperti Papa, Mama, dan Kak Dirga?

Your mom gonna loves you, your mom gonna proud of you,” Ansel berkata, “lihat lo tumbuh besar dengan sehat, jadi anak baik, mandiri, ganteng… gue yakin ibu lo bahagia setiap lihat lo, Rei.”

“Tapi gue bukan anak baik, Sel,” sanggahnya.

“Lo baik buat gue, lo selalu jagain gue, pastiin gue baik-baik aja.” Ansel tersenyum sendu. “Definisi baik itu luas, Rei… dan lo baik dalam cara lo memperlakukan orang yang lo sayang. That’s it.

Reiga bersyukur Ansel mengatakan itu. Selama ini, ia sudah begitu lupa bagaimana rasanya dicintai, dan detik ini, Ansel membuatnya kembali merasa berarti.

Lalu, perempuan itu mengesah. “Jangan mati, Rei,” katanya.

Sebelah alis Reiga terangkat.

“Gue tau apa yang lo pikirin setiap kali lo balapan atau berantem. Lo berharap lo mati, kan?” Reiga merasakan lidahnya kelu, terlebih saat menyadari lengan tangannya yang mendadak basah oleh air mata. “Rei… gue gak mau beranjak ke masa depan yang gak ada lo nya. Gue takut….”

Hening.

Hingga kemudian, Ansel mengangkat jari telunjuknya ke atas—ke arah pesawat yang berkelip terang di langit. “Lo tau, Rei? Ada gak adanya lo, pesawat-pesawat itu bakal tetap mengudara. Matahari bakal tetap terbit, dan langit yang kita lihat sekarang bakal tetap berubah biru.”

Reiga menarik senyum meski matanya berkaca-kaca. “Terus?”

“Terus, lo tetap pergi. Ninggalin rasa sakit buat orang-orang yang lo sayang,” balas Ansel, tenggorokannya tercekat. “Matahari bakal tetap terbit, dan langit yang kita lihat sekarang bakal tetap berubah biru, Rei. Tapi buat mereka yang menyayangi lo, matahari yang terbit rasanya menyesakkan karena mereka ingat hari-hari yang mereka lewati tanpa adanya lo lagi. Langit yang berubah biru rasanya menyedihkan karena mereka menjalani hari yang indah dan itu juga tanpa kehadiran lo lagi.”

Keduanya terdiam memandangi langit, larut dalam pikiran masing-masing.

“Gue gak mau lihat pesawat-pesawat itu mengudara tanpa lo di sisi gue, Rei. Gue mungkin gak bisa menjanjikan dunia yang lebih baik buat lo, tapi satu hal yang gue tau, kalau lo nyerah dengan cara itu, lo gak bisa ketemu Ibu lo lagi; atau ketemu gue lagi.”

Ketika Ansel menoleh untuk melihat Reiga, ia termangu sebab menemukan sepasang mata jernih yang menatapnya sedemikian dalam. Ada seulas senyum hangat yang terukir di wajahnya.

“Gue gak akan mati, Sel.”

Gue gak akan bunuh diri.

“Janji?”

Reiga mengangguk. “Hm, janji.”

Malam itu, disaksikan langit malam dan kerlip lampu pesawat, Reiga berjanji pada Ansel—untuk tetap hidup, untuk tetap melihat matahari terbit serta tenggelam di tempat yang sama.