Found You!

[HANA]

Aku melirik jam di ponselku, lalu berdecak dan buru-buru bergegas ke luar kampus. Aku tidak pernah naik angkutan umum sebelumnya, jadi aku sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri sembari berjalan menuju halte yang Keana maksud.

Kok, tiba-tiba aku ragu? Apalagi di halte sana─yang tepat beberapa langkah lagi dari tempatku berdiri─dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiwa berambut gondrong. Ih, dari jauh saja aku bisa membayangkan rambutnya pasti licin penuh ketombe.

Duh, kenapa juga harus bergerombol di halte, gelantungan segala lagi kayak Marsupilami. Stay calm, Hana. Abaikan mereka.

Aku melanjutkan jalan sembari memasang wajah paling planga-plongo yang kubisa. Dan benar saja dugaanku, begitu sampai di pinggir halte, siulan pelan mulai terdengar.

Oh, God!

“Dek, maba ya? Mau diantar pulang gak?” tawar salah seorang lelaki yang duduk di sana sembari tertawa tengil bersama gerombolannya.

Aku pura-pura tidak mendengar.

“Hey, sombong banget. Mentang-mentang cantik,” timpal yang lain. Kali ini aku melirik sekilas, reflek, aku penasaran saja siapa yang bilang aku cantik.

“Kalau kating ngomong dijawab dong, Dek. Anak mana, sih?” Rupanya kating, pantas menyebalkan. Ia berjalan mendekatiku, masih diiringi siulan dari teman-temannya di belakang sana. Aku diam, pura-pura tak gentar padahal rasanya kakiku sudah gemetaran. “Heh! Dengar gak?”

Kakak ini menyenggol bahuku dengan bahunya, membuatku berjengit kaget.

Kopajanya mana kok gak datang-datang?!

“Gue antar, ya?” tanyanya lagi. Aku menoleh dan mendapati senyum creepy seperti om-om penculik anak, membuatku jadi makin ingin pipis!

Akhirnya aku menggeleng pelan. “Gak usah, Kak. Makasih.”

“Ayolah….”

Kakak berambut gondrong ketombean ini berusaha menyentuh tanganku, sementara teman-temannya di belakang sana sibuk tertawa.

Mom, please pick me up! I’M SCARED!!! MANUSIA BUMI JAHAT-JAHAT!!!

Aku berontak. “Lepasin, Kak─”

Dan detik itu, omonganku terpotong karena tiba-tiba saja, entah darimana datangnya, seorang laki-laki tinggi berdiri memunggungiku, menghalangiku dari si Kakak Gondrong Ketombean.

“Gak ada kerjaan?” tanya laki-laki yang punggungnya memenuhi pandanganku ini, membuat semua orang di halte itu langsung diam tak beraksi sama sekali. “Urus urusan lo sendiri, ngerti?” gertaknya lagi.

Aku memiringkan kepala, mengintip wajah si Kakak Gondrong Ketombean yang juga menatapku, lalu buru-buru menjulurkan lidah. Huuuu, rasain!

Aku belum sempat berpikir apa-apa sewaktu tanganku ditarik menjauh dari halte. Lagi-lagi, yang kulihat hanya punggung. Heran juga, siapa sih dia? Kok, punggungnya aja ganteng.

Laki-laki ini menarikku sampai perempatan jalan yang tak terlalu jauh dari halte, namun cukup ramai dan banyak kendaraan umum. Begitu ia membalikkan badannya, aku tiba-tiba merasa ingin mati saja.

“Lain kali jangan nunggu kopaja di halte, bahaya.”

Ini… ini… apakah aku salah lihat? Aku pasti halusinasi!

“Lo lihat sendiri kan cowok-cowok tengil tadi? Mereka bisa apa-apain lo, hati-hati!”

Astaga, demi Neptunus, aku tidak bisa fokus sama sekali.

Kak Dimitri, bisa gak kalau ngomel gak usah ganteng-ganteng? Kan jadi pengen dimarahin akunya.

“Ck, lo dengar gue gak, sih?”

Aku mengerjap dan buru-buru mengangguk. “Iya. Dengar kok, Kak.”

Kak Dimitri menatapku lama, kedua alisnya berkerut-kerut bingung.

Gemessss! Dia lagi mikir apa, ya? Apa dia mikir kalau aku cantik? Muehehehe.

“Lo yang majang foto gue di mading, kan?”

Dan jantungku langsung menggelinding entah ke mana. “Eh? Hngg, itu… anu….”

Kak Dimitri menghela napas sembari mengernyit karena matanya terkena sinar matahari. Gila, aku baru tahu kalau ada orang yang menghela napas di bawah terik matahari aja gantengnya jadi gak manusiawi gini.

“Gue udah tau,” ujarnya, sembari menyilangkan tangan di depan dada. “Kalau lo gak mau ngaku, yaudah.”

Aku menunduk malu. Tamat sudah riwayatmu, Gerhana Senja.

“Lo udah aman, gue tinggal, ya?” Tanpa menunggu jawabanku, Kak Dimitri lekas berbalik pergi meninggalkanku di trotoar jalan itu.

Sebelum benar-benar jauh, aku menyerukan namanya. “Kak Dimtri!” Yang dipanggil tak berhenti jalan, maka aku buru-buru melanjutkan. “Makasih!”

Kukira, ia tidak dengar. Kukira, kalau pun ia dengar, ia tidak akan peduli. Namun aku salah, Kak Dimitri mengangkat tangannya untuk melambai padaku. Ya, memang bukan di-dadah-in, sih. Cuma melambai dikit pakai punggung tangan sebagai tanggapan atas ucapanku barusan.

Tapi, tapi, tapi….

Hatiku jadi semakin berantakan!