(this isn't) Sweet Talk # 2
Tidak seperti biasanya, suasana siaran kali ini hanya diisi kesunyian hingga akhirnya lampu on air berubah merah dan Maraka menyapa pendengar.
Di sisi lelaki itu, Ansel berusaha menyeimbangkan, menarik senyum dan membuat suaranya terdengar ceria seolah tak ada apapun yang terjadi meski kenyataannya jelas tidak demikian.
Maraka berubah dingin, Ansel menyadari itu.
“Jadi, sore ini kita udah punya beberapa pesan yang terpilih buat kita bahas. Kita langsung masuk aja ke pesan yang pertama….”
Ansel memandangi kertas di hadapannya sampai memburam, pikirannya jauh melayang pada kata-kata Winona sebelumnya; tentang Reiga, persahabatan mereka, juga… perasaan yang bersembunyi di baliknya.
Ia masih memikirkan itu, sampai tiba-tiba ketukan jari Maraka di meja membuatnya terkesiap.
“Ah… pesan yang pertama—” Kalimat itu menggantung lama di udara, ia mengacak-ngacak lembaran kertas, bingung sendiri mencari pesan yang harus ia bacakan.
Melihat itu, Maraka segera mengambil alih. “Selamat sore Neocampus Radio, sore juga buat Maraka sama Ansel!”
“Selamat sore, sender!” Ansel menanggapi.
“Gue mau curhat, nih. Jadi sebagai anak semester akhir, gue ngerasa lagi burnout banget. Rasanya kayak semua hal tuh buntu, belum lagi dosen pembimbing yang susah dihubungin. Capek kuliah, pengen nikah aja, deh. Solusinya dong, guys?”
Kening Ansel berkerut dalam, sebelum akhirnya mendekatkan diri pada mic. “First of all, stop bilang, ‘capek kuliah, pengen nikah aja’. Nikah gak segampang itu, loh,” balasnya tanpa basa-basi. Maraka memiringkan kepala, ia bahkan belum meminta Ansel memberikan tanggapan. “Please, jangan pernah jadiin pernikahan sebagai jalan keluar dari masalah yang sedang kalian hadapi,” lanjutnya lagi.
“Tapi gue pribadi melihat sisi positif dari menikah muda loh, Sel.” Maraka mendebat. “I mean, dunia kuliah tuh lebih luas dan fleksibel ketimbang dunia sekolah, kan? Jadi daripada bilang, ‘capek kuliah, pengen nikah aja’, why not just do both, then?” Maraka terkekeh, geli sendiri dengan candaannya.
Namun, Ansel justru mencebikkan muka. “Sinting,” celetuknya.
Kedua alis Maraka menukik tajam. “Gue serius tapi, gue banyak kok ngelihat orang yang kuliah dan udah nikah, and they’re look fine.”
“Yes, in the outside. Lo pernah lihat dalam rumahnya? Lihat keadaan keluarganya?” tanya Ansel sarkas. “Gue berani taruhan, sebanyak-banyaknya lo melihat orang yang bahagia sama pernikahannya, lebih banyak lagi orang yang sebenarnya cuma pura-pura bahagia.”
“Tentang bahagia atau nggaknya mereka, itu bukan tanggungjawab gue lagi.” Maraka menggaruk tengkuk, tahu ada yang salah dari jalannya siaran sore ini. “Tapi setidaknya, pernikahan punya sisi positif buat menghindari sex bebas, apalagi dikalangan dunia perkuliahan kayak gini, ya walaupun gue juga gak mendukung pernikahan dini, sih.”
“Kata siapa pernikahan menghindari sex bebas?” Ansel tersenyum miring, kalimat itu terasa lelucon sekali baginya.
Kilasan kejadian di bioskop dan pertengkarannya dengan Ayah beberapa hari lalu melintas begitu saja, membuatnya semakin yakin bahwa kalimat itu hanya omong kosong belaka. Lagipula, jika memang benar pernikahan mengikat dua insan untuk selamanya; maka seharusnya tak pernah ada Reiga—beserta luka-luka yang lelaki itu derita.
“Sel—”
“Udah gue bilang, pernikahan itu bukan jalan keluar suatu masalah. Gak ada jaminan orang yang udah menikah bakal terhindar dari sex bebas, kok.” Ansel memandang Maraka, tatapannya nanar. “Mudahnya gini, lawan kata zinah itu ya gak berzinah, lawan kata sex bebas ya nggak sex bebas, bukannya menikah. It’s simple.”
Ketika Ansel mengangkat pandangan, dadanya mencelus sebab semua orang dalam tim yang berdiri mengawasi di luar ruang siaran serentak terdiam dengan wajah bingung.
Maraka sendiri memijat kening sembari membolak-balik kertas di tangan, raut wajahnya suram. Semuanya hening, sampai tiba-tiba suara tayangan iklan bermain di balik headphone, dan lampu on air berubah gelap.
Singkat kata, siaran kacau.
Dan, Ansel sadar ialah penyebabnya.