Dialog Malam Hari

“Rei, menurut lo wajar gak gue insecure?”

Ansel menoleh pada Reiga yang berbaring di atas tempat tidurnya. Lelaki itu tak langsung menjawab, hanya memandang lurus ke arah langit-langit dengan sebelah tangan dijadikan bantalan.

“Kak Maraka bilang, gue masih bisa latihan dan belajar. Gue tau, tapi rasanya buat sekarang bukan itu jawaban yang gue butuh,” aku Ansel. “Gue beneran kepikiran apa gue pantas ada di sini? Jadi penyiar... maksud gue.”

Reiga menggeleng. “Lo gak akan pernah tau lo pantas atau ngga ada di sana kalo lo gak pernah nyoba, Sel.”

I’ve tried.”

Not that. Yang kemaren itu tes.” Reiga mengernyit, memandang Ansel yang duduk di meja belajar sembari memamah-biak makanan yang dibawakannya. “Apapun yang lo rasain sekarang... semua perasaan lo itu wajar, rasa insecure lo itu valid.”

“Tapi—“

... Orang-orang memperlakukan gue seolah gue gak boleh ngerasain insecure atas semua yang udah gue punya.

Ansel terdiam, menelan liurnya dengan getir.

Menyadari ada yang salah, Reiga bangkit dari tidurnya, kemudian duduk di sisi ranjang—sengaja menghadap perempuan itu.

“Kenapa? Apa yang jadi masalah?”

Ansel mengedikkan bahu, menaruh rotinya di atas meja. “Gue takut gue bakal ngacauin segalanya. Gue ragu sama kemampuan gue sendiri, Rei.”

Reiga memahami itu. Sejak kecil, ia tahu bahwa Ansel selalu dibandingkan dengan kakaknya yang sekarang adalah seorang model. Entah apapun yang Ansel lalukan, orangtuanya memilih untuk tak mau tahu.

Anak-anak yang tak pernah mendapat dukungan dan apresiasi dari lingkungannya cenderung tidak percaya dengan kemampuannya sendiri, dan hal itu terbaca jelas dalam diri Ansel—sebagaimana Reiga melihat ke dalam dirinya juga.

“Kalau lo sendiri ragu, terus yang bakal percaya siapa?” Pertanyaan Reiga membuat Ansel mengerutkan alis. “Semua orang di dunia ini udah ngeraguin lo, terus yang bakal percaya siapa, Sel?”

“Lo?”

Reiga terkekeh. “Yup, gue pasti percaya lo. Tapi rasa percaya gue juga percuma kalau lo nya sendiri ragu-ragu.”

“Jadi, gue?”

“Iyalah, dongo!” Reiga menjitak puncak kepala Ansel sekali seraya tertawa. “Walaupun semua orang jahat, lo gak boleh jahat ke diri lo sendiri. Walaupun semua orang ragu, lo gak boleh ragu ke diri lo sendiri. Ingat ya, Sel, pada akhirnya, yang stay sama kita ya cuma diri kita sendiri. Bahkan sebaik-baiknya teman, teman terbaik itu diri sendiri.”

Ansel menghembuskan napas panjang, lalu balik menjitak kepala Reiga di hadapannya.

“Siapa yang bilang teman terbaik itu diri sendiri?” protesnya. “Teman terbaik buat gue itu lo, dan teman terbaik buat lo itu gue. Paham?”

Reiga beringsut menjauh, mengusap kepalanya yang barusan dijitak Ansel dengan tidak hormat. “Ya, gue sama lo kan belom tentu stay selamanya, Sel.”

“Gue mau kok stay selamanya sama lo.”

“Terus lo gak akan nikah?”

“Nikah itu plan B. Plan A gue jadi rich, young, and free sampe bisa berak di Paris cebok di Dubai.” Ansel memeletkan lidah, yang dibalas Reiga dengan dengusan sebal. “By the way, emang lo mau nikah, Rei?”

Ditanya begitu, Reiga tersenyum pahit.

“Ogah!” katanya sembari bergidik ngeri. “Nikah nikah tai anjing,” dengusnya lagi.

Ansel ikut menyunggingkan senyum geli. “Lo terlalu skeptis. Biasanya yang anti-nikah begini malah nikah duluan, sih.”

“Amit-amit!”

Ansel terbahak, lucu sendiri melihat wajah gusar milik Reiga.

Sebagai anak yang hadir di luar nikah, Reiga memiliki luka dan sudut pandangnya sendiri mengenai pernikahan. Baginya, semua konsep tentang cinta dan menikah adalah omong kosong belaka.

Who’s know? Mungkin suatu hari lo tiba-tiba jatuh cinta ke cewek dan lo berniat hidup selamanya sama dia, kan?”

Berbeda dengannya yang tak percaya cinta, Ansel justru memandang cinta sebagai sesuatu yang kerap datang tiba-tiba.

“Gak semua kisah cinta itu berakhir buruk kayak yang terjadi di orangtua kita, Rei.” Ansel mendekat, kemudian mengacak rambut lelaki itu sekilas. “Cuma karena belum terjadi, bukan berarti gak ada. Lo, dan gue... pantas dapat happily ever after kayak yang di dongeng-dongeng itu. Dan buat gue, gue cukup yakin Kak Maraka orangnya.”

Reiga membeku di atas ranjang, sama sekali tak menyadari detak jantungnya yang berkejaran.

“Nama kok Maraka?” Reiga memberengut. “Kayak panggilang ibu-ibu.”

Ansel menaikkan sebelah alisnya bingung. “Panggilan ibu-ibu gimana dah?”

“Iya. Ibunya; Maraka. Bapaknya; Paraka. Kakaknya; Karaka. Adeknya; Deraka.”

“GAJETOT LO!” Ansel tergelak kencang, kemudian melemparkan bantal tepat ke wajah Reiga. “Goblok, gak abis pikir gue!”

Namun, Reiga tetap melanjutkan, “Cucunya; Curaka.”

Ansel semakin terbahak di atas ranjang—tepat di sisi Reiga. “Neneknya; Neraka,” ia ikut menimpali.

Reiga tertawa renyah. “Nah, kalau yang itu mah destinasi terakhir lo, Sel.”

“AMIT-AMIT. REIGA, OMONGANNYA DIJAGA KAMU ISLAM BUKAN?”

Dan tentu saja, yang terjadi berikutnya adalah perang bantal.