Reiga dan Kisah di Balik Luka
Rasa pedih di sekujur kaki dan nyeri di tangan kiri yang terkilir tak lagi berarti begitu Reiga bersandar di ranjang kamarnya—menanti sidang dari sang ayah yang sudah terlihat marah semenjak kepulangannya bersama Rengga, Chandra, dan Nathan tadi.
Segalanya begitu berantakan dalam kepala; tentang kemunculan geng Junet yang tiba-tiba, motornya yang kini entah di mana, acara balapan yang dibubarkan sukarela. Reiga tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Papa, ia tak punya pembelaan, dan tidak punya siapa-siapa yang akan membelanya.
“Luka kamu udah dicuci?” Yang tidak ia duga, Mama muncul dari balik pintu kamarnya, membawa nampan berisi kapas dan alkohol. “Kenapa bisa begini?”
Perempuan yang helai-helai rambutnya mulai memutih itu mendudukkan dirinya di sisi ranjang, mendecak begitu memperhatikan lecet di kaki Reiga berkat menghantam aspal.
“Jatoh.”
“Balapan lagi?”
Reiga diam, menunduk dalam-dalam.
“Dirga bilang kemarin kamu dikeroyok?” Mama bertanya sembari mengusapkan alkohol. “Kemarin dikeroyok, sekarang jatoh—“
“Bentar lagi dipukulin Papa,” tukas Reiga, sengaja memotong kalimat ibunya.
“Kalo kamu tau bakal dipukulin, harusnya kamu nurut, jangan bikin masalah!” sentak Mama.
Reiga tersenyum pahit, kehilangan selera untuk berdebat sebab ia tahu ke mana semua obrolan ini akan bermuara. Ia tidak minta untuk dikeroyok, ia tidak minta untuk celaka; namun baik Mama dan Papa, akan selalu menganggap bahwa semua ini adalah salahnya.
“Kamu udah gede, harusnya tau kenapa Papa sering menghukum kamu, Rei!”
“Rei emang tau, Ma.” Reiga menunduk, menyembunyikan air matanya yang berkumpul di pelupuk. “Karena Rei anak haram, kan? Karena Rei anak selingkuhannya Papa, kan? Karena Rei gak seharusnya ada di rumah ini kan makanya Papa, Mama, sama Kak Dirga merlakuin Rei kayak binatang?”
Seketika, gerakan Mama terhenti, digantikan dengan pandangan nanar yang mengarah ke dinding—sengaja mengabaikan tatapan Reiga.
“Mama gak perlu repot-repot ngobatin, Rei gak butuh—“
“Kamu bener, Rei. Mama gak pernah suka kamu ada di sini,” potong Mama, setetes air mata jatuh di pipinya. “Lihat kamu cuma bikin Mama ingat sama pengkhiatan Papa ke Mama, tapi... selama bertahun-tahun ini Mama tetap ngurus kamu kalo kamu lupa. Mama tetap ambil rapor kamu ke sekolah. Mama tetap ngasih kamu obat setiap kamu sakit.”
Mendengar pengakuan itu, Reiga terisak menahan tangis.
Lalu, Mama melanjutkan dengan suara bergetar, “Terserah kamu kalo kamu gak mau menghargai Mama, tapi tolong hargai diri kamu sendiri. Dan hargai Papa kamu yang berani mempertaruhkan rumah tangganya demi ngebawa kamu ke rumah ini!”
Setelahnya, Mama berbalik dan pergi secepat mungkin. Meninggalkan Reiga bersama setumpuk rasa bersalah yang kian menggerogoti diri.
“Lo kayaknya terlalu nganggap omongan gue angin lalu ya, Rei?” Dengan setengah dibanting, Ansel membuka pintu kamar Reiga dan segara berdiri di hadapan lelaki itu. Tangannya berkacak pinggang. “Gue udah bilang kan kalo lo balapan terus, luka terus, dengan tujuan nyakitin diri sendiri gue bakal benci sama lo!”
Reiga bergeming, tepekur memandangi lantai seolah pikirannya melayang entah ke mana.
“Lo tau gak gimana khawatirnya gue denger kabar lo kecelakaan?” teriak Ansel, terengah mengatur napasnya yang memburu. “Gue benci khawatir sama lo, Rei! Gue benci ngerasa lo bakal hilang dari dunia gue!”
Sakit di tenggorokannya kemudian berubah menjadi isakan tertahan, Ansel gagal menyembunyikan fakta bahwa ia ketakutan setengah mati tiap kali Reiga tidak ada di sisinya—seakan ia harus selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk.
“Kalo lo masih gini terus, mending gue yang lebih dulu pergi dari hidup lo! Kita gak usah sahabatan lagi!”
Reiga tersentak, baru menaikkan wajahnya yang memar dan basah oleh air mata.
“Jangan bercanda,” lirihnya.
“Gue serius!” balas Ansel, ia tidak ingin bertingkah kekanakan seperti ini, namun rasanya tak ada lagi yang mampu ia lakukan agar Reiga mau mengerti ketakutannya. “Temenan sama lo nambah-nambahin beban pikiran gue doang!”
“Maaf....”
Ansel menengadah, tak ingin melihat tatapan Reiga yang nanar.
“Maaf.” Lelaki itu mengulang, suaranya parau. “Maaf, Sel.”
“Percuma lo bilang maaf kalo—“
“Maaf, maaf, maaf.”
Kalimat Ansel terpotong sebab Reiga lebih dulu mengucapkan kata itu—maaf—berkali-kali dengan kedua telapak tangan saling mengusap di depan dada.
“Maaf, Reiga salah. Maaf,” lirihnya kembali.
Sontak, Ansel mengernyit, menyadari ada yang janggal. Ia masih menerka-nerka, hingga kemudian Reiga berbisik lagi, kali ini dengan suara yang hampir putus-putus.
“Ampun....”
Tangis Ansel pecah detik itu, buru-buru ia mendekat dan membawa Reiga ke dalam pelukannya. Di sana, Ansel terisak bukan main, meraung dengan kedua tangan berusaha mendekap Reiganya erat-erat—melindunginya dari dunia.
Kata maaf dan ampun terus Reiga ulang-ulang, membuat Ansel serta-merta teringat pada bocah delapan tahun yang terduduk di depan pagar rumah sebab tak diizinkan masuk, tubuhnya dipenuhi lebam, dan hujan hari itu membuatnya menggigil basah kuyup.
Itu adalah kali pertama Ansel melihat Reiga. Maaf dan ampun terus keluar dari bibir kecilnya, sama seperti sekarang.
“Maaf, Reiga salah.”
“Nggak.” Kini, Ansel menyesali perbuatannya. Ia membuat lelaki itu kembali mengingat dan terjebak di masa lalu. “Nggak, Rei. Gue yang salah, gue minta maaf.”
Perlahan-lahan, tubuh Reiga merelaks dalam pelukannya. Ansel terus membisikkan kalimat penenang seraya mengusap punggung Reiga—sampai akhirnya lelaki itu berhenti meminta maaf dan tertidur di dekapannya.