Kompensasi Patah Hati

Tak seperti malam sebelumnya yang hanya berbalut hoodie kumal serta wajah sembab, malam ini Ansel mengenakan dress tercantik yang ia punya di dalam lemari. Ia juga memakai make up dan menata rambutnya sedemikian rupa, membuat senyum percaya diri terukir di wajah manisnya.

Malam yang spesial untuk orang yang spesial, setidaknya itulah yang ia pikir, sampai detik ini, Bara menghempaskan semua ekspektasinya.

“Ansel?”

Kedua alis Bara terangkat, wajahnya memimik panik dalam suaranya.

“Hai?” Ansel balik menyapa dengan getir, tatapannya jatuh pada perempuan berambut pirang di sisi lelaki itu. “... Siapa?” Ragu-ragu, ia memberanikan diri bertanya pada Bara.

“Gue Maudy, pacarnya Bara.”

Bukan Bara, melainkan perempuan bernama Maudy itu yang lebih dulu memperkenalkan diri, membuat Ansel lantas mengangguk walau seluruh tubuhnya terasa kebas.

“Lo sendiri?”

“Gue—“ Ansel baru saja hendak menjawab, namun Bara lebih dulu memotong.

“Ini Ansel, temennya si Reiga. Kamu ke mobil duluan bisa kan, By? Ada yang mau aku omongin bentar sama dia.”

Meski sempat terlihat bingung, Maudy menuruti permintaan Bara dan segera meninggalkan mereka berdua. Ansel mendecih, seolah baru menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Sel, lo kenapa datang? Gue bilang kan kita bisa jalan besok.”

“Lo taruhan?”

Bara mengernyit. “Hah?”

“Lo taruhan, kan?” Ansel mengulang walau sepenuhnya sadar Bara mendengar kalimatnya. “Lo taruhan gue, iya?”

Sesuatu seperti keterkejutan dan rasa bersalah melintas di mata Bara, Ansel tak perlu menunggu konfirmasi untuk tahu bahwa dugaannya benar.

“Taruhan apa?”

“Lo... tau darimana?”

Ansel tersenyum sedih. “Jadi benar? Padahal gue cuma nebak dan berharap lo jawab nggak.”

“Sel, sorry....”

“Taruhan apa gue tanya!”

“Motor,” jawab Bara pelan seraya mengusap wajahnya kasar. “Junet mau kasih motornya ke gue kalau gue bisa dapetin lo dan bawa lo ke hotel—“

“Bajingan lo!”

“—dan tentu aja gak akan gue lakuin, Sel!” Bara kembali melanjutkan. “Junet pernah kalah tanding sama Reiga, dia tau lo berarti banget buat Rei makanya dia mikir buat hancurin Rei lewat lo. Tapi gue gak setuju bagian itu, gue pikir bikin lo patah hati aja udah cukup.”

“Apanya yang cukup? Hati gue patah lo pikir cukup buat nebus motor sialan itu?”

Bara menunduk. “Gue salah, Sel, gue tau. Gue minta maaf.”

Ansel mendelik, merasakan perlahan-lahan emosi memuncak di ujung kepalanya.

“Jadi, lo udah dapat motornya?”

Ditanya begitu, Bara menaikkan wajahnya bingung. “Kenapa?”

“Bagi dua, bangsat.”

“Maksud lo?”

“Ya, bagi dua. Enak aja lo matahin hati gue, terus gue gak dapat kompensasi gitu?”

Ansel benar-benar serius mengatakan itu, namun Bara justru menahan senyum—sebelum mengusak puncak kepala Ansel dengan gemas.

“Apaan, sih, pegang-pegang? Haram jaddah!” Ansel merutuk seraya menepis tangan Bara di kepalanya.

“Lo mau nunggu gue gak?” tanya Bara. “Tunggu gue putusin pacar gue, terus gue kompensasi hati lo.”

Ada sesuatu yang rubuh dalam diri Ansel begitu mendengar perkataannya—seolah-olah bagi Bara, mengganti posisi seseorang yang menjadi pasangannya bisa semudah dan sesederhana itu.

“Lo mau gue jadi selingkuhan lo?” lirih, Ansel bertanya.

Bara mengangguk mengiyakan. “Buat sementara aja, nanti gue putusin pacar gue kalau waktunya udah tepat.”

Ansel mendongak sembari tersenyum, menatap wajah Bara lurus-lurus.

Ia kemudian berbisik pelan, “Get out of my face, asshole!” Caciannya pelan, namun menusuk dan sebelum berpaling, ia sengaja meludah sembarangan tepat di hadapan lelaki itu.

Setelahnya, Ansel melanggang pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.