Maraka dan Frekuensi Radio

Seperti yang Ansel duga, ruang siaran ramai begitu ia dan Winona sampai di sana. Mulai dari mahasiswa baru sampai mahasiswa tingkat tiga memenuhi selasar, masing-masing sibuk melatih hapalan dan intonasi suara.

Ansel dan Winona saling bertukar pandang dengan raut seperti keledai, sadar bahwa mereka sama sekali tak menyiapkan apa-apa.

“Mampus, Sel. Kita abis makan gorengan si Mang Memi.” Winona menyikut pinggang Ansel, panik sendiri merasakan minyak jelantah di tenggorokannya. “Lo sih, pake acara ngajak gue ke kantin dulu! Udah telat, becek lagi suara gue!”

“Ya, gue laper, Win!” Ansel mendelik. “Lagian, gue mana tau kalau saingan gue bakal sebanyak dan seniat ini? Gue kira saingan gue ya cuma lo.”

Winona lantas menoleh. “Lo nganggap gue saingan?”

Ansel baru saja akan tertawa untuk menghindari amukan Winona, namun tawanya lebih dulu dibungkam oleh panggilan dari dalam ruang siaran yang dibatasi oleh dinding kaca.

“Pendaftar nomor 17, atas nama Ansela Purnama?”

Winona berbisik tertahan. “Lo, anjir!”

“Mati gue, Win. Gue belom—“

“Ansela Purnama, ada?” Sekali lagi, suara perempuan menyerukan namanya dari dalam, membuat beberapa orang menoleh dan melayangkan tatapan tak sabaran.

“Ada, Kak!” Bukan Ansel, melainkan Winona yang menyahut. “Udah cepetan sana, ebel!”

“Gue belom siap, bangke!” Ansel mati-matian menahan rasa ingin menjambak Winona ketika gadis itu mendorong tubuhnya masuk ke dalam ruang siaran. Namun ketika ia akhirnya memasuki pintu dan menghirup atmosfir ruangan itu, serta merta ia terdiam.

Dua buah microphone berdiri menghadap dua kursi, beberapa layar komputer menampilkan software yang entah apa fungsinya. Selain dirinya, tak ada siapapun di ruangan berdinding kaca itu kecuali seorang lelaki dengan headphone yang sibuk mengotak-atik audio mixer.

Ruang siaran beraura tenang, dengan aroma musk yang memabukkan.

Singkat kata, Ansel menyukainya.

“Hai! Udah siap?”

Ansel menggaruk tengkuk, sejujurnya ia gugup setengah mati.

“Rileks aja. Ini cuma latihan, microphone on tapi kita gak on air, jadi yang dengar suara lo cuma gue buat sekarang. Nanti panitia yang lain dengar suara lo lewat rekaman.” Lelaki itu memberikan headphone, yang Ansel pakai dengan ragu-ragu. “Dua kali take. Kalau lo rasa yang pertama kurang, kita ulang. By the way, gue Maraka.”

Kedua alis Ansel terangkat, seiring dengan telapak tangannya yang menjabat lembut uluran tangan Maraka.

“Ansel,” balasnya pelan.

Maraka mengangguk, berusaha meredam senyumnya yang melebar. “Gak ada script, lo bebas ngarang program apapun. Frekuensi radio kita 12,7 FM, dan jangan lupa kenalin diri lo, jangan kayak di chat kemaren ya,” goda Maraka.

Ansel meringis, namun tak ayal tersenyum juga. “Sorry, Kak.”

No, it’s fine. Ready?” Maraka menoleh pada Ansel. “Hitungan ketiga begitu volume lagu gue kecilin, lo masuk. 3... 2... 1....”

Ansel memejamkan matanya sesaat, menarik napas seiring hitungan mundur terdengar. Lalu, perlahan musik di balik headphone mengecil, bersamaan dengan tombol audio mixer yang ditekan mundur oleh Maraka.

Hening.

Kemudian....

“12,7 FM Neocampus Radio. Selamat siang semuanya. Halo, aku Ansel.”

Suaranya lantang, dengan aksen khas yang terdengar menyenangkan.

Listeners, rasanya seneng banget deh hari ini Ansel bisa nemenin jam makan siang kamu sambil bincang-bincang sama Kak Maraka di program baru kita, “Sweet Talk”. Nah, di program Sweet Talk ini kita bakal ngomongin yang sweet-sweet, dan nanti kamu bisa banget request lagu, titip salam, curhat—ettt, tapi jangan tentang skripsi ya, nanti namanya bukan obrolan manis lagi tapi jadi obrolan mumet.”

Maraka sontak tertawa, yang dihadiahi Ansel dengan senyuman.

“Langsung aja kirim pesannya di 0823-7167-0877, sekali lagi di 0823-7167-0877.”

Ansel sama sekali tak terlihat kehilangan kendali meski Maraka sempat kesulitan menahan tawanya, dan melihat itu, harus Maraka akui bahwa Ansel cukup berbakat.

“Kita bakal tunggu pesan pertama yang masuk sambil dengerin lagu dari Devano featuring Aisyah Aqilah – Teman Cintaku. Selamat mendengarkan!”

Lagu terputar, menggema di ruangan itu saja.

Ansel dan Maraka sama-sama melepas headphone-nya, lalu saling pandang dan tersenyum pada satu sama lain.

“Gue gak pernah bilang kita bakal putar lagu ini?”

“Gue reflek, di desktop kelihatan lagu ini yang bakal di-play berikutnya, jadi sekalian aja gue omongin. Lo bilang kan gue bebas ngarang apa aja?”

Senyum Maraka kembali terbit. “Wow,” katanya. “Reflek lo bagus juga. Dan gue suka intonasi suara lo, anyway. Artikulasi kalimat lo juga jelas, so far... good.

“Ini gue langsung dievaluasi?”

No, ini komentar dari gue aja.”

Keduanya tertawa. Sementara lagu terus bermain di antara mereka.

“Motivasi lo pengen jadi penyiar apa, Sel?”

Ansel menopang dagu, memperhatikan mic di hadapannya. “Gue pengen suara gue didengar,” akunya lirih. “Pasti enak rasanya punya pendengar.”

That sounds so lonely,” balas Maraka, tak ada penghakiman dalam kalimatnya.

Ansel mengedikkan bahu. “You think so?

Maraka mengangguk lagi, memandang Ansel dalam-dalam. Keduanya berubah hening, membiarkan denting lagu menjadi satu-satunya penengah di antara mereka.

Begitu lagu hampir berakhir, Ansel baru tersadar sudah menatap Maraka terlalu lama. Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan pipi membara, diliriknya pemutar musik di layar komputer....

3 menit 51 detik.

Durasi lagu itu berlalu tanpa terasa, bersama degup jantungnya yang berkejaran seolah-olah ia sedang jatuh cinta.