Sweet Talk
“12,7 FM Neocampus Radio. Hello, guys! This is Maraka!”
“And this is Ansel, good afternoon listeners!”
Lampu bertuliskan on air yang terletak di atas pintu masuk ruang siaran berubah warna menjadi merah—menandakan suara Maraka dan Ansel tengah mengudara untuk kali pertama.
Tentu, ini bukan siaran pertama bagi Maraka. Namun dengan Ansel di sini, semua terasa jauh berbeda dari sebelumnya.
“Sooo, sore ini kita berdua bakal nemenin jam pulang kalian di program Sweet Talk edisi pertama hari Sabtu, tanggal 28 Agustus 2021.”
“Bener banget nih, Kak Maraka.” Ansel tersenyum sembari menoleh. “Di siaran siang tadi, udah dibagi informasi buat pengiriman pesan atau curhatan yang mau dibahas di program Sweet Talk, bisa dikirim melalui sms ke nomor 082213141516 atau bisa dm ke akun twitter official Neocampus Radio,” lanjutnya pelan, kemudian berpaling pada naskah di hadapannya. “Dan sekarang, udah ada beberapa pesan yang masuk. Lumayan banyak, ternyata.”
“Really?” Maraka menimpali.
Keduanya sama-sama terkekeh begitu salah seorang tim menyerahkan selembar kertas baru berisi pesan-pesan terpilih yang akan dibacakan.
“Waw, ada puluhan pesan yang masuk.” Ansel mendecak takjub. “Tapi karena waktu kita terbatas, jadi kita pilih yang paling menarik dulu buat dibahas ya, Kak Maraka?”
“Uhm-hm!” Maraka mengangguk seraya membolak-balik kertas di tangannya. “They look very excited with this program, don't you think?”
“Ya, and i’m very excited too!” jawab Ansel, tak lagi bisa menutupi nada suaranya yang berubah girang.
“Me too! Me too!” timpal Maraka, sengaja mengikuti nada bicara Ansel, membuat mereka sama-sama terkekeh setelahnya. Ia kemudian menekan tombol audio mixer, mengecilkan lagu Berdua Bersama milik Jaz yang menjadi backsound siaran.
“Pesan pertama nih, listeners!” Ansel melirik Maraka sejenak, yang balik memandangnya dengan senyuman miring. “Halo, semuanya! Aku mau curhat dikit, nih....”
“Banyak juga gak apa-apa,” canda Maraka.
“Durasi, Kak. Kecuali curhatnya jalur pribadi.”
Maraka tergelak kencang, dan Ansel kembali bersuara, “Oke, ulang, ya. Halo semuanya! Aku mau curhat dikit, nih. Jadi, aku lagi suka sama teman sekampus, setiap hari berangkat ke kampus motivasinya jadi ketemu dia.”
“Waduhhh!” Maraka mengomentari sembari geleng-geleng kepala.
“Akhir-akhir ini juga kita jadi semakin deket, tapi aku khawatir kalau semisal nanti kita pacaran terus putus, pasti aku bakal bete ke kampus soalnya setiap lihat kampus bakal inget sama momen-momen bareng dia. Menurut Kak Maraka sama Ansel, baiknya aku lanjut atau cukup di sini aja buat mengagumi dari jauh, jadi gak akan pernah ada kata putus di antara aku sama dia? Makasih ya, semangat siarannya!”
“Ah, thankyou juga udah berpartisipasi ya sender!” Maraka berdeham sebelum meneruskan, “Hm, emang pacaran satu kampus tuh ada plus-minusnya sih, menurut gue. Kayak pas pdkt atau pacaran, pasti pengennya ke kampus terus, mendadak rajin gitu, kelas jam 1 juga datangnya dari pagi demi sarapan bareng dia.”
“Pengalaman banget kayaknya, ya?” sahut Ansel.
“Nggak juga, cuma lumayan tau aja.” Maraka terkekeh rendah. “Ya gitu, itu salah satu poin baiknya pacaran satu kampus, alias mendadak rajin dan gak pernah absen kelas. Cuma minusnya nanti pas udah putus, justru jadi boomerang karena bakal gak mood ke kampus, males ketemu mantan atau ke tempat-tempat yang jadi tempat pacaran bareng si mantan.”
“Jadi gimana dong, Kak?”
“Kalau menurut gue, pacaran aja, sih. Kalau putus kan tinggal cari pacar lagi.”
“Yeeee, buaya!” Ansel tergelak, reflek memukul lengan Maraka, membuat lelaki itu ikut tertawa bersamanya.
“Kalau menurut lo sendiri, Sel, gimana tuh pacaran sama satu kampus?”
Ditanya begitu, Ansel mengernyit. “Uhm... susah gak, sih?”
“Susah gimana?” Sebelah alis Maraka terangkat.
“Ya, susah aja. Pacaran sama satu orang juga kan kadang ribet, apalagi sama satu kampus gak sih, Kak? Banyak banget.”
Lagi-lagi, tawa renyah khas Maraka melambung begitu saja, seolah saat bersama Ansel ia telah kehilangan kontrol atas tawanya sendiri.
Sebuah tatapan melayang, Maraka dan Ansel bertemu mata dan saling pandang selama beberapa jenak. Tawa membeku, digantikan dengan semburat merah yang sama-sama membara di pipi keduanya.
“Lo pernah?” tanya Ansel kembali, menyipitkan mata pada Maraka. “Suka sama teman sekampus?” ia melanjutkan.
“Gue sedang,” jawab Maraka cepat, tak mengalihkan pandangannya sama sekali dari Ansel. Tatapannya intens, dalam, tanpa ampun. “Dan gue rasa sekarang orangnya tau.”
Untuk sesaat, Ansel merasa segala hal di sekitarnya memudar—hanya ada dirinya, Maraka, dan musik yang berdendang pelan dari balik headphone. Degup jantungnya berlarian kian kencang, seiring dengan senyum yang diam-diam terukir ketika mereka berbagi tatap detik itu.
Kata-kata Maraka terus berputar dalam benaknya. Lama, bahkan sampai siaran hari itu selesai... Ansel tak pernah memandang Maraka dengan cara yang sama lagi seperti sebelumnya.
... Ia telah jatuh cinta.