Karena Jarak Terjauh Bukan Kanada ....
Rumah Genta terletak di dalam sebuah gang kecil yang tidak bisa dilalui mobil. Meski sempit dan ramai anak-anak, lingkungan di sana asri dan terjaga, membuat Senja cukup senang untuk datang walau seringkali tak diundang.
Setelah berdebat cukup panjang dengan Naya, Senja memutuskan untuk berkunjung seorang diri. Beruntung siang itu cukup sepi, jadi Senja tak perlu repot-repot memakai masker untuk menutupi identitasnya.
Dinding rumah Genta dicat putih tulang—senada dengan warna pagar yang mengelilinginya. Ada beragam tanaman hias di teras yang tak seberapa luas itu, beberapa di taruh di balkon; balkon kamar Genta.
Ketika ia sampai di depan pagar, pintu rumah sedang terbuka. Sesaat, tatapannya tertuju pada sebuah simbol keagamaan yang terpatri di salah satu tembok dalam rumah—berbaur dengan beberapa bingkai foto keluarga. Ia tersenyum, mengenyahkan apapun yang ada di pikirannya detik ini.
“Eh, ada siapa ini?”
Seorang wanita paruh baya terbangun dari duduknya ketika menyadari kedatangan Senja. Beliau menepuk-nepuk tangan yang kotor oleh tanah karena sedang memindahkan bunga dalam pot.
“Selamat siang, Tante.” Senja tersenyum, menyalami tangan wanita di hadapannya. “Apa kabar?”
“Senja?”
“Iya, ini Senja, Tante.”
Ada raut tidak suka yang berbayang di wajah ibu Genta—raut yang tak pernah Senja dapat, setidaknya sampai pernikahannya dengan Abbyan dipublikasikan beberapa waktu lalu.
“Ada apa, ya?”
Senja ingin memaklumi perubahan sikap ibu Genta, namun menyadari nada tidak suka dalam kalimat itu membuatnya getir.
“Genta ada, Tante?”
Perempuan paruh baya itu memicing, mulutnya sudah terbuka, namun Genta mendadak hadir dari balik pintu rumah, dengan cepat ia menghampiri Senja yang tertahan di depan pagar.
“Babe?” tanyanya, bingung karena Senja datang tanpa memberitahu.
“Hai!”
Sekilas, Genta dan ibunya berpandangan. Senja menyadari itu sebagai isyarat bahwa beliau tak menyukai kedatangannya.
Genta kemudian berdeham, lalu keluar pagar dan mengarahkan Senja untuk menjauh dari sana.
“Kamu kapan pulang dari Bandung?” tanya lelaki itu, terkesan berbasa-basi. Keduanya berjalan dengan canggung menuju luar gang. Senja tidak ingin memikirkan fakta bahwa kini ia seolah tengah diusir.
Ia mengerti, ibu Genta pernah berharap ia menjadi bagian keluarga mereka. Dan dengan statusnya saat ini yang sudah bersuami, jelas kedatangannya tak mungkin lagi diinginkan.
“Baru dua hari lalu, kemarin syutingnya selesai. Lagi tahap editing sekarang.”
“Aku pasti nonton filmnya.”
Senja tersenyum, dulu, Genta selalu berkata, aku gak sabar kita nonton filmnya.
Kini, tak ada lagi kata kita. Ia dan Genta seharusnya sudah mempersiapkan itu sejak lama.
“Akhir-akhir ini kamu susah aku hubungi, Ta....”
Genta menunduk, memandangi langkah kakinya sendiri.
“Sebenarnya ada yang mau aku kasih tau ke kamu. Tapi aku nunggu waktu yang tepat, Ja.”
“Apa?”
Genta berhenti melangkah di ujung gang yang sepi itu, ditatapnya Senja yang melayangkan pandangan bingung.
Ia menghembuskan napas dalam-dalam sebelum bergumam, “Aku dapat beasiswa S2 ke Kanada.”
Satu kalimat. Hanya satu kalimat itu, Senja mematung di tempatnya berdiri.
“Kanada?”
“Iya.” Genta mengangguk, rautnya bercampur antara senang dan tak senang. “Tadinya aku iseng apply, lagian susah juga buat lolos, jadi aku gak berharap banyak. But, here, everything feels stuck. Podcast-ku gak lancar, lagu-lagu mixing aku gak pernah diputar lebih dari satu kali di kafe. Jadi begitu ada kabar kalau aku dapat beasiswa ini, aku rasa aku gak punya alasan buat nolak.”
Satu dari alasan yang dimaksud Genta itu, Senja sadar dirinya termasuk di sana.
Saat ini, Senja tak lebih dari bagian-bagian ‘stuck’ yang Genta harap bisa ia tinggalkan.
Senja mengangkat wajah, tatapannya nanar. “Tapi, Kanada... itu jauhnya setengah lingkar planet ini, Genta.”
“Yeah, that's cool isn't it?”
Senja ingin berbahagia untuk Genta, tapi tidak dengan cara ini—tidak dengan ditinggalkan sejauh ini.
Namun yang ia tidak tahu adalah, sejauh-jauhnya Kanada, sejauh apapun Gentanya akan berkelana, pada dasarnya, jarak yang memisahkan mereka bukan benua, melainkan agama; dan itu, adalah jarak terjauh dari semua jarak yang ada di dunia.
“Kamu ngizinin aku pergi, kan?”
“Hah?”
“Kalau aku pergi... kamu bakal baik-baik aja, kan?”
Ada pengharapan yang membayang di kedua mata Genta, membuat Senja merasa lidahnya kelu seketika.
Ia ingin merelakan Genta bahagia—sebab Genta pun telah berhasil melalukan itu padanya. Namun rasa tak ikhlas itu tetap ada, bagaimana jika ia merindukan Genta dan Genta tak ada di sana untuk memeluknya seperti biasa?
Senja butuh waktu. Ia tidak mempersiapkan kehilangan secepat ini.
“Aku lupa aku ada kerjaan, nanti aku hubungi kamu lagi, ya?”
“Senja....”
“Nanti aku kabarin.”
Senja berjalan meninggalkan Genta di belakang, ia hampir meneteskan air mata.
“Senja, kabarin aku secepatnya, ya?” pinta Genta dari kejauhan. “Waktu aku gak banyak lagi, akhir minggu ini aku berangkat.”
Mendengar itu, tangis Senja tumpah sejadi-jadinya.