run!

Doyoung tidak menduga bahwa serangan itu akan datang detik ini.

Halte belakang kampus tempatnya berpijak kini terasa berputar-putar. Denyut di kepalanya perlahan berubah menjadi sejumlah hantaman dalam tempo cepat, mengambil alih keseimbangan tubuhnya, hingga ia memegangi kepalanya dan bertumpu pada kursi besi dalam halte.

Dia merasa sangat pusing, dan tidak ada siapa-siapa yang bisa membantunya di sana. Sinar matahari seakan lenyap—atau ia yang memejamkan mata—entah, Doyoung tak tahu pasti.

Ini bukan pertama kalinya terjadi, Doyoung tahu serangan ini tidak akan lama. Mungkin sekitar lima menit, namun selama lima menit itu ia tidak akan bisa merasakan gravitasi bumi, semuanya berputar dan berdenging, terus-menerus, sampai akhirnya ia akan mendapati dirinya berlutut di trotoar halte yang kotor itu.

Hantaman di kepalanya terus berlanjut, kali ini dalam tempo yang jauh lebih rapat dari sebelumnya. Telinganya masih berdenging, namun sekarang ada suara seorang perempuan yang seperti berbicara dalam air.

“Kak Doyoung?”

Doyoung berusaha mencari sumber suara itu, tapi dengungan di telinganya terasa lebih keras.

“Kak Doyoung!” Lagi. “Kak Doyoung!!!” Lagi.

Dalam hati, Doyoung meminta untuk terus dipanggil sebab ia tidak mau kehilangan kesadaran.

“KAK DOYOUNG! BANGUN!!!”

Dan seolah terbangun dari tidur panjang, Doyoung membuka matanya. Sinar matahari yang terik membuatnya mengernyit, wajah seseorang yang berlutut di depannya juga tak nampak jelas, tapi dengungan itu telah sirna. Begitupun dengan hantaman keras di kepalanya.

“KAK DOYOUNG! BANGUN ANJRIT ADA ORANG GILA ITUUUU!”

Sagita?

Harusnya Doyoung sudah bisa menduga. Siapa lagi perempuan bersuara cempreng yang selalu memanggilnya ‘Kak’ dengan nada sok imut?

“KAK DOYOUNG! DEMI CANGCUT RYAN GOSLING YA, KALO GUE GAK NAKSIR LO, LO UDAH GUE TINGGAL AAAA!” teriak Agit sembari menarik-narik lengan Doyoung, sementara Doyoung masih nyaman duduk di trotoar jalan, bersandar di kursi halte, dan sibuk mencerna apa yang tengah terjadi.

Merasa frustasi, Agit kembali berlutut, lalu memegangi kedua pipi Doyoung dengan panik. “Kak, lihat ke sana! Lo liat apa? Iya, gue di kejar orang gila! Bangun, lo mau dipeluk sama tuh orang gila? AYOOO BANGUN, DIA GAK PAKE BAJU AAAA!”

Setelah menoleh ke kiri, Doyoung mengerjap melihat seorang pria dewasa tanpa busana berlari-lari di tengah jalan. Tenggorokannya terasa kering seketika, kemudian buru-buru bangkit dan menarik serta tangan Agit agar ikut berlari dengannya.

“Oh jadi ini gini rasanya...” Agit berceloteh sendiri. “Simulasi ya, Kak?”

Doyoung menoleh, melirik Agit dan sadar ODGJ di belakang ternyata semakin dekat. “Hah?” tanyanya bingung.

“Iya, simulasi.” Tangan mereka masih bertaut, keduanya terus berlari sampai tersengal, lalu Agit melanjutkan, “simulasi kawin lari HAHAHAHA.”

Mendengar itu, Doyoung segera menghentikan langkahnya.

“Iya, tuh calon suami lo di belakang!” balasnya ketus. “Ini apaan lagi pegang-pegang?”

Doyoung menghempaskan genggamannya di tangan Agit, bikin Agit melotot seketika.

“Eh? Lo ya yang narik—“ Belum sempat Agit memprotes, Doyoung sudah berlari meninggalkannya lebih dulu.

“LARI! JANGAN LIAT KE BELAKANG!” teriak Doyoung. “SAMA JANGAN LUPA CALON SUAMI LO PAKEIN BAJU, TUH!”

Agit semakin melotot. “SINTING LO!” umpatnya, tapi tak ayal tertawa juga.