Time doesn’t heal anything...
[Agit]
Tahukah kalian, bahwa hidup bisa berubah dalam hitungan detik?
Seperti bumi yang berbalik 180 derajat, berguncang, hancur, dan kau tidak dapat menemukan dirimu sendiri dalam kekacauannya—aku sedang. Aku sedang di sana dan tidak tahu harus melarikan diri ke mana.
Sudah beberapa hari berlalu sejak namaku ramai diperbincangkan di sosial media kampus. Dua menfess tentangku memang langsung dihapus begitu ramai, dan Karin memang mengakui perbuatannya, tapi hidupku berubah—semuanya tidak pernah sama lagi sejak hari itu.
Orang-orang masih sibuk bergunjing, ekor mata mereka mengikuti setiap pergerakanku, dan sesekali mereka menertawakanku untuk alasan yang aku sendiri tidak tahu.
Rasanya seperti deja vu. Persis seperti yang kualami di SMA—bedanya, yang kali ini tidak disertai dengan lemparan kertas bekas atau sandungan kaki yang sering membuatku terjatuh di kantin. Mereka cukup dewasa untuk tidak melakukan hal itu, namun aku sendiri merasa ini jauh lebih buruk.
Memikirkan Karin ada di balik semua kejadian ini membuatku ingin menangis.
Aku menghadiri kelas seperti biasa, sebisa mungkin duduk di paling depan agar aku tak melihat punggung-punggung yang tengah membicarakanku. Aku selalu pulang lebih dulu, menghindari interaksi dengan siapapun.
Secepat itu, kehidupanku berubah. Secepat itu, bahkan jauh lebih cepat dari membalikkan telapak tangan, satu kesalahanku merusak semua kebaikan yang pernah kulakukan.
Bagian terburuk dari ini adalah; kenyataan bahwa aku melewati segalanya sendirian.
Benar-benar seorang diri dan ketakutan setengah mati.
Sekali, Lucas pernah mencariku, susah payah menunggu kelasku bubar hanya untuk kulewati begitu saja.
Ia sempat bilang, “Gue minta maaf, Git.”
Tapi, dalam hati aku berbisik, maaf untuk apa?
Apakah ia menyadari kesalahannya? Apakah ia bahkan memaknai ucapannya? Dan yang terpenting... apakah aku harus percaya lagi padanya?
Aku tahu, mungkin Lucas tak seburuk Karin. Aku tahu suatu hari nanti aku akan memaafkannya, tapi tidak untuk saat ini.
Dan layaknya semua orang yang kukenal, Lucas berhenti menemuiku—mereka menghilang, atau sejak awal memang tidak pernah ada di sana.
Tidak dengan Jeffrey. Tidak dengan Kak Doyoung.
Mereka menghilang seolah aku adalah tokoh yang diciptakan di kisah yang berbeda.
Aku melewati chapter menyedihkan dalam hidupku ini sendirian lagi, seperti sudah seharusnya begitu—seperti di dunia ini, yang harus kesepian hanya aku.
But, you know what’s so ironic? The fact that I’m no longer surprised about this. I’m slowly getting used to being left alone.
It’s true what they saying. Time doesn’t heal anything, it just teaches you how to live with pain.
And now, loneliness became a part of me. But, God... it's actually really hard to go through alone.
Kemudian, lonceng kecil yang terpasang di atas pintu kafe berbunyi. Lelaki itu hadir di sana begitu aku menaikkan pandangan—tak tersenyum, tak berkata-kata, hanya sorot sendu yang mengiringi setiap langkahnya untuk menghampiriku.
Ia tetap tak bersuara, menggeser kursi dalam keheningan yang panjang, lalu terduduk di hadapanku dengan bias-bias cahaya matahari sore yang jatuh di wajahnya.
“Kak Doyoung?”
“Hm?”
Hanya itu, hanya gumaman kecil itu. Yang tak terasa bermakna, namun begitu berarti di saat-saat seperti ini.
Tak ada pelukan, tak ada kata-kata penenang, tak ada penjelasan apapun. Tanpa itu semua, tapi ia ada di sini.
He’s literally just sitting there and I found myself starting to tear up.
Awalnya, aku menangis tanpa suara. Kemudian tangis itu berubah menjadi isakan. Aku menangis untuk diriku sendiri; untuk malam-malam sepi yang kulewati demi nilai-nilai tinggi, untuk perjuangan yang tak pernah diapresiasi. Sosok yang dicemooh banyak orang, yang tak memiliki teman, yang melewati setiap fase dalam hidupnya sendirian.
Aku larut dalam kesedihanku, untuk pertama kalinya membiarkan tangisku pecah di tempat umum.
Kak Doyoung menemaniku di sana sampai langit berubah gelap, dan dengan caranya sendiri ia berhasil meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Mungkin tidak sekarang, tidak pula esok, tapi suatu hari nanti, semuanya akan baik-baik saja.